Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak sehingga tidak heran jika beragam karakteristik kebudayaan ada di kota tersebut. Banyak mahasiswa pendatang untuk menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di Yogyakarta sehingga disebut sebagai Kota Pelajar. Dengan banyaknya mahasiswa yang datang menyebabkan banyak investor yang tertarik untuk datang dan membuka usaha di Yogyakarta dengan sasaran mahasiswa. Sehingga banyak dibuka berbagai macam bidang usaha yang sasaran utamanya untuk remaja khususnya mahasiswa, misalnya mall, apartemen mahasiswa, kos-kosan eksklusif, restoran fast food, café, butik, dan sebagainya. Bermacam kegiatan pun dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya yang bertujuan untuk menyenangkan hasrat konsumsinya. Misalnya nongkrong di café, wisata kuliner di tempat mahal, belanja baju di mall, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri arus modernisasi telah membawa banyak perubahan di kehidupan kota Yogyakarta, khususnya bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di kota tersebut. Keberadaan kelas menengah dalam hal ini mahasiswa tidak hanya dapat dilihat dari segi ekonomi saja namun dari segi kultural dapat dilihat bahwa gaya hidup kelas menengah juga menarik untuk dikaji. Gaya hidup kelas menengah identic dengan budaya mengisi waktu senggang (leisure time) seperti berbelanja, wisata, dan fashion yang merepresentasikan bagaimana cara mereka menghabiskan waktu luang. Gaya
26

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

Mar 18, 2019

Download

Documents

HoàngTử
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak

sehingga tidak heran jika beragam karakteristik kebudayaan ada di kota tersebut. Banyak

mahasiswa pendatang untuk menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di

Yogyakarta sehingga disebut sebagai Kota Pelajar. Dengan banyaknya mahasiswa yang

datang menyebabkan banyak investor yang tertarik untuk datang dan membuka usaha di

Yogyakarta dengan sasaran mahasiswa. Sehingga banyak dibuka berbagai macam

bidang usaha yang sasaran utamanya untuk remaja khususnya mahasiswa, misalnya

mall, apartemen mahasiswa, kos-kosan eksklusif, restoran fast food, café, butik, dan

sebagainya. Bermacam kegiatan pun dilakukan mereka untuk mengisi waktu luangnya

yang bertujuan untuk menyenangkan hasrat konsumsinya. Misalnya nongkrong di café,

wisata kuliner di tempat mahal, belanja baju di mall, dan sebagainya. Tidak bisa

dipungkiri arus modernisasi telah membawa banyak perubahan di kehidupan kota

Yogyakarta, khususnya bagi mahasiswa yang menuntut ilmu di kota tersebut.

Keberadaan kelas menengah dalam hal ini mahasiswa tidak hanya dapat dilihat

dari segi ekonomi saja namun dari segi kultural dapat dilihat bahwa gaya hidup kelas

menengah juga menarik untuk dikaji. Gaya hidup kelas menengah identic dengan

budaya mengisi waktu senggang (leisure time) seperti berbelanja, wisata, dan fashion

yang merepresentasikan bagaimana cara mereka menghabiskan waktu luang. Gaya

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

2

hidup sebagai pola hidup sehari-hari pada kelas menengah perkotaan berbeda

dengan kelas menengah di pedesaan karena adanya perbedaan sarana dan prasarana

sehingga juga mempengaruhi aktivitas dan konsumsi dalam masyarakatnya. Gaya hidup

menjadi cara bagi kelas menengah untuk memisahkan dirinya atau menciptakan jarak

dengan kelas di bawahnya dalam suatu masyarakat. Kelas menengah mengonstruksikan

suatu tingkatan dengan menciptakan gaya hidup modern melalui berbagai cara, di

antaranya yaitu melalui konsumsi. Dengan mengkonsumsi nilai prestise seseorang dapat

menunjukkan nilai sosial, status sosial, serta kekuasaan pada suatu objek yang

dikonsumsi sehingga menyebabkan stratifikasi sosial. Gaya hidup tidak sebatas sebagai

penanda identitas diri tapi juga untuk membangun identitas kolektif sebagai anggota

kelas menengah. Produksi identitas kolektif dilakukan melalui gaya hidup dan

keanggotaan dari suatu kelompok kelas diekspresikan melalui presentasi gaya hidup

tertentu (Gerke, 2000 : 146-151). Gaya hidup juga merupakan pilihan atau orientasi

individual namun tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.

Kelompok atau komunitas berperan dalam penanaman nilai terhadap individu dalam

membentuk perilaku. Oleh karena itu identitas individu dapat terbentuk salah satunya

melalui interaksi yang terjadi antar sesama anggota di dalam kelompok tersebut. Dalam

pembentukan kelas, produksi gaya hidup tidak lagi tentang masalah personal melainkan

berhubungan dengan ikatan sosial kelompok yang bertujuan membangun identitas

kolektif suatu kelas.

Pada era globalisasi ini, konsumerisme secara cepat merambah pada segala aspek

kehidupan, mulai dari gaya hidup seperti pilihan fashion yang digunakan, hiburan waktu

luang, tempat tinggal, jenis makanan, tempat makan, dan lain sebagainya. Individu ingin

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

3

dilihat oleh orang lain sehingga dapat dikategorikan dalam sebuah kelas sosial yang

lebih baik atau dikatakan mereka lebih maju dan berada di posisi atas. Barang atau objek

yang dikonsumsi dapat berfungsi sebagai penyatu mereka yang memiliki kemampuan

konsumsi serupa sekaligus sebagai pembeda dengan orang kebanyakan (yang memiliki

kemampuan konsumsi berbeda). Objek yang dikonsumsi tentunya merupakan objek

yang lekat dengan nilai eksklusivitas sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya.

Roach dan Eicher (1979) menyatakan bahwa fashion juga secara simbolis dapat

mengikat satu komunitas, kesepakatan sosial dalam suatu kelompok atas apa yang akan

dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri yang pada gilirannya akan memperkuat

ikatan sosial lainnya.

Salah satu hal yang menarik terkait dengan fashion dan kini sedang in di

masyarakat yaitu fenomena hijab. Hijab atau jilbab menjadi salah satu trend yang kini

sangat diminati oleh kaum perempuan muslim. Hijab yang dimaksud disini adalah jilbab

atau penutup kepala yang biasanya dipakai oleh kaum perempuan muslim. Hijab

memiliki arti pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita, kecuali muka dan telapak

tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Memakai hijab/jilbab hukumnya

wajib dalam agama Islam sebagai sebuah keharusan yang pasti atau mutlak bagi wanita

dewasa yang mukminat/muslimat. Hijab dikombinasikan dengan fashion yang modis

sehingga tidak terkesan kuno dan ketinggalan zaman. Hijab juga menjadi salah satu

komoditas yang semakin hari semakin banyak diminati orang. Berbagai macam gaya

berhijab muncul dari yang syar’i menurut kaedah Islam hingga jilbab yang terkesan

hanya sebagai trend atau sekedar gaya-gayaan. Variasi tersebut muncul seiring dengan

perkembangan zaman yang semakin modern dan lekat dengan logika materialnya.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

4

Terjadi pergeseran dalam perilaku berhijab pada sebagian orang yaitu memakai hijab

dengan tujuan mengikuti trend dan agar terlihat stylish dengan mode pakaian yang

digunakan. Tak terkecuali dalam kehidupan para remaja muslimah yang memakai hijab

namun ingin terlihat tetap gaul dan fashionable. Dengan menggunakan hijab trendy

mereka berusaha menunjukkan identitas mereka, selain sebagai muslimah juga sebagai

individu yang melek fashion dan mengkuti trend. Hal tersebut disebabkan karena

mereka butuh pengakuan dari orang lain bahwa mereka menggunakan hijab tapi juga

tetap terlihat keren.

Pada dasarnya dalam praktik Islam terdapat perbedaan-perbedaan yang tegas

salah satunya perbedaan dalam hal gaya berjilbab. Dalam penelitian Saluz (2007)

memaparkan terdapat 3 kelompok dalam gaya berjilbab dalam masyarakat yaitu

kelompok berjilbab cadar, kelompok jilbab panjang yang biasanya menggunakan rok,

dan kelompok jilbab trendi. Saluz (2007) menjelaskan bahwa munculnya model

berjilbab yang trendi ditimbulkan dari proses hibridisasi yaitu proses interaksi budaya

antara local, global, hegemoni dan subaltern, sentral dengan periferi. Praktik berjilbab

dan berbusana muslim yang berbeda-beda dalam agama Islam menunjukkan bahwa

terdapat ekspresi diri yang berbeda, misalnya dalam hal berjilbab trendi itu artinya

seseorang sedang mengekspresikan dirinya melalui budaya pop yang berkembang

terutama dalam masyarakat urban. Dari segi sejarah Saluz (2007) melihat bahwa pada

zaman colonial Belanda jilbab dipakai oleh golongan tertentu saja seperti santri, serta

menyimbolkan kelas sosial dan relijius yang tinggi dimana biasanya orang yang

menggunakan jilbab adalah orang yang telah melakukan ibadah haji. Seiring

berkembangnya zaman popularitas jilbab meningkat drastis dan merambah ke dunia

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

5

fashion terbukti dari banyaknya kemunculan koleksi busana muslim yang dipamerkan

oleh para perancang busana. Popularitas jilbab juga merambah ke ranah media massa

dimana muncul majalah-majalah muslim dengan target konsumsi para remaja putri serta

film dan iklan di televise juga menampilkan peran-peran perempuan berjilbab. Saluz

(2007) menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam membuat jilbab

menjadi trendi dan membuat image Islam menjadi friendly dan sociable.

Pada tahun-tahun terkahir ini esensi jilbab yang menunjukkan simbol keagamaan

dan menunjukkan identitas muslimah kini telah bergeser menjadi bagian dari budaya

popular dan menunjukkan identitas kelompok atau komunitasnya. Seiring dengan

perkembangan tersebut dan juga semakin banyak muslimah yang memakai hijab maka

muncullah berbagai komunitas hijabers yang beranggotakan muslimah yang

mengenakan hijab di berbagai kota di Indonesia, salah satunya yaitu di Yogyakarta.

Komunitas tersebut bernama Hijabers Community Yogyakarta atau HCY yang

merupakan cabang resmi dari Hijabers Community pusat di Jakarta. Komunitas tersebut

mewadahi para kaum muslimah yang menggunakan hijab untuk berkumpul dan

bersama-sama melakukan kegiatan seperti majelis ta’lim, pengajian, hijab class, dan

sebagainya. Motif utamanya yaitu menaungi para muslimah agar mempunyai wadah

untuk saling berbagi pengalaman dan ilmu khususnya tentang dunia Islam. Selain itu

juga terkait fashion yang digunakan, pilihan mengisi waktu luang, serta berbagai macam

hal yang merujuk pada suatu gaya hidup tertentu maka akan menjadi menarik untuk

diteliti lebih dalam.

Dengan munculnya komunitas tersebut menunjukkan adanya kelompok

muslimah yang ingin memisahkan diri dari kelompok lainnya dan menciptakan jarak

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

6

dengan kelas sosial lainnya. Sehingga dalam kehidupan ditengarai terdapat setidaknya

dua variasi pola berhijab, yang pertama yaitu mereka yang berhijab secara modis dan

menjadi bagian dari suatu organisasi atau kelompok tertentu serta mereka yang berhijab

bagi dirinya sendiri. Hal tersebut menunjukkan fenomena yang menarik untuk dikaji

secara sosiologis yaitu dimana seharusnya orang menggunakan hijab sama saja dengan

pengguna hijab lain tetapi senyatanya ada beberapa orang yang menggunakan hijab

kemudian membentuk suatu kelompok tertentu. Untuk itu saya tertarik untuk melihat

bagaimana variasi tersebut dapat terjadi terkait dengan gaya hidup dengan melihat

proses yang terkait dengan actor-aktor, struktur, serta nilai-nilai dan norma yang ada di

dalamnya.

Penelitian ini akan melihat gaya hidup tertentu yang dijalani di kalangan

anggotanya terkait dengan budaya leisure time yang dapat dilihat dari pilihan aktivitas

mengisi waktu luang serta struktur konsumsi (konsumsi penampilan). Proses mereka

mengidentifikasi diri serta mengekspresikan diri melalui gaya hidup tertentu dapat

mengkonstruksi individu maupun kelompok memiliki nilai atau citra tertentu di mata

orang lain. Misalnya saja muncul citra muslimah fashionable pada individu maupun

kelompok tertentu, hal tersebut dapat menunjukkan bahwa melalui konsumsi

penampilan, dalam hal ini busana, seseorang berusaha menunjukkan nilai dan status

sosial tertentu yang akan membedakannya dari individu maupun kelompok lain.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

7

B. RUMUSAN MASALAH

Kasus yang akan diteliti adalah mengenai gaya hidup mahasiswi khususnya

mahasiswi muslimah dengan studi kasus Hijabers Community Yogyakarta.

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi

kerancuan maka terdapat beberapa perumusan permasalahan yang akan diangkat dalam

penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut :

“Bagaimana gaya hidup orang berhijab yang tergabung dalam komite Hijabers

Community Yogyakarta?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Dengan data yang diperoleh setelah melakukan penelitian di lapangan diharapkan

dapat memberikan gambaran mengenai gaya hidup yang dipraktikkan oleh

Hijabers Community Yogyakarta.

2) Dengan data yang diperoleh juga diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai faktor penentu terjadinya variasi dalam penggunaan hijab dimana

mereka membentuk kelompok berdasarkan penggunaan hijab.

3) Mendeskripsikan tentang penyebab munculnya variasi tersebut terkait gaya hidup

yang dilihat dari pilihan aktivitas waktu luang dan struktur konsumsi.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

8

D. MANFAAT PENELITIAN

1) Manfaat Teoritik

Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan

memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin sosiologi yang

kaitannya dengan gaya hidup dan pengaruhnya dalam perubahan sosial.

Harapannya dari penelitian ini kita dapat memberi perbendaharaan bagi ilmu

pengetahuan serta dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan

tema sejenis nantinya.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai gaya hidup mahasiswi muslimah. Selain itu penelitian ini juga

diharapkan mampu melihat sisi lain yang dihasilkan dari adanya pengaruh positif

kemunculan Hijabers Community Yogyakarta.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam penelitian ini digunakan kerangka teori dan kerangka konseptual.

Kerangka teori merupakan alat yang digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat

fenomena yang akan diteliti sedangkan kerangka konseptual merupakan alur berpikir dan

runtutan proses penelitian yang akan dilaksanakan. Dalam penelitian sosial, kerangka

konseptual merupakan pemandu peneliti saat melakukan penelitian agar arah analisisnya

focus dan tidak melebar.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

9

Topik penelitian ini yaitu mendeskripsikan mengenai gaya hidup Hijabers

Community Yogyakarta. Penelitian ini terfokus pada bagaimana bisa terjadi variasi

dalam penggunaan hijab di kalangan masyarakat, di saat pada umunya seseorang berhijab

bagi dirinya sendiri tetapi ada fenomena seseorang berhijab dan membentuk suatu

komunitas sehingga menimbulkan pembedaan. Penelitian ini juga terfokus pada

penyebab terjadinya variasi tersebut kaitannya dengan gaya hidup yang dijalankan oleh

komite Hijabers Community Yogyakarta. Untuk memudahkan pemahaman dari

penelitian ini maka perlu dibuat kerangka berpikir yang mengaitkan antara teori dasar

yang digunakan dengan fenomena yang akan diteliti.

F. LANDASAN TEORI

Dalam sosiologi, konsumsi tidak hanya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan

yang bersifat fisik dan biologis saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek sosial

budaya. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas, atau gaya hidup. Pola

konsumsi di masyarakat merupakan sebuah tanda dalam dalam klasifikasi antara individu

dengan pembentukan pola pikir yang dipengaruhi oleh masyarakat, karena tanda dari

komoditas itu. Mereka melakukan konsumsi untuk mendapatkan perhatian oleh banyak

orang tersebut. Bukan semata – mata karena kebutuhan saja akan tetapi untuk

menunjukkan eksistensi diri dan menjadikan sebuah alasan irasional tentang trend dan

citra masyarakat. Banyak hal yang membuat sebuah pola dalam pencitraan dari diri

seseorang untuk tetap bisa menunjukkan sebuah gengsi dengan apa yang mereka beli,

bukan tentang sebuah kebutuhan akan objek tersebut akan tetapi lebih melihat pada

sebuah bagian dari kelas sosial masyarakat yang terbentuk karena objek tersebut. Apa

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

10

yang dikonsumsikan oleh masyarakat, pada dasarnya adalah tanda. Konsumsi merupakan

sebuah sistem aksi dari manipulasi tanda, sehingga mengonsumsi objek tertentu

menandakan bahwa kita sama dengan orang lain yang mengonsumsi objek tersebut, dan

disaat yang sama kita berbeda dengan orang yang mengonsumsi objek yang lain (Bagong

Suyanto, 2013:111).

Menurut Jean Baudrillard (1970) aktivitas konsumsi dalam masyarakat kontemporer

adalah aktivitas yang melibatkan manipulasi aktif atas tanda-tanda (signs), karena yang

dikonsumsi pada dasarnya kini bukanlah objek-objek melainkan system objek-objek,

system tanda yang menghasilkan kode-kode tertentu. Tanda dan komoditas berfungsi

menjadi komoditas tanda. Nilai guna bukan hanya telah digantikan oleh nilai tukar,

melainkan keduanya telah digantikan oleh nilai tanda. Kehidupan yang sekarang merujuk

pada sebuah halusinasi estetik tentang realitas. Tujuan akhir ekspansi system produksi

komoditas dalam kapitalisme adalah kemenangan budaya tanda dan kematian sosial.

Budaya tanda merujuk pada overproduksi tanda-tanda, citra, dan simulasi yang membawa

manusia menjadi penikmat budaya dangkal (Hikmat Budiman, 2002:40).

Konsumsi merupakan struktur, seperti pendapat Durkheimian mengenai fakta sosial,

yaitu bersifat eksternal dan memaksa individu. Dengan melakukan konsumsi maka

seseorang akan percaya bahwa mereka kaya, puas, dan bahagia serta terbebaskan. Hal

itulah yang disebut oleh Baudrillard sebagai suatu kepalsuan. Konsumsi kini tidak

sekedar pada barang maupun jasa namun juga kepada semua hal yang kini telah menjadi

objek konsumen sehingga dapat dikatakan konsumsi telah menguasai segala segi dalam

kehidupan manusia. Begitu banyak penjualan desain berkelas seperti contohnya jeans

Levi’s mauupun hamburger Mc Donalds. Merek menunjukkan perbedaan objek yang

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

11

sama dengan objek lain yang dianggap lebih rendah (tidak memiliki brand). Menurut

Ritzer, mengonsumsi objek tertentu (bahkan secara tidak sadar), menandakan bahwa kita

sama dengan orang yang mengonsumsi objek tersebut dan kita berbeda dari siapa yang

mengonsumsi objek lain. Hal tersebut yang kemudian mengontrol apa yang kita

konsumsi dan apa yang tidak kita konsumsi. Konsumsi juga menjadi bentuk komunikasi

dalam arti ketika kita mengonsumsi sesuatu kita akan mengkomunikasikan banyak hal

pada orang lain, termasuk kelompok yang menaungi kita. Konsumsi menjadi system yang

menjamin regulasi tanda dan integrasi kelompok.

- Konsumerisme (Baudrillard)

Pandangan Jean Baudrillard mengenai pemahaman konsumsi berangkat dari fakta

sosial, bahwa pada umumnya masyarakat menginginkan kenyamanan dalam kehidupan.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi kondisi nyaman tersebut pada umumnya ada pada

masyarakat yang relatif telah “mapan” yang ditandai dengan melimpahnya barang-barang

produksi yang dijual. Masyarakat cenderung menginginkan suatu konsep akan

kenyamanan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh budaya konsumerisme tersebut. Pada

era globalisasi ini, konsumerisme secara cepat merambah pada segala aspek kehidupan,

mulai dari gaya hidup, fashion, hiburan waktu luang, tempat tinggal, pilihan jenis

makanan, dan lainnya. Individu ingin dilihat oleh orang lain sehingga dapat dikategorikan

dalam sebuah kelas sosial yang lebih baik atau dikatakan mereka lebih maju dan berada

di posisi atas.

Dalam masyarakat konsumsi orang tidak hanya mengonsumsi barang tetapi juga jasa

dan hubungan antarmanusia. Masyarakat konsumsi diidentikkan dengan masyarakat

pertumbuhan yang dihubungkan dengan pemborosan. Pemborosan diartikan sebagai

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

12

masyarakat yang selalu ingin lebih dan lebih sehingga menyebabkan konsumerisme. Hal

tersebut kini menjadi aspek yang secara tidak sadar diikuti oleh masyarakat. Sebagai

contoh dalam konteks pembelian dan penggunaan sebuah barang atau jasa kini tidak

selalu hanya melihat dari sisi kebutuhan akan barang tersebut, akan tetapi lebih terhadap

status sosial yang kita dapatkan dari adanya barang/jasa tersebut. Sehingga dapat

dikatakan bahwa konsumsi kini tidak lagi sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar

seseorang melainkan lebih bersifat materi sekaligus simbolik dan terkait dengan

pengekspresian identitas seseorang di masyarakat. Misalnya dalam hal ini pemilihan

fashion, tempat berkumpul, tempat makan, dan sebagainya menunjukkan seberapa mahal

dan eksklusif apa yang dipilih sehingga menjadi penanda akan simbol status sosial yang

ada di masyarakat. Kebutuhan yang sebenarnya kini tidak terbatas pada nilai guna semata

tetapi lebih kepada nilai simbol (symbolic value) untuk meningkatkan prestise. Mereka

yang merasa status sosialnya di atas tersebut terbentuk sebagai upaya pernyataan

diferensiasi dan prestise. Kelompok semacam itu mensejajarkan eksklusifitas mereka

dengan apa yang mereka pakai atau gunakan.

Ada banyak alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi, salah satunya karena

objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada diri seseorang. Sebagai

contoh fashion yang dipakai seseorang akan menunjukkan seberapa fashionable-kah

seseorang. Jadi, dalam hal ini pakaian merupakan objek konsumsi yang menjadi penanda

identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh

mereka. Objek konsumsi mampu menentukan prestise, status, dan simbol-simbol sosial

tertentu bagi pemakainya. Semakin prestisius objek yang dikonsumsi maka prestise

mereka tentunya akan meningkat di mata orang lain. Objek juga mampu membentuk

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

13

perbedaan-perbedaan sosial sehingga menyebabkan orang cenderung menilai seseorang

melalui penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, karena barang –barang tersebut

menunjukkan nilai eksklusifitas.

- Gaya Hidup

Gaya hidup (lifestyle) memiliki arti sosiologis yang lebih terbatas yaitu merujuk

pada gaya hidup khas dari berbagai kelompok status tertentu (Weber, 1968). Gaya hidup

secara luas diidentifikasikan sebagai cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana

orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap penting dalam

lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri

dan juga dunia di sekitarnya (Alfitri, 2007). Gaya hidup menurut buku Media Analysis

Techniques merupakan istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang di dalam

fashion, mobil, hiburan, dan lain-lain. Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang

yang akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Dalam kaitannya dengan

budaya konsumen kontemporer yaitu mengkonotasikan mengenai individualitas, ekspresi

diri, dan kesadaran diri. Pilihan-pilihan seperti pakaian, gaya bicara, hiburan di waktu

luang, sistem kepercayaan, dan sebagainya merupakan bentuk dai gaya hidup. Dari

pendekatan ideologis seperti yang dianut oleh Marxisme bahwa gaya hidup dilandasi oleh

satu ideology tertentu yang menentukan bentuk dan arahnya. Pilihan jenis bacaan, cara

berpakaian, pemilihan tempat tinggal, dan sebagainya merupakan ekspresi dari cara

kelompok masyarakat mengaitkan hidup mereka dengan kondisi eksistensi mereka.

Kombinasi dari hal tersebut akan membentuk ideology kelas sosial mereka.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

14

Terdapat hubungan antara konsumsi dan gaya hidup dimana gaya hidup

merupakan totalitas dari objek-objek dan perilaku-perilaku sosial yang berkaitan dengan

objek tersebut. Gaya hidup dapat menghasilkan kombinasi objek-objek dan sebaliknya

kombinasi objek-objek dapat membentuk gaya hidup. Gaya hidup dilihat sebagai satu

bentuk pengungkapan makna sosial dan kultural. Setiap bentuk penggunaan waktu,

ruang, dan objek mengandung arti di dalamnya aspek-aspek penandaan dan semiotic,

yang mengungkapkan makna sosial dan kultural tertentu (Piliang, 1999 :209-210).

Subandi (2005) melihat bahwa fenomena “masyarakat komoditas” Indonesia, barangkali

dengan dukungan industry kebudayaan untuk public massa baru yang ditandai dengan

menjamurnya penerbitan majalah popular, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan

wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern seperti mall atau berbagai macam

industry hiburan lainnya. Kecenderungan perubahan gaya hidup khususnya dalam hal ini

berkaitan dengan mahasiswi muslimah anggota Hijabers Community Yogyakarta. Joseph

Plumer (1974) mengemukakan mengenai segmentasi gaya hidup yang mengukur

aktivitas-aktivitas manusia dalam hal bagaimana mereka menghabiskan waktunya, minat

mereka (apa yang dianggap penting di sekitarnya), pandangan-pandangannya (baik

terhadap diri sendiri maupun orang lain), serta karakteristik dasar lainnya seperti tahap

yang telah mereka lalui dalam kehidupan (penghasilan, pendidikan, tempat tinggal, dan

lain sebagainya).

Dalam sistem masyarakat akhir-akhir ini, simbol dan citra memang semakin

mengalahkan kenyataan. Apa yang tampak lebih penting dibandingkan esensi dari apa

yang dilihat. Citra dan image mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi

berbeda bahkan bisa membuat satu objek bisa bernilai lebih tinggi dibanding yang

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

15

lainnya. Berbagai alasan mungkin bisa jadi pembenaran untuk pendapat tersebut, mulai

dari pertimbangan kualitas sampai kenyamanan. Akan tetapi pembedaan itu terjadi dalam

tataran rasionalitas yang telah terkonstruksikan demikian. Gambaran tersebut

menunjukkan bagaimana kompleksnya nilai simbolisme beroperasi dalam diri kita.

-Conspicuous Consumption and Conspicuous Leisure (Veblen)

Dalam teori Leisure Class Veblen mencoba menjelaskan motivasi seseorang

dalam melakukan konsumsi. Salah satu ciri manusia modern adalah keinginannya untuk

membuktikan keunggulannya terhadap sesama masyarakat, misalnya golongan kaya tidak

lagi mengkonsumsi barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

melainkan untuk menaikkan prestise-nya dalam masyarakat. Veblen mengajukan istilah

conspicuous consumption atau konsumsi untuk pamer serta conspicuous leisure atau

konsumsi waktu luang dalam artian penggunaan waktu yang tidak produktif. Konsep

manusia ekonomi yang secara rasional berusaha memaksimalkan kepuasannya menurut

Veblen tidak terbukti karena manusia bukanlah sebuah computer yang dalam waktu

sekejap dapat membuat perhitungan rumit untuk membandingkan marginal utility per

rupiah yang dibelanjakan. Mereka melakukan konsumsi termotivasi oleh kebiasaan dan

kecemburuan dibandingkan dengan dorongan rasional dan kepentingan pribadi untuk

mengonsumsi. Manusia membenarkan dirinya dengan melakukan pembedaan dengan

orang lain berdasarkan pada tanda objek yang kita konsumsi. Dengan adanya perbedaan

seseorang berusaha menunjukkan adanya status dan makna sosial tertentu. Ritzer

mengatakan bahwa konsumsi dalam masyarakat kapitalis modern bukan mencari

kenikmatan, bukan kenikmatan memperoleh dan menggunakan objek yang kita cari,

tetapi lebih pada perbedaan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

16

Tiga perspektif dalam budaya konsumen menjelaskan beberapa hal terkait dengan

konsumsi. Pertama, menjelaskan bahwa adanya ekspansi produksi komoditas kapitalis

menghasilkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumsi

dan tempat-tempat belanja. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya aktivitas bersenang-

senang dan konsumsi dalam masyarakat kontemporer. Kedua, menjelaskan bahwa cara

orang-orang yang bebeda dalam hal penggunaan benda-benda dalam rangka menciptakan

pembedaan dalam masyarakat. Ketiga, munculnya kesenangan emosional untuk

konsumsi dan keinginan serta hasrat yang ditunjukkan melalui budaya konsumen dan

tempat-tempat konsumsi tertentu yang bervariasi memunculkan kesenangan jasmaniah

dan kesenangan estetis.

Perilaku masyarakat bisa berubah disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan.

Keadaan dan lingkungan yaitu institusi yang terkait dengan nilai, norma, kebiasaan,

budaya, semuanya tercemin dalam kegiatan ekonomi. Dalam teori ekonomi Liberal

Klasik dan Neoklasik dijelaskan bahwa orang bertindak rasional dalam mengkonsumsi.

Dengan sejumlah uang yang dimiliki, konsumen akan berusaha memilih alternatif yang

dapat memberi kepuasan yang sebesar-besarnya. Tetapi saat muncul perilaku yang tidak

wajar barulah ini disebut conspicuous consumption. Perubahan perilaku masyarakat

dalam mengkonsumsi inimenunukkan bahwa masyarakat kini bergeser

menjadi masyarakat yang materialistis, yang menganggap uang adalah segalanya. Jika

uang merka telah terkumpul mereka akan pamer untuk menunjukan kekayaan dan

keberhasilan. Mereka senang dalam mengonsumsi barang-barang mewah dan cara lain

untuk menunjukan keberhasilan. Veblen mengkritik pikiran utama teori ekonomi

Neoklasik, terutama hukum permintaan Marshall yang mengatakan bahwa konsumsi

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

17

lebih ditentukan oleh harga. Makin rendah harga maka makin banyak orang yang

mengkonsumsi. Akan tetapi pada kenyataannya ada sekelompok yang tidak rasional,

yang justru lebih tertarik membeli sesuatu, baik barang maupun jasa dengan harga yang

mahal. Veblen pun juga menentang asumsi kaum Marginalis tentang kecenderungan

ekonomi pada keseimbangan. Veblen mengungkapkan keseimbangan itu tidak ada, sebab

perekonomian itu selalu berubah. Spesialisasi tidak menimbulkan efisiensi dari harga

barang dan jasa, tetapi justru menimbulkan perilaku yang tidak biasa dari individu yang

ada di dalam suatu masyarakat yang pola konsumsinya tidak sejalan dengan hukum

permintaan. Mereka mengkonsumsi karena digerakkan oleh merek suatu produk yang

memunculkan prestise tersendiri.

G. TINJAUAN PUSTAKA

Konsumsi serta pilihan aktivitas luang seseorang dapat menunjukkan gaya hidup

tertentu dalam kehidupan seseorang serta menunjukkan posisi seseorang dalam

masyarakat. Semakin prestisius barang/jasa yang dikonsumsi serta pilihan aktivitas waktu

luang yang dijalankan maka seseorang akan berada di kelas atas sehingga akan

menciptakan jarak dengan kelas sosial di bawahnya. Kelompok sosial atau komunitas

turut memiliki andil dalam mempengaruhi pola konsumsi serta pilihan aktivitas waktu

luang tersebut, terutama dalam kehidupan kelompok yang memiliki kelas social atas

(leisure class). Dalam hal ini yaitu mengenai gaya hidup Hijabers Community

Yogyakarta yang berbeda dengan perempuan muslimah berhijab pada umumnya.

Perilaku konsumsi dalam Hijabers Community Yogyakarta pernah dibahas dalam

skripsi yang dilakukan oleh Niza Nur Rahmanti (2013) dengan judul penelitian “Hijabers

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

18

Community : Studi tentang Konsumsi dan Komodifikasi Busana Muslim dalam

Komunitas Wanita Muslimah Berhijab di Yogyakarta”. Penelitian tersebut menjelaskan

bahwa terjadi komodifikasi busana muslim termasuk hijab, dari kepentingan agama

menjadi kepentingan bisnis. Busana muslim dan hijab tidak hanya sekedar sebagai

penutup aurat dan sebagai bentuk kewajiban perempuan muslimah semata melainkan

lebih kepada kepentingan bisnis di dalamnya. Di sini ditekankan bahwa hijab yang

semula bernilai guna kini dikomodifikasikan menjadi sesuatu yang bernilai tukar tinggi

melalui kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan hijab dalam Hijabers

Community Yogyakarta. Misalnya, hijab class, fashion show, dan sebagainya.

Bagaimana busana muslim dikombinasikan dengan gaya yang fashionable

menjadikannya sebagai komoditas yang memiliki nilai jual tinggi sehingga bisa menjadi

komoditas bisnis. Penelitian ini menggunakan teori komodifikasi, pop culture, dan teori

imitasi sebagai alat analisis fenomena yang ditemukan.

Penelitian mengenai hijab sebagai identitas muslimah juga pernah dilakukan oleh

Budiani R S (2013) dengan judul penelitian “Pemaknaan Jilbab dan Identitas Muslimah

(Studi tentang Hijabers Community di Yogyakarta)”. Temuan penelitian menunjukkan

bahwa identitas ke-Islaman oleh HCY direpresentasikan dengan cara menerapkan nilai

dan norma kelompok yang merujuk pada gaya berjilbab dan berbusana seorang muslimah

fashionable yang sesuai dengan syariat Islam. Jilbab oleh HCY tidak hanya dimaknai

sebagai bentuk representasi ke-Islaman dan ketakwaan, namun juga sebagai simbol

identitas kolektif yang menggambarkan gaya hidup modern kelompok muslimah masa

kini. Anggota dari kelompok HCY memiliki peranan untuk merepresentasikan nilai-nilai

Islam yang diyakini dengan menjalankan norma-norma yang berlaku dalam kelompok,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

19

salah satunya dalam hal berpenampilan. HCY juga memanfaatkan budaya popular

(fashion) untuk menaikkan derajat dari jilbab yang tadinya dianggap kuno menjadi

bagian penting dalam perkembangan fashion muslim di Indonesia. Penelitian ini

menggunakan teori representasu dan identitas yang dikemukakan oleh Stuart Hall.

Penelitian mengenai gaya hidup muslimah perkotaan khususnya yang tergabung

dalam Hijabers Community Jakarta juga telah dilakukan oleh Ayu Agustin Nursyahbani

(2011) dengan judul penelitian “Konstruksi dan Representasi Gaya Hidup Muslimah

Perkotaan : Studi Kasus pada Hijabers Community di Jakarta”. Temuan penelitian

menunjukkan bahwa di kalangan muslimah anggota komite Hijabers Community tersebut

telah terindikasi berkembangnya gaya hidup konsumtif yang melekat pada pilihan

aktivitas, tempat, dan struktur konsumsinya. Kesamaan latar belakang sosial ekonomi di

dalam anggota komitenya menyebabkan kesamaan pola konsumsi, yang sekaligus

menjadi simbol status dan gaya hidup. Selain itu penelitian ini melihat bahwa pemaknaan

anggota komite Hijabers Community terhadap gaya berbusana berjilbab yang fashionable

yang dibentuk oleh habitus prestise dan keislaman yang moderat. Nilai dan norma yang

ada dalam komunitas tersebut berperan dalam penanaman dan penyebarluasan nilai

keislaman dalam berbusana dan juga sebagai modal simbolik Hijabers Community pada

ranah kultur fashion muslimah perkotaan. Modal simbolik tersebut yang kemudian

berkembang menjadi modal ekonomi maupun sosial, bahkan kultural, karena gaya

berjilbab dan berbusana Hijabers Community yang fashionable dapat mengonstruksi

makna Islam dan jilbab sekaligus merepresentasikan gaya hidup muslimah perkotaan.

Penelitian ini menggunakan konsep modal dan habitus dalam praktik gaya hidup Bordieu

sebagai alat untuk menganalisis permasalahan penelitian tersebut.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

20

Kesimpulan dari ketiga penelitian tersebut secara umum berkontribusi menjadi

landasan pemikiran dalam tiga aspek. (1) Mengenai pergeseran fungsi busana muslim dan

jilbab di kalangan anggota komite Hijabers Community. Jilbab dikomodifikasikan, yang

awalnya merupakan simbol agama, menjadi komoditas bisnis yang bernilai jual. (2)

Jilbab sebagai penanda identitas suatu kelompok sehingga disini peran kelompok atau

komunitas menjadi penting dalam pembentukan identitas individu dalam berjilbab,

terutama dalam gaya berjilbab dan berbusana muslimah. (3) Gaya berjilbab dan

berbusana Hijabers Community yang fashionable dapat mengonstruksi makna Islam dan

jilbab sekaligus merepresentasikan gaya hidup muslimah perkotaan. Namun terdapat hal

yang menjadi keterbatasan dalam penelitian-penelitian sebelumnya yaitu, (1) Belum

menjelaskan mengenai penyebab terjadinya variasi dalam penggunaan jilbab di

masyarakat. (2) Belum menjelaskan bagaimana pola konsumsi yang terjadi melalui

struktur konsumsi dan pilihan aktivitas waktu luang anggota komitenya. (3) Fokus ketiga

penelitian tersebut hanya pada jilbab dan busana muslim saja.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa hal tersebut agar melengkapi

penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini akan melihat faktor

penentu terjadinya variasi dalam penggunaan hijab di masyarakat, mengapa ada yang

berhijab bagi dirinya sendiri tetapi ada pula yang bergabung dalam suatu komunitas.

Faktor penentu tersebut terkait dengan latar belakang social dan ekonomi komite Hijabers

Community Yogyakarta dan praktik konsumsi yang dijalankan pada saat waktu luang.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

21

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu mengenai gaya hidup mahasiswi

muslimah, maka untuk mengetahui bagaimana representasi gaya hidup mahasiswi

anggota Hijabers Community Yogyakarta maka jenis penelitian yang digunakan adalah

metode penelitian kualitatif. Metode ini merupakan tata cara penelitian yang

membuahkan data yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian kualitatif deskriptif

menggunakan analisa data secara induktif dengan tujuan dapat menemukan kenyataan-

kenyataan ganda dalam suatu data. Analisis secara induktif juga dapat membuat

hubungan antara peneliti dengan informan menjadi lebih eksplisit. Dan juga analisis

induktif dapat menguraikan latar secara penuh dan lebih mendetail.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di wilayah Yogyakarta khususnya di markas Hijabers

Community Yogyakarta yang terletak di daerah Demangan Baru, Yogyakarta. Dengan

demikian dapat dilihat bahwa informasi akan didapatkan di lokasi tersebut. Lokasi

tersebut juga mudah dijangkau sehingga dapat meminimalisir biaya penelitian,

kesempatan, waktu, dan tenaga. Dengan menggunakan pertimbangan di atas maka

diharapkan akan dapat membantu kelancaran proses penelitian. Alasan pemilihan lokasi

penelitian di tempat tersebut karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kampus dan

kos-kosan peneliti sehingga peneliti dengan mudah dapat melakukan penelitian di tempat

tersebut.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

22

3. Data dan Sumber Data

Ada dua jenis data yang diperoleh yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data yang berasal dari hasil wawancara dan observasi di lokasi

penelitian. Data primer merupakan data yang langsung didapatkan dari lapangan dari

hasil observasi maupun wawancara terhadap informan. Sedangkan data sekunder

merupakan data yang tidak diperoleh secara langsung dari informan,misalnya melalui

media cetak maupun media elektronik.

4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu memilih

orang-orang yang dianggap mengetahui dan mampu menjelaskan fenomena sosial yang

berkaitan dengan penelitian ini. Memilih beberapa informan yang dianggap penting

terlebih dahulu serta dipilih key informan atau informan kunci. Apabila data yang

diperoleh dari beberapa informan yang dipilih belum mencukupi maka dapat dipilih

informan lain (informan pendukung) yang masih ada keterkaitan yang dapat melengkapi

informasi yang ingin didapatkan. Misalnya dengan menggunakan parameter ekonomi,

sebagian besar informan dapat dikategorikan melalui tempat kuliah (mahasiswi

perguruan tinggi negeri atau swasta), daerah asal, kepemilikan barang, serta kebiasaan

berbelanja dan cara menghabiskan waktu luang. Dengan menggunakan parameter

tersebut diharapkan dapat menunjukkan informan yang akan dijadikan sumber informasi.

Secara rinci informan yang dipilih dalam melakukan penelitian ini yaitu komite

Hijabers Community Yogyakarta, dengan pertimbangan jumlahnya yang hanya 20 orang

maka memudahkan peneliti untuk menggali secara mendalam mengenai praktik

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

23

konsumsi yang dijalankan saat waktu luang. Jika meneliti anggota Hijabers Community

Yogyakarta jumlahnya terlalu banyak karena mencapai angka ratusan. Dengan demikian

pemilihan secara purposive mengarah pada komite Hijabers Community Yogyakarta.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka teknik pengumpulan data yang

utama digunakan yaitu observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap

informan yaitu beberapa komite dari Hijabers Community Yogyakarta dan beberapa

muslimah berhijab yang tidak ikut keanggotaan Hijabers Community Yogyakarta. Selain

menggunakan data primer peneliti juga menggunakan data sekunder sebagai sumber

untuk memperoleh informasi. Secara lebih rinci teknik pengumpulan data dibagi menjadi

dua yaitu :

1. Pengumpulan Data Primer

Untuk memperoleh data primer maka peneliti dapat menggunakan teknik di bawah ini

:

a. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mendiskripsikan setting

dan aktivitas-aktivitas yang berlangsung terkait dengan objek penelitian. Observasi

merupakan kegiatan mengamati dan mencatat secara akurat dan teliti fenomena yang

terjadi saat penelitian. Dalam observasi, penggunaan panca indera sangat membantu

peneliti dalam memahami peristiwa yang terjadi. Observasi ini dilakukan untuk meneliti

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

24

gaya hidup mahasiswi muslimah dengan studi kasus Hijabers Community Yogyakarta.

Tujuan menggunakan observasi ini untuk mencatat sikap, perilaku, dan pendapat para

informan secara rinci. Observasi di lapangan dapat mempermudah mendapatkan data

secara langsung dan mendalam dari informan yang akan diteliti. Selain itu dengan teknik

observasi juga dapat menyaksikan secara aktif gejala yang diteliti.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah proses memperoleh informasi dengan cara tanya jawab dan

saling bertatap muka, dengan atau tanpa dipandu dengan interview guide atau daftar

pertanyaan. Pada dasarnya interview guide berguna membantu peneliti agar jawaban

yang digali tidak keluar dari konteks. Tujuan menggunakan teknik ini adalah untuk

menggali informasi secara mendalam mengenai mengenai hal yang akan diteliti . Peneliti

harus mampu menjadi pendengar yang baik dan menghargai pendapat yang diutarakan

oleh informan. Dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara dengan beberapa komite

dari Hijabers Community Yogyakarta dan beberapa muslimah berhijab yang tidak ikut

keanggotaan Hijabers Community Yogyakarta sebagai informan. Ciri khas dari

wawancara mendalam yaitu keterlibatan peneliti dalam kehidupan informan, berkaitan

dengan pertanyaan yang diberikan seputar masalah maupun tujuan penelitian. Sebagai

peneliti hendaknya harus memahami tujuan dari wawancara mendalam tersebut agar

peneliti tidak keluar dari tujuan utama melakukan wawancara dan tidak terlalu melebar

ke permasalahan lain, termasuk agar dapat mengembangkan tema-tema wawancara baru

di lokasi penelitian.

2. Pengumpulan Data Sekunder

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

25

Pengumpulan data sekunder dapat dilakukan dengan mencari informasi melalui

media cetak maupun elektronik, misalnya melalui surat kabar, majalah, maupun jejaring

social (blog, fanpage, twitter, dan sebagainya). Selain itu juga dapat dilakukan melalui

dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara

mendokumentasikan kehidupan dan fenomena sosial dalam bentuk foto, video, maupun

film. Tujuan digunakan teknik ini adalah untuk membantu peneliti memahami fenomena

yang diteliti dan mempresentasikannya. Fungsi data sekunder selain untuk melengkapi

data primer juga sebagai informasi yang dapat memperkuat data yang telah didapatkan

oleh peneliti.

6. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data kualitatif . Analisa

data kualitatif berarti membagi data ke dalam kelompok-kelompok tertentu kemudian

diperbandingkan. Data-data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan

dokumentasi kemudian dikumpulkan dan dibuat kategori-kategori. Kategori tersebut

berasal dari persamaan dan perbedaan antara kelompok-kelompok subjek yang diteliti.

Analisa deskriptif-kualitatif menekankan pada kemampuan peneliti untuk mengolah data

yang diperoleh dan menginterpretasikannya. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi

atau gambaran yang sistematis dari gejala sosial yang diteliti.

Secara rinci analisis data dibagi menjadi beberapa bagian berikut :

a. Reduksi data

Setelah data hasil penelitian terkumpul lalu data yang diperoleh dari hasil

wawancara, observasi, dan dokumentasi tersebut diketik dan dibuat transkrip. Transkrip

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81988/potongan/S1-2013... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yogyakarta merupakan kota dengan jumlah

26

adalah uraian dalam bentuk tulisan yang rici dan lengkap dari hasil wawancara dan

observasi di lapangan. Untuk wawancara mendalam transkrip dibuat khusus,

menggunakan bahasa yang sesuai pada saat wawancara dilakukan. Setelah itu transkrip

yang sudah ada dianalisis dengan cara mencari makna dominan yang ada dalam transkrip

tersebut. Selanjutnya direduksi dan hanya dipilih data-data yang sekiranya perlu dan

penting untuk dilaporkan, kemudian disusun secara lebih sistematis.

b. Display data

Untuk mempermudah dalam menganalisis data maka data yang sudah didapatkan

dibuat dalam bentuk table atau dapat juga di-coding agar mudah diidentifikasi sehingga

mudah dibaca dan dikategorikan, misalnya nama, usia, pekerjaan, dan lain-lain.

c. Pengambilan kesimpulan

Setelah semua data selesai diolah, lalu diambil kesimpulan atau apa hasil temuan

dari penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian kualitatif peneliti berusaha mencari

pemahaman tentang realitas sosial yang diteliti bukan mencari kecenderungan tentang

realitas sosial tersebut.

7. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama beberapa hari, apabila data yang didapatkan sudah

dianggap cukup dan data yang diperoleh sudah di-crosscheck dan hasilnya memiliki kesamaan

maka penelitian dapat dihentikan.