1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Secara harafiah cantik berarti sesuatu yang indah, elok dan rupawan. Namun dalam praktiknya, cantik selalu identik dengan penampilan lahiriah (fisik) seorang wanita. Definisi cantik memiliki arti yang universal. Arti kata cantik dimaknai berbeda-beda di setiap daerah atau negara sesuai dengan kebudayaan yang melingkupinya. Di Indonesia misalnya, wanita Jawa yang cantik merupakan wanita yang memiliki kulit kuning langsat atau sawo matang dengan rambut hitam legam yang berkilau, sedangkan wanita dari suku Dayak menilai kecantikan dengan memiliki bentuk daun telinga yang memanjang ke bawah dengan aksesoris anting-anting yang besar dan banyak, semakin panjang daun telinga maka semakin cantik dan semakin tinggi pula kelas sosial wanita tersebut. Namun seiring perkembangan jaman yang disertai dengan kemajuan teknologi, pesatnya arus informasi dan globalisasi, konsep cantik di Indonesia dan di beberapa belahan dunia mengalami pergeseran. Pengaruh globalisasi telah menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk tubuh atau penampilan diri juga mengalami perubahan melalui proses konstruksi. Pada sisi lain kehadiran media, tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh wanita. Jika pada era tahun 1960-an hingga 1970-an standar ideal mengenai wanita cantik yaitu wanita yang memiliki tubuh kurus, kulit hitam dan rambut berombak, maka di awal era tahun 80-an standar kecantikan tersebut berubah dan perubahan tersebut dipelopori oleh media. Konstruksi kecantikan pada wanita yang dibangun oleh media adalah kecantikan dengan kriteria seperti kulit putih bersih bak wanita Eropa, bertubuh tinggi dengan pinggang yang ramping, wajah simetris, rambut lurus panjang dan payudara penuh berisi. Pada era ini media telah berhasil membentuk dan mempengaruhi konsep cantik dan standar tubuh ideal seorang
39
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAHetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78855/potongan/S1-2015... · wanita yang memiliki kulit kuning langsat atau sawo matang dengan rambut
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Secara harafiah cantik berarti sesuatu yang indah, elok dan rupawan.
Namun dalam praktiknya, cantik selalu identik dengan penampilan lahiriah (fisik)
seorang wanita. Definisi cantik memiliki arti yang universal. Arti kata cantik
dimaknai berbeda-beda di setiap daerah atau negara sesuai dengan kebudayaan
yang melingkupinya. Di Indonesia misalnya, wanita Jawa yang cantik merupakan
wanita yang memiliki kulit kuning langsat atau sawo matang dengan rambut
hitam legam yang berkilau, sedangkan wanita dari suku Dayak menilai kecantikan
dengan memiliki bentuk daun telinga yang memanjang ke bawah dengan
aksesoris anting-anting yang besar dan banyak, semakin panjang daun telinga
maka semakin cantik dan semakin tinggi pula kelas sosial wanita tersebut.
Namun seiring perkembangan jaman yang disertai dengan kemajuan
teknologi, pesatnya arus informasi dan globalisasi, konsep cantik di Indonesia dan
di beberapa belahan dunia mengalami pergeseran. Pengaruh globalisasi telah
menyentuh semua aspek kehidupan manusia, termasuk tubuh atau penampilan diri
juga mengalami perubahan melalui proses konstruksi. Pada sisi lain kehadiran
media, tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh wanita. Jika
pada era tahun 1960-an hingga 1970-an standar ideal mengenai wanita cantik
yaitu wanita yang memiliki tubuh kurus, kulit hitam dan rambut berombak, maka
di awal era tahun 80-an standar kecantikan tersebut berubah dan perubahan
tersebut dipelopori oleh media. Konstruksi kecantikan pada wanita yang dibangun
oleh media adalah kecantikan dengan kriteria seperti kulit putih bersih bak wanita
Eropa, bertubuh tinggi dengan pinggang yang ramping, wajah simetris, rambut
lurus panjang dan payudara penuh berisi. Pada era ini media telah berhasil
membentuk dan mempengaruhi konsep cantik dan standar tubuh ideal seorang
2
wanita. Secara tidak sadar para wanita ini telah dipaksa untuk mengubah cara
pandang mereka terhadap tubuh mereka sendiri, hal ini menyebabkan
berkurangnya kepercayaan terhadap penampilan diri mereka karena menganggap
bahwa citra tubuh (body image) mereka tidak sesuai dengan apa yang dibentuk
oleh media.
Konstruksi yang dilakukan media terhadap tubuh wanita ini pun didukung
dan diterapkan dalam pergaulan di masyarakat, di mana penampilan fisik seorang
wanita menjadi standar ideal untuk menilai kecantikannya. Makna kecantikan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah mengalami pergeseran, dari yang
bersifat pribadi (domestik), tetapi sekarang menjadi sangat umum dan
dipertontokan. Kecantikan, bahkan menjadi ajang kompetisi melalui berbagai
festival atau kontes, laiknya bentuk-bentuk kesenian lainnya, contohnya ajang
pemilihan Puteri Indonesia, Miss World, Miss Universe, dan kontes-kontes
kecantikan yang lainnya. Bahkan pasaran kerja pun tidak jarang menerapkan
model pengetesan berdasarkan atas kriteria kecantikan atau keindahan penampilan
seorang wanita, dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A
Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional,
perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap
perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk menerapkan
hubungan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan
dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut,
maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan
hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan
oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Praktik-praktik penerapan PBQ di suatu perusahaan kini kian marak
terjadi di berbagai belahan dunia, seperti yang terjadi di Korea Selatan. Di Korea
Selatan, wanita yang hanya memiliki single eyelid harus berusaha lebih keras
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang
memiliki double eyelid. Selain itu standar kecantikan mengenai ukuran tubuh pun
hingga sekarang masih diberlakukan di kalangan pekerja fashion, contohnya saja
3
modeling. Di dunia modeling, model-model bertubuh kurus dengan kaki jenjang
masih menjadi primadona sedangkan model-model bertubuh besar (size plus)
diperlakukan dengan kurang baik, hanya ditawari sedikit pekerjaan bahkan
diremehkan dan dipandang sebelah mata. Hal ini merupakan contoh bagaimana
citra tubuh dikelola dalam suatu sistem sosial, politik dan kultural.
Kecantikan juga berhubungan erat dengan bagaimana cara berpakaian
yang baik, berperilaku yang baik, dan semua yang berkaitan dengan cara
memperlakukan tubuh dengan baik pula. Oleh karena itu, menjaga penampilan
oleh seorang wanita telah dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tidak heran jika
banyak wanita yang berlomba-lomba untuk menjadi cantik sesuai dengan persepsi
cantik yang dimiliknya maupun yang dibentuk oleh media massa. Keinginan
wanita untuk tampil cantik ini pula lah yang dimanfaatkan oleh para produsen
untuk memproduksi berbagai macam jenis kosmetika. Tak heran jika dari hari ke
hari persaingan yang terjadi dalam industri kosmetika semakin ketat. Setiap
perusahaan berlomba menggunakan strategi pemasaran yang tepat agar dapat
memenangkan persaingan. Salah satu strategi yang digunakan adalah strategi
promosi melalui iklan. Menurut Djakfar (2007: 76) iklan dilukiskan sebagai
komunikasi antara produsen dan konsumen, antara penjual dan calon pembeli.
Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah pesan. Dengan
demikian iklan bermaksud memberikan informasi dengan tujuan yang terpenting
adalah memperkenalkan produk atau jasa.
Melalui kegiatan periklanan standar mengenai kecantikan itu diciptakan
dan tertanam kuat di benak masyarakat. Para pembuat iklan menciptakan konsep
sosok ideal mengenai wanita cantik dengan berbagai ciri-ciri sehingga produk
kecantikan yang diiklankan dapat ditawarkan dan terjual kepada masyarakat luas,
misalnya untuk menjadi cantik harus memiliki kulit yang putih dan mulus.
Begitulah bagaimana iklan menanamkan nilai-nilai dan konsep ideal kecantikan
yang baru dengan menciptakan mitos kecantikan.
4
Secara tegas iklan telah membentuk sebuah ideologi tentang makna atau
image gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi
wanita. Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa
memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti
gaya hidup dengan kecantikan sebagai big idea-nya (Winarni, 2009: 3).
Kehadiran pasar dan iklan yang memberikan janji-janji disertai berbagai
produk kecantikan, pada akhirnya membuat perempuan menjadi tidak berdaya dan
selalu ingin mengkonsumsi benda atau jasa demi sebuah kecantikan. Berbagai
jenis produk kecantikan, mulai dari harga yang paling murah sampai dengan yang
termahal, semuanya menjajikan pembentukan dan perawatan tubuh perempuan
menjadi cantik (Ibrahim, 2006: 115). Dalam konteks ini tubuh dijadikan sebagai
sebuah arena pertarungan untuk kecantikan. Kehadiran pasar dan iklan mode yang
berubah-ubah, menandakan bahwa betapa tubuh dan kecantikan memiliki arti
penting dalam kaitan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi (Abdullah,
2006: 38).
Di saat produsen iklan sedang gencar memborbadir konsumen dengan
mengiklankan produk kosmetiknya menggunakan endorser dari kalangan public
figure dengan paras yang rupawan untuk menarik minat masyarakat, berbeda hal
dengan yang dilakukan oleh produk perawatan tubuh (skincare) asal Belanda,
Dove. Dove justru menggunakan model wanita biasa dalam iklannya, bahkan
cenderung tidak tampak cantik. Dove sendiri merupakan sebuah brand produk
kosmetik yang berkonsentrasi pada produk perawatan tubuh seperti sabun mandi,
shampoo, hand and body lotion serta deodorant. Dove mencoba menjadi salah
satu brand skincare/toiletries yang bergerak melawan arus mainstream mengenai
definisi „tubuh‟ seorang wanita. Dove mencoba untuk mengubah standar
kecantikan yang telah tertanam dalam benak masyarakat selama ini. Untuk
merealisasikan komitmennya maka sejak tahun 2004, Dove mulai meluncurkan
strategi pemasaran yang berupa rangkaian advertising campaign yang diberi judul
for Real Beauty dalam rangka mengubah mindset dan mitos yang salah tentang
kecantikan wanita.
5
Pada tahun 2013, Dove kembali meluncurkan iklan yang bertajuk “Real
Beauty Sketches”. Iklan ini hadir sebagai akibat dari adanya stereotype tentang
kecantikan yang membuat para wanita tidak percaya diri dengan dirinya sendiri.
Fokus penelitian ini terletak pada naskah teks iklan Dove “Real Beauty Sketches”
untuk menganalisis konstruksi pemaknaan yang terdapat pada teks tersebut.
Dengan lebih berkonsentrasi pada tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan,
sehingga dapat mengungkap bagaimana proses rekonstruksi makna cantik terjadi
dan dapat mengidentifikasi maksud yang sebenarnya dibalik pembuatan iklan
tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, perumusan
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana proses rekonstruksi kecantikan yang terjadi pada teks iklan
produk perawatan tubuh (toiletries) khusus wanita Dove “Real Beauty
Sketches”?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara keseluruhan
mengenai makna kecantikan wanita yang disampaikan oleh produk kosmetik
Dove melalui iklan kampanyenya di media massa dengan mengindentifikasi
makna-makna yang terkandung dalam naskah teks iklan tersebut melalui contoh
kasus salah satu iklan Dove yang bertajuk “Real Beauty Sketches”.
6
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu komunikasi, serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka,
khususnya penelitian tentang semiotika dengan minat pada kajian iklan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi dalam membaca
makna yang terkandung dalam sebuah teks iklan melalui perangkat analisis
semiotika. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi
agensi periklanan mengenai strategi dan pendekatan yang tepat untuk
mengiklankan produk kecantikan wanita agar dapat diterima dengan baik oleh
segmen yang dituju.
1.5 KERANGKA PEMIKIRAN
1.5.1 Representasi Kecantikan dalam Iklan Sebagai Proses Mengkonstruksi
Citra Tubuh
Ada banyak nilai atau tanda yang digunakan untuk mengekspresikan
cantik. Media massa memiliki peran yang besar dalam memproduksi dan
mengkonstruksi nilai atau tanda ini. Salah satu jenis media massa yang digunakan
untuk memproduksi nilai atau tanda ini adalah iklan. Iklan dalam fokus penelitian
ini adalah iklan televisi atau iklan berbentuk video yang disebarkan melalu media
massa seperti channel youtube. Jenis iklan yang dimaksud merupakan iklan
kosmetik dengan target pasar sebagian besar adalah kaum wanita. Iklan telah
banyak memproduksi nilai-nilai yang mengekspresikan konsep cantik. Melalui
visualisasi berupa gambar bergerak full color, tagline yang menarik, endorser
yang rupawan dan didukung oleh audio yang berupa musik dan bahasa persuasif
iklan sehingga dapat menarik perhatian audiens.
7
Iklan berusaha menampilkan mitos terhadap identitas individu, identitas di
sini merujuk pada „kecantikan‟ (konsep cantik). Konsep ini mungkin tidak terlalu
menyatu dengan istilah identitas, tapi sebagai suatu predikat, sebutan „cantik‟
menjadi salah satu identitas yang ingin dicapai oleh individu. Media, dalam hal ini
iklan, menampilkan kecantikan dalam suatu budaya tertentu. Kecantikan
dikonstruksi dari suatu realitas sosial budaya dan kemudian direkayasa dan
disajikan lagi kepada khalayak. Kecantikan yang ditampilkan merupakan
kecantikan yang dibentuk oleh media tersebut, dengan agenda tertentu yang
melatari media atau iklan tersebut.
Salah satu bentuk operasionalisasi pembentukan identitas oleh media
adalah dengan memberikan penawaran-penawaran citra tertentu terhadap tubuh.
Misalnya dalam media massa dan iklan ditampilkan bagaimana cara merawat
wajah, rambut yang sehat, kulit yang cerah, sampai pada hal yang abstrak seperti
melakukan pembatasan tentang apa yang indah dan yang tidak indah, atau cantik
dan tidak cantik. Seperti wajah yang berjerawat selalu diidentikkan dengan wajah
yang kurang bersih, rambut keriting atau bergelombang digambarkan sebagai
rambut yang susah diatur, kulit coklat diidentikkan dengan kulit yang kusam dan
seterusnya. Pembentukan citra ini ditekankan pada tubuh manusia.
Tubuh manusia dalam iklan adalah suatu representasi. Debat tentang
apakah representasi dalam media massa merupakan refleksi “dunia nyata” ataukah
hasil konstruksi, telah berakhir dan pandangan bahwa representasi dalam media
massa adalah refleksi “dunia nyata” tampaknya sudah ditinggalkan. Representasi
lebih dilihat sebagai suatu proses mengkonstruksi dunia sekitar kita dan juga
proses memaknainya. Sturken dan Cartwrigth dalam bukunya Practice of Looking
menjelaskan:
Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji untuk menciptakan
makna tentang dunia sekitar kita. Kita menggunakan bahasa untuk memahami,
menggambarkan dan menjelaskan dunia yang kita lihat, dan demikian juga
dengan penggunaan imaji. Proses ini terjadi melalui sistem representasi, seperti
8
media bahasa dan visual, yang memiliki aturan dan konvensi tentang bagaimana
mereka diorganisir (Sturken & Cartwrigth, 2001).
Representasi tubuh dalam iklan terdiri dari signifikasi imaji-imajinya.
Beberapa imaji yang bisa merepresentasikan tubuh antara lain: ras, seks (jenis
kelamin), ukuran (langsing, gemuk, tinggi, pendek), rambut, tatapan, dan fashion.
Seluruh imaji ini menandakan nilai tertentu, seperti nilai kecantikan,
heteroseksualitas, kemudaan, feminitas sampai pada nilai baik dan buruk, benar
dan salah, normal tidak normal.
Mengeksplorasi makna imaji-imaji adalah dengan menyadari bahwa imaji-
imaji tersebut diproduksi dalam dinamika kekuasaan dan ideologi (Sturken &
Cartwrigth, 2001). Tubuh yang terlihat adalah representasi dari suatu bentuk
hubungan kekuasaan. Apa “yang terlihat” menandakan posisi dan aliran
kekuasaan, sekaligus juga menandakan mana yang berhak ada dan mana yang
tidak berhak, apa yang normal dan yang tidak.
Iklan pada dasarnya adalah komunikasi untuk menarik perhatian audiens.
Bisnis iklan bisa dikatakan sebagai bisnis “kejutan”. Iklan harus memiliki nilai
kejutan (shock value). Iklan berlomba untuk tampil lebih mengejutkan dari iklan
saingannya. (Sunardi, 2002). Iklan televisi dengan segmentasi pasar yang
menyasar khusus untuk wanita sebagian besar adalah iklan produk yang langsung
berkaitan dengan tubuh, seperti produk kosmetik, pembalut wanita, pakaian,
sepatu dan sebagainya. Maka tidak heran jika iklan tersebut merasa wajib
menampilkan sosok tubuh model (endorser) sebagai pengejut utama. Nilai kejutan
di sini hanya sebatas mempengaruhi audiens untuk memperhatikan iklan tersebut.
Sebagian besar iklan kosmetik di televisi lebih mengedepankan unsur
stereotip. Tubuh yang hadir selain sarana untuk menarik perhatian juga sebagai
sarana penegasan imaji yang sudah umum di masyarakat. Nilai seksi pada iklan
pelangsing tubuh contohnya, selalu menampilkan tubuh langsing model dibalut
kaos atau gaun ketat yang membentuk lekukan tubuh. Itulah nilai seksi yang
berlaku saat ini, tidak baru dan tidak mengejutkan. Tujuan utama iklan-iklan
9
tersebut adalah untuk memperkuat stereotip yang ada, melalui penggunaan tubuh
para model (endorser) yang dianggap sebagai standar kecantikan bagi audiens.
Dari sini peneliti berpendapat bahwa media memiliki peran dan kendali untuk
mengkonstruksi suatu nilai, dalam hal ini citra tubuh perempuan dan kemudian
merepresentasikannya menjadi satu kesatuan utuh yang disebut „kecantikan‟.
1.5.2 Visualisasi Kecantikan dan Konstruksi Realitas dalam Iklan
Kecantikan telah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga,
sehingga tak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkan kecantikan.
Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, toko kosmetik dan berbagai
institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati perempuan
untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Bahkan, mereka tidak segan untuk
mengeluarkan biaya yang cukup besar demi mendapatkan kecantikan sesuai
standar yang dibentuk oleh media maupun yang berlaku di masyarakat. Inilah
yang dimanfaatkan oleh kapitalis.
Saat ini identitas perempuan berada dalam konstruksi sosial yang
diciptakan oleh kaum kapitalis. Bagi kapitalis, kecantikan merupakan salah satu
wilayah strategis yang dapat dijadikan objek komoditas. Maka dari itu, mitos-
mitos kecantikan benar-benar dikembangkan dan disosialisasikan untuk
menumbuhkan keinginan dalam diri perempuan. Berbagai komoditi atau produk
kecantikan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan perempuan dalam rangka
menjadi cantik dan menarik.
Sedangkan dari pandangan feminisme, kecantikan dipandang sebagai
sebuah mitos yang dikosntruksi secara sosial, politik, dan ekonomi pada sebuah
kebudayaan tertentu. Mitos kecantikan yang yang selalu mengeksploitasi potensi
perempuan ini bagi kalangan feminis bahkan merupakan mitos yang dianggap
sebagai salah satu bentuk dominasi dari sistem patriarki. Pelekatan berbagai
stereotip terhadap tubuh perempuan ini telah mencabut kuasa atas dirinya karena
10
menurut Halley (1998), stereotip digunakan untuk mendefinisikan perempuan dan
mengontrol mereka. Perempuan didefinisikan dalam hubungannya dengan laki-
laki. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kewajiban perempuan untuk menjadi
cantik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis saja namun juga patriarki.
Jerat kapitalis-patriarkis mengkonstruksi body image (citra tubuh) perempuan
sebagai “legitimasi eksistensi”, sehingga perempuan harus terus mengidealkan
tubuhnya untuk bisa diakui eksistensinya. Budaya masyarakat yang semacam itu
selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek.
Media massa turut bertanggung jawab dalam mengkonstruksi realitas
tentang kecantikan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam strategi kapitalisme-
patriarki mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan tubuhnya lebih
sebagai sebuah objek untuk diamati. Sobur, (2004:89) menjelaskan bagaimana
media membangun kostruksi realitas terhadap isi media yang disampaikan kepada
khalayak. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat
merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang
akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa
mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempenggaruhi makna dan
gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya.
Sebagai contoh adalah iklan pemutih kulit. Secara tekstual, pencitraan
yang diberikan adalah penyamarataan antara kulit yang putih dengan kecantikan.
Hal ini dapat dilihat dari narasi yang dibangun berupa adanya ketertarikan pria
hanya kepada wanita yang memiliki kulit yang putih. Secara wacana, iklan
pemutih kulit pada wanita ini menunjukkan ketundukan seorang wanita terhadap
kekuasaan pria, dimana dapat dilihat dari cara wanita yang harus mengubah
warna kulitnya yang berwarna menjadi putih. Khalayak pemirsa diajak untuk
beropini bahwa kulit yang putih adalah superior dan wanita diajak untuk
mengganti warna kulitnya dengan warna putih. Ini adalah bentuk konstruksi
realitas yang ada dimana menurut Naomi Wolf (2004), model pencitraan yang
mensyaratkan perempuan bisa dikatakan cantik dengan harus putih dan langsing
11
adalah merupakan mitos yang menghanyutkan. Dia menjelaskan bahwa mitos
tersebut telah merusak perempuan dan membuat mereka terobsesi meraih citra
ideal tentang kesempurnaan fisik. Bahkan tidak sedikit perempuan tega merusak
diri sendiri karena terpenjara oleh mitos kecantikan tersebut.
1.5.2.1 Konstruksi Realitas dalam Iklan
Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990), menggambarkan proses
sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara
terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) menjelaskan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai
kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman memandang realitas sosial terbentuk melalui tiga
tahap, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi yaitu
usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan
mental maupun fisik yang ditandai oleh hubungan antar manusia dengan
lingkungan dan dengan dirinya sendiri. Objektivasi adalah suatu proses di mana
objek yang memiliki makna umum sebelum seorang individu lahir di dunia. Hasil
objektivasi ini kemudian dikenal dengan nama pengetahuan. Sedangkan proses
internalisasi adalah proses di mana individu terlahir tidak langsung menjadi
anggota masyarakat. Melalui internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan
Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa
menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan
internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media
massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
12
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Gambar 1.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
Berger dan Luckman menganggap proses di mana orang menciptakan
realitas kehidupan sehari-hari sebagai konstruksi realitas simbolik. Menurut
mereka, dunia sosial adalah produk manusia, dan bukan sesuatu yang given.
Dunia sosial dibangun melalui tipifikasi-tipifikasi yang memiliki referensi utama
pada obyek dan peristiwa yang dialami secara rutin oleh individu dan dialami
bersama dengan orang lain dalam pola yang taken for granted. Dan generasi yang
lebih muda akan mempelajari realitas ini melalui proses sosialisasi, seperti mereka
mempelajari hal-hal lain yang membangun dunia, yang mereka temui sehari-hari
(Noviani, 2002:52).
Berdasarkan pandangan Berger dan Luckman mengenai konstruksi realitas
sosial, bahwa realitas sosial tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan
PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN
Realitas terkonstruksi :
Lebih cepat
Lebih luas
Sebaran merata
Membentuk opini massa
Massa cenderung
terkonstruksi
Opini massa cenderung
apriori
Opini massa cenderung sinis
M
E
D
I
A
M
A
S
S
A
EKSTERNALISASI
Objektif
Subjektif
Intersubjektif
OBJEKTIVASI
INTERNALISASI
CHANNEL SOURCE MESSAGE
EFFECTS RECEIVER
Sumber : Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1990)
13
kepentingan-kepentingan, maka salah satu kepentingan di sana adalah
kepentingan media massa. Media massa, dalam hal ini iklan, lazim melakukan
berbagai tindakan dalam konstruksi realitas di mana hasil akhirnya berpengaruh
kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas. Salah satu
tindakan itu adalah dalam hal pilihan leksikal atau symbol (bahasa). Misalnya,
sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, tapi jika pemilihan kata, istilah
atau sebuah symbol yang secara konvensional memiliki arti tertentu di tengah
masyarakat, tak pelak akan mengusik perhatian masyarakat tersebut (Sobur, 2002:
91-92).
Iklan sebagai salah satu media massa memang telah menjadi bagian dari
masyarakat industri kapitalis yang mempunyai kekuatan besar dan sulit untuk
dielakkan. Iklan menyediakan gambaran tentang realitas, dan sekaligus
mendefinisikan keinginan dan kemauan individu maupun kelompok. Iklan
mendefinisikan apa itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai sebuah
kemungkinan atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan
tidak bisa untuk dipertanyakan (Noviani, 2002:49). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa iklan adalah sebuah cermin yang memantulkan kembali realitas-
realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Iklan merangkum aspek-aspek realitas
sosial. Bahkan lebih jauh lagi, berbagai pengaruh psikologis yang bersifat
individu dari iklan tersebut lambat laun akan mengkristal secara kolektif dan
menjadi perilaku masyarakat umum. Perilaku masyarakat umum ini pada
gilirannya membentuk sistem nilai, gaya hidup, maupun standar budaya tertentu,
termasuk mempengaruhi standar moral, etika, maupun estetika (Widyatama,
2007: 164).
1.5.3 Periklanan Sebagai Medium Rekonstruksi Sosial
Bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan
bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh
perempuan. Artinya kalangan perempuann akan selalu berusaha untuk
14
menyesuaikan bentuk tubuhnya sesuai dengan sosial dan budaya masyarakat,
sampai dengan tingkatan ini kecantikan dipandang relatif bagi sebagian kalangan.
Namun kini media massa yang merambah berbagai budaya telah banyak
mengubah citra kecantikan wanita dalam budaya-budaya tersebut. Salah satu ciri
kecantikan modern adalah tubuh yang ramping (Mulyana, 2005). Mitos
kecantikan yang menghinggapi kaum perempuan akhirnya berujung pada
banyaknya konsepsi yang dibangun secara sosial berkaitan dengan makna cantik
yang kecenderungan definisinya, adalah banyak berangkat dari analisis secara
fisik semata.
Dalam konsep Hierarki kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham
Maslow (1984), kecantikan merupakan hal yang bisa membinggungkan untuk di
kita pahami. Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
Pada empat tingkatan kebutuhan manusia banyak orang memperkirakan
kecantikan masuk dalam tingkatan ke-empat yaitu Self Esteem atau kebutuhan
akan penghargaan. Penjabaran dari kebutuhan ini biasanya disebutkan seperti
pujian, apresiasi dari orang lain, rasa kagum, rasa hormat dan lain-lain terhadap
diri seorang perempuan. Berdasarkan Teori Maslow mengenai motif pemenuhan
kebutuhan manusia maka cantik termasuk dalam kebutuhan akan penghargaan,
bahwa seseorang ingin ‟‟dilihat‟‟.
Dengan kekhawatiran kaum perempuan akan kehilangan penghargaan atas
diri sendiri karena terjebak dengan mitos kecantikan yang selama ini diagungkan,
kini mulai ada beberapa gerakan sosial baik dari kaum feminis maupun beberapa
industri kecantikan yang meluncurkan kampanye sosial dalam rangka
menyadarkan kaum perempuan bahwa cantik tidak hanya dari tampilan fisik
semata. Tujuan utama gerakan ini adalah melakukan perombakan konsep
15
kecantikan dari mitos dominan yang dibawa oleh boneka Barbie menjadi lebih
manusiawi. Boneka Barbie disinyalir berperan menjadi salah satu pembentuk citra
perempuan cantik. Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari
kehidupan perempuan masa kini. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan
cantik haruslah berfisik tinggi, langsing, berkulit cerah, dan berambut panjang.
Disadari atau tidak Barbie telah menetapkan sebuah standar kecantikan seorang
perempuan yang berlaku di masyarakat. Didukung oleh media, stigma kecantikan
Barbie ini kemudian diperkuat dan terus mengakar hingga sekarang. Tidak heran
banyak wanita terobsesi untuk menjadi cantik ala boneka Barbie, seperti seorang
gadis asal Ukraina bernama Valeria Lukyanova yang rela menghabiskan milyaran
rupiah biaya operasi plastik hanya untuk mendapatkan tampilan seperti laiknya
boneka Barbie sungguhan. Langkah Valeria inipun kemudian ditiru oleh lebih
banyak perempuan lainnya seperti Alina Kobalevskaya, Olga Oleynik dan Lolita
Richi. Dalam tahap ini tingkat kebutuhan wanita untuk dihargai atas kecantikan
sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Oleh sebab itu dibutuhkan wacana
rekonstruksi kecantikan sebagai counter hegemoni terhadap mitos dominan
tentang kecantikan dalam hal ini Barbie culture.
Salah satu produsen produk perawatan tubuh (toiletries) yang menjadi
fokus dalam penelitian ini, menyadari akan hal tersebut. Berdasarkan studi global
yang dilakukan oleh Dr. Nancy Etcoff dari Harvard University yang berjudul “The
Real Truth About Beauty : A Global Report” (2004) ditemukan fakta bahwa hanya
4% wanita di dunia yang menganggap diri mereka cantik dan 54% setuju bahwa
mereka adalah kritikus terburuk ketika menilai penampilan atau kecantikan diri
mereka sendiri. Inilah awal inisisasi Dove, sebagai salah satu brand kecantikan
dari Unilever untuk berkomitmen menyadarkan 96% wanita lainnya yang
menganggap dirinya tidak cantik bahwa mereka sebenarnya cantik dengan cara
mereka sendiri. Salah satu strategi yang digunakan oleh Dove, untuk meluncurkan
kampanyenya adalah dengan pemanfaatan media massa, salah satunya adalah
dengan iklan.
16
Iklan memiliki pengaruh dalam menciptakan kriteria daya tarik seseorang.
Mitos-mitos kecantikan dan feminitas dipadatkan dalam gambar visual tubuh.
Melalui iklan, konsep tubuh ideal diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan.
Idealisasi yang dibentuk oleh iklan mendorong masyarakat untuk melakukan
perombakan atas tubuhnya. Apa yang muncul di iklan atau media massa pada
umumnya dianggap sebagai suatu nilai baru yang selalu diekspolarasi. Hal ini
tidak terlepas dari peran iklan sebagai salah satu media persuasif yang dapat
membujuk atau mempengaruhi orang. Inilah yang menjadikan iklan sebagai
medium yang tepat untuk merekonstuksikan wacana cantik sesuai dengan tujuan
yang diinginkan oleh pengiklan dalam hal ini Dove.
Iklan sebagai media persuasif diharuskan menyampaikan pesan dengan
tampilan bahasa yang menarik dan sentuhan cita rasa estetik yang atraktif. Hal
tersebut mutlak diperlukan dalam mengemas iklan untuk merebut perhatian
publik, mengingat derasnya arus informasi di media massa saat ini. Ketatnya
persaingan produk dan merk dagang menuntut iklan harus bersaing dengan iklan
yang lain, di samping merebut perhatian publik dari informasi yang lain. Seperti
ditegaskan oleh Sternthal & Craig (1982) bahwa di negara yang terkena era
globalisasi, setiap hari rata-rata orang dibombardir dengan ribuan pesan komersial
yang tak sebanding dengan kapasitas orang menyerap pesan. Boleh dikata kurang
dari satu persen pesan media yang dapat direaksi publik, termasuk di dalamnya
iklan. Keadaan tersebut menggambarkan iklan harus bersaing dengan iklan
maupun informasi yang lain. Oleh karena itu tidak mengherankan bila iklan harus
menampilkan baik bahasa dan segenap aplikasi yang mendukung dapat menarik
perhatian publik dan sekaligus dapat memberi citra produk yang ditawarkan.
Selain itu kefektifan pesan memegang peranan penting dalam iklan. Orang
akan membaca iklan atau mengabaikannya setelah dua detik pertama, maka dua
detik kemudian harus dimanfaatkan untuk menarik perhatian Dyer (1982). Iklan
di samping menarik, juga efektif dalam pesan, yakni mudah dimengerti pada saat
dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara tepat dengan masyarakat yang
dituju sekaligus memberi citra produk yang dapat membujuk Seperti ditegaskan
17
Khasali (1992: 87) bahwa iklan harus memperhatikan aspek singkat, padat kata-
kata dan ilustrasi menarik serta komunikatif, disamping pertimbangan
kesederhanaan dan sopan dengan penekanan pada keyakinan atas apa yang
ditulisnya. Sehubungan dengan hal itu, tentunya iklan harus mempertimbangkan
faktor sosial-budaya.dan dalam perancangannya kode-kode sosial menjadi
pertimbangan agar terjadi frame of reference.
1.5.4 SEMIOTIKA
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.
Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial
yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979). Alex
Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi
(Littlejohn, 1996). Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika─atau dalam istilah Barthes, semiologi─pada dasarnya hendak