1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum, dalam kehidupan bernegara harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum. Bahwa setiap manusia memiliki HAM karena kodratnya. 1 Pendirian bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia berlandaskan Sila II Pancasila: Kemanusiaaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh sila-sila lainnya. 2 Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat. 3 Salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah untuk melindungi perempuan supaya tidak menjadi korban kejahatan adalah dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi tentang perlindungan korban. Kemudian, bentuk lain dari perlindungan hukum terhadap korban adalah dengan adanya keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh LPSK antara lain kewenangan untuk memberikan kompensasi, restitusi, serta bantuan bagi korban maupun saksi. Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan dalam awal paragraf diatas, perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia. 1 Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, h. 36. 2 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 10. 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 13.
14
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15910/1/T1_312014010_BAB I.pdf · 4 C. Maya Indah S, Perlindungan Korban, Suatu Perspektif Viktimologi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara hukum, dalam kehidupan bernegara harus
menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena menyangkut segala aspek kehidupan
manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, baik itu
laki-laki maupun perempuan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum.
Bahwa setiap manusia memiliki HAM karena kodratnya.1 Pendirian bangsa
Indonesia mengenai hak asasi manusia berlandaskan Sila II Pancasila:
Kemanusiaaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh sila-sila
lainnya.2 Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan
perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat.3 Salah satu wujud
perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah untuk melindungi
perempuan supaya tidak menjadi korban kejahatan adalah dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi tentang perlindungan
korban. Kemudian, bentuk lain dari perlindungan hukum terhadap korban adalah
dengan adanya keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai
lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban. Bentuk
perlindungan yang diberikan oleh LPSK antara lain kewenangan untuk
memberikan kompensasi, restitusi, serta bantuan bagi korban maupun saksi.
Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan dalam awal paragraf diatas,
perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia.
1 Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, h. 36. 2 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 10. 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 13.
2
Sebagaimana dikemukakan Separovic, bahwa The rights of the victim are a
component part of the concept of human rights.4
Seiring dengan peradaban yang semakin maju, perempuan pada masa kini
dapat menikmati kesetaraan haknya di segala bidang kehidupan. Dalam lingkup
rumah tangga, perempuan memiliki kedudukan yang sama penting nya dengan
laki-laki. Yakni, bahwa perempuan merupakan pelanjut keturunan bagi suatu
keluarga, dan berperan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, dalam artian,
tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh bagaimana cara mendidik oleh
seorang ibu. Ibaratnya, ibu adalah seorang guru bagi anaknya supaya kelak dapat
menjadi pribadi yang baik. Tentu saja hal tersebut menempatkan perempuan
sebagai sosok sentral dalam hidup berumah tangga, melihat peranan yang
disandang tersebut.
Bagaimanapun juga, setiap orang pasti menginginkan kehidupan rumah
tangga yang rukun, disertai dengan kedamaian, ketentraman, serta kebahagiaan.
Untuk mewujudkan semua hal tersebut, dibutuhkan perilaku yang baik dan saling
mendukung dari setiap individu dalam lingkup rumah tangga tersebut. Apabila
tidak ada perilaku baik dan dukungan dari setiap anggota keluarga, tentu
kerukunan dalam rumah tangga akan terganggu, sehingga dapat menimbulkan
perbuatan negatif, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau disingkat KDRT.
Pada umumnya tindak KDRT sendiri merupakan delik aduan, yakni delik yang
hanya dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi
korban tindak pidana itu sendiri. KDRT tersebut dapat menimpa siapapun dalam
lingkup rumah tangga dan pelakunya dapat siapa saja. Tindak KDRT merupakan
4 C. Maya Indah S, Perlindungan Korban, Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi,
Kencana, Jakarta, 2014, h. 121.
3
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Fakta yang ada, masih banyak ditemukan kasus kejahatan kekerasan
dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan sebagai korban. Pada
umumnya sebagaimana kasus kejahatan yang lain, bahwa kejahatan sebagai suatu
gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society) dan merupakan
bagian dari keseluruhan proses-proses sosial produk sejarah.5 Fenomena tersebut
dalam masyarakat, seolah-olah sebagai masalah yang klasik, dalam artian bahwa
setiap tahun pasti ada kasus yang terjadi. Bahkan, angka tindak kekerasan dalam
rumah tangga dari waktu ke waktu semakin meningkat. Maraknya tindak KDRT
terhadap perempuan menunjukan bahwa perempuan sering dijadikan sebagai
objek dari perbuatan pelaku, karena secara fisik atau jasmani, perempuan masih
dipandang lemah.
Maka, untuk memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya
perempuan, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan perundang-
undangan yang dijadikan sebagai payung hukum bagi perlindungan terhadap
perempuan sebagai korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. Undang-
undang yang mengatur substansi hukum berkaitan dengan kekerasan terhadap
perempuan antara lain, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-
Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Didalam KUHP, ketentuan yang mengatur perlindungan agar perempuan tidak
menjadi korban tindak kekerasan, tidak nampak secara konkrit, karena rumusan
5 Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013, h. 57.
4
dalam Bab XX Tentang Penganiayaan pasal 351 – 356 tidak secara spesifik
menunjuk wanita sebagai korban saja, tetapi bersifat umum, dalam arti berlaku
untuk semua korban tindak penganiayaan. Bahwa pengaturan KUHP berorientasi
terhadap pelaku bahkan korban cenderung dilupakan.6 Dengan adanya asas lex
specialis derogate legi generalis yang berarti peraturan perundang-undangan yang
khusus, mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang umum, maka
rumusan KUHP tersebut bersifat umum dalam mengatur tindak KDRT, sementara
rumusan yang lebih spesifik / khusus mengatur ketentuan perlindungan terhadap
perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga terlihat dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga ini memberikan perspektif baru bahwa ternyata kehidupan privat (yaitu
rumah tangga) juga dapat diintervensi oleh negara. Undang-Undang ini
memberikan perkembangan baru bagi KUHP yang berlaku di Indonesia.7 Undang-
Undang ini antara lain sebagai upaya mencegah, menanggulangi, dan mengurangi
tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di lingkungan keluarga.8
Jika dilihat dari tujuan Undang-Undang KDRT tersebut, bahwa upaya mencegah
dan mengurangi tindak kekerasan atau kejahatan dalam lingkup keluarga dapat
dilihat sebagai bentuk prevensi / pencegahan. Apabila merujuk pada teori
pemidanaan, bisa dikatakan bahwa Undang-Undang KDRT mengandung teori
relatif. Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah dilakukan,
6 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010 h. 181-182. 7 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2015,
h. 204. 8 Bambang Waluyo, Viktimologi, Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h.
86.
5
sebaliknya teori-teori relatif bertujuan untuk mengusahakan pencegahan kesalahan
pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk
mencegah kejahatan.9 UU KDRT telah menunjukkan bahwa ketentuan yang diatur
tidak hanya untuk menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga saja,
tetapi juga mengatur bagaimana cara untuk mencegahnya. Bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus.10 Pengertian kekerasan dalam rumah tangga
dapat kita lihat melalui definisi kekerasan dalam rumah tangga yang dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT, yakni :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.11 Pasal 5
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,
mengelompokkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangga, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga.12
9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2014 (selanjutnya disingkat Teguh
Prasetyo I), h. 15. 10Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. 11Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, SInar Grafika, Jakarta, 2014, h.
26. 12 Ibid.
6
Selanjutnya, ketentuan mengenai perlindungan korban diatur dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang ini hadir
dengan tujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban, karena
dapat digunakan sebagai dasar menuntut hak atas rasa aman oleh para saksi dan
korban. Disamping itu Undang-Undang ini juga merupakan dasar bagi aparat
negara untuk memberikan perlindungan yang diperlukan kepada saksi dan korban.
Kemudian, menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2014, selain diatur mengenai
lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK), juga terdapat pihak lain yang
juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yakni
Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), ahli, serta orang
yang dapat memberikan keterangan yang masih ada korelasinya dengan suatu
perkara pidana meskipun tidak didengar sendiri, tidak dilihat sendiri, dan tidak
dialami sendiri, sehingga perlu diberikan perlindungan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh
pemerintah tersebut, sebagai instrumen hukum untuk melindungi perempuan dari
tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan supaya
tindak KDRT ini jumlahnya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Tetapi,
realita yang ada, jumlah kasus KDRT yang menimpa perempuan, belum juga
surut. Undang-undang yang telah diterbitkan pemerintah, setelah diterapkan
belum sepenuhnya dapat menjamin perlindungan bagi perempuan. Banyak
permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap
tindak KDRT. Seperti, adanya nilai sosial atau stigma dari masyarakat yang
menganggap KDRT adalah urusan suami isteri. Kemudian, jika korban
7
melaporkan tindak KDRT kepada aparat penegak hukum, dianggap telah
membuka aib keluarga. Permasalahan selanjutnya, faktor ketergantungan ekonomi
isteri kepada suami. Budaya malu atau perasaan tidak enak yang masih melekat
pada sebagian masyarakat, memiliki andil besar terhadap penanganan kasus
KDRT. Sehingga tidak banyak orang yang bersedia menanggung resiko untuk
melaporkan suatu tindak pidana, jika tidak ada perlindungan dari ancaman yang
kemungkinan diterima oleh pelapor.
Sejatinya, aparat penegak hukum, yakni kepolisian negara Republik
Indonesia, telah berusaha untuk meminimalisir permasalahan tindak kekerasan
dalam rumah tangga melalui Peraturan KAPOLRI No. 10 Tahun 2007 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja. Berdasarkan peraturan tersebut, terbentuklah unit yang
bertugas untuk memberikan pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan
anak, yang dinamakan dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA).
Unit PPA berkedudukan di bawah Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim)
Kepolisian Resor. Tugas utama dari Unit PPA adalah memberikan pelayanan
dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban
tindak kejahatan atau kekerasan serta melakukan penegakan hukum terhadap
pelaku. Dalam melaksanakan tugasnya, Unit PPA menyelenggarakan fungsi
sebagaimana berikut :
1. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;
2. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
3. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.
Dalam melaksanakan tugasnya, Unit PPA dipimpin oleh Kanit (Kepala
Unit) dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang
8
menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelaku. Dengan
dibentuknya Unit PPA , diharapkan mampu mendukung terwujudnya
perlindungan dan penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
terhadap perempuan.
Setelah penulis melakukan penelitian di Unit PPA Polres Salatiga, dapat
dilihat perkembangan kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani
oleh Unit PPA Polres Salatiga dari tahun 2015 sampai 2017 yang akan penulis
uraikan sebagai berikut : 13
Kasus KDRT yang terjadi di Kota Salatiga dan yang dilaporkan ke Polres
Salatiga dari Tahun 2015 – 2017 berjumlah 32 kasus. Dimana dari semua
kasus tersebut, yang menjadi korban KDRT adalah perempuan. Pada tahun
2015, yang dilaporkan sebanyak 15 kasus. Pada tahun 2016, laporan yang
masuk sebanyak 9 kasus. Sementara pada tahun 2017, kasus yang
dilaporkan berjumlah 8. Meskipun jumlah KDRT yang ditangani oleh
Polres Salatiga dari tahun 2015 – 2017 relatif menurun, tetapi tidak
menutup kemungkinan, masih ada tindak KDRT yang belum dilaporkan /
diadukan oleh korban ke Unit PPA Polres Salatiga, dikarenakan
keengganan korban untuk melakukan laporan / aduan.
Merujuk pada data yang didapat dari Unit PPA Polres Salatiga tersebut,
penulis berargumen bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai
korban tindak pidana kekerasan, perlu diupayakan kembali secara maksimal.
Terlihat dari kurangnya sarana atau fasilitas untuk tempat perlindungan sementara
13Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, Ipda Henri Widyoriani, SH pada hari
Selasa tanggal 13 Juni 2017.
9
(seperti safehouse) bagi korban KDRT.14 Seharusnya, dengan diterbitkannya
peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur perlindungan korban,
yakni UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, aparat penegak hukum bisa
mengupayakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan
melaksanakan asas penghormatan HAM, keadilan dan kesetaraan gender,
nondiskriminasi, dan perlindungan korban. Argumen penulis secara spesifik
mengacu pada tujuan dari penerbitan UU No. 23 Tahun 2004, yang terdapat
dalam Pasal 4, apabila diringkas yakni penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan sebagai upaya untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, serta memelihara keutuhan rumah tangga
yang harmonis dan sejahtera. Hal tersebut searah dengan salah satu tujuan untuk
membentuk suatu rumah tangga atau keluarga, adalah terbentuknya rumah tangga
yang bahagia, yang memberikan dampak positif, yakni apabila rumah tangga
bahagia, maka lingkungan masyarakat bahkan negarapun ikut bahagia serta dapat
terciptanya keamanan dan kedamaian. Dalam pembahasan ini, penulis cenderung
berpendirian, supaya perlindungan hukum terhadap perempuan dari kekerasan
dalam rumah tangga dapat terjamin, maka aparat penegak hukum beserta setiap
warga negara, diharuskan untuk memiliki kesadaran yang tinggi dan pemahaman
terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.
14Wawancara dengan Kepala Unit PPA Polres Salatiga, Ipda Henri Widyoriani, SH pada hari
Selasa Tanggal 13 Juni 2017.
10
Berdasarkan latar belakang tersebut, dan mengingat posisi perempuan
yang penting dalam keluarga, serta kondisi perempuan yang rentan terhadap
berbagai macam tindak pidana khususnya KDRT, maka penulis tertarik dan
bermaksud untuk mengkaji permasalahan hukum mengenai perlindungan terhadap
perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota
Salatiga, yang akan penulis susun dalam skripsi dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI
KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”
(STUDI DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK SATUAN
RESERSE KRIMINAL POLRES SALATIGA).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, pokok-pokok
permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah :
Bagaimana bentuk perlindungan hukum oleh Unit PPA Sat Reskrim Polres
Salatiga terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh aparat Unit
PPA Sat Reskrim Polres Salatiga terhadap perempuan sebagai korban kekerasan
dalam rumah tangga.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini ada dua, dari segi
teoritis adalah untuk menambahkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran
11
kepada khalayak umum mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga,
serta sumbangsih dalam bentuk menambah informasi bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya hukum pidana. Kemudian, pada tataran praktis akan membantu
aparat penegak hukum (khususnya aparat kepolisian) dalam memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya
perempuan, serta menangani tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
kedepannya agar lebih maksimal, supaya hak-hak korban lebih terpenuhi dan
terlindungi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Dalam Rumah Tangga.
E. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat
deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan
gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala
sesuatu yang menggambarkan realitas dari data-data dan fakta-fakta yang
ditemukan dalam perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai
korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga oleh aparat Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor kota Salatiga.
2. Metode Pendekatan
Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian
dengan pendekatan hukum sosiologis atau empiris (socio legal research).
Pendekatan sosio legal adalah suatu pendekatan dalam penelitian hukum
yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial yang lebih
menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya
12
dengan hukum.15 Pendekatan tersebut ditujukan pada penerapan
perlindungan hukum oleh aparat Unit PPA terhadap perempuan sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga di Kepolisian Resor Salatiga, yang
berupa data yang didapat langsung melalui wawancara dengan narasumber
dari Unit PPA Kepolisian Resor Salatiga, yang dilengkapi serta diperkuat
dengan dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang terdapat di Kepolisian
Resor Salatiga. Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan
karena penelitian ini menelaah peraturan perundang-undangan yang
memiliki keterkaitan dengan masalah hukum yang penulis bahas.
Pendekatan kasus dikarenakan penulis akan mendasarkan gagasannya pada
data lapangan langsung dari narasumber di Kepolisian Resor Salatiga.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain
meliputi penggunaan data sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang didapat langsung dari penelitian atau
studi lapangan. Data primer dalam penulisan ini diperoleh dengan cara
wawancara dengan aparat Kepolisian Resor Salatiga, khususnya
Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, serta advokat, dan
korban kekerasan dalam rumah tangga .
b. Data Sekunder
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2014, h. 128.
13
Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis dari penelitian
kepustakaan dengan cara melakukan study dokumen dan study
literature dalam mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-
konsep, pandangan-pandangan, doktrin, serta isi kaedah hukum yang
menyangkut perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia.
Data sekunder ini berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat berkaitan dengan objek penelitian, antara lain :
1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.
Pol. : 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan kejelasan
mengenai bahan hukum primer, yaitu :
1. Buku-buku literature yang membahas perlindungan hukum
terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga.
14
2. Makalah-makalah maupun karya tulis dari para ahli hukum yang
khususnya berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga.
3) Bahan Hukum Tersier
Petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan
internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini, diharapkan mampu diperoleh data yang benar-benar valid,
untuk itu penulis menggunakan teknik-teknik pengumpulan data, yaitu :
1. Survey yang penulis lakukan dengan menggali dan mendapatkan
informasi dari instansi, dalam hal ini pihak terkait Polres Salatiga,
khususnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak.
2. Wawancara yang tersusun berdasar keterangan yang telah
disampaikan oleh narasumber yang diterima, yakni Kepala Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak, advokat, dan korban.
3. Study pustaka (library research) meliputi mempelajari berbagai bahan
hukum dan dokumen yang berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam