1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of Health-System Pharmacist [ASHP], 1997). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama- sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2
24
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63128/potongan/S1-2013... · informasi mengenai penyakit DM tipe 2, terapi farmakologi dan non- ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk
mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana
sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa
resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi
pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat
terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga
tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis
dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling
kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti
rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of
Health-System Pharmacist [ASHP], 1997).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran
farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit
kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam
pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada
kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National
Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui
pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama-
sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2
2
(Suppapitiporn et al., 2005). Pemberian program pharmaceutical care selama 12
bulan pada pasien DM tipe 2 juga diketahui dapat menurunkan kadar gula dan
tekanan darah dengan lebih baik (Clifford et al., 2005).
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah penyakit kronis yang membutuhkan
pelayanan medis berkelanjutan dan pemberian edukasi dan dukungan bagi pasien
untuk dapat melakukan manajemen diri, mencegah komplikasi akut dan
mengurangi resiko komplikasi jangka panjang (American Diabetic Association
[ADA], 2011). Kegagalan terapi DM disebabkan oleh kurangnya kemampuan
pasien dalam melakukan manajemen diri (self management) termasuk
ketidakpatuhan penggunaan obat (World Health Organization [WHO], 2003).
Menurut Visser dan Snoek (2004), pemberian edukasi sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan pasien DM dalam melakukan manajemen diri (self
management).
Beberapa tujuan konseling adalah meningkatkan kesadaran (Kreitler et al.,
2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps et al., 2011). Pengetahuan pasien
merupakan awal untuk meraih tujuan tersebut (Blom dan Krass, 2011). Pasien
yang kurang pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan mereka cenderung
kurang patuh terhadap rejimen terapi (Rapoff, 2010). Anggraini (2012) dalam
penelitiannya di Bantul menggambarkan rendahnya kepatuhan pasien DM tipe 2
terhadap penggunaan obat karena pengetahuan pasien yang juga rendah. Masih
pada pasien DM tipe 2, diketahui bahwa pemberian konseling berdampak pada
pengetahuan pasien yang memberikan outcome berupa berkurangnya stres akibat
diabetes dan kontrol kadar glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan
3
(Karlsen et al., 2004), serta meningkatnya kualitas hidup dan kebugaran pasien
(Tankova et al., 2004 ; Sarkadi dan Rosenqvist, 2004 ; Karlsen et al., 2004).
Selain itu, penelitian oleh Ramadona (2011) tentang pengaruh konseling yang
diberikan di poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil, Padang telah diketahui dapat
meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadap
kepatuhannya menggunakan obat antidiabetik (Ramadona, 2011).
Pemberian edukasi dan konseling kepada pasien tidak hanya dapat
dilaksanakan pada saat penyerahan obat kepada pasien, tetapi dapat juga diberikan
sebagai bentuk pelayanan yang terpisah (ASHP, 1997), seperti misalnya melalui
pelayanan kefarmasian di rumah (home care pharmacy) (ASHP, 1999).
Pemberian edukasi dan konseling yang efektif harus mempertimbangkan
lingkungan tempat dilakukannya konseling. Lingkungan tersebut harus kondusif,
aman, mampu menjaga kerahasiaan untuk dapat membuat pasien menerima
dengan baik dan lebih terlibat dalam proses pembelajaran (ASHP, 1997). Salah
satu lingkungan yang kondusif dalam pemberian konseling adalah di rumah.
Dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu peran
farmasis dalam manajemen penyakit kronis adalah memberikan pelayanan farmasi
di rumah untuk melakukan konseling maupun monitoring penggunaan obat
kepada pasien dan keluarga pasien (Depkes RI, 2008).
Dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai
perubahan yang terjadi dengan pemberian konseling yang diberikan oleh farmasis
4
di rumah pasien terhadap tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2
akan penyakit yang dideritanya dan dalam menggunakan obat antidiabetes oral.
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien penderita
DM tipe 2 setelah diberikan konseling terhadap penyakit yang diderita serta
pengobatan yang diterima?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe
2 melalui pemberian konseling di rumah.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit: dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh
untuk pemberian intervensi konseling yang lebih tepat kepada pasien
menderita DM tipe 2 sehingga meningkatkan pengetahuan pasien akan
penyakit yang diderita, serta terapi yang diperoleh.
2. Bagi peneliti (farmasis): hasil penelitian ini mengeksplorasi
permasalahan-permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan
pemberian konseling terutama untuk penyakit-penyakit kronis
sehingga farmasis dapat menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan
pengetahuan dan kepatuhan pasien.
5
3. Bagi pasien dan masyarakat: penelitian ini sekaligus juga memberikan
informasi mengenai penyakit DM tipe 2, terapi farmakologi dan non-
farmakologi yang benar dan terpercaya serta dapat meningkatkan
kepatuhan pasien, dan secara luas dapat meningkatkan derajat
kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus (DM) adalah kondisi dimana tingkat hiperglikemia
meningkatkan resiko kerusakan mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan
neuropati) (WHO, 2006a). Guyton dan Hall dalam Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran (2008) mendefinisi diabetes melitus sebagai sindrom dengan
terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh
berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Klasifikasi diabetes meliputi 4 kelas (ADA, 2011) :
a. Diabetes melitus tipe 1 (terjadi akibat kerusakan sel β dan mengarah kepada
defisiensi insulin)
b. Diabetes melitus tipe 2 (terjadi akibat defek progresif pada sekresi insulin
sehingga terjadi resistensi insulin).
c. Diabetes melitus tipe spesifik lainnya, misalnya defek genetik pada fungsi sel
β, aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya cystic fibrosis), dan
akibat obat atau induksi kimiawi (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau
setelah transplantasi organ)
6
d. Diabetes Melitus kehamilan (diabetes yang didiagnosa selama kehamilan dan
bukan karena diabetes sebelumnya)
Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia. WHO
memperkirakan bahwa terdapat 171 juta orang di seluruh dunia menderita
diabetes pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 366 juta
pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, prevalensi diabetes mencapai 8.426.000
pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat hingga 21.257.000 pada tahun
2030 (WHO, 2006a). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, jumlah pasien
diabetes melitus rawat inap dan rawat jalan menduduki peringkat pertama
penyakit endokrin (Maulana, 2009).
Diabetes sering kali tidak terdiagnosis karena banyak gejala yang tidak
tampak begitu berbahaya. Beberapa tanda dan gejala klasik penyakit diabetes
adalah sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), penurunan berat
badan yang tidak biasa (Dipiro et al., 2009 ; McPhee dan Papadakis, 2011). Pada
tahun 2010, American Diabetes Association (ADA) mengadopsi kriteria dari
International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study
of Diabetes (EASD) untuk menggunakan tes A1C untuk mendiagnosis diabetes,
dengan batas 6,5%. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan (ADA, 2011) :
a. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa artinya tidak ada asupan
kalori selama minimal 8 jam, atau
b. Glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) selama tes
toleransi glukosa oral sesuai panduan dari WHO, atau
7
c. Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) pada pasien dengan
gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia.
Beberapa faktor resiko untuk diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
Tabel I. Faktor-faktor resiko penyakit DM (Depkes RI, 2005)
Riwayat Diabetes dalam keluarga
Diabetes gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan> 4kg
Kista ovarium
Impaired fasting glukosa (IFG)
Impaired Glucosa Tolerance (IGT)
Obesitas >120 % berat badan total
Umur 20-59 : 8,7 %
>65 tahun :18 %
Hipertensi >140/90 mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35 mg/dl
Kadar Lipid darah tinggi >250 mg/dl
Faktor-faktor lain Kurang olah raga
Pola makan rendah serat
Beberapa faktor yang dapat memberikan kontribusi terhadap
perkembangan DM yaitu: a) faktor genetik, yang muncul pada individu dengan
riwayat DM dalam keluarga dan kemungkinan untuk terjadinya DM pada individu
ini adalah 15%; b) berkurangnya fungsi sel beta pankreas yang merupakan
penyebab terjadinya abnormalitas sekresi insulin yang berakibat pada defisensi
insulin; c) defek pada situs periferal yang menyebabkan resistensi insulin akibat
terjadinya insensitivitas jaringan terhadap aktivitas biologis insulin (Shargel,
2001).
8
Luaran yang diinginkan dalam pengobatan diabetes mellitus adalah
mengurangi risiko-risiko penyakit akibat komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular, mengurangi gejala, mengurangi mortalitas, meningkatkan kualitas
hidup pasien (ADA, 2007). Sedangkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mencapai luaran yang diinginkan tersebut adalah dengan mengubah gaya hidup /
diet (pengendalian berat badan dan aktifitas fisik) dan menggunakan obat-obatan
antidiabetik maupun insulin (Guyton dan Hall, 2008 ; ADA, 2011). Jika tidak
ditangani dengan baik, komplikasi akibat diabetes dapat terjadi, yaitu komplikasi
mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati terutama pada saraf sensoris seperti
akibat lesi pada kaki, saraf autonom seperti disfungsi seksual dan gastroparesis),