1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Judul yang penulis teliti dalam penelitian ini adalah “Kedudukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Sistem Pemerintahan Daerah Provinsi Papua”. Tulisan mengenai MRP sudah pernah ditulis dalam Thesis Saudara Decky Wosparik., S.H., M.H., tetapi dalam tulisannya Penguatan MRP Dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. kajian thesis tersebut Decky lebih mengkaji kehadiran MRP dalam sistem pemerintahan daerah provinsi papua, menggambarkan sistem bikameral atau trikameral, karena dalam sistem pemerintahan daerah provinsi papua, ada dua lembaga perwakilan yaitu DPRP dan MRP. Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih melihat pada perspektif kedudukan MRP dalam sistem pemerintahan daerah provinsi papua. Perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga baru dalam sistem dan strukur kekuasaan negara baik ditingkat pemerintahan pusat maupun ditingkat pemerintahan daerah merupakan koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan negara sebagai akibat tuntutan reformasi serta aspirasi keadilan yang mendorong terwujudnya cita-cita negara demokratis, tegaknya hak asasi manusia, dan hukum yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab 1 . Di sisi lain perkembangan sejarah, teori, dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi dan institusi-institusi kenegaraan, baik di tingkat pusat atau nasional maupun ditingkat daerah atau lokal. Gejala perkembagan semacam itu merupakan kenyataan yang tak terelakan karena tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik faktor- 1 Hakim Lukman, Kedudukan Hukum Komisis Negara Di Indonesia, setara press, jakarta, 2010, Hal. 1
22
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judulrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6811/1/T1_312008603_BAB I… · 6 mana hak-hak dari masyarakat asli Papua terlindungi. Permasalahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Judul yang penulis teliti dalam penelitian ini adalah “Kedudukan Majelis Rakyat Papua
(MRP) dalam Sistem Pemerintahan Daerah Provinsi Papua”. Tulisan mengenai MRP sudah
pernah ditulis dalam Thesis Saudara Decky Wosparik., S.H., M.H., tetapi dalam tulisannya
Penguatan MRP Dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua. kajian thesis tersebut Decky lebih mengkaji kehadiran MRP dalam sistem
pemerintahan daerah provinsi papua, menggambarkan sistem bikameral atau trikameral,
karena dalam sistem pemerintahan daerah provinsi papua, ada dua lembaga perwakilan yaitu
DPRP dan MRP. Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih melihat pada perspektif
kedudukan MRP dalam sistem pemerintahan daerah provinsi papua.
Perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga baru dalam sistem dan strukur
kekuasaan negara baik ditingkat pemerintahan pusat maupun ditingkat pemerintahan daerah
merupakan koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan negara sebagai akibat tuntutan
reformasi serta aspirasi keadilan yang mendorong terwujudnya cita-cita negara demokratis,
tegaknya hak asasi manusia, dan hukum yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih
dan bertanggung jawab1.
Di sisi lain perkembangan sejarah, teori, dan pemikiran tentang pengorganisasian
kekuasaan dan tentang organisasi dan institusi-institusi kenegaraan, baik di tingkat pusat atau
nasional maupun ditingkat daerah atau lokal. Gejala perkembagan semacam itu merupakan
kenyataan yang tak terelakan karena tuntutan keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik faktor-
1 Hakim Lukman, Kedudukan Hukum Komisis Negara Di Indonesia, setara press, jakarta, 2010, Hal. 1
2
faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh
globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks dewasa ini2.
Dalam konteks yuridis konstitusional, diawali dengan perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, telah menghasilkan perubahan-perubahan subtansial bagi penyelenggaraan
kehidupan bernegara. Corak dan struktur organisasi negara di indonesia juga mengalami
dinamika perkembangan yang sangat pesat, baik di tingkat pusat atau nasional maupun
ditingkat daerah atau lokal. Misalnya dengan perubahan Pasal 18 pada perubahan ke dua
UUD 1945 yang ditambah dengan Pasal 18B ayat (1) dan (2) yang menyatakan:
Ayat (1)”Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang dan ayat (2)
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”.
Secara filosofis telah terjadi pergeseran untuk terbentuknya bentuk satuan-satuan
yang bersifat khusus di tingkat pemerintahan daerah, berdasarkan ketentuan UUD yang
berlaku. Implikasinya adalah terdapat kebutuhan untuk menata kembali satuan-satuan
pemerintahan daerah dengan merevisi cabang kekuasaan organ-argan pemerintahan daerah
berdasarkan terori klasik separation of power. Institusi-institusi pemerintahan daerah sebagai
mekanisme ketatanegaraan harus mampu untuk membuat dan melaksanakan hukum dan
kebijakan yang relevan dalam masyarakat yang sedang berubah3. Pemisahan kekuasaan
secara tegas menjadi suatu gagasan yang menarik dan penting dan sekaligus di perlukan
formulasi kembali hubungan-hbubungan antara kekuasaan yang ada di pemerintahan daerah.
2 Asshiddiqie Jimly, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 1
3 Hakim Lukman Op. Cit., Hal. 2
3
Terutama dengan dibentuknya lembaga negara baru baik ditingkat pusat atau nasional dan
ditingkat daerah atau lokal, akan mengakibatkan posisi, struktur, dan hubungan politik-
hukum di antara lembaga negara yang ada dengan yang baru juga akan berubah secara
signifikan.
Secara teoritis, perkembangan lembaga-lembaga baru selain lembaga-lembaga yang
telah ada sebelumnya menjadi fenomena menarik dan penting untuk dicermati. Dalam
konteks transisi demokrasi di Indonesia menjadi kelaziman, bahkan suatu keharusan,
berdasarkan semakin tingginya tuntutan dari masyarakat sipil (baik nasional maupun daerah)
terhadap struktur ketatanegaraan yang diharuskan memperhatikan konsep-konsep atau ide-ide
mengenai hak asasi manusia, dan demokrasi4. Hal yang paling signifikan dalam
perkembangan dan pembentukan institusi baru adalah masalah bersifat independen dan
masalah kedudukannya dalam pemerintahan tingkat pusat maupun ditingkat pemerintahan
daerah.
Sehubungan dengan tuntutan diatas telah diharmonisasi oleh perubahan kehidupan
bangsa indonesia, oleh karena pada saat perubahan dengan diamandemennya UUD 1945.
Dengan Penambahan Pasal 18B ayat (1) dan (2) pada Perubahan Kedua UUD 1945,
sebagaimana telah penulis jabarkan diatas, secara Konstitusional Pemerintah Indonesia telah
mengakui dan menghormati keberadaan Majelis Rakyat Papua di Provinsi papua.
Bentuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu,
dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh Undang-Undang Dasar,
sehingga eksistensinya sangat kuat secara konstitusional. Oleh sebab itu, keberadaan unit
4 Asshiddiqie Jimly, Op. Cit., Hal. 4
4
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami
sebagai bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas5.
Dasar Hukum Pembentukan Mejlis Rakyat Papua adalah Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua, adalah “MRP dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan berkedudukan di Ibukota Provinsi”.
Pasal 1 Huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menjelaskan Majelis Rakyat Papua adalah:
“Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang
asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli
Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini”;
Yang dimaksud dengan otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan
diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat
Papua6, sedangkan orang asli papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui
sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua7.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua yang sudah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, Majelis
Rakyat Papua Merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang
tertentu dalam rangka perlindunngan hak-hak orang asli papua dengan berlandaskan pada
5 Asshiddiqie Jimly, Op.Cit., Hal. 94.
6 Pasal 1 huruf b UU No 21 Tahun 2001.
7 Pasal 1 huruf t UU No 21 Tahun 2001.
5
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan peremupan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama sebagai mana diatur dalam Pasal 1 huruf g UU Nomor 21 Tahun
2001. Sebagai representasi kultural, MRP merupakan pemenuhan terhadap tuntutan
masyarakat papua akan pengakuan terhadap keberadaannya di tengah-tengah bangsa dan
negara indonesia. Selain itu, MRP juga dapat dilihat sebagai bentuk partisipasi masyarakat
papua secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Masyarakat dilibatkan
berdasarkan representasi kultural seperti agama, adat, dan perempuan dalam menentukan
keputusan-keputusan strategis bagi kemajuan masyarakat papua.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pembentukan MRP menjadi keputusan sangat
sentral berkaitan dengan implementasi Otsus di papua. Saat ini, memang MRP telah dibentuk
dan sudah menjalankan sebagian tugas dan wewenangnya. Namun dilihat dari kedudukan
MRP dalam sistem pemerintahan provinsi, maka banyak hal yang perlu dilihat lebih jauh.
Dengan pembentukan MRP, memberikan gambaran bahwa di Papua terdapat 3 (tiga)
lembaga daerah, yaitu DPRP yang merupakan perwakilan dari anggota partai-partai politik
yang dipilih secara langsung oleh masyarakat, MRP yang merupakan representasi
kultur/budaya yang mana anggota berasal dari wakil masyarakat Adat, wakil Agama, dan
wakil Perempuan. Dan Gubernur yang mencalonkan diri melalui partai politik atau gabungan
partai politik maupun perseorangan yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. MRP
adalah suatu organ daerah yang menjadi partner kerja dengan Pemerintahan Daerah Provinsi
(Legislatif & Eksekutif).
Kedudukan MRP dengan segala tugas dan kewenangannya dapat memberikan suatu
manfaat atas pelaksanaan Otonomi Khusus dimana diharapkan dapat memberikan masukan
terhadap kepentingan masyarakat asli Papua. Dasar pembentukan MRP adalah untuk
melindungi kepentingan masyarakat asli Papua dan pemberlakuan affirmative action. Yang
6
mana hak-hak dari masyarakat asli Papua terlindungi. Permasalahan dalam MRP adalah
adanya suatu ketimpangan dalam kedudukannya dalam sistem pemerintahan provinsi papua.
B. Latar Belakang Masalah
Mengapa Rakyat Papua ingin Merdeka dalam arti memisahkan diri dari NKRI? Menurut
Alm. Mantan Gubenur Provinsi Papua, dalam Tulisannya Timur dan Barat di Indonesia
Perspektif Indonesia Baru (2000). Ada 7 (tujuh) jawaban yang kurang lebih dapat diberikan
rakyat papua, berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Dari ketujuh jawaban tersebut hanya 4
jawaban saja yang paling dasar, yaitu8:
1. Kami tidak merasa sebagai bagian dari bangsa indonesia.
2. Kami diperlakukan tidak adil dan diskriminatif
3. Kami tidak pernah menikmati sumber kekayaan alam di bumi papua yang adalah
milik kami
4. Kami selalu ditindas dan banyak dari kami dibunuh dan kami menuntut hak-hak kami
Bersamaan dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dalam sidang MPR
Tahun 1999 tersebut, MPR juga menetapkan pemberian Otsus kepada aceh dan Papua. Proses
penyususnan Draft RUU Otsus, baru mulai setelah Alm. Jaap Solossa menjadi Gubernur
Provinsi Papua tanggal 23 November 2000. Setelah melalui berbagai kesulitan, RUU Otsus
untuk Papua disahkan oleh DPR RI Pada 20 Oktober 2001. Akhirnya disahkan Oleh Presiden
Megawati Sukarnoputri pada tanggal 21 November 2001. Pada Tahun 2001 secara resmi
Pemerintah Indonesia menggulirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua selajutnya di sebut UU Otsus Papua). UU Otsus ini
tentunya diharapkan dapat menjadi payung hukum pemecahan masalah papua9.
Ancaman disintegrasi di Papua adalah persoalan multidimensi yang telah dihadapi
sebagai suatu bangsa selama kurang lebih 40 tahun Papua kembali ke Indonesia, yaitu pada
8 Ayorbaba Athonius, The Papua Way (Dinamika Konflik Laten & Refleksi 10 Tahun Otsus Papua, Tabloid Suara Perempuan Papua,
Abepura, 2011, Hal. 86.
9 Ibid., Hal.112.
7
waktu integrasi papua ke dalam indonesia melalui Penetuan Pendapat Rakyat (PEPERA)10
pada tahun 1969 yang di wadahi oleh PBB, mendapat kesepakatan bahwa papua merupakan
bagian dari indonesia dan merupakan provinsi terakhir yaitu provinsi ke-27 pada waktu itu,
oleh karena itu memelurkan pendekatan yang bersifat multi-approach dalam suatu kerangka
hukum yang kuat dan jelas. Salah satu upayanya adalah memberikan status otonomi khusus
kepada Papua11
.
Sementara menurut Alm. J.B Sollosa Mantan Gubernur Papua, tuntutan sebagian rakyat
papua untuk menentukan nasib sendiri (self determination) adalah salah satu alasan yang
memunculkan gagasan otonomi khusus sebagai penyelesaian masalah tersebut12
.
Pembentukan UU Otsus Papua yang mana merupakan usul dari masyarakat Papua,
Undang-undang tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat Papua yang muncul dengan
terjadinya gejolak politik di Papua. Dalam hal ini, pembentukan dari undang-undang tersebut
untuk meredam keinginan memisahkan diri (merdeka) masyarakat Papua dari Republik
Indonesia. Dimana konsep dan rencana dalam pembentukan Undang-undang Otonomi
Khusus merupakan hasil rumusan dari masyarkat asli Papua dengan mengutamakan
perlindungan dan keberpihakan terhadap orang asli Papua di atas tanahnya sendiri.
Pemberlakuan otonomi khusus untuk provinsi Papua pada saat diudangkannya UU Otsus
yaitu tahun 2001.
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberlakukan Otonomi
Khusus oleh pemerintah Republik Indonesia. Selain Provinsi Papua yang mendapatkan status
Otonomi Khusus adalah Provinsi Nangroe Aceh Darullsalam (NAD) dengan UU Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Otonomi Khusus Provinsi Papua berlangsung sejak
10 Lihat Buku, Yoman S Socrates, Pintu Menuju Papua Merdeka, Perjanjian Newnork 15 Agustus 1962 dan PEPERA 1969 Hanya
Sandiwara Politik Amerika, Indonesia, Belanda, dan PBB.
11 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Prestasi Pustaka Publisher, 2010, Hal. 142.
12 Ibid., hal. 142.
8
tahun 2001 dimana setelah dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah
dengan UU No.35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Pengacuan dalam pembentukan daerah khusus dapat dilihat dalam konstitusi UUD 1945
Perubahan keempat, diatur dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah. Pemberian Otonomi
Khusus bagi Papua di dasarkan pada UUD 1945 ketentuan sebagaimana telah penulis uraikan
pada halaman 1.
Provinsi-provinsi yang mendapatkan pemberlakuan khusus dari negara
dikarenakan dalam konstitusi memberikan peluang untuk membuat daerah tersebut khusus
dengan melihat latar belakang kekhususan yang ada pada daerah tersebut. Pasal 18 Huruf B
UUD 1945, disamping mempunyai makna politis untuk meredam tuntutan pemisahan diri,
sedangkan secara yuridis merupakan landasan lahirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus
Papua, yang sekaligus merupakan dasar hukum perubahan nama Provinsi Irian Jaya menjadi
Provinsi Papua.
Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintah Daerah yang bersifat khusus dan
Istimewa (Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945). Yang dimaksud dengan “bersifat istimewa”
adalah pemerintah asli atau pemerintahan bumiputra. Dalam prakteknya penyelenggaraan
pemerintahan daerah terdapat daerah istimewa. Dalam Pasal 18 Huruf B. Perkataan “khusus”
memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk daerah
dengan otonomi khusus (Aceh dan papua). Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengsn
pelaksana syariat islam. Setiap daerah dapat menuntut kekhususan berdasarkan faktor tertentu
tanpa kriteria umum yang telah ditentukan dalam undang-undang13
.
Otonomi khusus umunya diberikan sebagi konsekuensi dari ketimpangan yang terjadi
antara satu wilaya dengan wilayah lain dalam sebuah negara. Ada yang berkembang lebih
cepat dan ada yang tertinggal. Hal ini disebab karena banyak faktor, bisa geografis, latar
13
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., Hal. 144.
9
belakang sejarah, juga bisa disebabkan karena penangan pemerintah. Ketimpangan tersebut
menurut Litvack dan Bird mengharuskan pemerintah pusat untuk membuat kebijakan-
kebiajakn desentralisasi yang bersifat asimetris, yaitu memberikan perlakuan yang berbeda,
yang pada akhirnya akan memungkinkan terjadi koherensi/persatuan nasional yang lebih
kukuh karena masalah-masalah yang spesifik itu bisa diselesaikan secara damai dengan hasil
yang lebih memuaskan14
.
Kata “khusus” diartikan sebagai: “Perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua
dan Aceh karena kekhususan. Kekhususan mencakup aspek geografis, fisiologis, politik,
sosal-budaya, yang ditunjukan seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan
sejarah politik. Artinya ada hal-hal mendasar yang hanya diberlaku di Papua dan Aceh dan
mungkin tidak berlaku didaerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku didaerah lain
di Indonesia yang tidak diterapkan atau tidak diberlakukan di Papua dan Aceh”15
.
Pelaksanaan Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 tampak dari adanya daerah-daerah khusus
dan daerah-daerah istimewa, yakni16
:
1. Daerah Khusus IbuKota Jakarta, UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Daerah Khusus Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
3. Daerah Khusus Papua, Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua;
4. Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Dalam organisasi yang besar (dilihat dari berbagai dimensi) dan dianut paham demokrasi,
selain sentralisasi dan dekonsentrasi, diselenggarakan pula asa desentralisasi. Dengan
desentralisasi, terjadi pembentukan dan implementasi kebijakan yang tersebar diberbagai
14
Rosidin Utang, Op. Cit, Hal. 36.
15 Titik Triwulan Tutik, Loc. CIt., Hal. 144.
16 Agus Sumule, 2003, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, Hal. 54.
10
jejang pemerintahan subnasional. Asas ini berfungsi unutk menciptakan keanekaragaman
dalam penyelenggaraan pemerintahan, sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat.
Dengan kata lain, desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman
masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik unutk menyalurkan aspirasi
masyarakat setempat17
. Pada prinsipnya, tidaklah mungkin diselenggrakan desentralisasi
tanpa sentralisasi, sebab desentralisasi tanpa sentralisasi, akan menghadirkan disinttergrasi.
Oleh karena itu, otonomi daerah yang pada hakikatnya mengandung kebebasan dan keluasaan
berprakarsa, memelurkan bimbingan dan pengawasan pemerintah, sehingga tidak menjelma
menjadi kedaulatan. Otonomi daerah, daerah otonom, dan daerah otonomi khusus maupun
istimewa adalah ciptaan pemerintah. Walaupun demikian, hubungan antara daerah otonom
dan pemerintah adalah hubungan antarorganisasi dan bersifat resiprokal.18
Dalam pemerintahan daerah, disamping dekonsentrasi dan desentralisasi, diselenggarakan
pula tugas pembantuan (medebewind) oleh pemerintah kepada daerah otonom. Berdasarkan
asas ini, pemerintah menetapkan kebijakan makro, sedangkan daerah otonom membuat
klebijakan mikro beserta implementasinya.19
Aspek lain yang dapat mempengaruhi pola hubungan antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah adalah susunan organisasi pemerintahan daerah, terlebih dalam negara
kesatuan yang desentrlistik. Kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dalam
negara kesatuan sangalh luas dan mencakup seluruh warga negara yang ada di dalam maupun
diluar negeri. Oleh karena itu mutlak dilakukan delegasi kewenangan (delegation of
autthority) baik dalam rangka desentralisasi maupun dekonsentrasi.20
17 Ni’ Matul Huda., Hukum Pemerintahan Daerah., Nusamedia, Bandung, 2012., Hal 13.
18 Ibid., Hal. 13
19 Ibid., Hal.14.
20 Ibid., Hal. 24.
11
Susunan organisasi pemerintahan di daerah akan berpengaruh terhadap hubungan antara
pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peran dan fungsi masing-masing susunan atau
tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi yang dijalankan. Pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan sangat tergantung pada karakteristik dari
masing-masing negara. Secara teoritis Smith membagi kewenangan tersebut menurut dua
sistem, yaitu, sistem ganda (dual system) dan sistem gabungan (fused system). Di bawah
sistem ganda, pemerintah daerah dijalankan secara terpisah dari pemerintahan pusat atau dari
eksekutifnya di daerah. Sedfangkan di bawah sistem gabungan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dilaksanakan bersama-sama dalam satu unit, dengan seorang pejabat
pemerintah yang ditunjuk untuk mengawasi jalannya pemerintah setempat.21
Dari sudut pandamg yang lain, misalnya dari Campo dan Sundaram, membedakan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berdasarkan dua
prinsip22
.
1. Prinsip ultra vires (ultra vires (beyond the power) principle), di mana entitas daerah
menjalankan kekuasaan termasuk membuat keputusan yang didelegasikan secara
spesifik oleh pemerintah pusat.
2. Prinsip kompetensi umum (general compotence principle), di mana entitas daerah
dapat menyelenggarakan semua kekuasaan yang tidak dicadangkan unutk pemerintah
pusat.
Pola pembagian kewenangan harus diimbangi juga dengan pola pertanngungjawaban
yang secara agar kewenangan tersebut dapat dijalankan secara amanah. Di samping itu,
penyerahan ataupun pelimpahan kewenangn dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
baik pemerintah daerah maupun pejabat pemerintah pusat didaerah perlu diikuti dengan
pembinaan dan pengawasan yang setara.23
Susunan organisasi pemerintahan daerah dalam
artian pembagian kewenangan antara pusat dan daerah berlaku untuk semua daeerah otonom
21 Ni’Matul Huda, Op. Cit., Hal., Hal. 25
22 Ibid., Hal. 25
23 Ibid., Hal. 26
12
dan daerah yang bersifat khsusu dan istimewa, dengan demikian pembagian terebut, berlaku
pula untuk daerah tonomi khusus papua.
Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua mempunyai identitas
diri yang khas dan merupakan suatu keragaman dari masyarakat asli Papua. Undang-undang
Otonomi Khusus Provinsi Papua memberikan keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-
hak dasar dari penduduk asli Papua. Untuk itu perlindungan terhadap hak-hak dasar orang
asli Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu8:
(1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang
bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara
baik dan proporsional.
(2) Perlindungan hak‐hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas‐batas tertentu dengan
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.
(3) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan
aspirasinya.
(4) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan
politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.
(5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama
yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan
(6) Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua.
Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua yang mencakup
enam dimensi pokok kehidupan diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman dalam
keadilan di dalam isi dari peraturan Perundang-undang tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua. Enam dimensi pokok tersebut yang menjadi sumber pijakan dalam melihat isi dari
Undang-undang Otonomi Khusus apakah telah memuat rasa keadilan atau belum dalam
Otonomi Khusus24
.
Sebelum provinsi Papua diberlakukan status otonomi khusus dengan adanya UU
Otsus, sistem pemerintahan daerah provinsi papua tidak berbeda dengan sistem pemerintahan
daerah provinsi-provinsi lain di Indonesia. Artinya masih mengacu secara mutlak pada
24 Pendapat Decky Wospakrik dalam Thesisnya Penguatan MRP menurut UU No 21 Tahun 2001, UKSW, Salatiga, 2012, Hal. 5.
13
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua yang sudah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008,
artinya provisnsi Papua berstatus pemerintahan daerah otonom yang bersifat khusus. Dengan
demikian provinsi papua di samping mengacu Pada UU Pemda (Lex Generalis) juga
mengacu pada UU Otsus (lex specialis) yang tetap mengikuti prinsip bentuk negara yaitu
negara kesatuan. Di berlakukan pemerintahan daerah yang bersifat otonomi khusus berkaitan
dengan hal-hal yang terkait dengan kekhususan dari pemerintahan daerah provinsi papua.
Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada
Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh
Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No.
135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi
Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
1. Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui
keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua
pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;
dan
3. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan