1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga yang berkembang dalam masyarakat untuk melayani masyarakat di Indonesia. Artinya pesantren tidak hanya dijadikan sebagai lembaga ilmu keagamaan belaka, akan tetapi pesantren adalah satu kesatuan integral yang tidak dapat lepas dari realitas obyektif agar mampu menjawab tantangan jaman. Untuk itu aspek pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) juga perlu dikembangkan karena nantinya santri akan terjun langsung di masyarakat sebagai umat terbaik yang menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Rizki Amalia, 2007: 105). Pondok pesantren sering kali diyakin oleh masyarakat sebagai agent of social control yang sangat efektif untuk mengurangi, mengendalikan banyaknya perilaku menyimpang ditengah masyarakat yang semakin kompleks, karena ajaran - ajaran agama itu sendiri adalah nilai - nilai dan moral yang nilai - nilainya juga diadopsi oleh hukum berdasarkan al-qur’an, hadits,ijma’, dan qiyas dalam membuat suatu peraturan - peraturan tertentu dalam mengatasi banyaknya perilaku menyimpang baik dilingkungan pondok maupun di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk akhlak dan perilaku yang baik. Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar dalam agama Islam. Aqidah, syariah, dan akhlak merupakan hal yang saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari proses
60
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - iainska repositoryeprints.iain-surakarta.ac.id/531/1/16. Akhmad Mujtaba.pdf · Ustadz adalah orang yang diberi amanat untuk memberikan pendidikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga yang berkembang
dalam masyarakat untuk melayani masyarakat di Indonesia. Artinya pesantren
tidak hanya dijadikan sebagai lembaga ilmu keagamaan belaka, akan tetapi
pesantren adalah satu kesatuan integral yang tidak dapat lepas dari realitas
obyektif agar mampu menjawab tantangan jaman. Untuk itu aspek
pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) juga perlu dikembangkan
karena nantinya santri akan terjun langsung di masyarakat sebagai umat terbaik
yang menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Rizki Amalia, 2007: 105).
Pondok pesantren sering kali diyakin oleh masyarakat sebagai agent of
social control yang sangat efektif untuk mengurangi, mengendalikan
banyaknya perilaku menyimpang ditengah masyarakat yang semakin
kompleks, karena ajaran - ajaran agama itu sendiri adalah nilai - nilai dan moral
yang nilai - nilainya juga diadopsi oleh hukum berdasarkan al-qur’an,
hadits,ijma’, dan qiyas dalam membuat suatu peraturan - peraturan tertentu
dalam mengatasi banyaknya perilaku menyimpang baik dilingkungan pondok
maupun di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam
bentuk akhlak dan perilaku yang baik.
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar dalam agama
Islam. Aqidah, syariah, dan akhlak merupakan hal yang saling berkaitan dan
tidak dapat terpisahkan. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari proses
2
penerapan akidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah pondasi dan bangunannya kuat.
Jadi, tidak mungkin akhlak terwujud pada diri seseorang jika ia tidak memiliki
akidah dan syariah yang baik (Marzuki, 2003 : 13). Dengan bangunan akidah,
syariah, dan akhlak maka seorang santri bisa menjadi pribadi yang mulia.
Pembentukan akhlak setiap individu dalam rangka untuk menanamkan
syariat Islam perlu dilakukan agar setiap individu memahami, menghayati dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diselenggarakan
melalui upaya pendidikan Islam yang tak lain tujuan utamanya untuk
membentuk akhlak seorang muslim agar menjadi muslim yang beriman dan
berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama serta berakhlak mulia.
Akhlak yang baik tidak akan terwujud pada seseorang tanpa adanya
pembinaan yang dilakukan. Oleh karena itu perlu diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari (Azmi, 2006:54 ). Maka dari itu, di pondok pesantren
akhlak ditanamkan kepada para santri oleh para ustadz dalam kesehariannya.
Ustadz adalah orang yang diberi amanat untuk memberikan pendidikan
kepada santri. Dalam proses belajar mengajar guru tidak hanya terbatas sebagai
penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu, guru juga bertanggung
jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian siswa. Guru harus mampu
menciptakan proses belajar sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa
untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan
menciptakan tujuan.
3
Maksum (2003:15-16) Kyai atau ustadz merupakan komponen penting
yang amat menetukan keberhasilan pendidikan di pesantren. selain itu tidak
jarang kyai atau ustadz adalah pendiri dan pemilik pesantren itu atau
keturunannya. Dengan demikian pertumbuhan dan perkemabangan suatu
pesantren amat bergantung pada figur kyai atau ustadz.
Pembentukan akhlak dilakukan oleh ustadz dikarenakan kondisi akhlak
para santri yang masih perlu untuk diperbaiki. Para santri yang masih berusia
remaja mudah terpengaruh untuk berbuat nakal. Kenakalan santri sama halnya
dengan kenakalan remaja pada umumnya. Menurut Zakiyah Drajat (1995: 112)
kenakalan siswa atau remaja adalah kenakalan yang terjadi pada saat ia mulai
beranjak dewasa. Kenakalan siswa bisa diartikan sebagai suatu kelalaian
tingkah laku atau perbuatan tindakan dari siswa yang bersifat asosial serta
melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sedangkan ditinjau dari
segi agama maka akan jelas bahwa apa yang dilarang dan apa yang disuruh dan
sudah barang tentu semua yang dianggap oleh umum sebagai perbuatan nakal
serta dapat dikatakan perbuatan yang tidak diinginkan di dalam agama.
Seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Al Muayyad. Sebagai lembaga
pendidikan Islam, pondok yang berlokasi di tengah kota Surakarta ini memiliki
banyak hal yang berpotensi untuk memberi pengaruh pada akhlak santri. Hal-
hal tersebut misalnya dekat tempat bermain game online, warnet, play station
dan lain sebagainya. Hal itu dapat menghambat proses pembentukan akhlak
santri, oleh karena itu upaya ustadz sangat berpengaruh untuk menghasilkan
4
kualitas akhlak santri, baik di lingkungan pondok pesantren maupun
masyarakat sekitar. (Observasi, Kamis 11 April 2016).
Selain itu, selama ini masih banyak santri yang melanggar berbagai
peraturan di dalam pondok pesantren. Pelanggaran yang dilakukan dapat
berupa berbagai hal dari yang skala kecil hingga skala besar. Beberapa contoh
pelanggaran yang dilakukan santri Al-Muayyad antara lain merokok,
membolos ketika jam pelajaran atau waktu mengaji, keluar tanpa izin, hingga
keluar dari lingkungan asrama tanpa izin untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
diluar pendidikan.
Dilihat dai beberapa sisi, mungkin pelanggaran yang dilakukan para
santri bukanlah sesuatu hal yang besar dan tidak mengakibatkan sesuatu yang
serius. Namun apabila hal ini dibiarkan, dimasa depan mereka akan terbiasa
dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran kecil yang dapat menjadi pemicu
kesalahan dan pelanggaran yang lebih besar.
Untuk mencegah para santri agar tidak melanggar norma-norma yang
sudah ada, maka untuk itu sangat perlu sebuah pencegahan atau pengendalian
sebagai cara yang digunakan pondok pesantren untuk menertibkan santri yang
membangkang (Kamanto 1993 : 65).
Terdapat dua macam pengendalian, yaitu pengendalian secara
preventif dan kuratif. Pengendalian preventif yaitu suatu usaha pencegahan
terhadap terjadinya gangguan - gangguan pada keserasian antara kepastian dan
keadilan. Pengendalian secara kuratif adalah pengendalian yang dilakukan
setelah penyimpangan terjadi.
5
Usaha - usaha preventif, misalnya dijalankan melalui proses sosialisasi,
pendidikan formal dan informal. Pengendalian sosial represif yang bertujuan
untuk mengembalikan kekacauan sosial atau mengembalikan situasi deviasi
menjadi keadaan kondusif kembali (Soekanto, 1990 : 206). Pengendalian ini
merupakan bentuk dimana penyimpangan sosial sudah terjadi kemudian
dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi normal, yaitu situasi dimana
masyarakat mematuhi norma sosial kembali.
Menurut Idianto (2013:183) upaya secara preventif merupakan suatu
bentuk pemcegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan antara kepastian
dan keadilan. Tindakan preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Salah satu upaya preventif yang dilakukan ustadz dalam pembentukan
akhlak bagi santri adalah melalui pemberian dorongan atau motivasi.
Pemberian motivasi dapat dilakukan dengan membacakan atau mengupas dari
sebuah biografi atau manaqib perjalanan hidup seorang ulama yang dapat
menjadi pelajaran maupun menjadi tauladan yang baik sehingga menjadikan
santri termotivasi dalam segala aktivitas hidupnya khususnya dalam menuntut
ilmu di pondok pesantren. Dalam hal ini, salah satu pondok pesantren yang
melakukan usaha ini diantaranya adalah Pondok Pesantren Al Muayyad
Surakarta.
Pondok pesantren ini melaksanakan kegiatan pembacaan manaqib
Syekh Abdul Qadir Jaelani setiap kamis malam selepas dilaksanakannya
ibadah sholat magrib. Pembacaan manaqib di pondok pesantren ini
6
dilaksanakan diawali dengan pembacaan surah Yasin dan diakhiri dengan
mau’idoh singkat yang materinya diambil dari nilai-nilai yang terkandung
dalam manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani atau Kitab An-Nurul Burhani Juz
II menceritakan kehidupan Syeh Abdul Qadir al-Jailani. Di dalam kitab
tersebut menjelaskan tentang nasab, kelahiran, perjalanan spritual, karamah-
karamah serta beberapa nasehat-nasehat di antaranya tentang perintah untuk
selalu menjaga wudhu, selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt,
mengamalkan asmaul husna yang berjumlah 99, mennyayangi fakir miskin,
selalu bersyukur dalam keadaan apapun, selalu bersabar, selalu berhati-hati
dalam bergaul dengan orang (Abi Luthfi Hakim, 23-50).
Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah seorang Imam bermadzhab
Hanbali. Beliau menjadi guru besar mazhab ini pada masa hidupnya. Beliau
adalah seorang alim yang berakidah Ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau
dikenal memiliki banyak karamah. Syekh Abdul Qadir al-Jilani lahir di
desa Jilan yang terletak di kota Thabrastan pada tanggal 1 Ramadhan 470
H (Muchsin Nur Hadi, Al-Lujainy al-Dany)
Zainuddin (2005: 22-25) dalam menulis buku ”Karomah Syaikh Abdul
Qodir Jaelani” menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir Jaelani adalah tokoh
sufi yang memiliki kharisma, pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam,
termasuk di Indonesia, terutama di kalangan persaudaraan tarekat –baik pada
masanya maupun sekarang. Dari kehebatan dan sejumlah karomah yang
7
dimiliki, ia banyak mendapat perhatian dan sanjungan, bahkan sampai pada
pengkultusan.
Tujuan pembacaan manaqib di kalangan Nahdliyin dan kelompok
Ahlussunah wal Jamaah membaca manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani
merupakan tradisi. Dalam kitab manaqib tersebut terdapat banyak hal,
diantaranya, kisah teladan, karomah hingga doa-doa yang cukup makbul.
Sehingga tidak heran jika banyak yang mengamalkannya. Menurut Saifullloh
(2000:23) Penyelenggaraan manaqib yang banyak terjadi di tengah-tengah
masyarakat sekarang ini pada umumnya didasari adanya maksud dan tujuan
tertentu yang beragam, diantaranya adalah :
Mengharap rahmat dari Allah SWT, keberkahan, serta pengampunan
dosa; Ingin tercapai atau terwujudnya insan hamba Allah yang beriman,
bertakwa, beramal sholeh, dan berakhlak yang baik; untuk bertawasul dengan
Syaikh Abdul Qadir Jailani, dengan harapannya agar permohonannya
dikabulkan oleh Allah dan dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah SWT.
Untuk melaksanakan nadzar karena Allah semata, bukan karena maksiat; untuk
memperoleh berkah dari Syaikh Abdul Qadir Jailani; untuk mencintai,
menghormati dan memuliakan para ulama, Auliya’, Syuhada’, dan lain-lain;
serta memuliakan dan mencintai dzurriyah Rasulullah SAW.
Pembacaan manaqib secara rutin ini, selain sebagai bentuk tirakat atau
riyadhoh namun juga sebagai media untuk membentuk akhlaq yang baik dalam
kepribadian santri. Dengan sering membaca, mendengar, dan mencermati
manakib tersebut diharapkan akan membentuk para santri menjadi pribadi
8
Muslim yang berakhlakul karimah, menembus cakrawala taqwallah yang
paripurna.
Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti apakah kajian
dan pembacaan kitab An-Nurul Burhani Juz II berpengaruh terhadap
pembentukan akhlak santri, terutama di Pondok Pesantren Al Muayyad.
Sehingga untuk mengetahui hal tersebut, penulis mengambil judul “Upaya
ustadz dalam pembentukan akhlak santri melalui pembacaan Manaqib Syeh
Abdul Qadir Jailani di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Surakarta”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, untuk memperjalas dan
mempermudah dalam penelitian, maka peneliti mengidentifikasikan masalah
yaitu:
1. Pembacaaan Manaqib Syeh Abdul Qadir Al Jailani merupakan
kegiatan wajib yang diikuti oleh para santri namun masih ada santri
yang tidak mengikuti kegiatan tersebut
2. Pembacaaan Manaqib Syeh Abdul Qadir Al Jailani di gunakan sebagai
cara untuk membentuk akhlak santri namun masih ada santri yang
belem memahami isi dari Manaqib.
3. Pembacaaan Manaqib Syeh Abdul Qadir Al Jailani sebagai cara untuk
melatih disiplin namum masih ada santri yang tidak mematuhi
peraturan Masih banyak santri yang tidak mematuhi peraturan pondok
.
9
C. Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti tidak terlalu luas,
penulis membatasi permaslahan hanya fokus pada “upaya ustdaz dalam
pembentukan akhlak santri melalui pembacaan manaqib Syeh Abdul Qadir Al-
Jailani di pondok pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta Tahun
2016”.
D. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu bagaimanakah upaya ustdaz dalam pembentukan akhlak santri melalui
pembacaan manaqib Syeh Abdul Qadir Al-Jailani di pondok pesantren Al-
Muayyad Mangkuyudan Surakarta Tahun 2016?.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini yaitu
untuk mengetahui upaya ustdaz dalam pembentukan akhlak santri melalui
pembacaan manaqib Syeh Abdul Qadir Al-Jailani di pondok pesantren Al-
Muayyad Mangkuyudan Surakarta Tahun 2016”.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari peneliti dengan penelitian ini
pada dasarnya terbagi pada dua hal: (1) manfaat teoritis, dan (2) manfaat
teoritis.
10
1. Manfaat Teoritis.
a. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya di bidang pendidikan, terutama dalam
wacana pengembangan akhlak anak.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan akan berguna untuk kegiatan
penelitian selanjutnya, dan memberikan landasan/data awal bagi
penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi Lembaga Pendidikan:
Terutama pondok pesantren, penelitian ini dapat dijadikan
bahan refrensi bagi ustadz untuk membina dan mendidik santri
sehingga dapat memaksimalkan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Bagi Pendidik:
Dapat menjadi refrensi bagi ustadz, dalam membimbing dan
mendidik anak yang beriman dan beramal shaleh dalam kehidupan
sosial di sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
c. Bagi anak didik:
Dapat memberikan gambaran pentingnya memiliki akhlak
yang baik agar terwujud pribadi yang berakhlak mulia, kreatif, dan
religius.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pembentukan Akhlak
a. Pengertian Akhlak
Menurut pendekatan etimologi (Zahruddin AR,
2004:1).Perkataan "akhlak" berasal daribahasa Arab jama' dari bentuk
mufradnya "khuluqun" ( خلق ) yangmenurut logat diartikan: budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut
mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan "khalqun" ( خلق )
yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan "khaliq" ( خالق )
yang berarti pencipta dan "makhluq" ( مخلوق) yang berarti yang
diciptakan.
Definisi akhlak di atas muncul sebagai mediator yang
menjembatani komunikasi antara khaliq (pencipta) dengan makhluq
(yang diciptakan) secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai
hablum min Allah. Dari produk hamlum min Allah yang verbal biasanya
lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan
hablum minannas (pola hubungan antar sesama makhluk) (Zahruddin
AR, 2004 : 2).
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa akhlak ialah sifat-
sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan
12
selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, disebut
akhlak yang mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang
tercelasesuai dengan pembinaannya.
Akhlak menurut imam Al-Ghozali "Akhlak ialah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkanmacam-macam perbuatan
dengan gampangdan mudah, tanpamemerlukan pemikiran dan
pertimbangan".
Jadi pada hakikatnya khuluk (budi pekerti) atau akhlak
ialahkondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi
kepribadianhingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan
dengan cara spontandan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pikiran. Apabila darikondisi tadi timbul kelakuan yang
baik dan terpuji menurut pandangansyariat dan akal pikiran. Maka ia
dinamakan budi pekerti mulia dansebaliknya apabila yang lahir
kelakuan yang buruk, maka disebut budipekerti yang tercela.
b. Pembentukan Akhlak
Pembentukan akhlak menurut Al Ghozali dapat ditempuh dengan cara
pembiasaan sejak kecil secara kontinyu. Tetapi dapat juga melalui dengan cara
paksaan sehingga lama kelamaan menjadi suatu perbuatan menjadi kebiasaan
dan akhirnya menjadi akhlak (Imam Al-Ghozali, 1988: 53). Kiat yang paling
baik dalam menanamkan akhlak terutama kepada anak, masih menurut Al
Ghozali, adalah dengan cara memberika keteladanan.
Sedangkan menurut Ibnu Sina, jika seseorang menghendaki dirinya
berakhlak mulia, hendaklah dia terlebih dahulu mengetahui kekurangan dan
cacat yang ada dalam dirinya. Dia juga harus berhatihati untuk tidak berbuat
kasalahan sehingga kecacatannya tidak muncul dalam kenyataannya. Namun
13
menurut para psikolog, kejiwaan manusia berbeda-beda menurut tingkat usia.
Untuk itu, cara paling efektif untuk melakukan pembinan akhlak adalah
dengan memperhatikan faktor kejiwaan seseorang. Menurut Azizi (2003:
146), pembiasaan merupakan proses pendidikan. Pendidikan yang instant
berarti melupakan dan meniadakan pembiasaan. Tradisi dan bahkan juga
karakter (prilaku) dapat diciptakan melalui latian dan pembiasan. Ketika suatu
praktek sudah terbiasa dilakukan, berkat pembiasaan ini, maka akan menjadi
habit bagi yang melakukanya, kemudian akan menjadi ketagihan, dan pada
waktunya akan menjadi tradisi yang sulit untuk ditinggalkan. Hal ini berlaku
untuk hampir semua hal, meliputi nilai-nilai yang buruk maupun yang baik..
Pada awalnya, demi pembiasaan suatu perbuatan perlu dipaksakan,
sedikit demi sedikit kemudian menjadi kebiasaan. Berikutnya kalau aktifitas
itu sudah menjadi kebiasaan, ia akan menjadi habit, yaitu kebiasaan yang
sudah dengan sendirinya, dan bahkan sulit untuk dihindari. Ketika menjadi
habit ia akan selalu menjadi aktifitas rutin (Azizi (2003: 147). Kebiasaan
menurut Zubair adalah ulangan perbuatan yang sama (Zubair, 1995: 63).
Sedangkan menurut Sholihin dan Anwar kebiasaan adalah perbuatan yang
diulang-ulang sehingga mudah mengerjakannya.
Semua aliran akhlak mengatakan bahwa kebiasaan yang baik harus
dibina, dipelihara, dan dikembangkan, sedangkan kebiasaan yang buruk harus
ditinggalkan. Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang sangat penting
dalam membentuk dan membina akhlak (Sholihin, 2005: 117). Dengan
demikian jelas bahwa implementasi niali-nilai akhlak mulia, etika dan norma-
norma haruslah diadakan pembiasaan, tidak cukup hanya menghafal
14
rangkaian pasal atau ungkapan mengenai nilai akhlak mulia, etika dan
moral.
Konsekuensi riil dari pembiasaan ini adalah, bahwa sekolah harus
mewujudkan praktek pembiasaan ini, baik untuk hal-hal yang berkaitan
dengan ritual (seperti sholat jama'ah, sholat sunat, tadarus, dan sebagainya),
praktek etika social, nilai-nilai, seperti kebersihan, kedisiplinan,
perlakuan menghormati sesama, saling membantu, kedermawanan, menulis,
membaca, rajin, melakukan ekperimen, dan lain-lain. Sebaiknya perlu ada
keseimbangan antara keharusan (kewajiban) yang diterapkan di sekolah dan
rangsangan atau dorongan dengan hadiah bagi yang menjalankan. Pendekatan
atau cara yang dapat mewujudkan kesenangan (joy) untuk dijalankan oleh
anak didik sangat diperlukan sehingga mereka menjalankannya tidak semata-
mata karena terpaksa. Sebelum menjadi sesuatu yang disenangi, dalam
rangka pembiasan itu kepala sekolah perlu membuat aturan atau ketentuan
untuk praktek keseharian, meskipun tidak secara tegas masuk dalam
kurikulum. Jadi dengan demikian, pembiasaan harus tetap dilakuan, meskipun
berawal dari paksaan, oleh karena dipaksa oleh guru atau oleh aturan. Di
samping itu upaya pendekatan yang menyenangkan harus tetap pula di
ujicobakan.
c. Tujuan Pembentukan Akhlak
Islam adalah agama rahmat bagi umat manusia. Ia datang
dengan membawa kebenaran dari Allah SWT dan dengan tujuan ingin
menyelamatkan dan memberikan kebahagiaan hidup kepada manusia
dimanapun mereka berada. Agama Islam mengajarkan kebaikan,
kebaktian, mencegah manusia dari tindakan onar dan maksiat(Hasan
15
Basri 2004:145). Sebelum merumuskan tujuan pembentukan akhlak,
terlebih dahulu harus kita ketahui mangenai tujuan pendidikan islam