1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar aktifitas manusia terkonsentrasi di atas permukaan tanah (daratan). Aktifitas tersebut menjadi fenomena penting yang menyangkut gambaran geografis suatu wilayah, baik aspek spasial maupun aspek temporal. Aktifitas ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk, pola dan kecenderungan serta interaksi faktor lingkungan dari suatu wilayah geografis. Semua aktifitas tersebut tidak terlepas dari masalah keruangan karena terkait dengan pemanfaatan lahan. Pesatnya kebutuhan ruang sebagai respon dari peningkatan populasi pada akhirnya juga akan meningkatkan intensitas pemanfaatan lahan yang secara global ketersediaannya tetap (Eckert, 1990., Smith dan Corgel, 1992, dan O’Sullvan, 2003). Sebagai konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah cepatnya perubahan bentuk penggunaan lahan. Menurut Knowless dan Wareing (1994) bahwa perubahan tutupan lahan sebagai dampak dari pesatnya penggunaan dan pengembangan lahan dapat terlihat dari kenampakan fisik dengan semakin luasnya lahan yang digunakan. Hal ini dapat dideteksi baik dari pengamatan langsung di lapangan melalui kenyataan penggunaan lahan maupun pengamatan foto udara atau pemanfaatan citra satelit. Permasalahan yang dihadapi dewasa ini adalah alokasi pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada belum mampu mewadahi dan mengimbangi perkembangan dan potensi sektor pembangunan strategis dan wilayah potensial yang pengembangannya tidak terlepas dari sektor dan wilayah lain. Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Penggunaan citra penginderaan jauh mendukung kajian terhadap penggunaan lahan sebagai langkah memahami aspek karakteristik lahan sehingga dapat diketahui kemampuan dan potensi kesesuaiannya. Menurut Haggerstrand (1973) bahwa keuntungan pemanfaatan citra adalah menyajikan gambaran fisik
29
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67140/potongan/S3-2014... · penting tentang distribusi, ... untuk seluruh Indonesia hanya peta pada skala
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagian besar aktifitas manusia terkonsentrasi di atas permukaan tanah
(daratan). Aktifitas tersebut menjadi fenomena penting yang menyangkut
gambaran geografis suatu wilayah, baik aspek spasial maupun aspek temporal.
Aktifitas ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk, pola dan kecenderungan
serta interaksi faktor lingkungan dari suatu wilayah geografis. Semua aktifitas
tersebut tidak terlepas dari masalah keruangan karena terkait dengan pemanfaatan
lahan. Pesatnya kebutuhan ruang sebagai respon dari peningkatan populasi pada
akhirnya juga akan meningkatkan intensitas pemanfaatan lahan yang secara global
ketersediaannya tetap (Eckert, 1990., Smith dan Corgel, 1992, dan O’Sullvan,
2003). Sebagai konsekuensi dari kenyataan tersebut adalah cepatnya perubahan
bentuk penggunaan lahan.
Menurut Knowless dan Wareing (1994) bahwa perubahan tutupan lahan
sebagai dampak dari pesatnya penggunaan dan pengembangan lahan dapat terlihat
dari kenampakan fisik dengan semakin luasnya lahan yang digunakan. Hal ini
dapat dideteksi baik dari pengamatan langsung di lapangan melalui kenyataan
penggunaan lahan maupun pengamatan foto udara atau pemanfaatan citra satelit.
Permasalahan yang dihadapi dewasa ini adalah alokasi pemanfaatan ruang dan
sumberdaya yang ada belum mampu mewadahi dan mengimbangi perkembangan
dan potensi sektor pembangunan strategis dan wilayah potensial yang
pengembangannya tidak terlepas dari sektor dan wilayah lain. Kebutuhan lahan
yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial,
serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non
pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam mengoptimalkan penggunaan
lahan secara berkelanjutan.
Penggunaan citra penginderaan jauh mendukung kajian terhadap
penggunaan lahan sebagai langkah memahami aspek karakteristik lahan sehingga
dapat diketahui kemampuan dan potensi kesesuaiannya. Menurut Haggerstrand
(1973) bahwa keuntungan pemanfaatan citra adalah menyajikan gambaran fisik
2
yang nyata dan lengkap mengenai kecenderungan perubahan dan karakteristik
suatu kawasan, baik kecenderungan pola pemanfaatan lahan, perkembangan
wilayah serta kecenderungan suatu aspek yang berkaitan dengan suatu obyek.
Informasi gambaran fisik yang nyata dan kecenderungan kawasan tersebut sangat
bermanfaat untuk mendukung kajian yang terkait dengan potensi lahan suatu
wilayah karena semua terdeteksi secara menyeluruh dan tidak ada informasi yang
tersembunyi.
Pemanfataatan lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data
dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan
fisik lainnya serta persyaratan tumbuh dari tanaman yang diusahakan, terutama
tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik.
Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian
adalah data spasial potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi
penting tentang distribusi, luasan, kemampuan dan tingkat kesesuaian lahan,
faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan. Namun, pada
kenyataannya data/informasi sumberdaya lahan tersebut sampai saat ini yang
tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
(Puslitbangtanak) untuk seluruh Indonesia hanya peta pada skala eksplorasi
(1:1.000.000), sedangkan data/peta pada skala tinjau (1:250.000) baru sekitar 57%
dari total wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi detil hingga detil (1:50.000
atau lebih besar) hanya sekitar 13%. Kendala data/peta yang tersedia tersebut,
menyebabkan dalam analisis potensi lahan ini digunakan data sumberdaya lahan
yang tersedia untuk seluruh Indonesia, yaitu pada skala eksplorasi (1:1.000.000).
Peta tersebut hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan atau
arahan pengembangan komoditas secara nasional, sedangkan untuk tujuan
operasional pengembangan pertanian di tingkat kabupaten/kecamatan, diperlukan
data/peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar, yang secara
bertahap perlu dibangun (Suryana, 2005).
Wilayah Indonesia dengan luas total 188,2 juta ha, sampai dengan tahun
2007 telah diselesaikan pemetaan sumberdaya tanahnya pada tingkat tinjau seluas
115,5 juta ha (61,37%), tingkat semi detail dan detail seluas 36,8 juta ha
3
(19,54%). Tantangan yang dihadapi pada masa depan adalah : (a) menyelesaikan
wilayah yang belum dipetakan pada tingkat tinjau seluas 72,7 juta ha (38,63%)
yang seluruhnya termasuk Kawasan Timur Indonesia, (b) kebutuhan dan
permintaan peta sumberdaya tanah terutama skala 1:50.000 cenderung meningkat
sejalan dengan otonomi daerah, dan (c) tenaga bidang pemetaan sumberdaya
tanah makin berkurang. Apabila diasumsikan ada peningkatan dan kontinuitas
pendanaan yang mencukupi, pemberdayaan tenaga pemetaan yang ada saat ini,
dan pemanfaatan teknologi citra satelit, DEM, dan SIG, maka pemetaan
sumberdaya tanah tingkat tinjau dapat diselesaikan dalam waktu tujuh tahun
dengan kecepatan sekitar 10 juta ha per tahun (Hikmatullah dan A. Hidayat,
2007). Provinsi Gorontalo memiliki luas 12.215,44 km2, ternyata 463.649,09
hektar (37 %) merupakan areal potensial pertanian (dalam arti luas), tetapi yang
dimanfaatkan baru (fungsional) seluas 148.312,78 ha atau 32 %, dengan demikian
masih terdapat pengembangan lahan sebesar 315.336,31 hektar (Bappeda, 2003).
Menurut Muhamad (2003) bahwa upaya untuk mempercepat pertumbuhan
dan pengembangan wilayah, pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan tiga
program unggulan yaitu : a). pengembangan sumberdaya manusia (SDM); b).
pengembangan pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai provinsi
agropolitan, provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian; c).
pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor
perikanan dan pengembangan wilayah pesisir. Pengembangan sektor pertanian
sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, dilaksanakan dengan
pendekatan konsep agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi
sebagai komoditas utama. Pengembangan agropolitan di Provinsi Gorontalo
ditetapkan di Kabupaten Pohuwato yang menjadi daerah penelitian dalam kajian
disertasi ini (Gambar 1.1.1). Sejak tahun 2002 konsep agropolitan di kabupaten
ini dikembangkan di salah satu kecamatan, yaitu Kecamatan Randangan dengan
basis komoditas pertanian tanaman jagung.
GGambar 1.1.1 Peeta Daerah Peneelitian di Kabuppaten Pohuwatoo Provinsi Gorontalo
4
5
Perekonomian Provinsi Gorontalo secara sektoral, masih didominasi
oleh aktivitas sektor pertanian. Apabila dilihat secara lebih khusus lagi,
penggerak sektor pertanian berasal dari subsektor tanaman pangan. Sementara
sektor sekunder dan tersier ditempati oleh sektor perikanan, peternakan, jasa-jasa
dan sektor perdagangan. Sektor petanian di daerah Gorontalo menjadi perhatian
karena merupakan program unggulan pemerintah Provinsi Gorontalo. Namun
peningkatan produksi belum seimbang dengan pemanfaatan luas lahan yang
tersedia, di samping itu juga pola budaya masyarakat yang menerapkan sistem
pola tanam yang masih menggunakan teknologi tradisional dalam menjalankan
usaha tani khususnya tanaman jagung, seperti : mengolah tanah, pemeliharaan
tanaman yang kurang intensif, menggunakan bibit lokal, jarang atau bahkan tidak
menggunakan pupuk atau pestisida, menggunakan pola tanam campuran yang
tidak beraturan. Bahkan kebun-kebun ada yang tidak dipagar sehingga hewan liar
bebas keluar masuk merusak tanaman.
Di Provinsi Gorontalo, lahan pertanian pada subsektor tanaman pangan
digunakan untuk penanaman komoditi padi dan jagung. Luas panen untuk
tanaman jagung terus mengalami peningkatan, tahun 2002 adalah 20.864,00 ha,
tahun 2003 menjadi 51.124 ha, selanjutnya tercatat pada tahun 2008 luas panen
tanaman jagung mencapai 109,792 dengan produksi total 416.222 ton (BPS
Gorontalo, 2009). Oleh karena itu dengan potensi yang dimiliki dan prospek
pasar yang menjanjikan, pengembangan komoditas jagung perlu ditindaklanjuti
dengan langkah-langkah strategis, yang sebelumnya didahului dengan kajian.
Pada tahun 2003 sampai tahun 2005 produksi jagung di Provinsi
Gorontalo mengalami peningkatan yang besar, yaitu dari 183.998 ton meningkat
menjadi 400.046 ton. Peningkatan produksi jagung ini adalah akibat dari
penerapan budidaya yang intensif dan subsidi pemerintah. Keadaan peningkatan
produksi jagung ini terus menerus sampai mencapai puncak produksi tertinggi
tahun 2008, namun tahun 2009 mengalami penurunan menjadi 569.110 ton
(Gorontalo dalam angka, 2010). Jagung yang dipasarkan biasanya adalah jagung
muda untuk dikonsumsi sebagai makanan tambahan dan batang dan daunnya
digunakan sebagai pakan ternak peliharaan seperti sapi dan kuda. jagung tua
6
dengan kualitas dan kadar air tertentu biasanya dijual ke pengumpul dalam
jumlah yang besar untuk di ekspor, sementara sampai dengan akhir tahun 2006
Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan untuk konsumsi jagung
dalam negeri.
Jagung di Indonesia merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai
ekonomis. Kebutuhan jagung terus meningkat, yang seharusnya dapat dipakai
sebagai momentum untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Produksi jagung
di Gorontalo Tahun 2000 hanya 76.573 ton melonjak menjadi 400.046 ton pada
tahun 2005 (Bappeda Gorontalo, 2006). Jagung di samping sebagai makanan
pokok sebagian masyarakat Indonesia, juga berfungsi sebagai bahan pakan ternak
dan bahan baku industri makanan. Seiring dengan peningkatan aktivitas
pengembangan peternakan Indonesia, tentunya sebagai second round effect
berimbas terhadap peningkatan permintaan jagung sebagai salah satu input dalam
produksi ternak. Indonesia sampai dengan akhir tahun 2006, belum mampu
mencukupi kebutuhan untuk konsumsi jagung dalam negeri, oleh karena itu
dengan potensi yang dimiliki dan prospek pasar yang menjanjikan, pengembangan
komoditas jagung perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah strategis, yang
sebelumnya perlu didahului dengan kajian. Melalui koordinasi dan kerjasama
yang terarah dengan semua stakeholders, Provinsi Gorontalo memiliki peluang
untuk meningkatkan produksi jagung dengan tetap memperhatikan kualitas.
Konsep pengembangan agribisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung
program agropolitan.
Pada tahun 2005 luas panen komoditas jagung secara nasional mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2004 yaitu dari 3,36 juta menjadi 3,63
juta ha, akan tetapi pada tahun 2006 luasnya turun menjadi 3,35 juta ha. Hal ini
berpengaruh pula pada produksinya dimana tahun 2004 hanya 11,22 juta ton,
tahun 2005 naik menjadi 12,52 juta ton tetapi tahun 2006 turun menjadi 11,61 juta
ton, sedangkan produktivitasnya memperlihatkan kenaikan (Departemen
Pertanian, 2007). Selanjutnya menurut Badan Pusat Statistik (2012) bahwa
produksi jagung tahun 2011 sebesar 17,64 juta ton pipilan kering atau turun
sebesar 684,39 ribu ton (3,73 %) dibandingkan 2010 dan perkiraan tahun 2012
7
produksi jagung 2012 sebesar 18,95 juta ton pipilan kering atau naik sebesar 1,30
juta ton (7,38 %) dibandingkan 2011. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena
adanya perkiraan peningkatan luas panen seluas 132,78 ribu hektar (3,44 %) dan
produktivitas sebesar 1,74 kuintal/hektar (3,81 %).
Luas panen jagung di Indonesia, Provinsi Gorontalo, dan di Kabupaten
Pohuwato mengalami peningkatan. Peningkatan luas panen ini terjadi selang
tahun 2004-2005. Hal ini menyebabkan produksi jagung mengalami peningkatan.
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo (2007) bahwa
ranking produktifitas jagung di Provinsi Gorontalo menempati urutan ke 3
nasional pada tahun 2007 dan menempati ranking pertama di kawasan Sulawesi,
dan luas panen terbesar berada di Kabupaten Pohuwato (42,01%) dari total luas
panen jagung Provinsi Gorontalo, sehinga produksi jagung di Provinsi Gorontalo
sebagian besar berasal dari kabupaten ini. Produksi, luas panen, dan produktivitas
tanaman jagung di Indonesia, Provinsi Gorontalo, dan Kabupaten Pohuwato
tertera pada Tabel 1.1.1.
Tabel 1.1.1 Produksi Tanaman Jagung di Indonesia, Provinsi Gorontalo,
dan Kabupaten Pohuwato Tahun 2004 - 2006
Kategori
Tahun 2004 2005 2006
Indonesia Luas Panen (ha) 3.356.914 3.625.987 3.345.805 Produksi (ton) 11.225.243 12.524.894 11.609.463
Produktivitas (kw/ha) 33,44 33,4 34,7 Provinsi Gorontalo
Luas Panen (ha) 72.529 107.715 109.716 Produksi (ton) 251.214 400.050 416.213
Produktivitas (kw/ha) 38,33 37,14 37,94 Kabupaten Pohuwato
Luas Panen (ha) 26.693 43.614 49.432 Produksi (ton) 206.937 206.935 219.033
Produktivitas (kw/ha) 47.45 47.45 44.31 Sumber : Departemen Pertanian (2007),
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo (2007), dan Dinas Pertanian Kabupaten Pohuwato (2010)
8
Berdasarkan Rencana Strategi pembangunan pertanian Provinsi Gorontalo
telah ditetapkan proyeksi produksi tanaman pangan yang menjadi unggulan
Provinsi Gorontalo. Proyeksi untuk tanaman jagung tetap menjadi komoditas yang
dominan dibanding komoditas lainnya, kemudian disusul padi, dan tanaman
lainnya seperti jenis kacang-kacangan (kedele, kacang tanah, dan kacanghijau),
dan ubi-ubian (ubi kayu, dan ubi jalar). Proyeksi produksi tanaman jagung tahun
2012 adalah 1.025.000 ton, sedangkan tanaman padi 306.607 ton. Tanaman
lainnya seperti kedelei 6.659 ton, kacang tanah 3.494 ton, kacang hijau 292, ubi
kayu 4.106 ton, dan ubi jalar 1.447 ton. Secara lengkap proyeksi produksi
tanaman pangan tersebut disajikan pada Tabel 1.1.2.
Tabel 1.1.2 Proyeksi Produksi Tanaman Pangan di Provinsi Gorontalo Tahun 2009-2012
lembaga petani, 11) lembaga kesehatan, 12) serta prasarana dan sarana umum.
Fasilitas lainnya adalah pembangunan infrastruktur penunjang usaha tani,
pemukiman, pemasaran dan agroindustri. Jenis infrastruktur penunjang
agroindustri adalah pembangunan industri rumah tangga (home industry) pada
unit-unit pemukiman penduduk. Jenis infrastruktur yang dapat menunjang
industri pemasaran adalah infrastruktur yang dapat mendekatkan produksi ke
konsumen akhir, berupa pembangunan pasar induk, terminal agribisnis dan pasar-
pasar tradisional terutama pada kota pemasaran akhir (outlet).
Usaha untuk menunjang kegiatan distribusi hasil pertanian di kawasan
agropolitan dibutuhkan sarana pasar yang memadai. Pembangunan pasar
merupakan tempat bagi petani untuk mendistribusikan hasil pertaniannya. Dalam
hal ini, petani bertindak sebagai produsen. Kehadiran sebuah pasar, diharapkan
kebutuhan petani selaku produsen hasil pertanian, utamanya yang berada di
Kawasan Sentra Produksi dan Kota Tani, dapat terakomodasi dan harga yang
15
terbentuk didasarkan pada mekanisme pasar sehingga tidak merugikan petani.
Sebab selama ini, sistem ijon masih terjadi dimana posisi tawar petani sangat
lemah sehingga penentu harga pada umumnya adalah tengkulak. Akses yang
tidak mudah untuk menuju daerah pemasaran menjadi pemicu bagi para petani
untuk menyerahkan hasil pertanian pada para tengkulak. Para petani ini terpaksa
menyerahkan hasil pertaniannya pada tengkulak karena kesulitan dalam
pengangkutan dari kawasan pertanian menuju kawasan pemasaran.
Jenis pembangunan infrastruktur penunjang usahatani yang sangat
dibutuhkan adalah jalan usahatani sekunder yang dapat dilalui kenderaan
pengangkut saprodi dan hasil panen. Pembangunan infrastruktur jaringan jalan
yang terpadu dan berkelanjutan di kawasan agropolitan dapat berfungsi melayani
pusat-pusat kegiatan produksi hulu dan kawasan pusat industri serta kawasan
strategis sampai ke luar daerah pemasaran (outlet). Jenis pembangunan
infrastruktur penunjang pemukiman adalah pembangunan fasilitas sosial setara
perkotaan, sehingga dapat menahan laju migrasi ke kota. Fasilitas-fasilitas inilah
yang belum seluruhnya terpenuhi di Kawasan Agropolitan Kabupaten Pohuwato.
Pengembangan agropolitan berbasis jagung di wilayah Kabupaten
Pohuwato ini mempunyai peran penting sebagai arahan dan peluang lokasi
investasi bagi pemerintah dan masyarakat dalam mencapai efisiensi, efektifitas
dan nilai tambah dari produk-produk yang dihasilkan sentra-sentra produksi
berbasis jagung.
1.2 Perumusan Masalah
Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya
ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan
pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara
fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan
kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang
selalu menurun akibat beberapa permasalahan. Wilayah perkotaan disisi lain
sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga
16
memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan permasalahan sosial
(konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya
sanitasi lingkungan permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara
agregat wilayah keseluruhan akan berdampak pada penurunan produktivitas
wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2006).
Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan
suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan
perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi
dkk, 2006). Agropolitan adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang
terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis) pada wilayah produksi
pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional
dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis,
terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan. Agropolis adalah
lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis
pertanian. Menurut Anwar dan Rustiadi (1999), pengertian agropolitan adalah
merupakan tempat-tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur
berhierarki, karena agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan
menengah di sekitar wilayah perdesaan (Micro Urban-village) yang dapat
bertumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi pada sistem kegiatan-
kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik,
menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya.
Agropolitan dengan permasalahan dan tantangan kewilayahan dalam
pembangunan perdesaan saat ini adalah : 1) mendorong ke arah terjadinya
desentralisasi pembangunan maupun kewenangan; 2) menanggulangi hubungan
saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan; dan 3) menekankan
pada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan
dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi
dan Hadi, 2006).
Di Indonesia, konsep agropolitan telah mulai dilaksanakan sejak tahun
2002. Terdapat 8 kawasan agropolitan yang dikembangkan pada tahap awal ini.
Kawasan tersebut adalah : 1) Kawasan Agropolitan Selupu Rejang, Kabupaten
17
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, 2) Kawasan Agropolitan Sangsaka,
Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, 3) Kawasan Agropolitan
Tawung, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan, dan 4) Kawasan
Agropolitan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Sementara
itu, empat kawasan agropolitan lainnya, yaitu : 1) Kawasan Agropolitan IV
Angkat Candung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, 2) Kawasan
Agropolitan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, 3) Kawasan
Agropolitan Banjar Arum, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta, dan
4) Kawasan Agropolitan Catur, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, memperoleh
biaya pengadaan sarana dan prasarana (Rustiadi, 2008).
Pengembangan Agropolitan di Provinsi Gorontalo ditetapkan di
beberapa wilayah, seperti di Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo, dan
Kabupaten Pohuwato. Kabupaten Pohuwato merupakan sentra produksi jagung
dimana komoditas ini ditetapkan menjadi komoditas unggulan di daerah ini.
Permasalahan tentang pengembangan agropolitan berbasis jagung di Kabupaten
Pohuwato adalah lahan untuk pengembangan tanaman jagung cukup luas dengan
variasi dan kemampuan dan kesesuaian lahan yang distribusi keruangannya belum
diketahui, infra struktur belum memadai, masih terbatasnya sarana–prasarana
penunjang yang ada menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung yang berkelanjutan di
daerah ini. Data spasial yang menjadi acuan dalam penentuan kebijakan
pemerintah daerah belum tersedia; karena penggunaan data potensi spasial
diperlukan untuk berbagai keperluan seperti pengembangan dan perencanaan
wilayah serta manajemen sumberdaya di daerah ini. Data spasial merupakan data
yang memiliki referensi keruangan. Setiap bagian dari data tersebut selain
memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga dapat memberikan informasi
mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena dalam suatu wilayah.
Uraian di atas menunjukkan perlunya dibuat suatu konsep
pengembangan agropolitan berbasis jagung yang berorientasi kepada
pembangunan daerah dan pemberdayaan potensi sumberdaya alam dengan
memadukan penggunaan ruang (spasial) dan segenap sumberdayanya secara
18
fungsional antar berbagai sektor untuk mendorong pemanfatan lahan potensial
agar tercapai pertumbuhan wilayah yang seimbang, lestari dan berkelanjutan.
Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan perencanaan yang terpadu dan
menyeluruh, berdasarkan pertimbangan aspek sosio ekonomi dan ekologi secara
terpadu. Dari konsep yang ditemukan ditentukan kawasan agropolitan Kabupaten
Pohuwato dengan kategori kawasan sentra pengembangan yang sifatnya sebagai
sentra produksi penghasil jagung, juga dapat ditentukan pusat regional/kota kecil
sebagai pusat pemasaran produksi dan pengolahan hasil.
Kondisi sekarang permasalahan di Kabupaten Pohuwato dapat diuraikan
sebagai berikut: 1) komoditas jagung telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai
unggulan, 2) lahan untuk pengembangan jagung cukup luas dengan variasi
kemampuan dan kesesuaian lahan, yang sebaran keruangannya belum diketahui,
3) infrastruktur pendukung agropolitan belum merata, 4) belum adanya penetapan
kawasan agropolitan yang terarah.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di
atas maka dirumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Bagaimana pola keruangan penggunaan lahan untuk tanaman jagung di
Kabupaten Pohuwato ?
2) Bagaimana kemampuan dan kesesuaian lahan yang spesifik lokasi untuk
tanaman jagung di Kabupaten Pohuwato?
3) Bagaimana pola keruangan/spasial dari infrastruktur di Kabupaten Pohuwato?
4) Bagaimana zona pengembangan agropolitan jagung di Kabupaten Pohuwato
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1) mengkaji sebaran pola keruangan penggunaan lahan saat sekarang di
Kabupaten Pohuwato;
2) menganalisis kemampuan dan kesesuaian lahan untuk tanaman jagung di
Kabupaten Pohuwato;
19
3) mengevaluasi pola keruangan infrastruktur untuk mendukung agropolitan
tanaman jagung di Kabupaten Pohuwato;
4) menyusun arahan zona pengembangan agropolitan jagung di Kabupaten
Pohuwato.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1) menghasilkan rekomendasi tentang arahan pemanfatan lahan untuk
tanaman jagung yang memiliki kesesuaian dengan tanaman jagung di
Kabupaten Pohuwato;
2) menentukan wilayah sentra produksi jagung, dan kota kecil sebagai pusat
regional yang lengkap dengan informasi spasial tentang pengembangan
komoditas jagung yang berkelanjutan di Kabupaten Pouwato Gorontalo;
3) hasil kajian sebagai informasi pengelolaan lahan dan sumberdaya yang
akurat digunakan untuk pertumbuhan daerah baru yang potensial (penting
bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan);
4) menambah wawasan ilmu geografi dalam pengembangan agropolitan.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang agropolitan telah banyak dikembangkan, antara lain
penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (2007) tentang pengembangan
agroindustri perdesaan melalui percepatan inovasi, Sulistiono (2008) dengan topik
model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan, I Wayan Rusastra,
dkk (2004) dengan topik kinerja dan perspektif pengembangan model agropolitan
mendukung pengembangan ekonomi wilayah berbasis agribisnis, Valentina A
(2009) dengan topik model spasial penggunaan lahan pertanian di Kecamatan
Kledung Kabupaten Temanggung.
Penelitian ini merupakan penelitian yang secara spesifik merancang
pengembangan agropolitan jagung di Kabupaten Pohuwato Gorontalo. Penelitian
ini mengintegrasikan faktor-faktor fisik dan manusia untuk memperoleh zona
pengembangan agropolitan berbasis tanaman jagung sebagai komoditas unggulan
20
di Kabupaten Pohuwato Gorontalo. Penelitian ini menemukan kawasan kota tani
yang secara fungsional sesuai dengan karakteristik wilayah dan potensi
sumberdaya lahan di Kabupaten Pohuwato, sehingga penelitian ini berbeda dan
belum pernah dilakukan sebelumnya, baik di Kabupaten Pohuwato maupun di
daerah lain.
Tabel 1.5.1 menunjukkan ringkasan beberapa penelitian yang telah
dilakukan, dan berkaitan dengan topik penelitian ini. Dengan melihat dan
membandingkan topik, metode, obyek, serta daerah penelitian ini, dapatlah
dinyatakan bahwa penelitian yang dilakukan ini asli, dan belum pernah dilakukan
sebelumnya.
Supriadi (2007), tentang pengembangan agroindustri perdesaan melalui
percepatan inovasi mengemukakan tentang faktor penentu keberhasilan
pengembangan agroindustri pedesaan melalui pendekatan dengan pemda dan
masyarakat, teknologi usaha tani, pengembangan budaya masyarakat yang kreatif,
infrastruktur, pasar, dan peningkatan nilai tambah usaha tani. Tujuan penelitian
untuk menganalisis faktor-faktor penentu keberhasilan dan kelemahan dari
pengembangan agroindustri skala perdesaan melalui progam akselerasi inovasi
secara terpadu. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa faktor penentu
keberhasilan terutama: (a). pendekatan awal BPTP yang pro aktif,partisipatif,dan
motivasi yang kuat, mendapat dukungan nyata dari Pemda maupun masyarakat,
(b). kelayakan teknologi usahatani (teknis, sosial, ekonomi dan budaya), (c).
Budaya masyarakat (rajin, ulet, kreatif,dan cepat menerima saran positif) d).
infrastruktur pertanian yang menunjang, (e). akses pasar [input,out put dan tenaga
kerja), dan (f). nilai tambah usahatani (kompos, bio urine, bio gas,dan peningkatan
produksi.
Sulistiono (2008) menjelaskan model pengembangan wilayah dengan
pendekatan agropolitan. Terdapat lima model yang dikembangkan untuk
mengukur kinerja pembanguan ekonomi daerah Kabupaten Banyumas. Tujuan
penelitiannya adalah menganalisis dan mengidentifikasi ukuran kinerja sistem
agropolitan, menganalisis kinerja pembangunan ekonomi daerah, menganalisis
hubungan antara kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi
21
daerah, merekomendasikan model pengembangan wilayah dengan pendekatan
agropolitan. I Wayan Rusastra (2004) mengemukakan kinerja pengembangan
model agropolitan dalam mendukung pengembangan ekonomi berbasis agribisnis,
dimana pengembangan agropolitan telah mampu meningkatkan pendapatan
petani.
Shalaby, A. Y.O. Ouma and Tateishi, R (2006) dengan judul Land
suitability assessment for perennial crops using remote sensing and Geographic
Information Systems:A case study in northwestern Egypt. Penelitian tersebut
bertujuan untuk mengembangkan model yang Sistem Informasi berbasis
Geografis dalam menentukan nilai kesesuaian lahan untuk jambu biji, zaitun dan
kurma di pantai Utara-barat Mesir. Hasil penelitiannya adalah peta kesesuain
lahan yang berkelanjutan untuk tanaman jambu biji, zaitun dan kurma, baik
kesesuaian lahan aktual maupun kesesuaian lahan potensial.
Valentina (2009) menganalisis model spasial penggunaan lahan pertanian
di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung, dengan tujuan mengkaji
hubungan penggunaan lahan pertanian dengan produksi tanaman, mengkaji peran
pengelolaan penggunaan lahan pertanian terhadap pendapatan petani, dan
menemukan model spasial pengelolaan penggunaan lahan pertanian
berkelanjutan. Penelitiannya menjelaskan bahwa 1) pengunaan lahan pertanian
pada daerah berlereng 40% hinga 50% memberikan hasil relatif tinggi, 2)
pengelolaan penggunaan lahan dengan pola kemitraan mempunyai peran penting
dalam jumlah dan kualitas produksi, 3) menemukan model spasial pengelolaan
penggunaan lahan berkelanjutan.
Martin, D and Saha (2009), Land evaluation by integrating remote sensing
and GIS for cropping system analysis in a watershed; mengemukakan tentang
pola tanam di Daerah Aliran Sungai (DAS) tipe penggunaan lahan (land
utilization type=Lut) di DAS yang didasarkan atas evaluasi tanah FAO (1990).
Hasil penelitiannya diperoleh Lut-I (padi), Lut-II (gandum), Lut-III (jagung),
Lut-IV (mustard) dan Lut-V (tebu) evaluasi lahan menggunakan RS dan GIS.
Ilahude (2012) mengkaji pengembangan agropolitan jagung berdasarkan
potensi sumberdaya alam (kemampuan dan kesesuaian lahan), penggunaan lahan,
22
infra struktur, dan menemukan zona sebagai pusat-pusat simpul kota tani dan
sentra produksi yang terintegrasi secara menyeluruh dan memiliki keterkaitan
secara fungsional dalam satu kawasan regional Kabupaten Pohuwato.
Berdasarkan uraian berbagai penelitian yang telah dilaksanakan, lebih
banyak menjelaskan aspek sosial ekonomi dan agribisnis, belum dikemukakan
kajian tentang pengembangan agropolitan melalui analisis potensi sumberdaya
lahan seperti aspek kemampuan lahan, kesesuaian lahan, dan infrastruktur untuk
pengembangan komoditas jagung khususnya di Kabupaten Pohuwato.
23
Tabel 1.5.1 Penelitian Terdahulu yang Terkait dan yang akan
Dilakukan
No. Peneliti Tahun Judul Tujuan
1. Supriadi Herman 2007 Pengembangan Agroindustri Perdesaan melalaui Percepatan inovasi
Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor penentu keberhasilan dan kelemahan dari pengembangan agroindustri skala perdesaan melalui progam akselerasi inovasi secara terpadu
Data ddigali mpendek(ParticAppraikuesionrumah
2. D. Martin, and S. K. Saha
2009 Land evaluation by integrating remote sensing and GIS for cropping system analysis in a watershed
Untuk menentukan pola tanam di DAS
Evaluamenggdan GI
3. Shalaby, A. Y.O. Ouma and Tateishi, R
2006 Land suitability assessment for perennial crops using remote sensing and Geographic Information Systems: A case study in northwestern Egypt
untuk mengembangkan model yang Sistem Informasi berbasis Geografis untuk penilaian kesesuaian lahan untuk jambu biji, zaitun dan kurma di pantai Utara-barat Mesir.
IntegraCitra L
4. Sulistiono 2008 Model Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Agropolitan
1. Menganalisis dan mengidentifikasi ukuran kinerja sistim agropolitan.
2. Menganalisis kinerja pembangunan ekonomi daerah
3. Menganalisis hubungan antara kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi daerah.
4. Merekomendasikan model pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan.
1) analidenvarisistdanpemeko
2) menindekineagrokinepemeko
3) clus4) Spa
5. I Wayan Rusastra, 2004 Kinerja dan perspektif 1. Mengevaluasi siklus dan 1) Eva
24
dkk pengembangan model agropolitan mendukung pengembangan ekonomi wilayah berbasis agribisnis
struktur (tata ruang) keterkaitan desa-kota dan pembangunan
2. wilayah dalam perspektif membangun kelembagaan agropolitan berbasis agribisnis;
3. Mengevaluasi kinerja produksi produk primer dan produk olahan komoditas pertanian
4. unggulan dan strategi kebijakan pengembangan usahatani dan agroindustri;
5. Mengevaluasi kinerja pasar input dan strategi kebijakan yang terkait dengan pasar sarana
6. produksi utama; Mengevaluasi kinerja pasar output dan strategi kebijakan yang terkait dengan pasar
7. produk primer dan olahan komoditas pertanian unggulan;
danproagroAnadesmeman amarpaskeleana(revsint
(2) Evpelaproagromemsejuinfo
6. Valentina Arminah 2009 Model Spasial Penggunaan Lahan Pertanian di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung
1) Mengkaji hubungan 2) penggunaan lahan pertanian
dengan produksi tanaman, 3) mengkaji peran pengelolaan
penggunaan lahan pertanian terhadap pendapatan petani,
4) menemukan model spasial pengelolaan penggunaan lahan pertanian berkelanjutan
Analispendekekologkeruanlahan sanalisi
7. Abiud L. Kaswamila and Alexander N. Songorw
2009 Participatory land-use planning and conservation in northern Tanzania rangelands
Menilai proses dan dampak rencana penggunaan lahan partisipatif
Pengumwawankelompteknik kualitamultiplcodingmemor
8. Zulzain Ilahude 2012 Kajian Pengembangan Spasial Agropolitan jagung Berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato Gorontalo
1) menganalisis distribusi pola keruangan penggunaan lahan saat sekarang di Kabupaten Pohuwato;
2) menganalisis kemampuan dan
Metodeyang dadalah cara deberupa
25
kesesuaian lahan untuk tanaman jagung di Kabupaten Pohuwato;
3) mengevaluasi pola keruangan infrastruktur untuk mendukung agropolitan tanaman jagung di Kabupaten Pohuwato;
4) mengkaji kondisi agropolitan sekarang dan arahan pengembangan agropolitan jagung di Kabupaten Pohuwato
data daFGD, pdata, dpemetadata sppada SNasionPeta ruIndonetematikdiguna
Sumber : Pustaka Geografi (2010)
26
1.6 Batasan operasional
Beberaapa batasan dari istilah penting dijelaskan di bawah ini untuk
mempermudah mengikuti uraian selanjutnya.
1. Agropolitan : upaya pengembangan kawasan pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, yang
diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan pembangunan petanian
(Departemen Pertanian, 2001).
2. Bentang lahan (landscape) adalah sebagian ruang permukaan bumi yang
terdiri atas system-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interpendensi
antara bentuklahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara,
tumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energy dan manusia dengan aktivitasnya,
yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan (Surastopo, 1982 dalam