1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus segera diselesaikan. Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret 2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau 11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak 17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008), yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin. Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian
30
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80467/potongan/S2... · budaya, agama, dan karakteristik ... Dari beberapa contoh gerakan pemberdayaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan
dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum
yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak
ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus
segera diselesaikan.
Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret
2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau
11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak
17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan
jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program
pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat
pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan
bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal
penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program
tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih
cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan
hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga
mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah
tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008),
yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin.
Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi
pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian
2
berkembang dan memiliki spesifikasi lain, yaitu: komunikasi pemberdayaan
(Communication for Empowerment/ C4E), juga disinyalir bertolak dari
pemahaman bahwa diantara pondasi keberhasilan agenda pembangunan atau
pemberdayaan adalah dikarenakan keberhasilan penerapan komunikasi yang tepat
dan partisipasi aktif didalamnya. Maka komunikasi dianggap sebagai elemen
penting dalam pembangunan, yang tidak dapat dipisahkan dari agenda
pembangunan atau pemberdayaan itu sendiri.
Selain program pemberdayaan yang digulirkan oleh pemerintah di setiap
negara, keberadaan LSM-LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang familiar juga
disebut NGO (Non- Government Organization) yang bergerak di bidang
pemberdayaan masyarakat ikut membantu dalam usaha pembangunan negeri ini,
sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia di negara-negara berkembang
lainnya.
Bahkan, aktivis - aktivis sosial yang bergerak secara individu dan
independen, tanpa membawa embel-embel lembaga juga bermunculan dari masa
ke masa, penuh sukarela membawa misi sosial yang juga bertujuan pemberdayaan
masyarakat sebagai sumbangsih bagi pembangunan negerinya dengan ragam
landasan motivasi serta profesi masing-masing tanpa adanya latar belakang
akademik kesejahteraan sosial sebagaimana pada umumnya para pekerja sosial.
Meski tak banyak, tapi berbagai aksi heroik berbasis tokoh peorangan ini
juga telah menyumbangkan bantuan yang sangat berarti bagi pembangunan
masyarakatnya. Dengan pengalaman mereka secara langsung di masyarakat dan
kekhasan ideologi yang mereka anut tentunya menjadikan mereka memiliki pola
penerapan komunikasi yang berbeda yang akan menarik untuk diteliti lebih
mendalam sebagai tambahan kekayaan intelektual di bidang komunikasi
pemberdayaan (C4E) dan dimungkinkan ditemukannya solusi-solusi praktis
dalam menangani permasalahan komunikasi khususnya dalam komunikasi
pembangunan.
3
Sebut saja, Mahatma Ghandi di India dengan prinsip satya graha
(penegakan kebenaran) dan ahimsa (tanpa kekerasan) nya yang mendunia,
Ariyaratne dengan gerakan Sarvodaya Shramadana (gerakan kemandirian) di
Srilanka, belum lagi Paulo Freire dengan konsep liberasi (teologi pembebasan)
berbasis gerakan conscientization (penyadaran) nya di Brazil, dan lain sebagainya.
Mereka mampu memulai program-program pemberdayaan masyarakat dari diri
mereka sendiri, tentunya dengan penerapan komunikasi yang khas.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dengan kemajemukan suku,
budaya, agama, dan karakteristik penduduknya, dengan posisi sebagai negara
berkembang yang populasinya terbesar kelima di dunia mencapai 237.641.326
jiwa menurut sensus penduduk terakhir, tahun 2010 (Data BPS Pusat), tentunya
diikuti permasalahan pembangunan yang juga kompleks. Diperlukan sekali
adanya terobosan-terobosan baru dan ragam solusi yang praktis dan jitu dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Penulis melihat, masih jarang pembahasan
tentang pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh terutama dengan perspektif
komunikasi. Dari beberapa contoh gerakan pemberdayaan berbasis tokoh di atas,
diasumsikan sangat menarik untuk dipelajari, sehingga dapat membawa kesegaran
bagi perspektif komunikasi pembangunan, utamanya komunikasi pemberdayaan.
Di Indonesia, keberadaan tokoh-tokoh aktivis individu ini masih dapat dihitung
dengan jari.
Achmad Nuril Mahyudin, adalah salah satu aktivis sosial Indonesia, yang
bergerak secara independen di bidang pemberdayaan masyarakat, berbasis
individu. Nuril, demikian dia biasa dipanggil, telah menekuni aktivitas sosial ini
selama 25 tahun (1989 – 2014); sebuah kurun waktu yang cukup panjang.
Hal yang tidak biasa bahwa sebagian besar dari dana kegiatan sosial
adalah dari kantongnya sendiri; 99% dari hasil penjualan lukisan dan tas
produksinya dengan brand “reptile®” dan “Amphibi®”, hasil penjualan karya
lukisnya, sementara sisanya dari bantuan insidentil perorangan maupun institusi.
Diluar masalah pendanaan, dia juga terlibat langsung dalam proses pengerjaan,
4
pembelanjaan, pendokumentasian, pengontrolan dan pengevaluasian program,
bersama dengan anggota masyarakat yang dia libatkan untuk dikaderkan.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang individu yang bersifat
institusional; karena dia berperan sebagai lembaga pemrakarsa, penyedia dan
penggalang dana, pembimbing program, pelaksana dan komunikator sekaligus.
Tentunya penelitian ini, menitikberatkan perannya sebagai aktivis sosial yang juga
berkapasitas sebagai komunikator pemberdayaan masyarakat.
Jenis aktivitas sosialnyapun sangat variatif, meliputi hampir semua kisi-
kisi utama kebutuhan masyarakat, diantaranya seperti: perawatan kesehatan,
pembangunan madrasah, pembelajaran sholat dan pembagian alat sholat,
pembagian tas dan alat tulis, pelestarian sepeda onthel, cagar gembala dan
sebagainya; meski menetapkan prioritas pada pengadaan sarana air bersih dengan
target 1000 sumur dan MCK di pelosok. Ketekunannya di dalam perjuangan
sosial telah juga menuai apresiasi melalui peliputan di berbagai media cetak
maupun elektronik dan penghargaan nasional, diantaranya yang terakhir adalah
sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2014 versi MNC TV.
Salah satu fakta komunikasi unik yang ditemukan, berdasarkan observasi
pra-penelitian di wilayah aktivitas sosialnya, dia memilih untuk menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya dengan masyarakat pelosok
Ngawi yang notabene orang Jawa, meskipun dia seorang Jawa yang dapat
berbahasa Jawa secara aktif. Meskipun demikian, dia terlihat sangat dekat dengan
masyarakat binaannya.1
Anehnya, dia memilih memfokuskan kegiatan sosialnya di titik – titik
pelosok Ngawi, yang bukan wilayahnya sendiri: Lamongan, tempat dia
dibesarkan, ataupun Pamulang Tangerang Selatan, tempat dia membuka usaha
produksi tasnya, sebagai seorang pengusaha dan galeri lukisnya sebagai seorang
seniman.
1Observasi pra-penelitian di Dusun Kebon Waru Pandean Ngawi, 13 Desember 2013
5
Pada dasarnya, aktivitas Nuril bukan hanya bergerak di pedusunan di
Kabupaten Ngawi saja, tetapi juga di berbagai kantong-kantong kemiskinan di
beberapa wilayah di pulau Jawa. Namun dia memilih pedusunan pelosok yang
terletak di berbagai pedesaan Ngawi selama 10 tahun terakhir, dan khususnya di
Desa Pandean, Karang Anyar Ngawi sebagai pilot projectnya, secara intensif
selama 8 tahun terakhir, dikarenakan tingginya tingkat kemiskinan dan
keterbelakangan di daerah tersebut yang telah menghinggapi penduduk di wilayah
tersebut selama puluhan tahun, secara turun temurun, dilengkapi dengan sangat
minimnya bantuan dari pemerintah yang sampai kesana.
Pedusunan yang berada di Pandean Ngawi, sekitar 35% wilayahnya
merupakan hutan, perkebunan, dan persawahan dan terletak berbatasan dengan
Jawa Tengah, mesti dicapai dengan melalui jalanan bebatuan nan terjal, ataupun
disebrangi dengan sampan, di seberang aliran Sungai Bengawan Solo.
Indikasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dapat ditengarai dengan
jelas adalah aliran listrik yang sangat terbatas, buruknya sarana transportasi
berupa jalanan terjal tak beraspal yang bahkan membuat tetangga desa
sekitarnyapun enggan untuk datang kesana. Terlebih sarana air bersih yang sangat
minim terutama di musim kemarau. Mengambil air bermil-mil jauhnya dari
sumber air, ketiadaan kamar mandi yang layak, sehingga mandi di ruang terbuka
merupakan hal yang terpaksa dianggap lumrah oleh penduduk setempat. Profesi
sebagai petani dengan penghasilan minim dan rendahnya tingkat pendidikan juga
merupakan bentuk lain gambaran dari keterbelakangan mereka. Disanalah Nuril
memprioritaskan aktivitas pemberdayaan masyarakatnya pada pembangunan
sumur dan MCK yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka berikut
ragam aktivitas pemberdayaan lainnya. Atas dasar ini juga, peneliti menjadikan
Pandean Ngawi sebagai obyek penelitian ini.
Berawal dari satu aktivitas tersebut, Nuril melayani segala macam
kebutuhan masyarakat lainnya sebagai individu yang bergerak layaknya sebuah
6
institusi profesional: menginisiasi program, mendanainya sendiri, kemudian
mengimplementasikannya langsung bersama masyarakat lapisan bawah.
Aktivitas sosialnya tidak hanya beragam jenis programnya, namun juga
beragam jangkauannya, meliputi segala lapisan usia. Laki-laki, perempuan, tua,
muda, dari anak-anak hingga kakek nenek, berada dalam target pemberdayaannya.
Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa Nuril tentunya menggunakan
strategi yang variatif dan spesifik dalam berkomunikasi dengan seluruh pihak
dalam aktivitas sosialnya tidak hanya dalam penyampaian pesan
pemberdayaannya; namun juga dalam rangka mencapai tujuan program
komunikasi pemberdayaan yang diharapkan, yang tentunya menarik untuk diteliti
lebih lanjut sebagai prototype aktivis sosial di Indonesia.
Indonesia dengan kekhasan masyarakat, corak budaya yang beragam,
falsafah berfikirnya dengan latar religiusitas yang cukup kuat, tentunya tidak serta
merta mudah untuk menerapkan dan mengadopsi mentah-mentah model-model
komunikasi pemberdayaan yang sudah ada, baik yang bersumber dari penelitian
di negara-negara berkembang lainnya ataupun yang berbasis penelitian
komunikasi pembangunan berperspektif negara-negara maju yang dilakukan oleh
berbagai NGO internasional yang bergerak dibidang komunikasi pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, kerangka kerja (framework)
yang telah disusun oleh akademisi berdasarkan penelitian dan penerapan praktisi
di lapangan yang dibawahi oleh lembaga-lembaga tersebut, tentunya sangat
diperlukan sebagai batu pijakan yang kuat dalam menemukan hasil-hasil
penelitian yang menarik yang berbasis lokal dan independen.
Sebagaimana konsep tentang CNA (Communication Needs analysis),
yaitu: analisa kebutuhan-kebutuhan komunikasi secara umum dalam program
pembangunan, yang digunakan untuk memahami dan menganalisa isu-isu
komunikasi yang terdapat dalam program tersebut yang menjadi pintu masuk
dalam pembahasan tentang komunikasi pembangunan secara komprehensif
7
sebelum menuju tahapan berikutnya, seperti pendesainan strategi komunikasi,
implementasi program, yang disertai dengan penerapan monitoring dan evaluasi
(Monev). Belum lagi praktek pemberdayaan sebagai pendekatan komunikasi
pembangunan dengan perspektif yang khas seperti perspektif etik dan perspektif
teologi pembebasan yang diajukan oleh dua pakar komunikasi pembangunan
negara-negara berkembang, Melkote dan Steeves.
Kaitannya dengan hal diatas, pada observasi pra-penelitian, peneliti
mensinyalir ada sesuatu yang baru diluar mainstream yang ada tentang penerapan
komunikasi yang unik yang dikembangkan oleh Achmad Nuril Mahyudin dalam
aktivitasnya memberdayakan masyarakat yang lebih bercorak Indonesia dan dapat
menghantarkan pada penerapan komunikasi pemberdayaan berbasis local wisdom
(kearifan lokal). Maka, perlu diteliti, bagaimana komunikasi diterapkan dalam
pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen, khususnya sebagai praktisi
komunikasi pemberdayaan di lapangan, yang akan dibingkai dengan penerapan
CNA, berdasarkan perspektif khas yang dijadikan dasar pijakan tokoh aktivis
sosial tersebut. Diharapkan, dari penelitian ini, akan dapat menjadi panduan
(guidance) serta inspirasi bagi tokoh-tokoh independen lainnya yang akan ataupun
telah menekuni aktivitas sosial dimanapun berada, khususnya di Indonesia.
Terutama dalam memahami serta menangani permasalahan-permasalahan
komunikasi yang terjadi di lapangan, demi tercapainya tujuan pemberdayaan
masyarakat, dan pembangunan negeri ini dikemudian hari, ataupun dalam konteks
yang lebih luas di dunia.
Intensitas yang tinggi dan jam terbang Nuril yang cukup lama, sekitar 25
tahun dalam aktivitas sosial, menurut penulis, menjadikannya layak dijadikan
acuan dalam memahami seluk beluk komunikasi pemberdayaan masyarakat.
Meski sepak terjangnya dalam aktivitas sosial sudah beberapa kali diliput, baik
oleh media cetak maupun media televisi, namun belum ada yang meneliti dan
menyorot secara khusus tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui
komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh aktivis sosial Indonesia,
8
Achmad Nuril Mahyudin di desa Pandean, Karang Anyar Ngawi. Maka peneliti
melihat pentingnya diteliti tema tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini,
peneliti hendak menjawab rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah komunikasi pemberdayaan masyarakat diterapkan
oleh aktivis sosial Achmad Nuril Mahyudin di Pandean Ngawi?”
Dan rumusan masalah tersebut akan dibantu dengan menjawab pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah CNA (Communication Needs Assessment) diterapkan dalam
komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen?
a. Apa saja program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh tokoh
aktivis sosial?
b. Bagaimanakah pendesainan stategi komunikasi dalam komunikasi
pemberdayaan tersebut diaplikasikan?
1) Apa sajakah tujuan pemberdayaannya?
2) Siapa sajakah sasaran pemberdayaannya?
3) Bagaimanakah pendekatan komunikasinya?
4) Apa saja saluran dan atau media komunikasi yang dipilih?
5) Apa saja hambatan komunikasinya?
c. Bagaimanakah monitoring dan evaluasi (Monev) yang
diselenggarakan dalam komunikasi pemberdayaan tersebut?
9
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan tipologi komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat
berbasis tokoh independen.
2. Menemukan kekhasan fenomena komunikasi pemberdayaan masyarakat
berbasis tokoh beserta dinamika masalah dan solusi komunikasi yang
menyertainya.
3. Memahami tahapan-tahapan komunikasi pemberdayaan masyarakat yang
diinisiasi oleh aktivis sosial independen.
4. Mengkaji evaluasi kualitatif terhadap kualitas dan keberhasilan komunikasi
pemberdayaan masyarakat dalam perspektif dan pandangan stakeholder,
terutama respon masyarakat yang diberdayakan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi personil maupun institusi
khususnya di lembaga penelitian, perguruan tinggi, pustaka keilmuan, lembaga
pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi sosial dan
kemasyarakatan formal maupun informal, di tingkat desa hingga tingkat nasional
bahkan internasional, baik manfaat secara teoritis, praktis, maupun metodologis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan landasan teoritis dalam mendapatkan
pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang kajian komunikasi
pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya yang berbasis tokoh
independen. Sehingga landasan ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam
menentukan kebijakan yang tepat, baik berbentuk undang-undang, kurikulum, visi
10
misi lembaga dan arah komunikasi yang lebih pro pemberdayaan masyarakat di
institusi terkait.
2. Manfaat Praktis
Ditingkat makro, penelitian ini dapat menjadi alternatif model komunikasi
pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen khas Indonesia yang dapat
disandingkan dengan model komunikasi pemberdayaan berbasis tokoh
independen di belahan bumi lainnya. Sehingga dapat menjadi pilihan solusi bagi
masalah-masalah pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat di lembaga
terkait. Karena keberhasilan komunikasi pemberdayaan masyarakat akan
mengarah pada keberhasilan komunikasi pembangunan yang merupakan salah
satu agenda sentral negara manapun di dunia.
Pada tingkatan mikro, penelitian ini dapat menjadi salah satu panduan
(guidance) bagi para pelaku aktivitas sosial lainnya, khususnya kalangan
independen yang tentunya merangkap juga sebagai praktisi komunikasi dalam
menangani masalah-masalah komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sejenis
di lapangan terutama dalam penerapan komunikasi pemberdayaan yang tepat
berikut dengan tahapan-tahapannya, serta dapat melakukan peningkatan-
peningkatan yang signifikan dalam aktivitas sosial yang dilakukannya. Secara
mendetail, para aktivis sosial akan dapat memahami pentingnya CNA dan
bagaimana menerapkannya sebagai basis penerapan proses program
pemberdayaannya. Para aktivis sosial juga dapat menjadikan devcomm
methodological framework contoh nyata tahapan ideal proses pemberdayaan,
mulai dari CBA, desain strategi komunikasi, implementasi program, hingga
Monev, dan bagaimana menyesuaikannya dengan pelaksanaan program yang
digagasnya dengan kekhasannya sendiri dan berdasarkan perspektif nilai yang
dimilikinya.
Penelitian ini juga berguna bagi spesialis komunikasi (communication
specialist) pada umumnya, khususnya para spesialis komunikasi pembangunan
11
(development communication specialists) untuk melakukan tugasnya memahami,
mengawal, dan mengevaluasi pelaksanaan program-program komunikasi
pembangunan ataupun pemberdayaan.
Disamping itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan juga oleh lembaga-
lembaga sosial pemerintahan maupun non pemerintahan, sebagai bahan
pertimbangan pencanangan program pemberdayaan masyarakat berikut penerapan
komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sesuai di Indonesia, khususnya
pemberdayaan masyarakat di pelosok. Secara khusus, lembaga-lembaga terkait
dapat juga menjadikan penelitian ini sebagai contoh evaluasi pembanding
kualitatif dalam mengetahui kedalaman kepercayaan, saling pengertian, situasi
pemberdayaan dan keikutsertaan/ partisipasi masyarakat.
Sebagai tambahan, lembaga-lembaga sosial tersebut, dapat menggunakan
penelitian ini sebagai panduan pengevaluasian kerja spesialis komunikasi yang
bekerja di lembaga tersebut secara kualitatif.
3. Manfaat Metodologis
Secara metodologis, penelitian bergenre kualitatif ini dapat bermanfaat
bagi para peneliti ilmu sosial dan komunikasi pembangunan sebagai penyeimbang
pandangan dan perspektif komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi
pemberdayaan yang selama ini didominasi oleh penelitian kuantitatif.
Penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu batu pijakan, bahan refleksi,
maupun tinjauan pustaka bagi para akademisi dan peneliti dalam pengembangan
penelitian dalam rangka pengayaan ragam komunikasi pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, terlebih yang berbasis tokoh independen, yang masih
terbuka luas untuk diteliti lebih mendalam dari segi-segi lainnya.
12
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dibangun dari kerangka pemikiran dan teoritis tentang
komunikasi pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
E.1. Teori-teori Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Penelitian ini akan didekati dengan 4 macam teori, sebagai berikut:
E.1.1. Komunikasi Pembangunan
Komunikasi Pembangunan hadir sebagai sebuah studi komprehensif yang
secara konseptual bersumber dari teori komunikasi dan teori pembangunan yang
saling menopang dalam rangka mempercepat dan menuntaskan permasalahan
pembangunan. Studi komunikasi pembangunan menjadi kajian populer di negara
dunia ketiga dimana studi ini dalam bingkai teoritis dikembangkan melalui kajian
dan analisis mendalam yang diarahkan pada upaya pencarian konsep atau model
pembangunan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang akan menuntun
jalan bagi munculnya kesadaran baru dengan konsep-konsep yang bersifat
korektif.
Dalam memahami konsep komunikasi pembangunan tidak dapat
dilepaskan dari teori dan paradigma yang mengiringi perkembangan kajian ini.
Paradigma modernisasi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam
pembangunan dengan pendekatan komunikasi yang top-down dan satu arah (one-
way communication), mendewakan kemampuan komunikasi masa dengan teori
difusi inovasinya; terbukti telah gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Dan
disinyalir menjadikan keadaan semakin memburuk dengan dinikmatinya hasil
pembangunan oleh segelintir kelompok elit saja. Kegagalan modernisasi yang
baru saja disebut merupakan bagian dari apa yang dikemukakan oleh teori
dependensi, sebagai kritik kelemahan teori modernisasi yang merupakan wajah
dari paradigma dominan pembangunan. Hadir sebagai paradigma kritis, teori
dependensi menjelaskan bahwa pembangunan dengan paradigma modernisasi
13
menjadikan negara-negara berkembang (dunia ketiga) memiliki ketergantungan
yang kuat terhadap negara-negara maju, sehingga menjadi tidak berdaya dan
semakin terbelakang. Namun sayangnya, teori ini tidak mampu memberikan
solusi untuk mengatasi keadaan yang ada. Paradigma partisipatoris muncul
kemudian, sebagai paradigma alternatif bagi komunikasi pembangunan. Dengan
mengusung pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan
penerapan komunikasi dua arah yang tepat guna, dan penetapan tujuan
pembangunan yang komprehensif yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat
yang menyeluruh, paradigma ini dianggap lebih mampu dan adil dalam mengatasi
permasalahan pembangunan dibandingkan dua paradigma yang hadir sebelumnya
dan mulai diterapkan secara meluas sembari dikembangkan strategi dan tekhnik
praktis yang menyertainya.
Keluar dari perdebatan paradigma tersebut, dalam tataran praktis, studi
komunikasi pembangunan difokuskan untuk mencari strategi, tekhnik dan metode
yang tepat dimana komunikasi ditempatkan sebagai entitas penting bagi proses
pembangunan sebagai bentuk pendekatan antar disiplin untuk menjawab
tantangan dan tuntutan sekaligus memberikan pengaruh yang signifikan pada
pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini dapat dimengerti jika dilihat dari
kompleksitas permasalahan pembangunan seperti: sosial, ekonomi, politik, dan
budaya yang menjadikan pembangunan menjadi sebuah fenomena sosial. Oleh
karenanya, studi komunikasi pembangunan dianggap mampu untuk mengarahkan
perubahan dan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, konsep komunikasi pembangunan merupakan usaha
pemilihan strategi dan model komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan,
mengkaji, dan menjelaskan tentang suatu isu, ide, atau gagasan ideal yang
berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat yang akan
memberikan inspirasi segar dalam penggalian kreativitas, kepentingan, aspirasi,
dan kebutuhan individu, kelompok, dan masyarakat dan diharapkan akan
bermunculan ide, gagasan dan inovasi dari kalangan akar rumput (grassroots)
(Dilla, 2007: 2-4)
14
E.1.2. Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Komunikasi pemberdayaan masyarakat (KPM) merupakan entitas yang
tidak dapat terlepas dari komunikasi pembangunan (KP). KPM merupakan salah
satu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang terpusat
pada manusianya (people-centered), pengoptimalan partisipasi masyarakat, dan
komunikasi dialogis yang berlangsung dua arah.
Kemunculan paradigma partisipatoris, memunculkan varian komunikasi
pembangunan yang beragam. Seperti berkembangnya konsep komunikasi
penunjang pembangunan (Development Support Communication/ DSC) yang lahir
dari semangat pemberdayaan. Dalam pandangan peneliti sendiri, sebagaimana
yang dikemukakan secara implisit oleh Melkote (Melkote & Steeves, 2008: 348-
352), dilihat dari diferensiasi DSC dan karakteristiknya, mempunyai konsep yang
sama dengan komunikasi pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat disebut
sebagai istilah atau nama lain dari komunikasi pemberdayaan itu sendiri. Melkote
mengetengahkan perbedaan yang jelas antara keduanya. Komunikasi
pembangunan dipotret dalam paradigma modernisasinya memiliki struktur
komunikasi yang top-down, memiliki kecenderungan otoriter dengan
hubungannya yang bernuansa subjek-objek. Sementara komunikasi penunjang
pembangunan/ komunikasi pemberdayaan sendiri mengedepankan komunikasi
yang horizontal antar masing-masing individu atau kelompok dalam masyarakat
dengan hubungan yang bernuansa subjek-subjek. Dilihat dari level peranannya,
komunikasi pembangunan berada pada level internasional dan nasional, KPM
sendiri pada level lokal dan akar rumput (grassroots). Komunikasi pembangunan
berfokus pada penggunaan media-media besar seperti TV, radio, surat kabar, dsb
sementara KPM cenderung menggunakan media-media kecil atau menengah,
seperti: video, strip film, media tradisional, komunikasi interpersonal dan
kelompok. Pembangunan regional dan nasional, peningkatan masyarakat,
perubahan sosial terutama di bidang ekonomi merupakan tujuan utama dari
komunikasi pembangunan. Sementara KPM menjadikan pemberdayaan
15
masyarakat, keadilan sosial, pembangunan kapasitas dan kesetaraan sebagai
prioritas dalam tujuannya.
Maka, komunikasi pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai
upaya pembebasan dan pencerahan untuk meningkatkan harkat, martabat, serta
menanamkan jiwa kemandirian masyarakat sehingga seluruh aktivitas
pembangunan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.
E.1.3. Kampanye Sosial
Kampanye menurut Roger dan Storey (1987) adalah serangkaian kegiatan
komunikasi terencana dan berkesinambungan yang bertujuan mencapai hasil atau
efek tertentu pada sejumlah besar khalayak pada periode waktu tertentu.
“A communication campaign (a) intends to achieve specific effects,
(b) in a relatively large number of individuals, (c) within a
specified period of time, and (d) through an organized set of
communication activities” (Rogers & Storey, 1987).
Adapun jenis kampanye dibagi menjadi tiga kategori (Charles U. Larson,