Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Perubahan tersebut merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Kehidupan bermasyarakat merupakan upaya adaptasi kolektif terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaikan hubungan internal maupun eksternal, sesuai dengan tuntutan yang serba terus berubah dari zaman ke zaman. Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaan. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. 1 Perubahan tersebut akhir-akhir ini memperlihatkan hal-hal yang menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan apabila dipandang dari sisi perkembangan budaya. Banyak upaya untuk mengembangkan aspek-aspek dan nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan media, karena pengaruh derasnya arus globalisasi. Di tengah-tengah 1 Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. hal. 1-2. 1
36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

Apr 30, 2018

Download

Documents

truongdang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan

budaya suatu masyarakat. Perubahan tersebut merupakan gejala umum yang

terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Kehidupan bermasyarakat

merupakan upaya adaptasi kolektif terhadap tantangan lingkungan, tetapi juga

mempunyai konsekuensi bahwa mereka harus selalu menyesuaikan hubungan

internal maupun eksternal, sesuai dengan tuntutan yang serba terus berubah dari

zaman ke zaman.

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam

masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan

suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan

kebudayaan. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada

satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang

berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.1

Perubahan tersebut akhir-akhir ini memperlihatkan hal-hal yang

menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan apabila dipandang dari sisi

perkembangan budaya. Banyak upaya untuk mengembangkan aspek-aspek dan

nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

informasi dan media, karena pengaruh derasnya arus globalisasi. Di tengah-tengah

1 Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana

Universitas Pajajaran. hal. 1-2.

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

2

perubahan yang sesuai dengan harapan, terjadi pula kondisi yang tidak

menguntungkan. Semua itu perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyikapi

perubahannya. Hal itu meliputi hampir semua aspek kehidupan, yaitu; geografi,

demografi, sumber kekayaan alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya,

pertahanan dan keamanan. Secara khusus tulisan ini membahas dinamika sosial

budaya kawasan Wisata Candi Borobudur yang dimulai dari proses pemugaran

Candi Borobudur oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907 – 1911 selama empat

tahun, 2

kemudian dilanjutkan hingga tahun 1960-an, namun hasilnya dirasa masih

kurang karena kegiatan pemugaran saat itu masih ditujukan untuk memperbaiki

sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air

hujan.

Pada tahun 1963 usaha penyelamatan monumen besar dunia itu dilanjutkan

oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun usaha penyelamatan ini telah memakan dana

yang cukup besar namun usaha tersebut terhenti dengan adanya peristiwa G 30 S.

Selanjutnya pada tahun 1965 atas prakarsa Amerika diadakan sebuah

pertemuan di White House yang dijuluki “World Heritage Trust” (Pertanggung

jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan

alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan bagi seluruh warga

dunia”. Pada tahun 1968 dikembangkanlah suatu organisasi bernama “International

Union for Conservation of Nature”. 3

2 Soekmono, 1981, Candi Borobudur - Pusaka Budaya Umat Manusia, Jakarta: Pustaka Jaya.

3 (IUCN), 2011, International Union for the Conservation of Nature,. IUCN Red List of

Threatened Species. Versi 2011.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

3

Kemudian dilanjutkan Pada tanggal 16 November 1972 saat konferensi

Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.4 Perjanjian itu disetujui oleh semua

anggota, dan “pertemuan mengenai perlindungan budaya dunia dan warisan alam”

dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO. Dengan masuknya kembali

Indonesia menjadi anggota PBB, maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota

UNESCO. Melalui lembaga UNESCO tersebut, Indonesia mulai menghimbau

kepada dunia internasional untuk ikut menyelamatkan bangunan yang sangat

bersejarah yaitu Candi Borobudur. dengan dana dari Pelita (Pembangunan Lima

Tahun) dan dana UNESCO.5

Rupanya harapan bangsa untuk menyelamatkan Candi Borobudur tidak

pernah padam, pada tanggal 10 Agustus tahun 1973 Presiden Suharto meresmikan

proyek pemugaran Candi Borobudur yang saat itu disebut dengan proyek

Pemugaran Candi Borobudur Fase 1 yang diprakarsai oleh wakil Pemerintah

Indonesia yaitu Drs. Soekmono dan UNESCO pada saat itu bergabung dengan

dewan internasional bagian situs dan monumental (International Council on

Monuments and Sites), menghasilkan sebuah draft pertemuan untuk melindungi

budaya-budaya kemanusiaan. Pemugaran Borobudur itu membutuhkan waktu 10

tahun (1973-1983).6

4 Amerika mengajukan pertemuan untuk menggabungkan perlindungan alam dengan budaya.

Sebuah pertemuan di White House pada tahun 1965 yang dijuluki World Heritage Trust

(Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia) “untuk melindungi keagungan dan

keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga

dunia”. Kemudian, dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for

Conservation of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan

pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.

Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan

Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO pada

tanggal 16 November 1972. 5 Kemendikbud, 2011, Candi Borobudur, Balai Konsevasi Borobudur.

6 Sucoro, 2012, “Catatan Rakyat di Kaki Candi Rangkaian Duka Yang Tak Terlupakan”,

Jakarta.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

4

Pada dekade 1980-an Pemerintah menetapkan Undang-Undang RI No. 4

Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup

yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH). Pada

Pasal 14 UULH dinyatakan bahwa “warisan budaya” adalah salah satu unsur

lingkungan hidup yang harus dilindungi. Pemerintah kemudian mengambil

langkah untuk mengembangkan sektor-sektor non migas dalam hal ini adalah

sektor “industri pariwisata”.7

Dipilihnya Candi Borobudur sebagai tujuan wisata utama di Indonesia,

telah memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan devisa negara.

Akan tetapi ternyata orientasi terhadap peningkatan devisa negara tersebut, belum

memberikan alternatif yang bermanfaat terhadap mata pencaharian pada

masyarakat sekitarnya, sehingga pemanfaatan Candi Borobudur yang dikelola

oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) lebih merupakan masalah bagi

sebagian besar masyarakat di kawasan Candi Borobudur. Sebab setelah tanah-

tanah produktif yang notabene milik masyarakat digusur dengan ganti rugi yang

tidak seimbang, tidak dijamin untuk diterima bekerja di Kantor TWCB serta sulit

mendapatkan akses untuk berusaha yang lain, maka hal ini menjadi masalah.

Di sisi lain ketika itu sarana pendidikan seperti Sekolah Muhammadiyah

dan sarana ibadah seperti masjid yang digunakan oleh masyarakat dipindahkan,

7 Banjir Minyak 1980-an, Wikipedia Ensiklopedia, diunduh pada tanggal 25 Januari 2013.

Pada tahun 1980-an harga minyak di pangsa pasar dunia mulai merosot dan komoditas lain

mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan oleh banjir minyak 1980-an, merujuk pada

surplus minyak mentah pada 1980-an yang disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah

krisis energi tahun 1970-an. Harga minyak dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 1980

dengan harga US$ 35 per barrel jatuh pada tahun 1986 dari $27 menjadi di bawah $10 (saat

ini $95,95 per barrel, 25 Januari 2013- Kompas.com, Jumat, 25 Januari 2013).

“Banjir minyak” ini dimulai pada awal 1980-an sebagai akibat dari melambatnya kegiatan

perekonomian di negara-negara industri dan konservasi energi yang didorong oleh tingginya

harga bahan bakar. Penyesuaian inflasi atas nilai riil minyak jatuh dari rata-rata $78,2 pada

1981 ke rata-rata $26,8 per barel pada 1986.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

5

maka masyarakat bersikeras untuk menolak. Selanjutnya hal yang paling menarik

adalah masyarakat di kawasan wisata Borobudur merasa bahwa secara turun-

temurun telah ikut serta merawat dan menjaga Candi Borobudur, padahal sebagian

mata pencaharian mereka hanya mampu bekerja sebagai pedagang-pedagang kecil

di sekitar Candi Borobudur, maka ketika dipindahkan juga menolak dan menjadi

masalah.

Setelah Tiga puluh tahun berlalu semenjak diresmikan kembali oleh

Presiden Soeharto pada tanggal 23 Februari 1983, dibukalah Kawasan Wisata

Candi Borobudur untuk para wisatawan nusantara dan mancanegara. 8

Kawasan

Candi Borobudur telah banyak mengalami perubahan-perubahan terutama setelah

dijadikannya kawasan ini menjadi Taman Wisata. Kehadiran wisatawan dan

migrasi tentu berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat di kawasan

tersebut maupun terhadap pelestarian Candi Borobudur secara fisik.9

Kenyataannya, masyarakat di kawasan Candi Borobudur belum merasakan

manfaat sepenuhnya keberadaan Candi Borobudur. Karena sistem pengelolaan

yang diterapkan belum memberikan akses ruang partisipasi kepada masyarakat.

Yang terjadi adalah masyarakat terpinggirkan, sehingga mentalitas masyarakat di

kawasan Candi kurang mencerminkan masyarakat pariwisata yang senantiasa

berusaha memberikan rasa aman, bagi setiap pengunjung yang datang karena

mereka belum menyadari manfaat pariwisata di daerahnya. Apabila mencermati

pembangunan sesungguhnya peran serta masyarakat yang terorganisir merupakan

salah satu komponen penting dalam melestarikan Candi Borobudur.

8 Yazir Marzuki dan Toeti Heraty, 1987, Borobudur, Jakarta, Djambatan.

9 Purwantana, 1985, Candi Borobudur dan Taman Wisatanya, Bandung, Alumni 1985.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

6

Masalahnya adalah Pengelolaan kawasan Candi Borobudur diatur

menggunakan politik ekonomi. Dalam kaitannya dengan apa yang diproduksi,

ruang dalam hal ini menjadi bagian dari sebuah produksi (proses) sejarah, yang

meliputi persinggungan dari waktu (time), ruang (space) dan makhluk sosial, yang

mengarah kepada “a materialization of social being” (Lefebvre, 1991: 68, 69,

102 dalam Kurniawan, 2011:2). Berkaitan dengan hal tersebut, alat politiknya

dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres No.1 Tahun 1992) tentang

pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur yang terdiri dari 3 Zona, yaitu:

“Zona I : Merupakan lingkungan kepurbakalaan diperuntukkan bagi

perlindungan dan pemeliharaan kelestarian fisik Candi seluas 44,8 Ha yang

dikelola oleh balai konservasi Candi dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan.

Zona II : Merupakan kawasan di luar zona I yang diperuntukkan bagi

pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan,

pemeliharaan dan pelestarian bangunan Candi seluas 42,3 Ha yang dikelola oleh

unit Taman Wisata Candi Borobudur.

Zona III : Merupakan kawasan di luar zona II yang diperuntukkan bagi

pemukiman terbatas, jalur hijau, daerah pertanian untuk menjamin keserasian dan

kawasan keseimbangan di zona I yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten

Magelang.”10

Di sisi lain hilangnya pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Magelang

menjadi realitas ketidak adilan dan berdampak kecemburuan. Karena hal itu dapat

mempengaruhi kinerja pembangunan yang cukup signifikan berkisar 3 sampai 4

milyar pertahunnya (sebelum dibatalkannya pajak hiburan oleh Pemerintah Pusat

tahun 2008) Apabila pendapatan tersebut kembali ke Pemerintah Kabupaten

Magelang tentu dapat dimanfaatkan dengan baik untuk membangun daerahnya. 11

Bagi masyarakat salah satu mata pencaharian di kawasan Candi Borobudur adalah

10

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1, Tahun 1992. 11

Penuturan dari Asisten Pemerintahan Pemkab Magelang Ir. Agung Trijaya, 27 Oktober 2013,

saat menerima kunjungan DPR RI Poppy Dharsono di Kecamatan Srumbung.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

7

berbagai usaha kecil dan menengah, antara lain bagi yang agak mampu berdagang

di kios-kios tentu dengan penggantian atau angsuran termasuk membuka home

stay, bagi yang tidak mampu dengan berdagang di kaki lima dan asongan mulai

dari taman parkir hingga masuk ke wilayah-wilayah lain yang terlarang baginya,

sedangkan bagi yang mempunyai lahan cukup luas telah bekerjasama dengan

investor membangun fasilitas Hotel yang berkelas internasional, sehingga

menimbulkan ketimpangan dikalangan masyarakat di sekitar kawasan.

Hasil rangkaian lokakarya tentang Borobudur pada tanggal 19 Februari

2008 di Semarang. Menjelaskan bahwa revitalisasi merupakan salah satu agenda

Jawa Tengah sebagai alat untuk mengembalikan kejayaan kawasan Borobudur;

sebagai pusat studi budaya dan komunitas lintas agama kelas internasional; serta

sebagai salah satu tujuan wisata terbesar di dunia.

Alasan revitalisasi kawasan Candi Borobudur ini, Candi Borobudur

merupakan warisan budaya dan destinasi wisata unggulan yang mendunia;

kondisi fisik dan lingkungan Candi Borobudur berada pada kondisi yang rawan

diakibatkan oleh akumulasi dan kompleksitas permasalahannya; pengelolaan situs

peninggalan sejarah dan purbakala dan pengembangannya dalam konteks

kepariwisataan secara berkelanjutan telah menjadi salah satu isu utama dalam

manajemen sumber daya budaya.12

Oleh karena itu, revitalisasi kawasan Candi Borobudur merupakan langkah

yang sangat mendesak dan perlu segera dilakukan pemulihan kondisi Candi beserta

12

Nindyo Suwarno, 2008, Revitalisasi Kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

8

lingkungannya, sehingga citra Candi Borobudur akan tetap dikenang sebagai salah

satu keajaiban dunia yang menyimpan jejak-jejak peradaban antar bangsa.13

1.2 Permasalahan

Permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dinamika

perubahan dan perkembangan sosial budaya sejak adanya Master Plan yang

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO pada dekade 1970-an selama

5 dekade hingga 2013.

Pertanyaan utama ini akan diformulasikan lebih rinci dalam beberapa sub

pertanyaan yang lebih empiris.

a. Bagaimana transformasi dari natural resources menjadi obyek wisata.

b. Bagaimana perubahan obyek wisata berubah menjadi aset ekonomi.

c. Bagaimana perubahan aset ekonomi mengubah gaya hidup dan perilaku

masyarakat.

d. Bagaimana perubahan pelembagaan masyarakat dalam sistem budaya/

nilai yang menjadi salah satu penyebab sengketa antara penguasa dengan

pengelola dan masyarakat.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini ingin memahami perubahan sosio-kultural di

kalangan kelompok masyarakat petani dan pedagang, akibat dari perubahan budaya

petani menjadi semakin terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta

industri wisata; perubahan penggunaan faktor waktu oleh masyarakat di kawasan

13

Adrian Snodgrass, 1985, Architecture, Time and Eternity, Volume II, London: Oxford

University Press.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

9

wisata Borobudur; perubahan perilaku sosial dan gaya hidup masyarakat. Serta

penyebab terjadinya sengketa antara penguasa dengan pengelola dan masyarakat.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara

akademis, sebagai sumbangan teori terhadap pengembangan keilmuan soal

akulturasi perubahan budaya akibat terintegrasinya ekonomi lokal dan dunia

khususnya lewat industri wisata dan diharapkan mampu memberikan gambaran

tentang sisi lain dari penelitian-penelitian yang sudah dilaksanakan sebelumnya

yang berkaitan dengan kawasan wisata Candi Borobudur.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap lembaga

pemerintah seperti Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Kementerian

Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Propinsi

Daerah Jawa Tengah. Diharapkan juga hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi

upaya peningkatan kehidupan di pelbagai desa utamanya di kawasan Candi

Borobudur. Di samping itu dapat dijadikan cermin evaluasi pelaksanaan

pembangunan sehingga dapat dijadikan pemicu dan pemacu untuk lebih baik lagi

di masa mendatang.

1.4 Kajian Pustaka dan Landasan Teori

1.4.1 Kajian Pustaka

Selama ini persoalan kemiskinan dan keterbelakangan identik dengan

kehidupan masyarakat pedesaan. Persoalan tersebut lebih disebabkan oleh struktur

perekonomian yang kurang memberikan ruang bagi masyarakat pedesaan untuk

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

10

berpartisipasi lebih dalam terhadap pelaksanaan pembangunan, Arif Satria, dkk.

(2011: 64).

Salah satu wilayah yang cukup potensial namun masih cukup terpuruk

adalah Desa Karangrejo, Desa Karangrejo termasuk dalam wilayah administratif

Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Desa Karangrejo memiliki luas 174

ha terdiri atas 98 ha sawah dan ladang, 72 ha permukiman dan sisanya fasilitas

umum. Desa Karangrejo juga hanya berjarak sekitar 5 km dari pusat pemerintahan

Kabupaten Magelang, dan 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Borobudur,

serta hanya sekitar 2 km dari Candi Borobudur.

Namun demikian tidak banyak manfaat yang diperoleh masyarakat dari

keberadaan candi dan pengunjung di Borobudur. Desa Karangrejo juga memiliki

potensi tinggi dalam pertanian. Mayoritas warga Karangrejo bekerja di sektor

pertanian dan jasa dalam hal ini sebagai petani, buruh tani. pedagang, dan sektor

jasa pariwisata dan kesenian. Kebanyakan mereka yang bekerja di sektor wisata

menggantungkan hidupnya di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur, baik

sebagai penjual asongan, pemandu wisata, fotografer, angkutan wisata, maupun

pekerja serabutan atau sebagai tenaga kebersihan, penjaga hotel dan tenaga

keamanan, serta sektor informal lainnya.

Kehidupan masyarakat secara umum banyak bergantung pada kondisi

lahan di desa, serta keberadaan Candi Borobudur. Namun demikian, masyarakat

Desa Karangrejo belum dapat menikmati keberadaan wisatawan di Candi

Borobudur. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa meskipun dekat dengan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

11

Candi Borobudur, namun tidak begitu banyak wisatawan yang berkunjung ke

desa, maupun sekedar jalan-jalan, membeli produk maupun menginap.

Adapun hasil penelitian-penelitian terdahulu dan tulisan-tulisan yang

dianggap relevan untuk dijadikan kajian pustaka mengenai kawasan Borobudur,

antara lain: Satria, Arif Sofianto, (2013) berjudul “Peran kelompok masyarakat

dalam penguatan inovasi sosial di desa Karang Rejo kecamatan Borobudur” dan

Muhammad Taufik, Suparjiono, Suparno, (2001), yang berjudul “Upaya

Penanggulangan Konflik Kepentingan Pemanfaatan Candi Borobudur”. Menurut

mereka kebijakan-kebijakan pengelola warisan budaya pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dari perkembangan persepsi masyarakat tentang sumber daya budaya

itu sendiri. Gejala seperti ini terjadi di berbagai tempat dan hampir pada semua

bangsa, sehingga seolah-olah menjadi fakta umum bahwa kebijakan pengelolaan

sumber daya akan selalu bergantung pada situasi politik maupun hukum Evolusi

sosial.

Kehadiran suasana pertentangan ini menjauhkan sikap penghargaan

terhadap mereka yang telah menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, bahkan

suasana yang hadir malahan berupa sebuah arena konflik yang semakin lama

semakin tajam antara pihak pengelola dengan masyarakat. Interaksi konflik ini bila

diamati dari atas, seakan-akan kedua kelompok tersebut yaitu penguasa (pengelola) dan

masyarakat pelaku usaha telah menampakan suatu arena pertempuran di lokasi

Taman Wisata Candi Borobudur. Di satu sisi pengelola memiliki sebuah cetak

biru yang berkaitan dengan aturan-aturan mesti ditaati dan di sisi lain masyarakat

yang telah melakukan proses kreatif adaptif, tidak mentaati demi sesuap nasi.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

12

Gambaran umum studi-studi terdahulu tentang dinamika sosial budaya

masyarakat di sekitar Borobudur, menunjukkan bahwa di Desa Karangrejo

tersebut di atas, belum diberikan ruang permodalan oleh struktur ekonomi di

bidang agraris dan industri karena tidak diberdayakan. Sedangkan dalam makalah

ini, penulis akan membahas lebih luas. Muhammad Taufik, menyatakan bahwa

perubahan terbukanya lapangan pekerjaan baru yang diciptakan oleh pengelola

tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan pencarian nafkah oleh

masyarakat, sehingga menimbulkan benturan dan bertentangan dengan yang

dianjurkan oleh Pengelola. Lingkup bahasan penulis lebih luas dan membahas

perubahan mata pencaharian warga masyarakat yang semula bertani menjadi

terdiversifikasi ke perdagangan atau home industry serta industri wisata.

Elanto Wijoyono, (2009), dalam “Peluncuran Peta Hijau Mandala

Borobudur” menyatakan bahwa pengelolaan kawasan Candi Borobudur hingga kini

masih mengikuti prinsip yang diatur dalam Master Plan JICA (1979) dan

diperkuat oleh Keppres No. 1/1992 yang membagi kewenangan pengelolaan

sesuai dengan zonanya. Situs Candi Borobudur (Zona I) dikelola oleh Balai

Konservasi Candi Borobudur di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata. Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur (Zona II) dikelola oleh PT

Taman Wisata Candi Borobudur yang berada di bawah naungan Kementerian

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Wilayah di luar kedua zona itu dikelola oleh

pemerintah daerah. Jadi, praktis, Pemerintah Desa Borobudur memiliki satu

“kantong” di dalam wilayah administratifnya yang tidak boleh dicampuri.

Padahal, selain telah menggusur beberapa dusun dan membelah desa menjadi dua

bagian, keberadaan Taman Wisata Candi Borobudur dan beragam kegiatannya

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

13

telah memberikan dampak yang intensif terhadap wilayah dan masyarakat Desa

Borobudur.

Proses identifikasi dan diskusi mengenai potensi baik dan buruk di Desa

Borobudur yang dilakukan langsung oleh penduduk telah dimulai sejak tahun

2005 dan dilanjutkan kembali pada akhir tahun 2008 lalu. Langkah-langkah yang

ditempuh telah berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga

pendapat, dan harapan masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di

masa kini dan di masa mendatang.

Sebagai upaya penyebarluasan hasil penelitian dan kegiatan maka telah

dilangsungkan peluncuran14

Peta Hijau Mandala Borobudur dan Peta Hijau

Borobudur Tourist Park (Tahap I), tanggal 8 Juni 2009. Tujuan utama acara ini

adalah sebagai langkah publikasi kepada masyarakat setempat dan para pihak

terkait, sekaligus undangan untuk membangun kerjasama melanjutkan proses

yang telah berlangsung ke depan.15

Dalam bahasan yang disampaikan oleh Elanto tentang “Peluncuran Peta

Hijau Mandala Borobudur”, bahwa Langkah-langkah yang ditempuh telah

berhasil mendokumentasikan sejarah, pernyataan, hingga pendapat, dan harapan

masyarakat setempat terhadap keadaan desa mereka di masa kini dan di masa

mendatang. Namun dalam bahasan yang telah dilakukan penelitian oleh Elanto

belum dapat memecahkan persoalan warga masyarakat secara memuaskan.

Sedangkan Penulis akan mengkaji tentang pergeseran perilaku sosial budaya

secara lebih mendalam.

14

Elanto Wijoyono, Rabu, 19 Maret 2014, “Pertemuan Nasional Peta Hijau 2014”. 15

Elanto Wijoyono, 2009, “Peluncuran Peta Hijau Mandala Borobudur”. Dusun Ngaran I,

Desa Borobudur.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

14

M. Taufik, dalam “Pariwisata dan Pergeseran Sosial Budaya” (B. Sunaryo,

2000) menjelaskan bahwa pariwisata secara sosiolosis terdiri atas tiga interaksi

yaitu interaksi bisnis, interaksi politik dan interaksi kultural. Interaksi bisnis

adalah interaksi di mana kegiatan ekonomi yang menjadi basis materialnya dan

ukuran-ukuran yang digunakannya adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi.

Dalam dimensi interaksi kultural dimungkinkan adanya pertemuan antara dua atau

lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini

mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga

bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan keberadaan interaksi

bisnis dan interaksi politik.

Perubahan terjadi apabila adanya kontak dengan kebudayaan lain yang

akhirnya akan terjadi difusi (penyebaran budaya), misalnya bagaimana terjadinya

pergeseran kultur kehidupan masyarakat sekitar kawasan Candi Borobudur yang

semula berbasis aktivitas kehidupan agraris (bertani) bergeser menjadi masyarakat

pedagang dan penjual jasa. Dengan demikian pariwisata ditinjau dari dimensi

kultural dapat menumbuhkan suatu interaksi antara masyarakat tradisional agraris

dengan masyarakat modern industrial. Melalui proses interaksi itu maka

dimungkinkan adanya pola saling pengaruh yang akhirnya akan mempengaruhi

struktur kehidupan atau pola budaya masyarakat khususnya masyarakat yang

menjadi tuan rumah.

Kontak selanjutnya antara wisatawan dengan masyarakat kawasan candi

membutuhkan suatu perantara atau media yang mampu menjalin pengertian antara

kedua belah pihak, perantara atau media tersebut adalah bahasa, bahasa menjadi

faktor determinan. Dorongan itu muncul bukan semata-mata karena motif ingin

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

15

berhubungan misalnya korespondensi atau yang lain, melainkan lebih disebabkan

karena faktor ekonomi, untuk dapat komunikatif dalam memasarkan dagangannya

baik produk souvenir, jasa menjadi guide (pemandu wisata) dll. Ini berarti telah

terjadi pola perubahan budaya masyarakat menuju ke arah yang positif yaitu

memperkaya kemampuan masyarakat khususnya dalam bidang bahasa paling

tidak belajar bahasa Inggris. 16

Sunaryo menekankan tentang pembahasan interaksi bisnis, politik dan

kultural yang mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling

memperkuat sehingga bisa terbentuk suatu kebudayaan baru, tanpa mengabaikan

keberadaan interaksi bisnis dan interaksi politik. Penulis akan mengkaji lebih

dalam tentang bagaimana pola relasi yang berkembang diantara masyarakat

setempat dan pengelola, kaum pendatang dan penduduk lokal serta hubungannya

dengan Pemerintah Daerah.

Robert Sibarani (2013), dalam penelitian yang dilakukan dengan judul

”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal”, berpendapat bahwa dalam

tradisi budaya terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur

yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya dapat

diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1)

kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6)

gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9)

peduli lingkungan, (10), kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13)

kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen,

(16) pikiran positif, dan (17) rasa syukur.17

16

Op.cit. 17

Robert Sibarani, 2013, ”Pembentukan Karakter Berbasis Kearifan Lokal” Taskap Program

Pendidikan Reguler Angkatan LXVIII, Lemhannas RI.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

16

Peran masyarakat setempat melalui kearifan lokal dalam bentuk

pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, sangat

penting dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui konsep yang disebut

CBNRM (Community based nature resource management) atau Pengelolaan

Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat.18

Hal itu disampaikan oleh penulis

Suhartini dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam sebuah penelitian yang

bertajuk ”Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan”. Dalam kajiannya disampaikan bahwa masyarakat

berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menanggulangi masalah terkait

kondisi sumber daya hayati disekitarnya. Peran masyarakat lokal dalam CBNRM

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Untuk menunjang

keberhasilannya, maka ada beberapa prinsip dalam penerapan CBNRM, yaitu

prinsip pemberdayaan masyarakat, prinsip kesetaraan peran, prinsip berorientasi

pada lingkungan, prinsip penghargaan terhadap pengetahuan lokal/tradisional dan

prinsip kebersamaan gender.

Sayangnya peneliti belum menjelaskan betapa sulitnya menjabarkan

prinsip-prinsip lokal tersebut ke dalam praktek nyata dalam kehidupan, misalnya

pengetahuan lokal dalam pengelolaan kawasan, seberapa besar kepedulian

masyarakat lokal terhadap alam sekitar, dan manfaat apa dari nilai kearifan lokal

(secara materi) yang bisa didapat. Hal ini masih berkaitan lagi dengan masalah

informasi atau pengetahuan, peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan peran

atau posisi masyarakat dalam kebijakan alam sekitar. Contohnya, masyarakat

lokal yang berada di sekitar Gunung Merapi yang kurang memahami konsep

CBNRM ini malah ikut mencuri kayu di hutan sekitar masyarakat hal ini tidak

18

Suhartini, 16 Mei 2009, Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

17

lain berkaitan dengan informasi terbatas, dorongan kesejahteraan dan ketiadaan

posisi dalam kebijakan.19

Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa masyarakat kawasan candi

Borobudur sudah sepatutnya untuk melakukan pemaknaan kembali dan

rekonstruksi nilai-nilai kearifan lokal. Upaya membangun masyarakat harmonis di

era otonomi daerah dan era globalisasi yang perlu dilakukan adalah menelusuri

makna substantif kearifan lokal, misalnya keterbukaan dikembangkan dan

diaktualisasikan menjadi kejujuran, dan keseragaman diganti keberagaman dan

lain sebagainya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan

disebarluaskan ke seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa,

bukan sekedar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu. Dalam hal ini,

peran dan tanggung jawab para pemimpin dan elite sosial dan elit politik

utamanya di Kabupaten Magelang sangat dibutuhkan untuk revitalisasi nilai-nilai

kearifan lokal guna memperkuat identitas nasional dalam rangka ketahanan

nasional.

1.4.2 Landasan Teori

1.4.2.1 Perubahan Sosial Budaya

Dalam konteks kehidupan manusia sebagai makhluk sosial terdapat dua

macam perubahan yaitu perubahan sosial (social change) dan perubahan

kebudayaan (cultural change).

Perbedaan pengertian antara perubahan sosial dan perubahan budaya

terletak pada pengertian masyarakat dan budaya yang diberikan, tetapi pada

umumnya perubahan budaya menekankan pada sistem nilai, sedangkan perubahan

19 Susilo, Candi Borobudur Belum Banyak Berikan Keuntungan Bagi Masyarakat, Kompas Images,

Magelang, 11 November 2011 (19:18)

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

18

sosial pada sistem pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat.

Perubahan masyarakat pertanian tradisional kearah masyarakat industry modern

ditandai adanya perubahan-perubahan dalam sistem nilai masyarakat industri,

misalnya lebih banyak berorientasi pada nilai-nilai rasional, komersial daripada

masyarakat pertanian.

Soemantri (2011: 2), perubahan budaya adalah proses yang terjadi dalam

budaya yang menyebabkan adanya perbedaan yang dapat diukur setelah terjadi

dalam kurun waktu tertentu. Budaya dapat diartikan sebagai segala daya upaya

dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengola alam. Perubahan

kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian,

ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lain-lain. Perubahan sosial mencakup

perubahan norma, sistem nilai sosial, pola-pola perilaku, stratifikasi sosial,

lembaga sosial, dan lain-lain. Perubahan sosial merupakan hal yang penting dalam

perubahan kebudayaan.

Dari teori tersebut penulis sangat sependapat karena sebagian besar

kegagalan masyarakat di dalam merespon pembangunannya karena masyarakat

tidak diorganisir secara baik, dalam hal ini aturan organisasi seyogyanya

dievaluasi, dan ditegakkan serta dikontrol sehingga mampu mengakomodasi

berbagai kepentingan masyarakat.

Emile Durkheim menjelaskan perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari

faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

19

kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, 20

ke dalam kondisi masyarakat

modern yang diikat oleh solidaritas organistik.21

Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan ekologis dan

perpindahan penduduk bukan saja akibat bencana alam, buatan maupun keinginan

masyarakat sendiri namun juga bisa terjadi karena justru hadirnya industri

pariwisata dan kebijakan politik pemerintah.

1.4.2.2 Konsep dasar pembangunan

Konsep dan arahan pengembangan sebagai langkah-langkah yang taktis

dan mendasar untuk memulihkan kondisi fisik Candi dan lingkungannya serta

elemen non fisik yang terkait di dalamnya merupakan prinsip pengembangan yang

terdiri dari:

a. Borobudur sebagai Culture Heritage Trails; didasari pemikiran bahwa

penyebaran agama Budha yang berakar dari India mempunyai keterkaitan

arkeologis di antara negara-negara Asia. Argumen penulis keberadaan candi

Borobudur adalah keterpaduan kultur antara India dan Jawa yaitu sebagai tempat

meditasi penganut Buddha (kitab Nagarakertagama, yang ditulis oleh Mpu

Prapanca pada tahun 1365).

b. Keseimbangan antara pengembangan dan konservasi; hubungan antara

peninggalan sejarah dan pariwisata merupakan hubungan yang saling

20

Solidaritas Mekanistik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih

sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja

diantara para anggota kelompok. (Masyarakat Pedesaan).

Solidaritas Organistik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan

telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan

antar anggota. (Masyarakat Perkotaan). 21

Hooguelt, Ankle MM, 1995, Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Hlm. 56.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

20

menguntungkan karena peninggalan sejarah merupakan nilai sosial dan budaya.

Pariwisata dapat menjadi alat yang baik untuk membantu keberlanjutan

peninggalan sejarah tetapi perlu adanya pelestarian dan perencanaan yang matang,

terarah, serta pengaturan pengembangan dan manajemen untuk mendukung

peningkatan ekonomi.

c. Community Involvement : Empowerment (pemberdayaan masyarakat)

merupakan salah satu hal penting dalam pengembangan pariwisata termasuk di

dalamnya budaya dan peninggalan sejarah. Pemberdayaan masyarakat dapat

dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, membuat lapangan kerja baru

yang pada intinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama komunitas

di sekitar area peninggalan sejarah.

Konsep dasar keseimbangan pelestarian serta pemberdayaan masyarakat pada

dasarnya saling berkaitan untuk peningkatan ekonomi tetapi dalam kenyataannya

belum menyentuh masyarakat. Oleh karenanya dalam pelestarian dan pemeliharaan

seyogyanya perlu melibatkan komunitas masyarakat yang menggeluti dan memahami

tentang perawatan arkeologi, contohnya komunitas pemahat batu di kawasan

Muntilan sebagai sumber tenaga manusia profesional untuk pelestarian pelbagai

candi, tak pernah tersentuh oleh sistem konservasi pusat maupun daerah, padahal di

dalamnya terdapat SDM yang berkualitas di dusun Prumpung Sidohardjo, desa

Taman Agung kecamatan Muntilan sebagai tokoh maestro seni pahat kelas dunia

yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Dul Kamit Djoyo Prono.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

21

d. Cultural Tourism and Healthy Lifestyle ; merupakan salah satu trend dalam

wisata budaya yang menerapkan konsep ajaran Buddha, sehingga mendorong

pertumbuhan fasilitas penunjang dan pelayanan di sekitar situs peninggalan sejarah.

Terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan bertaraf internasional seperti

rumah sakit, dokter dan tenaga medis mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang

berkunjung ke kawasan wisata Candi Borobudur. Oleh karenanya kesiapan

infrastruktur seperti rumah sakit, dokter serta paramedis yang berkualitas sangat

penting untuk diwujudkan guna melayani wisatawan dan masyarakat kawasan wisata.

e. Borderless Tourism; konsep pariwisata lintas batas atau tanpa batas

mengarahkan pada pentingnya membangun kemitraan atau aliansi strategis antar

wilayah yang berdekatan atau kerjasama lintas batas untuk mengembangkan

kepariwisataan secara terpadu, sinergis dan komplementer. Argumen penulis dalam

mendukung konsep pariwisata, perlu fasilitas media center yang mampu membangun

image tentang perkembangan sosial budaya di kawasan wisata candi Borobudur,

secara terus menerus dan berkelanjutan.

f. Konsep Mandala; konsep dasar sebuah mandala stupa ialah adanya ruangan

pusat yang dikelilingi oleh ruangan-ruangan yang lebih kecil. Bila konsep tersebut

dikembalikan ke organisasi ruang Candi Borobudur, akan nampak adanya kesejajaran

konsep.

Di sisi lain keberadaan Candi Borobudur, Mendut, Pawon sebagai satu

kesatuan World Heritage Site. Perhatian pemerintah dalam pengelolaan kawasan

selalu terpusat pada Candi Borobudur. Padahal, keberadaan bangunan ini tidak dapat

dilepaskan dari nilai-nilai penghidupan, kehidupan (social), kemanusiaan (human),

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

22

kemestaan alam (nature) dan ketuhanan.22

Berkaitan dengan pemanfaatan

sumberdaya alam sebagai objek budaya yang apabila dikelola dan dilestarikan

secara baik oleh masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama akan

meningkatkan kualitas kawasan dan masyarakatnya (Soeroso, 2007).

1.4.2.3 Teori Komunitas

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok

organisme yang terdiri dari individu-individu yang hidup dan saling berinteraksi

satu sama lain di daerah tertentu. Dalton et al (2007) menyatakan komunitas

sebagai wadah dimana ide individu-individu muncul bersama-sama di dalam

beberapa kegiatan atau usaha bersama maupun hanya karena adanya kedekatan

secara geografis. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Sarason pada tahun 1974

(dalam Dalton et al, 2007) bahwa komunitas adalah penyedia dengan mudah

jaringan hubungan saling mendukung satu sama lain dan masing-masing individu

memiliki ketergantungan di dalamnya.

Sejak akhir abad ke 19, istilah komunitas mempunyai makna sebuah

perkumpulan dengan harapan dapat semakin dekat dan harmonis antara sesama

anggota (Elias 1974, dikutip oleh Hogget 1997). Di sisi lain komunitas adalah

sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang tinggal berdekatan; dan

ada yang melihat komunitas sebagai daerah yang mempunyai kehidupan yang

sama. Komunitas dapat berarti sebuah nilai (Frazer, 2000). Komunitas dapat

digunakan untuk membawa nilai-nilai seperti: solidaritas, komitmen, saling

tolong-menolong, dan kepercayaan.

22

Baiquni, M., 2004. Manajemen Strategis. Yogyakarta: Program Studi Kajian Pariwisata

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

23

Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling

berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan

memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi

secara terus menerus Etienne Wenger (2004). Komunitas merupakan bagian dari

masyarakat yang saling berbagi informasi mengenai suatu subjek tertentu. Mereka

mendiskusikan keadaan, aspirasi dan kebutuhan mereka. Pengertian komunitas

ialah sekelompok orang yang berinteraksi dan saling berbagi sesuatu secara

berkelompok.

Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menjadi

kesepakatan komunitas tersebut adalah totalitas sosial kultural yang berinteraksi

dalam suatu daerah tertentu didasarkan pada solidaritas, komitmen, saling tolong-

menolong dan rela berkorban, serta terjalinnya kepercayaan. Namun disisi lain

juga terbentuk pola hubungan tingkah laku nilai-nilai, kesederajatan,

kebersamaan, kekeluargaan, keseteraan, dan norma-norma baru sesuai dengan

tuntutan perkembangannya.

1.4.2.4 Teori Ketahanan Individu dalam sistem sosial

Dalam tulisan yang berjudul ”Direction changes in ecological comunities

and sicio-ecological systems, F.S. Chapin (2006) menyimpulkan bahwa kebijakan

diperlukan bukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tetapi untuk

meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi individu, keluarga dan masyarakat

dalam beradaptasi dan berfungsi dengan baik dalam posisinya sosial yang berbasis

pada karakterisari demografisnya. Teorinya meniscayakan setiap individu di

dalam masyarakat dengan kapasitas yang dimilikinya sehingga mampu berperan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

24

dan memperkuat ketahanan sosial budaya sehingga ketahanan nasional

terpelihara”

Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa diperlukan solidaritas

masyarakat yang didasarkan pada ikatan yang kuat dari kepercayaan dan

kebiasaan masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya terciptanya harmonisasi

kehidupan bermasyarakat.

1.4.2.5 Teori sistem sosial budaya

Talcot Parsons (dikutip dari Margaret M Poloma, 1992, 187) menyatakan

sebagai berikut:

”Sebagai masalah pokok sosiologi makro, masyarakat bukan hanya merupakan

contoh sistem sosial, tetapi merupakan substansi yang paling penting untuk

dianalisis; kita membatasi masyarakat sebagai suatu tipe sistem sosial yang

ditandai oleh tingkat swadaya (self sufficiency) tertinggi dalam konteks

lingkungannya, termasuk sistem sosial lain. Sebagian besar sistem sosial, sekolah,

gereja, keluarga, perusahaan adalah subsistem masyarakat. Subsistem itu saling

berhubungan sehingga merupakan suatu sistem sosial yang paling berswadaya

(dan merupakan suatu sistem yang mampu mengontrol lingkungannya yaitu

masyarakat).23

Teori Fungsionalisme Parsons berlangsung di berbagai tingkat dengan titik

berat terletak pada struktur interaksi sosial dan pada pola-pola tindakan, serta pada

hubungan-hubungan sosialnya di dalam sebuah sistem sosial yang stabil. ada

empat syarat fungsional agar sistem sosial dapat bertahan yaitu:

23

Alfabeta, 23-27 Agustus 2010, dalam Lemhannas RI, Kajian kondisi ketahanan nasional

provinsi Nusa Tenggara, Laporan kelompok peserta PPRA, studi strategis kajian dalam

negeri.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

25

a. Adaptasi (Adaptation). Dalam sistem sosial Parsons masih menekankan

pada unsur tindakan yang membentuk unit-unit sistem sebagai empat syarat

memaksa di dalam sistem. Sistem adaptasi menekankan pada mobilisasi sarana

dan prasarana. Melalui sistem adaptasi dihasilkan fasilitas umum, umumnya

berkaitan dengan masalah ekonomi atau uang.

b. Pencapaian Tujuan (Goal Attainment). Sistem pencapaian tujuan

mengkhususkan diri pada tujuan-tujuan yang terletak di luar sistem. Meskipun

proses adaptasi berlangsung secara normal, namun adaptasi tidak akan punya

rujukkan apabila tidak diorientasikan kepada pencapaian tujuan. Adaptasi

memerlukan arah yang jelas agar tidak mengalami penghamburan atau

pemborosan fasilitas. Semua upaya dari sistem bermuara pada pencapaian tujuan,

sistem pencapaian tujuan menghasilkan sumber-sumber umum yang paling

penting yakni kekuasaan.

c. Integrasi

Sistem integrasi mengkhususkan pada sistem sosial dan kultural. Integrasi,

artinya suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah-belah dan cerai-berai. Integrasi

meliputi keutuhan dan kelengkapan anggota-anggota yang membentuk suatu

kesatuan dengan jalinan hubungan yang erat, harmonis dalam kebersamaan antara

anggota-anggota kesatuan itu.

Paul Doyle Johnson (1990 : 130) menyatakan, supaya sistem sosial itu

berfungsi secara efektif sebagai suatu satuan harus ada paling kurang satu tingkat

solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Integrasi merupakan

kebutuhan untuk menjamin ikatan emosional yang memadai, yang akan

menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama. Ikatan emosional

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

26

kebersamaan (kohesivenes) akan memiliki daya magnetic yang kuat bila diikat

oleh agama.

d. Pemeliharaan Pola (Latent Pattern Maintenance)

Sistem pemeliharaan pola mengkhususkan diri pada sistem sosial dan

sistem kepribadian. Konsep ini menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai ideal

seperti nilai moral, norma-norma yang di anut bersama oleh para anggota dalam

suatu masyarakat atau suatu sistem tertentu yang diakui kebenarannya. Konsep ini

menunjukkan adanya mempertahankan nilai-nilai dasar dalam upaya tercapainya

nilai akhir yang bersifat kekal, dan dapat meningkatkan serta memperkuat

komitmen terhadap nilai-nilai itu. Pola-pola lama dari suatu unit sistem yang

bersifat fungsional dalam pencapaian tujuan tetap dipelihara dan di tingkatkan.

Pemeliharaan pola yang tersembunyi mengacu kepada masalah pemeliharaan pola

nilai dan sistem.

Masyarakat sebagai suatu sistem secara fungsional terintegrasi ke dalam

suatu bentuk equilibrium kehidupan sosial (masyarakat) sebagai sistem sosial

harus di lihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau

unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada

dalam satu kesatuan. Sistem sosial sifatnya tidak empiris (abstrak), sehingga

komponennya tidak dapat di lihat tapi hanya dapat dibayangkan dengan suatu

konstruksi berfikir.

Ranjabar, (2006: 9), Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial

dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakat berarti segala sesuatu

yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang

atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

27

nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur

atau kebudayaan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara

timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah

tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik

materiil maupun yang psikologis, idiil dan spiritual. Sistem sosial budaya yaitu

merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku

manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur budaya secara mandiri

serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan

hidup manusia dalam bermasyarakat.24

Dari teori tersebut di atas, pendapat penulis bahwa pemberdayaan

masyarakat sekitar kawasan candi Borobudur dalam sistem sosial utamanya

bersifat sosial ekonomi belum terorganisir secara signifikan. Sedangkan

pemberdayaan dalam sistem nilai yang berkaitan dengan nilai, norma, etika,

tradisi dan hukum, belum sepenuhnya dapat diterapkan.

1.4.2.6 Kosmopolitanisme

Charles Taylor dalam bukunya yang berjudul Prinsip Otensitas Charles

Taylor : ”Antara Kosmopolitanisme dan Nasionalisme”.25

Arus globalisasi telah

menghadirkan ketegangan fundamental dalam kehidupan manusia, yakni antara

tendensi untuk terbuka dan usaha untuk menutup diri, antara proses penyatuan dan

pemisahan, antara keberanian untuk memfasilitasi dan pecegahan yang tergesa-

gesa. Ketegangan ini terekspresi dalam diskursus yang berkepanjangan antara

24

Ranjabar, Jacobus, 2006, Sistem Sosial Budaya Indonesia; Bogor, Ghalia Indonesia. 25

Charles Taylor, 2009, Jurnal Etika, Vol. 1 No. 2, November 2009, hlm. 187.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

28

kosmopolitanisme dan nasionalisme yang merupakan dua model aliran pemikiran

yang mendominasi alam pemahaman kita tentang hubungan internasional.

Kosmopolitanisme, bagi para pendukungnya, dianggap sebagai suatu

alternatif untuk memfasilitasi baik keyakinan kaum liberal yang menegaskan

bahwa semua umat manusia merupakan dan seharusnya membentuk satu

komunitas moral universal, maupun arus globalisasi yang tak bisa terhindarkan.

Tekanan tersebut diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu ketegangan internal

dan eksternal. Salah satu contoh ketegangan yang timbul dari masalah internal

suatu negara adalah problem migrasi yang kemudian memicu tantangan lain,

yakni bangkitnya usaha penegasan identitas dari komunitas-komunitas kecil yang

terbentuk dari proses migrasi tersebut. Tekanan eksternal terhadap gerakan

nasionalisme sangat jelas terlihat dalam peningkatan kekuatan, pengaruh, dan

legitimasi dari organisasi ekonomi dan sosial yang bersifat global, seperti: World

Trade Organization, World Economic Forum, dan World Social Forum, dan

organisasi-organisasi hukum dan politik supra-nasional, seperti : International

Criminal Court dan United Nations.

Fenomena kosmopolitanisme sungguh telah merubah wajah politik setiap

negara di dunia. Status politik dan fungsi pragmatis dari batas-batas geografis

setiap negara sebagai penegas identitas dan kedaulatan nasional setiap negara,

walau masih penting sekarang cenderung nasionalisme mulai luntur disaat negara

yang bersangkutan menegaskan diri sebagai satu Negara dan berjuang untuk

mendapatkan pengakuan internasional. Namun di sisi lain fenomena globalisasi,

alasan dasar bagi para pendukung aliran nasionalisme untuk semakin menegaskan

pentingnya penegasan identitas nasional, otoritas, dan kedaulatan setiap Negara.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

29

Sebagai filosofi, kosmopolitanisme mengutamakan penerimaan akan

kebudayaan yang beragam. Identitas manusia sebagai bagian dari suatu kelompok

kebudayaan juga dibarengi dengan keberadaan identitasnya sebagai bagian dari

satu kosmos yang sama. Atau dengan kata lain, manusia melakukan interaksi dan

kontak dengan budaya lain, namun di saat yang sama ia masih dapat memelihara

budayanya. Kosmopolitanisme juga seringkali diibaratkan sebagai salad bowl

alih-alih melting pot dimana setiap budaya dapat mempertahankan karakteristik

khas dan tradisinya masing-masing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

elemen-elemen yang terkandung dalam kosmopolitanisme ialah: a) Perdamaian, b)

Persatuan, c) Kebebasan, d) Toleransi, e) Rasa penasaran akan kebudayaan lain.

Penegasan kosmopolitanisme pada identitas universal semua individu

yang berdasar pada pemahaman liberal bahwa setiap manusia mempunyai harkat

dan martabat yang sama dan bahwa setiap manusia diikat oleh kodrat tersebut,

senantiasa mengalami polemik ketika dihadapkan pada tuntutan penghargaan

terhadap identitas partikular negara, bangsa, atau kultur tertentu. Sebaliknya,

aliran nasionalisme yang menekankan hak menentukan dan mengatur Negara

sendiri dan penegasan identitas nasional, semakin tergerogoti oleh komposisi

dunia dan permasalahannya yang semakin accessible dan compact akibat proses

globalisasi. Kosmopolitanisme sering dijadikan argumentasi untuk menentang

kebangkitan aliran nasionalisme, dan sebaliknya nasionalisme muncul antara lain

sebagai reaksi kritis terhadap kecenderungan warga dunia.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

30

1.4.2.7 Transformasi

Berkaitan dengan terjadinya transformasi terhadap nilai-nilai tradisional

yang ada di kawasan wisata Borobudur, Max Weber berpendapat bahwa proses

transformasi berjalan melalui suatu proses evolusioner yang antar unsurnya saling

mempengaruhi dalam suatu ”bentuk ideal” yang sengaja diciptakan sebagai suatu

model. Sedangkan menurut Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg (2005),

mengatakan bahwa untuk mentransformasi berarti melakukan perubahan dalam

bentuk, tampilan atau struktur. Transformasi dalam konteks manajemen organisasi

dan sistem terjadi berawal dari individu, dan kemudian dalam organisasi.26

Kawasan wisata Borobudur memerlukan transformasi untuk selalu menjaga

kelestariannya. Transformasi hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang

memiliki pengetahuan akan hal itu. Berdasarkan hal tersebut, semestinya para

pemimpin mulai dari Bupati, Camat, Lurah Kabupaten Magelang yang meliputi

kawasan wisata Borobudur sebagai penjaga kebudayaan, secara individu maupun

organisasi harus dapat melakukan transformasi dengan menciptakan bentuk,

tampilan dan struktur baru budaya sebagai artikulasi baru dari artikulasi yang

sudah ada.

Transformasi budaya lokal dalam kawasan wisata candi Borobudur adalah

transformasi yang komprehensif, integral dan holistik serta mampu

menyeimbangkan antara kebijakan pemerintah dengan kehidupan sosial

masyarakat utamanya pendidikan, pelestarian dan kesejahteraan.

26 Marcia Daszko dan Sheinberg, 2005, Survival is Optional: Only Leaders With New

Knowledge Can Lead the Transformation.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

31

Gambar 1. Transformasi Sosial Budaya akibat suatu daerah dinyatakan sebagai

kawasan wisata.

Pada Gambar 1 (lihat hal 31). Secara diagram dapat dijelaskan bahwa pada

awalnya ketika kawasan Candi Borobudur belum dijadikan kawasan wisata,

komunitas kawasan Borobudur hidup di wilayah ekologi dan ekosistem yang

dinamis, namun relatif masih menunjukkan kondisi tentram dan damai didasarkan

pada solidaritas, komitmen, saling tolong-menolong, gotong-royong dan rela

berkorban.

Dalam perkembangannya ketika keputusan politik ekonomi menentukan

bahwa Candi Borobudur dijadikan kawasan wisata pada tanggal 10 Agustus tahun

1973, Presiden Suharto meresmikan proyek pemugaran Candi Borobudur, maka

bersamaan dengan itu kapitalisme industri masuk dan mengubah alam yang

menjadi bagian dari kehidupan sosial yang komprehensif tersebut. Karena

sebenarnya komunitas kawasan Borobudur melihat Tuhan ada di dalam alam.

Alam menjadi sumber inspirasi kebudayaan tetapi dipotong oleh kapitalisme

industri yang menganggap alam hanya sebagai komoditi (barang dagangan).

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

32

Padahal dalam sistem komunitas, alam itu totalitas tetapi kapitalisme itu

tidak memperhitungkan alam secara totalitas, hanya melihat dari sisi berapa

harganya bila dijual, hal inilah yang kemudian merubah kawasan dan komunitas

tersebut secara keseluruhan menjadi kompleks. Totalitas kultural yang terpisah-

pisah oleh proses yang berlangsung dalam sistem industri pariwisata itulah,

kemudian melahirkan transformasi sosial budaya, dalam hal ini adalah kasus di

kawasan wisata Borobudur.

Kasus di kawasan Borobudur menyatakan bahwa proses itu memang

terjadi perubahan ekosistem antara lain yang semula lahan pertanian, perkebunan,

permukiman penduduk, kawasan hutan dll, berubah menjadi kawasan industri,

perhotelan, perkantoran, sarana prasarana jalan, dll. Di sisi lain kompleksitas

totalitas komunitas kawasan Borobudur menjadi masyarakat berkelas-kelas, mulai

dari kelas yang paling rendah adalah penduduk asli, yaitu kelompok orang

terpinggir yang tidak mempunyai skill dan pengangguran. Kemudian kelas yang

lebih tinggi kelas pengasong, pemandu wisata, pedagang, bisnis, sedangkan yang

lebih tinggi lagi yaitu kelompok intelektual elit baik pemerintah maupun swasta.

Komunitas yang semula totalitasnya tidak membeda-bedakan, karena

adanya industri pariwisata maka menjadi lebih kompleks, artinya sebagian

masyarakat teralienasi ada yang kepinggir atau kemana-mana, ini belajar dari

kasus Borobudur oleh karena itu penulis berpendapat bahwa “suatu daerah baik di

dalam maupun di luar negeri bila dijadikan kawasan wisata, dimanapun daerahnya

tidak bisa dihindari akan terjadi proses-proses transformasi ekosistem maupun

komunitas masyarakat di kawasan wisata menjadi lebih kompleks sehingga

masyarakatnya berkelas-kelas, seperti yang terjadi di Borobudur”.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

33

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Tipe penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengkritisi

perkembangan representasi serta refleksi dinamika sosial budaya kawasan wisata

Borobudur, sehingga bisa ditemukan kecenderungan naratif yang dipilih di

tengah-tengah iklim globalisasi yang syarat dengan teknologi saat ini. Penulis

dalam pengumpulan data dan fakta sosial, untuk memberikan masukan kepada

Pemerintah Kabupaten Magelang, Pemerintah Propinsi Jateng, Yogjakarta dan

Dinas Budaya serta Pariwisata Propinsi Yogjakarta, berharap agar kebudayaan

masyarakat setempat dapat memberi pengaruh positif kepada wisatawan manca

Negara, Nusantara dan lokal karena mampu menyaring kebudayaan asing

sehingga bijak dan tidak terseret arus negatif kebudayaan asing.

1.5.2 Jenis Data

Untuk mendapatkan jawaban yang mendalam dari permasalahan yang

dirumuskan dan sejalan dengan manfaat penelitian yang diharapkan, maka data

yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber dengan dua macam cara

pengumpulan data secara kualitatif yang dilakukan meliputi:

a. Observasi

Pengumpulan data dengan cara pengamatan di lapangan. Data yang

dikumpulkan dengan cara mengamati langsung perilaku sesama masyarakat

setempat, perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat dengan migran dan

sebaliknya. Dalam observasi ini menggunakan alat berupa kamera untuk

dokumentasi.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

34

b. Wawancara yang berencana, dengan memilih responden baik dari jajaran

aparatur pemerintah daerah, swasta, maupun masyarakat setempat, secara terbuka

dan mendalam.

Wawancara dilakukan terhadap masyarakat setempat di kawasan

Borobudur, sebelas orang, wisatawan lokal, enam orang dan wisatawan manca

negara, lima orang. Tehnik pengumpulan data ini diperlukan untuk mendapatkan

data yang tidak didapat dengan observasi serta berasal dari sumber utama.

1.5.3 Tehnik Pengolahan Data

Data-data yang telah terkumpul melalui tehnik pengumpulan data, baik

data primer maupun data sekunder, dilanjutkan pada proses pengolahan data atau

menganalisis, dengan menggunakan langkah-langkah:

a. Editing, dilakukan pada waktu di lapangan, dan setelah dari lapangan.

b. Klasifikasi data, melalui data yang telah melalui proses editing, sesuai

dengan masalah, tujuan penelitian dan ruang lingkupnya dalam pembatasan

masalah.

c. Analisis data dan interpretasi data.

Dalam proses ini dilakukan beberapa tahap, yaitu:

1) Menganalisis proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat Kawasan

Candi Borobudur, terhadap budayanya sendiri.

2) Menganalisis proses belajar warga masyarakat Kawasan Candi Borobudur

terhadap unsur-unsur kebudayaan asing (akulturasi dan asimilasi)

3) Menganalisis transformasi penghidupan masyarakat di kawasan Candi

Borobudur bergerak dari masyarakat pertanian menjadi semakin terdiversifikasi

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

35

ke dalam berbagai ragam sumber mata pencaharian, meliputi (a) perubahan dari

masyarakat pertanian ke perdagangan atau home industry serta industri wisata, (b)

perubahan masyarakat tersebut ikut andil dalam proses kosmopolitanisme di

kawasan Candi Borobudur

4) Menganalisis pola relasi yang berkembang akibat interaksi politik, bisnis

dan kultural diantara masyarakat setempat dan pengelola, kaum pendatang dan

penduduk lokal serta hubungannya dengan Pemerintah Daerah.

5) Menganalisis pola relasi yang berkembang diantara kaum migran dan

penduduk lokal, yang meliputi proses penduduk migran memberi makna dalam

relasi dengan nilai-nilai sosial budaya penduduk setempat dan menganalisis

penduduk setempat merespon secara kultural dan sosial terhadap para pendatang.

1.6 Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri dari enam Bab, dan masing-masing bab merupakan satu

kesatuan yang saling terkait untuk mengungkap permasalahan secara

komprehensif. Secara rinci sistematika penulisan disertasi ini sebagai berikut:

BAB I, Pendahuluan, memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik dan metode penelitian

serta sistimatika penulisan yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini.

BAB II, Gambaran Lokasi Studi, menguraikan kondisi letak geografi dan

demografi masyarakat di kawasan Borobudur sehingga terjadi transformasi dari

natural resources yang ada menjadi objek pariwisata dalam kehidupan

masyarakat Borobudur.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78671/potongan/S3...sistem drainase dan pembuatan canggal/jalan air untuk mengarahkan aliran air hujan. Pada

36

BAB III, Perubahan Obyek Wisata Dalam Meningkatkan Aset Ekonomi,

menguraikan gambaran tentang perubahan obyek wisata yang ada di kawasan

Borobudur melalui peran swasta dalam pembangunan industri pariwisata untuk

meningkatkan ekonomi maupun sosial budaya dalam masyarakat di kawasan

Borobudur.

BAB IV, Dampak Pariwisata Komersial, membahas pengaruh pariwisata yang

merupakan komersialisasi nilai-nilai budaya dengan adanya kegiatan-kegiatan

pariwisata akan menyebabkan terkontaminasinya nilai-nilai budaya asli suatu

daerah, dengan adanya kedatangan pengaruh budaya asing yang dibawa oleh

wisatawan dan penyesuaian masyarakat terhadap perubahan sosial di Kawasan

Borobudur dengan berbagai sumber daya alam yang ada di Kabupaten Magelang.

BAB V, Struktur Sosial Budaya Di Kawasan Borobudur, membahas dampak

perkembangan industri pariwisata terhadap kebudayaan dan diperlukan

kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi

oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan

lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur.

BAB VI, berisi Kesimpulan dan saran bagi pemerintah pusat dan daerah serta

Lembaga Pemerintah terkait dalam melembagakan sistem budaya / nilai.