1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa bencana alam dari tahun ke tahun menunjukkan adanya tren peningkatan intesitas kejadian yang cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi di dunia maupun Indonesia. Banjir, kekeringan, longsor, tsunami, gempabumi, dan badai merupakan bencana alam yang dapat memberikan efek kerugian yang besar terhadap kehidupan manusia. Indonesia terletak pada kondisi wilayah yang kompleks dan rawan terhadap bencana baik secara geologis, geomorfologis, klimatologis, dan sosial ekonomi sangat rawan terhadap bencana (Sudibyakto, 2009). Indonesia terletak pada wilayah yang memiliki kondisi iklim tropis dengan intesitas curah hujan yang tinggi dan memiliki kondisi topografi yang kasar berpotensi terhadap terjadinya bencana longsor (Sudibyakto, 2009). Longsor merupakan fenomena bencana geomorfologi yang disebabkan kondisi ketidakseimbangan proses geomorfologi yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu (Panizza, 1996). Kondisi yang menyebabkan peristiwa longsor dipengaruhi oleh dua aspek yaitu aspek fisik dan aspek manusia. Aspek fisik yang mempengaruhi longsor yaitu bentuklahan, kemiringan lereng, dan ketinggian tempat sedangkan aspek manusia yang menyebabkan peristiwa longsor yaitu adanya perubahan penggunaan lahan yang dapat mempercepat terjadinya longsor (Walker dan Shiels, 2013). Peristiwa bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang menimbulkan kerugian. Kerugian yang terjadi tidak hanya berupa kerugian secara material seperti kerugian ekonomi namun juga dapat menyebabkan hilangnya harta benda, kerusakan infrastruktur, namun juga mengakibatkan trauma dan kehilangan nyawa pada manusia (Schneid dan Collins, 2001).
26
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/115733/potongan/S1-2017... · pembentukkan muka bumi (genesis), ... jenis batuan dan sturuktur geologi. ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa bencana alam dari tahun ke tahun menunjukkan adanya tren
peningkatan intesitas kejadian yang cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi di dunia
maupun Indonesia. Banjir, kekeringan, longsor, tsunami, gempabumi, dan badai
merupakan bencana alam yang dapat memberikan efek kerugian yang besar terhadap
kehidupan manusia. Indonesia terletak pada kondisi wilayah yang kompleks dan rawan
terhadap bencana baik secara geologis, geomorfologis, klimatologis, dan sosial
ekonomi sangat rawan terhadap bencana (Sudibyakto, 2009).
Indonesia terletak pada wilayah yang memiliki kondisi iklim tropis dengan
intesitas curah hujan yang tinggi dan memiliki kondisi topografi yang kasar berpotensi
terhadap terjadinya bencana longsor (Sudibyakto, 2009). Longsor merupakan
fenomena bencana geomorfologi yang disebabkan kondisi ketidakseimbangan proses
geomorfologi yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu (Panizza, 1996). Kondisi
yang menyebabkan peristiwa longsor dipengaruhi oleh dua aspek yaitu aspek fisik dan
aspek manusia. Aspek fisik yang mempengaruhi longsor yaitu bentuklahan,
kemiringan lereng, dan ketinggian tempat sedangkan aspek manusia yang
menyebabkan peristiwa longsor yaitu adanya perubahan penggunaan lahan yang dapat
mempercepat terjadinya longsor (Walker dan Shiels, 2013). Peristiwa bencana longsor
merupakan salah satu bencana alam yang menimbulkan kerugian. Kerugian yang
terjadi tidak hanya berupa kerugian secara material seperti kerugian ekonomi namun
juga dapat menyebabkan hilangnya harta benda, kerusakan infrastruktur, namun juga
mengakibatkan trauma dan kehilangan nyawa pada manusia (Schneid dan Collins,
2001).
2
Bencana longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi hampir
setiap tahunnya di Indonesia. Proses dinamika lempeng yang cukup intensif terjadi
Indonesia telah membentuk relief permukaannya khas dan bervariasi dengan lereng-
lereng yang curam seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi (Bemmelen, 1984;
Noor, 2011). Faktor penyebab longsor selain disebabkan oleh faktor alam, tetapi
disebabkan juga oleh faktor manusia. Karnawati (2005) menyebutkan bahwa longsor
dapat terjadi jika intensitas curah hujan tinggi, kondisi lereng yang miring hingga terjal,
pelapukan tebal, batuan dan struktur geologi bervariasi dan penggunaan lahan yang
kurang sesuai dengan karakteristik lainnya.
Peristiwa longsor dalam dimensi luasan besar yang terjadi di Sub-DAS DAS
Merawu menjadi salah satu pertimbangan mengenai perlunya penelitian yang lebih
mendalam mengenai distribusi longsor yang dapat menjadi dasar dalam menentukan
potensi terjadinya longsor baru pada masing-masing satuan bentuklahan. Kajian
distribusi longsor ini dapat dijadikan rujukan dalam melakukan analisis aspek
geomorfologi yang menjadi pengontrol utama terjadinya longsor. Oleh karena itu,
penulis melakukan penelitian yang berjudul: “DISTRIBUSI LONGSOR PADA
SETIAP SATUAN BENTUKLAHAN BERDASARKAN PENDEKATAN
GEOMORFOLOGI DI SUB-DAS MERAWU KABUPATEN BANJARNEGARA”.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian mengenai distribusi longsor dengan menekankan pada pendekatan
geomorfologi dalam melakukan analisis mengenai faktor yang mempengaruhi terhadap
terjadinya longsor belum pernah dilakukan secara mendalam pada wilayah kajian.
Pemahaman dalam melakukan identifikasi dan analisis terhadap distribusi longsor
ditinjau dari aspek geomorfologi dapat menjadi sumber rujukan dalam melakukan
upaya mitigasi bencana longsor pada Sub-DAS Merawu.
Sub-DAS Merawu tersusun dari material yang berasal dari perombakan lereng
yang terbentuk dari proses denudasi yang sangat intesif dengan ketebalan tanah yang
3
bervariasi disertai dengan kondisi lereng yang tidak stabil akibat pengaruh dari pola
penggunaan lahan yang berkembang pada Sub-DAS Merawu.
Kondisi tanah yang bersumber dari proses denudasi menunjukkan dari genesis
tanah yang tua dan pada umumnya memiliki nilai permeabilitas yang tinggi akibat
kondisi tanah yang tidak padat sehingga mengakibatkan ketika terjadinya presipitasi
air yang mengalami proses infiltrasi dan masuk ke tanah dapat dengan mudah terserap
oleh tanah yang mengakibatkan tanah akan memiliki pertambahan berat dan apabila
ketebalan material tanah semakin tebal maka kapasitas infiltrasi yang dimiliki semakin
besar yang dapat memicu terjadinya longsor. Berdasarkan uraian tersebut dapat
dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat distribusi longsor yang terjadi pada setiap satuan
bentuklahan di Sub-DAS Merawu?
2. Bagaimana pendekatan geomorfologi dalam menunjukkan kondisi
distribusi longsor dan faktor yang mengontrol terjadinya longsor di Sub-
DAS Merawu?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “DISTRIBUSI
LONGSOR PADA SETIAP SATUAN BENTUKLAHAN BERDASARKAN
PENDEKATAN GEOMORFOLOGI DI SUB-DAS MERAWU KABUPATEN
BANJARNEGARA”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis hubungan persebaran longsor terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi di Sub-DAS Merawu Kabupaten Banjarnegara.
4
2. Menentukan pola spasial longsor yang terdapat di Sub-DAS Merawu
Kabupaten Banjarnegara
3. Menganalisis faktor pengontrol dominan yang mempengaruhi terjadinya
longsor di Sub-DAS Merawu Kabupaten Banjarnegara
4. Menentukan tingkat kerawanan longsor di Sub-DAS Merawu Kabupaten
Banjarnegara
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Mengembangkan ilmu geomorfologi terapan di bidang bencana longsor.
2. Distribusi longsor yang telah dipetakan dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengetahui sebaran wilayah yang berada di Sub-DAS Merawu yang
rawan terhadap bencana longsor.
3. Masukan bagi pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam hal
penanggulangan bencana dan perencanaan wilayah berbasis mitigasi
bencana dalam berbagi bentuk intrumen penanggulangan bencana.
4. Sebagai informasi, acuan, dan pembanding serta pengembangan penelitian
yang serupa di masa yang akan datang.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang berfokus pada studi bentuklahan. Verstappen
(1983) menjelaskan bahwa geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai
studi bentuklahan baik yang terdapat di daratan permukaan dan di dasar lautan
permukaan bumi dengan menekankan pada lingkup kajian meliputi proses
pembentukkan muka bumi (genesis), perkembanganya hingga saat ini, dan hubungan
interaksi dengan lingkungan dalam konteks keruangan. Bentuklahan merupakan
5
rangkaian konfigurasi medan yang terbentuk oleh proses geomorfik yang memiliki
bentukan secara fisik dan visual dalam periode waktu tertentu (Zuidam, 1983).
Thornburry (1956) mengemukakan mengenai proses geomorfologi sebagai proses
fisik dan kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi yang dibawa
oleh agen geomoforlogi (geomorphic agent). Agen geomorfologi didefinisikan sebagai
beragam media alami yang mengangkut dan membawa material bumi yang
dipengaruhi oleh adanya tenaga geomorfologi berupa tenaga endogen dan tenaga
eksogen.
Verstappen (1983) mengklasifikasikan aspek-aspek gemorfologi menjadi empat
aspek yaitu:
1. Morfologi
Aspek morfologi berkaitan dengan kesan topografis yang
dideskripsikan baik secara kuantitatif dan kualitatif. Aspek morfologi
dikelompokkan menjadi dua yaitu morfografi yang merupakan deskripsi
morfologi secara kualitatif seperti datar, landai, berbukit, bergunung.
Sedangkan aspek morfologi yang menekankan pada deskripsi secara kuantitatif
berupa morfometri yang dilakukan dengan memperhatikan nilai absolut pada
beberapa parameter morfologi seperti panjang lereng, kemiringan sudut, dan
beda tinggi.
2. Morfogenesis
Aspek morfogenesis berkaitan dengan asal mula proses pembentukan
dan perkembangan yang berkeja pada bentuklahan. Aspek morfogenesis
dikelompokkan menjadi tiga yaitu morfostruktur aktif, morfostruktur pasif, dan
dan morfostruktur dinamik. Morfostruktur aktif berkaitan dengan asal mula
proses pembentukan muka bumi yang dipengaruhi oleh tenaga yang berasal
dari dalam bumi (endogen) seperti tektonisme dan vulkanisme. Morfostruktur
pasif berkaitan pada kondisi litologi yang terdapat di dalam bentuklahan seperti
pelapukan dan erosi. Morfostruktur dinamik menekankan pada pengaruh yang
6
berasal dari luar bumi (eksogen) seperti aktivitas gerakan massa tanah, angin
yang mempengaruhi konfigurasi bentuklahan.
3. Morfokronologi
Aspek morfokronologi menjelaskan mengenai umur dari suatu
bentuklahan. Aspek morfokronologi dikelompokkan menjadi dua yakni umur
absolut dan umur relatif. Umur absolut mendeskripsikan usia bentuklahan
secara pasti dan jelas dengan melakukan analisis perhitungan. Umur relatif
merupakan pendeskripsian usia suatu bentuklahan dengan memperhatikan
analisis dari tahapan perkembangan bentuklahan.
4. Morfoaransemen
Aspek morfoaransemen mengkaji bentuklahan dengan mengacu pada
hubungan antara suatu bentuklahan dengan bentuklahan lainnya secara spasial.
Berdasarkan pada aspek geomorfologi tersebut, Verstappen (1983)
mengelompokkan kajian geomorfologi menjadi empat yakni:
1. Geomorfologi Statik, studi geomorfologi yang berfokus pada bentuklahan
aktual.
2. Geomorfologi Dinamik, studi geomorfologi yang menekankan pada proses
yang terjadi pada bentuklahan dalam kurun waktu singkat.
3. Geomorfologi Genetik, studi geomorfologi pada bahasan perkembangan dan
pembentukkan bentuklahan dalam periode panjang.
4. Geomorfologi Lingkungan, studi geomorfologi yang berfokus pada hubungan
antara ekologi bentanglahan terhadap geomorfologi dan aspek kajian lainnya
yang menjadi bagian dari parameter yang menyusun suatu bentanglahan.
7
1.5.2 Longsor
Longsor didefinisikan sebagai peristiwa gerakan massa tanah yang dipengaruhi oleh
gravitasi (Zaruba dan Mencl, 1982). Noor (2011) menjelaskan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya longsor berasal dari karakteristik material tanah atau batuan
itu sendiri sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi baik secara endogen dan
eksogen. Longsor merupakan proses geomorfologis yang terjadi dengan beragam
faktor secara kompleksitas yang berkaitan dengan bentuklahan, litologi, struktur
geologi, hidrologi, iklim, vegetasi dan aspek manusia yang menyebabkan terjadinya
longsor (Cruden dan Varnes, 1996).
Panizza (1996) mendeskripsikan mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya
longsor dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor intenal dan faktor eskternal. Faktor
internal berkaitan dengan terjadinya reduksi tingkat tegangan material seperti kondisi
geologis, iklim, dan aspek morfologi. Sedangkan pada faktor eksternal berkenaan
dengan terjadinya peningkatan karakteristik tegangan pada material seperti tekanan
lateral, beban material yang berlebihan, pengurangan komposisi ekosistem yang ada di
atas tubuh tanah, dan aktivitas tektonik seperti kenaikan daratan, seismik.
Gambar 1.1 Faktor Penyebab Terjadinya Longsor (Panizza, 1996) dengan modifikasi
Faktor Internal Faktor Eksternal
Penyebab Terjadinya
Longsor
1. Faktor Geologi (Batuan
dan Tektonisme)
2. Kondisi Iklim
3. Morfologi (Lereng, Sudut
Kemiringan Lereng)
1. Tekanan lateral
2. Beban Massa Tanah yang berlebihan
3. Aktivitas Tektonik (kenaikan
daratan, seismik)
4. Aktivitas pengurangan ekosistem di
atas tubuh tanah (penebangan)
8
Karnawati (2005) menjelaskan proses terjadinya longsor disebabkan oleh dua
faktor yang mempengaruhi meliputi faktor internal dan faktor pemicu. Faktor internal
berkaitan dengan kondisi dari dalam bumi yang rentan terhadap bencana longsor
seperti morfologi, stratigrafi, jenis batuan dan sturuktur geologi. Faktor pemicu
terjadinya longsor berkaitan dengan kondisi yang menimbulkan bencana longsor
meliputi gempabumi, infiltrasi air hujan, dan akibat pengaruh manusia dapat berupa
alih fungsi perubahan penggunaan lahan. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa
manusia merupakan komponen penting yang mempengaruhi tingkat kerusakan tanah.
Perkembangan aktivitas kegiatan manusia memberikan dampak terhadap tanah baik
secara langsung dan tidak langsung yang menjadi pemicu terjadinya bencana longsor.
Cruden dan Varnes (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe longsor, diantaranya sebagai
berikut.
1. Jatuhan Batu (Falls)
Jatuhan merupakan gerakan jatuh dari material pembentuk lereng yang
dapat berupa tanah atau batuan di udara yang disebabkan adanya interaksi
antara bagian-bagian material yang longsor yang disajikan pada Gambar 1.2
di bawah ini. Jatuhan umumnya terjadinya pada karakteristik lereng yang curam
yang terjadi dengan sangat cepat.
Gambar 1.2 Longsor Tipe Jatuhan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
9
2. Robohan (Topples)
Longsor tipe robohan merupakan longsor yang terjadi dengan
karakteristik berupa pergerakan rotasi jatuh ke depan dan putus atau terpisah
dengan lereng utama yang terjadi melalui bidang axis yang berada di bawah
pusat gravitasi tanpa melalui bidang gelincir yang ditunjukkan pada Gambar
1.3 di bawah ini. Longsor robohan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan
karakteristik beban tanah dan atuan batuan yang terdapat di atas permukaan
lereng.
Gambar 1.3 Longsor Tipe Robohan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
3. Longsoran
Tipe ini merupakan gerakan luncuran dari material (batuan, tanah,
debris, atau kombinasi dari ketiganya) menuruni lereng melalui permukaan
bidang gelincir. Berdasarkan tipenya terdapat dua klasifikasi pada jens
longsoran, yakni.
a. Rotasional (Slump)
Longsoran rotasional memiliki karakteristik berupa bidang gelincir
yang melengkung sehingga menimbulkan material longsor mengalami
gerakan rotasi. Longsoran rotasional terjadi dengan kecenderungan
material penyusun yang bersifat homogen. Pergerakan kecepatan
longsoran rotasional dipengaruhi oleh dimensi volume mass tanah,
10
kemiringan lereng, dan panjang lereng. Bentuk dari longsoran rotasional
ditunjukkan pada Gambar 1.4 di bawah ini.
Gambar 1.4 Karakteristik Longsor Jenis Longsoran Tipe Rotasional (Sumber:
Cruden dan Varnes, 1996)
b. Luncuran (Translational)
Longsoran translasional terjadi apabila bentuk dari morfologi bidang
gelincir lurus yang sejajar dengan kemiringan lereng yang menimbulkan
material bergerak secara translasi. Longsor tipe translasi memiliki
karakteristik berupa bidang longsor yang mengikuti arah perlapisan tanah
dan permukaan pada batuan dasar. Bentuk dari longsoran translasional
ditunjukkan pada Gambar 1.5 di bawah ini.
Gambar 1.5 Karakteristik Longsor Jenis Longsoran Tipe Luncuran (Sumber:
Cruden dan Varnes, 1996)
11
4. Sebaran (Spreads)
Longsor tipe sebaran merupakan kondisi pergerakan material yanah yang
terjadi secara horizontal, umumnya terjadi pada lereng landai dan biadanya
dikombinasikan dengan gerakan penurunan pad amaterial tanah atau batuan
yang menyebabkan material tanah bergerak.
Umumnya terjadinya longsor tipe sebaran terdapat pada material lempung
berlapis-lapis (varved) yang menimbulkan tekanan air pada pori tanah menjadi
semakin tinggi karena terletak pada sisipan lapisan tipis pasir atau lanau yang
terdapat di dalam lempung sehingga material tanah yang terdapat pada lapisan
atas menjadi hancur dan membetuk aliran (mudflow). Bentuk dari tipe longsor
ini ditunjukkan pada Gambar 1.6 di bawah ini.
Gambar 1.6 Longsor Tipe Sebaran (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
5. Aliran (Flows)
Tipe longsor ini terjadi akibat adanya pergerakan aliran dari material tanah
yang mengalami penjenuhan akibat kecepatan pergerakan yang dibawa oleh
air sangat cepat dalam periode waktu yang singkat. Berdasarkan jenis
materialnya, tipe longsor aliran dikelompokkan menjadi dua yaitu aliran debris
(debris flow) dan aliran tanah (earth flow).
12
a. Aliran Debris (Debris Flow)
Tipe longsor berupa aliran debris memiliki karakteristik berupa material
yang memiliki butir tanah kasar (Hardiyatmo, 2006). Aliran debris terjadi
pada intensitas curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan
terkonsentrasinya aliran dalam cekungan yang panjang dan sempit.
Aliran debris dapat berupa gerakan tanah yang terjadi secara beriringan
antara air dan udara yang mengalir dengan cepat menuju lereng rendah.
Anderson dan Sitar (1995) menjelaskan bahwa dalam banyak kejadian
longsor berupa aliran debris, pada awalnya terbentuk pada lereng dangkal.
Bentuk dari tipe longsor aliran debris disajikan pada Gambar 1.7 di bawah
ini.
Gambar 1.7 Longsor Tipe Aliran Debris (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
b. Aliran Tanah (Earth Flow)
Aliran tanah terjadi pada tanah-tanah berlempung dan berlanau dengan
intensitas hujan yang sangat tinggi. Rombaknya material tanah disebabkan
oleh terjadinya peningkatan secara bertahap tekanan air pada pori-pori tanah
dan penurunan kuat geser tanah (Hardiyatmo, 2006). Kecepatan aliran tanah
memiliki variasi tergantung pada konfigurasi kemiringan lereng dan kadar air
13
yang ada pada tanah. Bentuk longsor tipe aliran tanah ditunjukkan pada
Gambar 1.8 di bawah ini.
Gambar 1.8 Longsor Tipe Aliran Tanah (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
6. Rayapan (Creep)
Tipe longsor berupa rayapan merupakan jenis longsor yang terjadi sangat
lambat. Pergerakan tipe longsor ini dapat diamati secara jelas dan dapat
diidentifikasi ciri-cirinya. Longsor tipe rayapan dicirikan pada tingkat sangat
lambat yang ditunjukkan dengan pertmbuhan pohon dengan batang utama yang
miring, dan jalan-jalan pada bukit yang menjadi miring namun tidak secara
signifikan serta tiang-tiang listrik yang menjadi miring. Bentuk longsor rayapan
ditunjukkan pada Gambar 1.9 di bawah ini.
Gambar 1.9 Longsor Tipe Rayapan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)
14
1.5.3 Analisis Pola Spasial
Pola berkaitan erat dengan lokasi di dalam perspektif keruangan geografi. Pola
merupakan hasil dari susunan informasi keruangan pada setiap lokasi yang terbentuk
membentuk suatu susunan bentuk dari sekumpulan obyek secara keruangan (Kwan dan
Ding, 2008). Bailey dan Gatrey (1995) mengemukakan bahwa pembagian dari analisis
spasial terdiri dari tiga jenis meliputi: 1). Analisis pola titik; 2). Analisis pola area, dan;
3). Analisis interaksi spasial.
Goodchild (1986) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis pola spasial yaitu acak
(random), mengelompok (clustered), dan dispersi (dispersed). Pola spasial berupa acak
terbentuk apabila rerata jarak antar semua titik lebih besar daripada jarak setiap titik
fenomena keruangan yang terjadi. Pola spasial mengelompok terbentuk apabila rerata
jarak semua titik yang ada lebih dekat dari jarak antar titik yang terbentuk. Pola spasial
dispersi terbentuk apabila rerata jarak setiap titik memiliki jarak yang sama dengan
jarak antar titik. Pola yang terbentuk merepresentasikan fenomena geografi yang terjadi
(Montello et al, 2003). Pola yang memiliki kedekatan antar setiap titik menunjukkan
adanya indikasi terhadap persamaan proses, sebab terjadinya fenomena, dan interaksi
hubungan antara berbagai fenomena baik fenomena yang bersifat biotik dan abiotik.
Semakin jauh jarak antar setiap titik mengindikasikan adanya perbedaan proses, dan
tidak adanya keterkaitan pada setiap fenomena baik biotik dan abiotik.
Metode analisis pola spasial dilakukan dengan berbagai bentuk perhitungan.
Analisis pola spasial memberikan perhitungan dalam melakukan analisis fenomena
geografi yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Fotheringham et al, 2000).
Penentuan analisis pola spasial secara kualitatif dilakukan dengan memperhatikan
gejala kejadian suatu fenomena dengan cara mengkaitkan dengan berbagai faktor
lainnya yang cenderung mempengaruhi. Sedangkan, analisis pola spasial yang
dilakukan secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan penentuan secara statistik
pada data spasial dengan memperhatikan pada aspek jumlah sampel, dan populasi data
yang membentuk pola spasial terhadap suatu fenomena geografi (Fotheringham et al,
2000; Lloyd, 2011).
15
1.5.4 Bahaya (Hazard)
Bahaya merupakan kemungkinan terjadinya peristiwa yang terjadi pada waktu
tertentu pada suatu wilayah yang menyebabkan terjadinya fenomena kerusakan
(Varnes, 1984). Van Westen et al (2009) mendeskripsikan bahwa bahaya merupakan
kondisi probabilitas kejadian yang dapat terjadi dalam periode waktu tertentu
(temporal probability) , area tertentu (spatial probability), dan magnitudo (magnitude).
1. Probabilitas Keruangan (Spatial Probability)
Glade et al (2005) mendefinisikan probabilitas keruangan sebagai rasio dari
wilayah yang terdampak oleh longsor yang ditentukan berdasarkan luas satuan
wilayah yang dikalikan dengan luas wilayah yang terdampak dengan longsor.
Penentuan probabilitas keruangan dilakukan dengan menggunakan dua metode
pengukuran, yakni pengukurun langsung dan tidak langsung (Van Westen et al,
2008) . Metode pengukuran langsung dilakukan dengan melalui pemetaan
geomorfologi dengan menyajikan informasi frekuensi kejadian longsor yang
terjadi pada masa lampau dan sekarang. Metode pengukuran tidak langsung
dilakukan dengan mengacu pada penyusunan prediksi kerawanan longsor
berdasarkan parameter-parameter yang menyebabkan terjadinya longsor.
Metode pengukuran tidak langsung dikelompokkan menjadi dua, yaitu
heuristik dan statistik. Metode heuristik merupakan metode kualitatif yang
melakukan identifikasi dan analisis longsor dengan parameter yang
mempengaruhi longsor. Metode statistik didasarkan pada penilaian longsor
yang terjadi pada masa lampau dan masa sekarang. Penentuan dengan
menggunakan metode statistik dikelompokkan menjadi dua yakni multivariate
dan bivariate. Analisis multivariate menekankan pada setiap faktor
berhubungan satu sama lain, sedangkan bivariate menekankan bahwa antar
faktor yang mempengaruhi tidak saling berhubungan satu sama lain.
16
2. Probabilitas Temporal (Temporal Probability)
Probabilitas temporal merupakan probabilitas kejadian longsor yang terjadi
dalam waktu tertentu yang dapat menimbulkan fenomena kerusakan (Wu and
Chen, 2013). Penentuan probabilitas temporal terdiri dari dua yakni aspek fisik
dan aspek empiris. Aspek fisik merupakan probabilitas temporal yang
berdasarkan pada faktor yang terdapat dari karakteristik fisik yang berkembang
pada tempat itu sendiri yang memicu terjadinya longsor, seperti geologi,
litologi, kemiringan lereng, ketebalan dan kedalaman tanah. Sedangkan aspek
empiris merupakan aspek yang terjadi secara dinamis sehingga menimbulkan
terjadinya longsor seperti iklim, dan cuaca yang cenderung mengalami
perubahan secara dinamis dan memberikan pengaruh terhadap jumlah dan
luasan longsor yang terjadi.
3. Magnitudo
Magnitudo merupakan besaran longsor yang dinyatakan dalam satuan
tertentu (Glade et al, 2005). Magnitudo dapat diklasifikasikan berdasarkan
volume, tipe, dan karakteristik longsor yang menimbulkan potensi kerusakan
dan ancaman terhadap masyarakat setempat. Corominas dan Moya (2010)
melakukan identifikasi frekeunsi kejadian longsor dengan menggunakan
pendekatan dendrogeomorfologi untuk mendeskripsikan perkembangan
longsor yang terdapat di suatu satuan bentuklahan.