1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat ) dan negara serikat (federal, bonds-staat). 1 Sejarah mencatat berdasarkan perjuangan yang panjang untuk melahirkan negara Indonesia, merupakan suatu proses pengorbanan dari seluruh elemen bangsa yang bersatu dan memiliki rasa nasionalisme tinggi untuk menentang, mengakhiri penjajahan kolonialisme, dan imperealisme. Bangsa ini terlahir dari perbedaan dan perdebatan yang panjang dari para pendiri, namun menghasilkan kesepakatan untuk merdeka dan mendirikan negara Indonesia. Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 yang menghasilkan kesepakatan menjadi Negara Kesatuan nyatanya tidak mudah, pemerintah kolonial kembali mengganggu dengan merubah bentuk negara menjadi Negara Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949. Diketahui Negara Republik Indonesia Serikat berdiri dari 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Haag yang terdiri dari : Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, dan Sembilan satuan kenegaraan yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat merupakan cara Belanda untuk menunjukan kepada dunia bahwa negara Indonesia sudah runtuh, namun faktanya berhubung pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat bukan merupakan kehendak seluruh bangsa Indonesia pada akhirnya para pendiri bangsa bersepakat untuk kembali, dengan cara membubarkan Negara Republik Indonesia Serikat dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang 1 Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L, 2005, Ilmu Negara, Surabaya: Srikandi, hlm. 33.
29
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentuk negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu negara kesatuan
(unitary state, eenheidsstaat) dan negara serikat (federal, bonds-staat).1
Sejarah mencatat berdasarkan perjuangan yang panjang untuk melahirkan
negara Indonesia, merupakan suatu proses pengorbanan dari seluruh elemen
bangsa yang bersatu dan memiliki rasa nasionalisme tinggi untuk menentang,
mengakhiri penjajahan kolonialisme, dan imperealisme. Bangsa ini terlahir
dari perbedaan dan perdebatan yang panjang dari para pendiri, namun
menghasilkan kesepakatan untuk merdeka dan mendirikan negara Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 yang menghasilkan kesepakatan
menjadi Negara Kesatuan nyatanya tidak mudah, pemerintah kolonial kembali
mengganggu dengan merubah bentuk negara menjadi Negara Republik
Indonesia Serikat pada tahun 1949.
Diketahui Negara Republik Indonesia Serikat berdiri dari 27 Desember
1949 sampai 17 Agustus 1950 yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Deen Haag yang terdiri dari : Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara
Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, dan Sembilan
satuan kenegaraan yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan
Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan
Timur. Berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat merupakan cara Belanda
untuk menunjukan kepada dunia bahwa negara Indonesia sudah runtuh, namun
faktanya berhubung pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat bukan
merupakan kehendak seluruh bangsa Indonesia pada akhirnya para pendiri
bangsa bersepakat untuk kembali, dengan cara membubarkan Negara Republik
Indonesia Serikat dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
1 Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L, 2005, Ilmu Negara, Surabaya: Srikandi, hlm. 33.
2
dan berkedudukan di Yogyakarta sebagai Ibukota.2 Bubarnya Negara Republik
Indonesia Serikat dan kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini didasari atas pertimbangan bahwa negara kesatuan
adalah bentuk negara yang paling representatif dan dipandang paling terbaik
untuk mewadahi persatuan bangsa yang begitu majemuk.
Negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentu memiliki suatu
konstitusi, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”,
sebagai negara kesatuan dan memiliki konstitusi yang jelas tentu kewajiban
negara adalah memperkuat bentuk negara, cara memperkuat bentuk negara
tersebut dinyatakan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 37 ayat (5) bahwa
“Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan”. Hal ini jelas dimaksudkan untuk mengaktualisasikan
tujuan nasional yang tertuang pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejateraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Negara kesatuan (unitary state) memiliki dua sistem yaitu:
sistem sentralisasi (unitary state by centralization) dan sistem desentralisasi
(unitary state by decentralization). Dijelaskan untuk negara kesatuan dengan
sistem sentralisasi, semua urusan pemerintahan menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. Pada negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi diketahui sebagian urusan pemerintah
yang bersifat tidak pokok diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah otonom, serta urusan pemerintahan yang bersifat pokok tetap menjadi
wewenang pemerintah pusat.
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi memiliki lima macam
varian model yaitu : a. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang
2 Rozali Abdullah, 2003, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 45.
3
sentralistik; b. Negara kesatuan sistem desentralisasi yang desentralistik; c.
Negara kesatuan sistem desentralisasi yang proporsional; d. Negara kesatuan
sistem desentralisasi yang federalistik; dan e. Negara kesatuan sistem
desentralisasi yang konfederalistik.3 Pertama, negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi yang sentralistik yaitu negara kesatuan yang pemerintah
pusatnya mempunyai kewenangan lebih besar dari pada pemerintah daerah
seperti negara kesatuan Perancis. C.F Strong mengatakan, France.. is a highly
centralized states is which very little responsibility is thrown upon local
authorities.4 Kedua, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang
desentralistik adalah negara kesatuan, dimana pemerintah daerahnya
mempunyai kewenangan lebih besar dari pada pemerintah pusat misalnya
negara kesatuan Inggris. C.F. Strong mengatakan, Great Britain for example,
is a localized state because local government play a large part in the political
life of the community.5 Ketiga, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
yang proporsional yakni negara kesatuan, dimana pemerintah pusat dan
pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang seimbang misalnya negara
kesatuan Belanda. Keempat, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang
federalistik yakni negara kesatuan yang bercirikan negara federal karena
mengadopsi asas desentralisasi dengan titik berat pada otonomi daerah,
mengadopsi asas dekonsentrasi sangat terbatas, dan mengadopsi asas federasi
dari negara serikat dalam penyelenggaraan negara kesatuan misalnya NKRI
ketika berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Kelima, negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang konfederalistik
yakni negara kesatuan yang bersifat konfederalistik karena mengadopsi asas
desentralisasi dengan penekanan pada otonomi daerah, mengadopsi asas
dekonsentrasi sangat terbatas, namun contohnya hingga saat ini belum ada.
3 Astin Riyanto, 2006, Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bandung: Disertasi Universitas Padjajaran, hlm. 73. 4 C.F. Strong, 1966, Modern Political Constitution; An Introduction to the Comparatif Study of Their History and Existing Form, London: Sidwick & Jackson Limited, hlm. 64. 5 Ibid., hlm. 64.
4
Dari lima macam varian model diatas, ternyata Indonesia pernah menggunakan
desentralisasi federalistik yang dijalankan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999
dan UU Nomor 32 Tahun 2004.6
Setelah diputuskannya bentuk negara adalah negara kesatuan, maka
amanat selanjutnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Bab I Bentuk dan Kedaulatan menyatakan pada Pasal 1 ayat (3) bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal ini merupakan landasan
konstitusional yang begitu kuat dan menjelaskan bahwa Indonesia adalah
negara yang berdiri diatas landasan hukum, dimana hukum diposisikan sebagai
aturan tunggal dalam menjalani kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.7 Menurut Julius Strahl sarjana Hukum Tata Negara dari Jerman, ciri
sebuah negara hukum, yaitu : a. Adanya perlindungan terhadap hak asasi
manusia; b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigsheid van bestuur); d.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).8
Upaya menerjemahkan ciri sebuah negara hukum, maka negara
Indonesia pasca reformasi menguatkan sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power).
Prinsip pembagian kekuasaan merupakan konsistensi atas penerapan prinsip
Negara hukum Indonesia diatur sepenuhnya dalam UUD 1945. Penerapan
pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri menjadi dua bagian yaitu,
pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara
vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan
menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif, dan yudikatif),
sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan pembagian
6 Mahmuzar, 2020, Model Negara Kesatuan Republik Indonesia di Era Reformasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50, No. 2, hlm. 313. 7 Muhamad Junaidi, 2016, Ilmu Negara Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum, Malang: Setara Pres, hlm. IX. 8 Akil Moctar, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, hlm. 18.
5
kekuasaan menurut tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Memperbincangkan hubungan pusat dan daerah dalam bingkai negara
kesatuan sangat menarik untuk dibahas secara mendalam. Masalah yang timbul
dalam praktiknya yaitu mengenai tarik menarik kepentingan jelas merupakan
hal yang tidak dapat dihindarkan. Untuk negara kesatuan, upaya pemerintah
pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan
sangat jelas. Kelaziman negara yang berbentuk kesatuan pemegang otoritas
pemerintahan adalah pusat dan kewenangan yang diberikan oleh pusat kepada
daerah sangat terbatas.9 Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai
konsekuensi dari diterapkannya asas desentralisasi otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pemerintah pusat menyerahkan
sebagaian wewenang pemerintahan kepada pemerintahan daerah otonom
(provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, sebagaimana
dibunyikan dalam UUD NRI 1945 pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18
dan selanjutnya diatur lebih detail di dalam undang-undang.
Sepanjang Indonesia merdeka sejak tahun 1945-2015 telah diberlakukan
delapan undang-undang otonomi daerah. Adapun undangundang otonomi
daerah yang pernah berlaku di Indonesia adalah : a. Undang- Undang RI
Nomor 1 Tahun 1945; b. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1948; c.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1957; d. Undang-Undang RI Nomor 18
Tahun 1965; e. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1974; f. Undang-Undang
RI Nomor 22 Tahun 1999; g. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004; h.
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014.10 Diketahui bahwa Undang-
Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 masih berlaku dan sudah melakukan dua
kali perubahan.
9 Ni’matul Huda, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusamedia, hlm. 1. 10 Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2008, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 207- 209.
6
Kebijakan pemerintah yang telah memberikan tugas pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah merupakan amanat Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana dilakukan pembaharuan pada Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tujuan
mempercepat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
telah memberikan kewenangan, namun begitu terbatas dan terlihat tidak mudah
bagi pemerintah untuk merelakan kekuasaan “devolusi” kepada daerah.11
Otonomi daerah dapat dikatakan sebagai sebuah instrument untuk memelihara
negara kesatuan untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran, kesejahteraan,
dan keadilan di berbagai bidang.12
Kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah
menjadi satu keinginan kuat dari masyarakat untuk membentuk daerah otonom
baru di Provinsi Banten yaitu terbentuknya Kota Serang yang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di
Provinsi Banten, dengan tujuan untuk memacu perkembangan dan kemajuan
Provinsi Banten pada umumnya dan Kabupaten Serang pada khususnya, serta
adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, perlu dilakukan
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
dan diharapkan akan dapat mendorong peningkatan pelayanan dalam bidang
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta dapat memberikan
kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.13
Kota Serang memiliki luas wilayah 266,74 km2 yang terdiri dari 6
Kecamatan yaitu : Kecamatan Serang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan
11 Achmad Fauzi, 2019, Otonomi Daerah Dalam Kerangka Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Baik, Jurnal Spektrum Hukum, Vol. 16, No.1, hlm 121. 12 Danetta Leoni, 2020, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren, Vol. 5, No. 20, hlm. 22. 13 Unsur Menimbang UU Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang.
7
Kasemen, Kecamatan Taktatakan, Kecamatan Curug, dan Kecamatan
Walantaka serta memiliki 67 Kelurahan.14 Kota Serang memiliki peranan yang
fundamental, selain merupakan pusat pemerintahan Provinsi Banten, jarak dari
Kota Jakarta yang hanya sekitar 70 km, menjadikan Kota Serang sebagai
daerah alternatif dan penyangga (hinterland) Ibukota Negara dan memiliki
posisi strategis untuk menunjang pertumbuhan perekonomian yang didukung
oleh infrastruktur perhubungan darat yaitu terbentangnya Jalan Tol Jakarta-
Merak dengan dua pintu keluar di bagian timur dan barat Kota Serang, serta
berbatasan langsung dengan padatnya lalu lintas laut jawa dapat dimanfaatkan
bagi kepentingan daerah. Berdasarkan RTRW Nasional dan RTRW Provinsi
Banten, wilayah Kota Serang merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Kota Serang sebagai daerah otonom memiliki kewenanganberdasarkan
Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang disebut dengan urusan pemerintahan konkuren dimana
defisininya adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Urusan pemerintahan konkuren berdasarkan Pasal 11 ayat (1)
dijelaskan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3) yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan
wajib dan urusan pemerintahan pilihan serta dijelaskan pula dalam Pasal 11
ayat (2) urusan pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Diketahui untuk urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar
diantaranya :15 a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan umum dan penataan
ruang; d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. Ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. Sosial. Urusan yang
tidak berkaitan dengan pelayanan dasar diantaranya :16 a. Tenaga kerja; b.
Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. Pangan; d. Pertanahan; e.
14 RPJMD Kota Serang, 2020, hlm. II-1. 15 Pasal 12 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 16 Pasal 12 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
8
Lingkungan hidup; f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g.
Pemberdayaan masyarakat dan desa; h. Pengendalian penduduk dan keluarga
berencana; i. Perhubungan; j. Komunikasi dan informatika; k. Koperasi, usaha
kecil, dan menengah; l. Penanaman modal; m. Kepemudaan dan olah raga; n.
Statistik; o. Persandian; p. Kebudayaan; q. Perpustakaan; dan r. Kearsipan.
Sedangkan urusan pilihan diantaranya :17 a. Kelautan dan perikanan; b.
Pariwisata; c. Pertanian; d. Kehutanan; e. Energi dan sumber daya mineral; f.
Perdagangan; g. Perindustrian; dan h. Transmigrasi.
Kewenangan yang telah diberikan untuk Kota Serang berdasarkan
undang-undang sekaligus sebagai daerah berstatus Ibukota Provinsi Banten
ternyata belum terlihat kemajuannya dan belum begitu membanggakan, hal ini
diamini oleh Hasan Basri selaku Wakil Ketua DPRD Kota Serang 2019-2024
yang mengatakan “Memang belum ideal untuk disebut menjadi Ibukota
Provinsi Banten, bahkan menyebutkan kalau daerahnya ini masih belum
sepadan jika harus dibandingkan dengan daerah ibukota provinsi lain di
Indonesia”.18 Tentunya ini perlu adanya evaluasi dalam penyelenggaraan di
pemerintahan Kota Serang yang merupakan ibukota provinsi, seyogyanya
menjadi etalase kota yang harus berbenah diri dari berbagai aspek. Hal ini
begitu sangat penting dikarenakan berdasarakan sumber informasi, bahwa
Gubernur Banten mengaku malu mendengar keluhan kalau ibukota Provinsi
Papua lebih baik ketimbang ibukota Provinsi Banten.19
Secara garis besar permalahan pokok di Kota Serang menurut penulis
dibagi menjadi empat pokok permasalahan yaitu : a. Belum optimalnya kondisi
dan ketersediaan infrastruktur wilayah; b. Belum optimalnya inovasi dan
rendahnya daya saing perekonomian daerah; c. Belum optimalnya
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan; dan d. Belum optimalnya kualitas
sumber daya manusia khsususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan
17 Pasal 12 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 18 Website: https://www.republika.co.id/berita/q2e19d430/kota-serang-dinilai-belum-layak-jadiibu-kota-provinsi, diakses 14 Maret 2021 Jam 14.20 Wib. 19 Website: https://www.republika.co.id/berita/q54lww377/kota-tak-ideal-pemkot-
serangsalahkan-provinsi-banten, diakses 05 Juni 2021 Jam 17.50 Wib.
sosial di Kota Serang. Diketahui penulis akan menjelaskan point a hingga c
secara umum, kemudian untuk point d, penulis akan menjelaskan secara
mendalam. Untuk itu diperlukan dukungan dan sinergitas antara pemerintah
dengan pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak lain yang terlibat dalam
membantu penyelenggaraan pemerintahan di Kota Serang berdasarkan urusan
konkuren. Penelitian menggunakan teknik purposive sampling yang membahas
khusus bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang, sehingga data
yang dimiliki nantinya akan lebih valid dan harapannya kedepan harus lebih
dioptimalkan mengenai status sebagai Ibukota Provinsi Banten. Berdasarkan
hal tersebut, penulis terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan
judul “PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM
URUSAN KONKUREN BIDANG PELAYANAN DASAR (STUDI
KASUS DI KOTA SERANG)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimana implementasi dari penyelenggaraan urusan konkuren bersifat
wajib dalam pelayanan dasar khusus bidang pendidikan, kesehatan, dan
sosial di Kota Serang ?
b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi implementasi penyelenggaraan
urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam tesis ini sebagai berikut :
a. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa implementasi
dari penyelenggaraan urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan
dasar khusus bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang;
b. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permasalahan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi dari
10
penyelenggaraan urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar
khusus bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis yang penulis uraikan sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Pengembangan ilmu pengetahuan dan arsip kepustakaan khususnya
dibidang HAN/HTN yaitu hukum pemerintahan daerah dan umumnya
dalam kajian ilmu hukum;
b. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman bagi
penulis, pembaca, dan pemerintah daerah, serta memberikan jawaban
secara komprehensif atas permasalahan mengenai penyelenggaraan
urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang.
2. Secara Praktis
a. Memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi untuk bidang
HAN/HTN spesifik hukum pemerintahan daerah dan khususnya bagi
Kota Serang, sehingga kedepan pembangunan di daerah memiliki arah
yang lebih efektif dan efisien;
b. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan menjadi evaluasi bagi
pemerintah daerah atas permasalahan mengenai penyelenggaraan
urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang.
E. Landasan Teori
1. Teori Negara Kesatuan
Negara adalah tanda kehidupan sepanjang sejarah manusia yang
begitu dinamis. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang
paling sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Teori
mengenai susunan organisasi negara yang selama berabad-abad dipahami
11
terdiri atas tiga kemungkinan bentuk, yaitu negara kesatuan (unitary state
atau eenheidsstaat), negara serikat atau federal (bondstaat), dan negara
konfederasi (confederation).20 Kemudian berkembang di zaman sekarang
bentuk negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu negara kesatuan (unitary
state, eenheidsstaat) dan negara serikat (federal, bonds-staat) saja.21
Pasca kemerdekaan Indonesia para founding fathers memperdebatkan
tentang bentuk negara, dimana muncul dua pilihan utama terkait bentuk
negara yaitu kesatuan dan federal. Beberapa tokoh seperti Ir. Soekarno, Mr.
Soepomo, Moh. Yamin, dan lainnya lebih memilih negara yang integralistik
atau negara kesatuan. Sedangkan Moh. Hatta berbeda pandangan, beliau
lebih menyetujui bentuk negara federal. Hatta menyatakan bahwa Indonesia
terdiri dari masyarakat yang majemuk, sehingga membutuhkan bentuk
negara federal bagi Indonesia untuk mempersatukan segenap bangsa
Indonesia dan tumpah darah Indonesia.22 Dijelaskan dalam bentuk negara
federal atau negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara
yang semula berdiri sendiri-sendiri dan kemudian negara-negara tersebut
mengadakan ikatan kerjasama yang efektif. Disamping itu, negara-negara
tersebut masih ingin mempunyai wewenang-wewenang yang dapat diurus
sendiri. Jadi disini tidak semua urusan diserahkan kepada pemerintah
gabungannya (pemerintah federal), tetapi masih ada beberapa urusan yang
diserahkan oleh pemerintah negara-negara bagian kepada pemerintah
federal, yaitu urusan-urusan yangmenyangkut kepentingan bersama
misalnya urusan keuangan, pertahanan, angkatan bersenjata, hubungan luar
negeri, dan sebagainya.23
20 Jimly Asshiddiqie, 2016, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, hlm. 6. 21 Sri Nur Hari, 2019, Desentralisasi Asismetris dalam Konteks Negara Kesatuan, Jurnal Administrative & Law Governance Vol. 2 No. 4, November, hlm. 633. 22 Mahmuzar, Model Negara Kesatuan Republik Indonesia di Era Reformasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 50, No. 2, 2020, hlm. 303. 23 Indah Sari, 2015, Federal Versus Kesatuan: Sebuah Proses Pencarian Terhadap Bentuk Negara Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara Vol. 5 No. 2 Maret, hlm. 45.
12
Negara federal ditandai oleh fakta bahwa negara bagian memiliki
suatu derajat otonomi konstitusional, yaitu bahwa organ legislatif dari
masing-masing negara bagian berkompeten dalam masalah-masalah
menyangkut konstitusi dari masyarakat ini, sehingga perubahan-perubahan
dalam konstitusi dari negara-negara bagian dapat dilakukan melalui undang-
undang dari negara-negara bagian itu sendiri. Otonomi konstitusional dari
negara-negara bagian ini terikat oleh prinsip-prinsip konstitusional tertentu
dari konstitusi federasi misalnya, menurut konstitusi federal, negara-negara
bagian dapat diwajibkan untuk mempunyai Konsitusi Republik-
Demokratis.24 C.F. Strong menyatakan bahwa terdapat tiga ciri dari negara
federal yaitu : a. Adanya supermasi daripada konstitusi di mana federal itu
terwujud; b. Adanya pembagian kekuasaan antara negara-negara federal
dengan negara-negara bagian; dan c. Adanya satu lembaga yang diberi
wewenang untuk menyelesaikan suatu perselisihan antara pemerintah
federal dengan pemerintah negara-negara bagian.25
Selanjutnya adalah negara kesatuan, menurut CF. Strong negara
kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintah pusat.
Hakikat negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi,
atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak
terbatas karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan
pembuat undang undang selain badan pembuat undang-undang pusat.26
Terdapat dua sifat penting negara kesatuan menurut CF. Strong, yaitu : a.
Supremasi parlemen pusat dan b. Tidak adanya badan berdaulat tambahan.27
Negara kesatuan ditinjau dari segi susunannya bersifat tunggal, maksudnya
negara kesatuan ini tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya
24 Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari buku General Theory Of Law and State diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, hlm. 449. 25 C. F. Strong, 1960, Modern Political Constitution, An Introduction to Comparative Study of their History and Excisting From, London: Sidwich and Jackson Ltd, hlm. 100. 26 Strong, C.F, 2004, Modern Political Constitustions: An Introduction to the Comparative study of Their History and Existing Form edisi bahasa Indonesia, Bandung: Nuansa dan Nusa Media, hlm. 115. 27 Ibid., hlm. 87.
13
terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara.
Dijelaskan bahwa dalam negara kesatuan telah diatur sebagaimana
ketentuannya hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan, dan
melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah yang
menyatakan bergabung dalam negara kesatuan.28
Diketahui negara kesatuan memiliki dua sistem: system sentralisasi
(unitary state by centralization) dan sistem desentralisasi (unitary state by
decentralization). Dalam hal ini akan ditekankan pada negara kesatuan
sistem desentralisasi, sebagaimana menurut C.F. Strong mengemukakan
tiga ciri negara kesatuan yang desentralistis, sebagai berikut :29
a. Adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pusat dalam negara kesatuan hanya ada satu lembaga
legislatif atau pembentuk undang-undang yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat. Dewan ini mempunyai
supremasi dalam menjalankan fungsi perundang-undangan
(regelgeving), sehingga produk yang dibuatnya merupakan
produksi hukum yang berderajat lebih tinggi dibanding
dengan produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah;30
b. Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Ciri ini
menegaskan bahwa dalam negara kesatuan tidak ada
lembaga lain yang memegang kedaulatan selain dewan
perwakilan rakyat yang berkedudukan di pusat. Daerah
hanya menjalankan kewenangan yang diberikan oleh pusat;
c. Kekuasaan tertinggi ada di Pemerintah Pusat. Negara
kesatuan yang didesentralisasikan, meskipun kekuasaan
pemerintah dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah
namun keputusan terakhir tetap berada di pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan hanya ada satu, ialah pemerintah
pusat. Pemerintah daerah dibentuk hanya untuk
memudahkan dan mengoptimalkan pelaksanaan urusan
28 Soehino, 2002, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, hlm. 224. 29 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Jakarta: UNISKA, hlm. 3, dalam Ni'matul Huda, Ibid..., hlm. 8. 30 Adnan Buyung Nasution, 2007, Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, hlm.131, dalam Ni'matul Huda, Ibid..., hlm. 9.
14
pemerintah yang ada di daerah agar lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat daerah.
Negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat menyatakan dalam
konstitusinya adalah Negara Kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), dalam
perjalananya mengenai perdebatan bentuk negara baru bisa menemui titik
terang ketika diperdebatan masa sidang kedua (10 17 Juli 1945) BPUPKI.
Atas usul Ir. Soekarno menawarkan menawarkan kepada anggota Panitia
Perancang untuk dilakukan pemungutan suara yang menghasilkan suara
yang menyetujui negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) sebanyak 17
orang, sedangkan yang setuju dengan negara serikat (federal, bonds-staat)
hanya 2 orang.31 Dengan hasil kesepakatan suara terbanyak menyetujui
negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) dan atas hal tersebut
Indonesia resmi menjadi negara kesatuan. Mengenai termenologi kesatuan
dalam negara kesatuan diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa istilah
kesatuan yang bersifat persatuan itu harus dikembalikan kepada bunyi
rumusan sila ketiga dalam Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia bukan
Kesatuan Indonesia yang dimana menurut jimly, persatuan istilah filsafat
dan prinsip bernegara, sedangkan kesatuan adalah istilah bentuk negara
yang bersifat teknis dan telah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1)
yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”. Negara kesatuan merupakan konsepsi tentang bentuk negara dan
republik adalah konsepsi mengenai bentuk pemerintahan yang dipilih dan
telah ditetapkan pada UUD 1945.32
2. Teori Desentralisasi
Ide dasar kelahiran desentralisasi tidak dapat dipisahkan dari gerakan
demokratisasi di berbagai belahan dunia. Desentralisasi menjadi pusat
perhatian pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika Inggris dan Perancis
31 Kusuma RM. A.B, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 25. 32 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 213.
15
mempersiapkan kemerdekaan bagi negeri-negeri jajahannya dengan
memberikan devolusi tanggungjawab pengelolaan program tertentu. Hal ini
terus berlangsung sehingga mulai periode 1980-an desentralisasi menjadi
agenda global dalam pembangunan negara maju dan berkembang, seiring
dengan menguatnya isu good governance. Good governance menuntut
keterlibatan seluruh elemen masyarakat dan hanya bisa diwujudkan
manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah. Pemerintah yang
lebih dekat dengan rakyat akan mampu mengenali kebutuhan, masalah,
harapan, dan kepentingannya.
Desentralisasi sebenarnya dapat diartikan sebagai pengalihan
tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya dari pemerintahan
pusat ke pemerintah daerah.33 Di kalangan ahli hukum Indonesia, definisi
desentralisasi beragam. Menurut RDH Koesoemahatmadja, secara harfiah
kata desentralisasi berasal dari dua penggalan kata bahasa latin yakni : de
yang berarti lepas, dan centrum yang berarti pusat. Arti harfiah dari
desentralisasi adalah menjauh dari pusat. Dalam makna ketatanegaraan,
desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada
daerah-daerah. desentralisasi merupakan staatkundige decentralisatie
(desentralisasi ketatanegaraan atau lebih sering disebut dengan
menjadi tiga macam, yaitu : desentralisasi politik, fungsional, dan
kebudayaan.35 Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat, menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga
sendiri untuk badan-badan politik di daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam
daerah tertentu. Desentralisasi fungsionil adalah pemberian hak dan
33 Sukarna Wiranta, 2013, Keuangan Daerah dan Pelayanan Publik Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, hlm. 5. 34 RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Bina Cipta, Bandung. 1979. Dikutip kembali oleh M. Laica Marzuki Dalam Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum. Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006, hlm. 151. Kemudian dikutip kembali Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah... Op.Cit., hlm. 33. 35 Amrah Muslimin, 1986, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, hlm. 5
16
kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau
golongan kepentingan pada masyarakat, baik terikat ataupun tidak.
Desentralisasi kebudayaan memberikan hak pada golongan-golongan kecil
dalam masyarakat (minoritas) menyelenggarakan kebudayannya sendiri
(mengatur pendidikan, agama, dll). Kemudian definisi desentralisasi
menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah penyerahan Urusan
Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan
Asas Otonomi. Diketahui bahwa desentralisasi menghasilkan pemerintahan
lokal, disana terjadi “...a superior government-one encompassing a large
jurisdiction-assigns responsibility, authority, or function to lower‟
govenment unit-one cencompassing a smaller jurisdiction-that is assumed
to have some degree of authonomy.”.36 Adanya pembagian kewenangan
serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan
yang diberikan kepada unit pemerintahan pemerintah lokal atau daerah,
merupakan perbedaan terpenting antara konsep desentralisasi dan
sentralisasi. Beberapa faktor yang melatarbelakangi perlunya desentralisasi
khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia muncul dari
dua segi yaitu dari dalam dan dari luar negara yang dapat dirangkum sebagai
berikut :37
a. Untuk mempercepat terwujudnya keadilan yang merata dan
mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin serta
memperluas partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
pembangunan;
b. Untuk mengintegrasikan daerah-daerah yang beragam kondisi
sosial ekonominya, pengembangan sumber daya dalam rangka
mengatasi persoalan kemiskinan di daerah;
c. Desentralisasi merupakan strategi untuk mendemokratisasikan
sistem politik, sedangkan otonomi daerah merupakan bentuk
pemerintahan yang akan datang;
d. Tidak ada pemerintah dari negara yang luas akan mampu
secara efektif membuat public policies disegala bidang
36 Bagir Manan, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 29. 37 Yusril Yunus, 2006, Desentralisasi dalam Kerangka Demokratisasi dan Good Governance, Jurnal
Demokrasi, Vol. V, No. 1, hlm. 82.
17
ataupun mampu melaksanakan public policies secara efisien
di seluruh wilayah negara tersebut;
e. Derajat otonomi daerah tidak tergantung pada bentuk negara
melainkan tergantung pada pola pemerintahan yang dianut
negara tersebut.
Perwujudan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
merupakan penerapan konsep areal division of power yang membagi
kekuasaan suatu negara secara vertical menjadi kekuasaan pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah. Pengejawantahan desentralisasi yaitu
otonomi daerah dan daerah otonom, baik itu dalam definisi daerah otonom
maupun otonomi daerah yang mengandung elemen wewenang mengatur
dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Menurut Syaukani
pada dasarnya tujuan penyelenggaraan desentralisasi antara lain :38 a. Dalam
rangka peningkatan efisien dan efektifitas penyelenggaraan sebagai wahana
pendidikan politik masyarakat di daerah; b. Untuk mewujudkan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan; c. Berguna memberikan peluang
bagi masyarakat untuk membentuk karir; d. Sebagai wahana yang
diperlukan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan
dan pelaksanaan pemerintah.; e. Sebagai sarana yang diperlukan untuk
mempercepat pembangunan di daerah. Kelebihan desentralisasi menurut
Josef Riwu Kaho sebagai berikut :39 a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan
di pusat pemerintahan; b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang
membutuhkan tindakan cepat, daerah tidak perlumenunggu instruksi lagi
dari pemerintah pusat; c. Dapat mengurangi birokasi dalam arti buruk
karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; d. Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat; dan e. Dapat
memberikan kepuasan bagi daerah karena sifatnya lebih langsung.
Kelemahan desentralisasi menurut Josef Riwu Kaho sebagai berikut:40 a.
38 Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryas Rasyid, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 7-8. 39 Krishna D. Darumurti S.H. Umbu Rauta, 2000, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 12-13. 40 Ibid., hlm. 12-13.
18
Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintah
bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi; b. Keseimbangan dan
keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih
mudah terganggu; c. Dapat mendorong timbulnya fanatisme daerah; d.
Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama; dan e. Diperlukan
biaya yang lebih banyak.
Menurut Osborne dan Gaebler, dilihat dari pelaksanaan fungsi
pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu idealnya menunjukkan :41 a.
Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi
berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat; b. Satuan-satuan
desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien; c.
Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif; d.Satuan-satuan desentralisasi
mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih
tinggi dan lebih produktif. Berdasarkan pada pandangan Osborne dan
Gaebler tersebut, aspek fleksibilitas, efektifitas dan efisiensi menjadi ukuran
ideal pelaksanaan otonomi, sehingga pembagian urusan pemerintahan
konkuren antar tingkat pemerintahan daerah harus dilakukan dengan sangat
hati-hati dan mempertimbangkan aspek-aspek fleksibilitas, efektifitas dan
efisiensi. Desentralisasi yang telah berjalan semenjak tahun 2001 diakui
telah banyak memberikan banyak perubahan dan kemajuan di setiap daerah.
Dalam beberapa tahun terakhir daerah-daerah telah banyak belajar untuk
mengelola dan menjalankan urusan pemerintahannya sendiri. Harus diakui
menjalankan desentralisasi bukan pekerjaan yang mudah, sehingga
desentralisasi di Indonesia begitu sering mengalami pasang suru karena
mengalami berbagai kendala yang harus dihadapi oleh setia pemerintah
daerah yang memiliki keterbatasan dan minimnya potensi daerah sehingga
kadangkala sering tidak sejalan dengan tujuan pemerintah.
41 David Osborne-Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government, New York: A Plume Book, hlm. 252. dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah: Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, cet-3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm. 89
19
3. Kewenangan Pemerintah Daerah
Menurut F.P.C.L. Tonnaer “Overheidsbevoegdheid wordt in dit
verband opgevat als het vermogen im positief recht vast te stellen en Aldus
rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te
scheppen” (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat
diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negara).42 Ibrahim, dalam tulisannya yang berjudul “Penggunaan
Wewenang Menurut Hukum” menjelaskan bahwa kewenangan adalah
kekuasaan hukum untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup
menjalankan kewajiban publik. Wewenang dalam konsep hukum
menjelaskan bahwa ada tiga komponen kewenangan yaitu : pengaruh, dasar
hukum, dan konformitas hukum, yang dimana komponen pengaruh ialah
penggunaan wewenang dimaksud untuk mengendalikan perilaku subjek
hukum. Komponen hukum ialah wewenang itu harus selalu dapat ditunjuk
dasar hukumnya, sedangkan komponen konformitas mengandung makna
adanya standar wewenang yaitu standar umum dan standar khusus.43
Jika dicermati dari konsep otonomi daerah, wewenang yang ada pada
pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri
adalah merupakan wewenang delegasi, dalam hal ini Plilipus M. Hadjon
menyatakan otonomi daerah pada dasarnya adalah wewenang delegasi.
Secara teoritis dalam penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada
pemerintah daerah dikenal sebagai sistem rumah tangga daerah. Sistem
rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara
membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur, mengurus
urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.44 Menurut Bagir Manan,
wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
42 Ridwan Hr, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo, hlm. 101. 43 Ibrahim, 2011, Penggunaan Wewenang Menurut Hukum, Yogyakarta: Liberty Press, hlm. 10. 44 Philipus Hadjon M. dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Cetakan IX, Gajah Mada University Press, hlm. 79.
20
Dalam hukum wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en
plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola
sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.
Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu
tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.45
Upaya menerjemahkan ciri sebuah negara hukum maka negara
Indonesia pasca reformasi menguatkan sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power).
Prinsip pembagian kekuasaan yang merupakan konsistensi dari penerapan
prinsip Negara hukum Indonesia diatur sepenuhnya dalam UUD 1945.
Penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian, yaitu
pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara
vertikal. Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya pemisahan kekuasaan dan
pembagian kekuasaan itu sama-sama merupakan konsep mengenai
pemisahan kekuasaan (separation of power) yang secara akademis
dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian
luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) itu juga mencakup
pengertian pembagan kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division
of power. Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan kekuasaan
yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat
vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam
beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga
negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan dalam
konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power)
kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan atas-bawah.46
45 Ibid., hlm. 102. 46 Subardjo, 2008, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Yogyakarta: Disertasi Pasca Sarjana UII, hlm. 98.
21
Kewenangan diberikan secara atribusi kepada pemerintah daerah
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Bagian Ketiga urusan
konkuren Pasal 11 dan 12. Urusan pemerintahan kokuren merupakan salah
satu unsur dari klasifikasi urusan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Definisi tentang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren adalah urusan
pemerintahan diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
sepenuhnya pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.47
Urusan pemerintah konkuren merupakan landasan hukum pelaksanaan
otonomi daerah dan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
pusat dan daerah yaitu provinsi, kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan
dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan,
lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan, dan sebagainya. Urusan
pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang
menjadi kekhasan daerah.48 Pemahaman kekuasaan dalam aspek hukum,
dimaknai sebagai sebuah wewenang, tetapi kekuasaan dalam pengertian ini
bukanlah suatu kekuasaaan yang dapat berdiri sendiri, melainkan
keberadaan kekuasaan tidak dapat dipisah dari lembaganya. Oleh karena itu,
kekuasaan dalam arti wewenang dikatakan sebagai suatu kekuasaan yang
telah dilembagakan.49
4. Teori Efektivitas Hukum
47 PP Nomor 38 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (3) penjelasan. 48 PP Nomor 38 Tahun 2007 Bagian Umum. 49 Jeddawi Murtir H., 2011, Negara Hukum Good Governance dan Korupsi di Daerah, Yogyakarta: Total Media, hlm. 5.
22
Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan
atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu
tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait
yaitu : karakteristik atau dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.50
Efektivitas hukum adalah suatu kemampuan hukum untuk menciptakan atau
melahirkan keadaan atau situasi yang dikehendaki oleh hukum atau
diharapkan oleh hukum.51
Suatu produk hukum dikatakan efektif apabila produk hukum tersebut
telah dilakukan atau dilaksanakan dalam praktiknya. Seperti Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
merupakan produk hukum yang begitu dinamis dan begitu berdampak bagi
sistem pemerintahan daerah. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono
Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh
5 (lima) faktor, yaitu :52 a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang); b.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; dan e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa. Kelima faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain, oleh karena merupakan esensi
penegakan hukum serta merupakan tolok ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.
Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak
langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara untuk
memengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan
50 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana ctk Ketiga, Bandung: Citra Aditya, hlm. 67. 51 W. Yudho dan H. Tjandrasari, 1987, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Majalah Hukum dan pembangunan, UI Press, hlm. 59. 52 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 8.
23
terlebih dahulu dinamakan social engineering atau social planning.53 Agar
hukum benar-benar dapat memengaruhi perlakuan masyarakat, maka
hukum harus disebarluaskan, sehingga melembaga dalam masyarakat.
Adanya alat-alat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat bagi
penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat
dilakukan secara formal yaitu, melalui suatu tata cara yang terorganisasi
dengan resmi. Dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa suatu sikap
tindak perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap, tindakan atau
perilaku lain menuju pada tujuan yang dikehendaki, artinya apabila pihak
lain tersebut mematuhi hukum.54 Undang-undang dapat menjadi efektif jika
peranan yang dilakukan pejabat penegak hukum semakin mendekati apa
yang diharapkan oleh undangundang dan sebaliknya menjadi tidak efektif
jika peranan yang dilakukan oleh penegak hukum jauh dari apa yang
diharapkan undang-undang.55
Efektivitas hukum menurut Atho Mudzhar yang merupakan salah satu
cendekiawan muslim Indonesia. Atho Mudzhar mengutarakan beberapa hal
yang dibutuhkan untuk menunjang efektivitas suatu aturan, yaitu sebagai
berikut :
1. Attribute of Authority;
Untuk berjalan secara efektif hukum harus diterbitkan oleh pihak
atau lembaga yang memiliki kewenangan di dalam masyarakat.
Peraturan yang dibuat bukan oleh lembaga atau pejabat dapat
dibatalkan atau batal demi hukum. Putusan-putusan tersebut
ditujukan untuk mengatasi dan mengatur masyarakat.56 Masing
masing lembaga, baik institusi negara maupun organisasi
53 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 115. 54 Ibid., hlm. 115 55 Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 9. 56 Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 258.
24
masyarakat memiliki kewenangan sendiri, yang mana pada
penerapannya pun berlaku pada lingkup masing-masing.
2. Attribute of Universal Application;
Aturan hukum harus memiliki keluasan dan berdaya jangkau
untuk masa depan. Oleh karenanya, setiap peraturan yang dibuat
hendaknya memerhatikan faktor filosofis, yuridis, maupun
sosiologis. Dengan demikian, aturan tersebut mencakup semua
segmentasi yang dituju, artinya peraturan tidak boleh hanya
berlaku bagi kalangan tertentu saja, hal tersebut membuat aturan
tidak berjalan efektif karena menimbulkan kecemburuan sosial
dan bertentangan dengan prinsip bahwa semuanya adalah sama di
hadapan hukum.
3. Attribute of Obligation;
Dalam sebuah aturan haruslah jelas apa perintahnya, berupa
perintah atau larangan. Hal tersebut merupakan salah satu
substansi sebuah peraturan. Peraturan yang menimbulkan
ambiguitas dalam instruksi hanya akan memunculkan
kebingungan dalam penerapan dan pelaksanaannya sehingga
tidak bisa berjalan secara efektif.
4. Attribute of Sunction.
Hal yang tidak kalah penting adalah sanksi daripada sebuah
aturan. Sanksi tersebut dibuat agar tata tertib dalam masyarakat
tetap terpelihara, namun dalam kenyataan tidaklah semua orang
mau menaati kaidah-kaidah hukum itu. Peran sanksi dalam suatu
aturan atau hukum adalah sebagi unsur penguatan yang memaksa
supaya orang menaatinya.57 Sebagai cendekiawan muslim, Atho
Mudzhar juga berbicara tentang fatwa yang merupakan salah satu
produk hukum Islam di kalangan masyarakat. Menurutnya, suatu
fatwa tidak terlepas dari faktor faktor sosial-politik yang
57 Atho Mudzhar, 2015, Konstruksi Fatwa dalam Islam, Jakarta: Peradilan Agama Edisi 7 Tahun, hlm. 144.
25
berkembang di masyarakat. Fatwa adalah nasihat agama hasil
ijtihad yang disampaikan kepada umat atas kebutuhan umat itu
sendiri. Menurut Atho, fatwa berbeda dengan putusan, karena
fatwa sifatnya tidak mengikat dalam arti bahwa peminta nasihat
tidak wajib mengikuti fatwa tersebut.58
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini
menggunakan tipologi penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis
sosiologis melalui pendekatan perundang-undangan dengan spesifikasi sifat
penelitian deskrisptif analitis berdasarkan data kualitatif. Untuk menjelaskan
metode penelitian tersebut, penulis menguraikannya sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penulisan tesis
ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis sosiologis.
Pendekatan yuridis normatif mengacu kepada perundang-undangan yang
berlaku, praktik administrasi, yurisprudensi, serta norma-norma hukum
yang ada dalam masyarakat. Pendekatan yuridis empiris atau sosiologi
hukum adalah pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan berdasarkan
hukum positif terhadap masyarakat.59
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian deskriptif analitis,
meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna suatu aturan
hukum yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian permasalahan huku
yang menjadi objek kajian.60 Penelitian ini akan memberikan gambaran
atas pelaksanaan undang-undang dan melakukan analisis atas identifikasi
58 d., 114. 59 Suratman dan Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, hlm. 38. 60 Zainuddin Ali, M, 2013, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 107.
26
permasalahan antara implementasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
baik itu yang memperkuat, mendorong, maupun yang menghambat dan
memperlemah penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam urusan
konkuren bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian Kepustakaan
Yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti
data dari kepustakaan yang bersumber dari peraturan-
perundangundangan, buku, jurnal, disertasi, tesis, media masa/online,
dan dokumen resmi lainnya.
b. Penelitian Lapangan
1) Observasi
Merupakan pengamatan langsung terhadap tempat yang
menjadi objek penelitian yang berada di Pusat Pemerintahan
Kota Serang yang dimana studi ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dari hasil observasi.
2) Wawancara
Wawancara diperlukan bertujuan untuk memperoleh
informasi atau data secara langsung terhadap para pihak yang
terkait dengan penelitian penulis.61 Pihak-pihak yang dimaksud
adalah Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial,
yang menggunakan sampel data purposive sampling yaitu
sampel yang diambil dari hal yang paling mengetahui tentang
masalah yang akan diteliti.
4. Sumber Data
Data yang digunakan dalam tesis ini terdiri dari :
a. Data Primer
61 Cholid Narbuka dan Abu Ahmadi, 2007, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hlm.
83.
27
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
melalui observasi yang dilakukan di Pusat Pemerintahan Kota Serang.
b. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, buku, jurnal, disertasi, tesis, medi masa/online,
dan dokumen resmi lainnya. Data sekunder dibagi menjadi :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu, bahan-bahan yang mengikat
terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan peraturan-
perundangundangan lainnya yang terkait.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum
termasuk, tesis, disertasi hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Bahan-
bahan hukum tersebut memiliki kegunaan untuk memberikan
kepada peneliti semacam petunjuk khususnya tentang
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan urusan
konkuren.
5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan tesis ini bertempat di Pusat
Pemerintahan Kota Serang.
28
6. Analisis Data
Data yang sudah berhasil dikumpulkan, selanjutnya penulis olah
berdasarkan analisis kualitatif normatif dengan definisi analisis data
kualitatif, upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan data yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dari dokumen tersebut, dan memutuskan
apa yang dapat disampaikan kepada orang lain, karena proses analisis data
dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber
yang sesuai dengan penelitian.62 Penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling karena lebih terarah dan lebih mengetahui tentang
masalah yang akan diteliti.63 Penelitian membahas khusus bidang
pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang dengan teknik purposive
sampling, dimana data yang dimiliki nantinya akan lebih valid
dikarenakan telah mewawancarai Pimpinan Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan, dan Dinas Sosial, ditambah dengan pengambilan sumber data
dari dinas tersebut yang telah diolah dan ditampilkan. Diketahui bahwa
dengan teknik purposive sampling dirasa tidak perlu lagi menggunakan
teknik snowball sampling dikarenakan data yang telah didapatkan begitu
valid tanpa harus mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai
sumber data untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Penulis juga
menggunakan pendekatan matriks Strengths (Kekuatan), Weakness
(Kelemahan), Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman).
Selanjutnya dilakukan pengeditan secukupnya untuk mengetahui apakah
data tersebut sudah benar-benar lengkap atau masih ada kekurangan yang
harus disempurnakan, sehingga nantinya dapat dipertanggungjawabkan.
62 Lexy J. Moleong, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 248. 63 Sugiyono, 2014, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, hlm. 218.
29
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis yang penulis susun sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Penulis menguraikan Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Landasan Teori,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI
Penulis akan menguraikan mengenai teori yang berkaitan dengan
penelitian yaitu Teori Negara Kesatuan, Teori Desentralisasi,
Kewenangan Pemerintahan Daerah, dan Teori Efektivitas
Hukum.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas metodelogi penelitian dalam menjelaskan
tentang : Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Urusan
Konkuren Bidang Pelayanan Dasar (Studi Kasus di Kota Serang).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penulis membahas tentang implementasi dari penyelenggaraan
urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus
bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang dan
faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi penyelenggaraan
urusan konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus
bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Kota Serang.
BAB V PENUTUP
Penulis membuat simpulan dan saran sebagai jawaban atas
identifikasi masalah dan rekomendasi yang dianggap perlu,
nantinya berguna bagi perkembangan Ilmu Hukum (Hukum
Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara) serta menjadi
bahan masukan/evaluasi mengenai permasalahan tentang urusan
konkuren bersifat wajib dalam pelayanan dasar khusus bidang