1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara (penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil, konsep negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunah, konsep negara hukum rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate). 1 Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan “primer” bagi negara- negara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep negara hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord 1. Ni’matul Huda, 2012, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 90-104.
26
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id. BAB 1... · hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan ... kekuasaan itu, ... penyelenggaraan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah
menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum
dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara
(penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak
lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan
dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara
hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil,
konsep negara hukum menurut Al-Qur’an dan Sunah, konsep negara hukum
rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi
(democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum
kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate).1
Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan “primer” bagi negara-
negara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep negara
hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan
penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa
menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat
penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara
dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan
penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord
1.
Ni’matul Huda, 2012, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 90-104.
2
Acton, yakni “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”,
(manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan
kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan
disalahgunakan).2
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa
Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai
negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat.3 Bahkan konsep negara
hukum Indonesia juga tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan
(welfarestate). Negara Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan
sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional negara Indonesia, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah (eksekutif)
tidak semata-mata hanya bergelut di bidang pemerintahan saja atau untuk
menjalankan undang-undang, tetapi negara juga turut campur tangan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari dalam batas-batas yang diperkenankan oleh
2. Ridwan HR., 2014, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta,
h. 5. 3. Ibid, h. 18.
3
hukum. Pemerintah juga dibebani kewajiban untuk mengupayakan kesejateraan
umum (bestuurzorg) atau kesejahteraan sosial.4 E. Utrecht menambahkan bahwa
sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, maka
sejak itu pula lapangan pekerjaan pemerintahan makin lama makin luas.5 Bidang
kehidupan tersebut yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya (kehidupan
keluarga, perkawinan, organisasi kemasyarakatan dan pendidikan), kehidupan
beragama, dan bidang teknologi. Dengan perkataan lain, bahwa tugas pemerintah
tidak hanya terbatas melaksanakan undang-undang.
Untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya, pemerintah
malakukan tindakan-tindakan yang disebut dengan tindakan pemerintah
(bestuurshandeling).6 Secara teoritis, terdapat dua bentuk tindakan pemerintah,
yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan
fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkhandeling).7 Sebagai
aktualisasi dianutnya konsep negara hukum, maka semua campur tangan
pemerintah dalam kehidupan masyarakat tersebut diberikan bentuk hukum demi
memberikan kepastian hukum kepada semua pihak.
Hal terpenting bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan ialah terletak pada ada atau tidaknya wewenang untuk bertindak.
Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) merupakan unsur utama dalam setiap
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Wewenang pemerintahan
(bestuurbevoegdheid) bersumber pada peraturan perundang-undangan. Setiap
4. Ibid, h. 133.
5. Ibid, h. 15
6. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang,
Yogyakarta, h. 84. 7. Ibid.
4
penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni keabsahan
tindakan pemerintah berdasarkan atas wewenang atau kewenangan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan atau asas legalitas (legalitiet beginsel). Asas
legalitas sangat erat kaitannya dengan gagasan negara hukum, terutama konsep
negara hukum rechtstaat yang dianut oleh negara-negara sistem Eropa
Kontinental (civil law system). Asas legalitas dalam Hukum Administrasi Negara
mengandung makna bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang, dan semua
yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang.8 Secara lebih
sederhana dapat dipahami bahwa setiap tindakan pemerintah harus mempunyai
dasar hukum sebagai landasan wewenang bertindak yakni berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur).
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, tindakan pemerintah yang
paling banyak digunakan dalam hal pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan ini
adalah dalam bentuk penetapan9 atau Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking).10
Menurut H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking
merupakan keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual (tidak
ditujukan untuk umum) dan sejak dulu dijadikan instrumen yuridis pemerintahan
yang utama.11
Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN)
merupakan tindakan pemerintah yang bersifat sepihak atau bersegi satu dalam
8. Ridwan HR, op.cit, h. 82.
9. S. Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. X, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h. 94. 10.
Sadjijono, op.cit, h. 90. 11.
Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995,
Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, h. 202.
5
ranah hukum publik (eenzijdige publiekrechtelijke handeling).12
KTUN
merupakan salah satu instrumen yuridis dari tindakan pemerintah yang memiliki
konsekuensi menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang
dimaksud yang lahir dari suatu KTUN adalah muncul dan lenyapnya hak,
kewajiban, dan kewenangan atau status tertentu.
Penerbitan KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata
Usaha Negara) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menjalankan
fungsi pemerintahan (eksekutif). Hal senada juga dikemukakan oleh W.B Lane
dan Simon Young bahwa, “Essentially however, decision of government bodies
and officials exercising statutory power in pursuit of executive function of
government”.13
Dalam praktik pemerintahan di Indonesia bentuk Keputusan Tata
Usaha Negara sangat beraneka ragam, misalnya sertifikat hak milik atas tanah,
surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, surat perintah
pembongkaran bangunan, penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin
usaha perdagangan (SIUP), dan sebagainya.14
Oleh F.A.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek menganggapnya (beschikking) sebagai konsep inti dari Hukum
Administrasi Negara (een kernbegrip in het administratief recht).15
Sebagian
besar bidang kehidupan masyarakat telah diatur oleh pemerintah melalui
penetapan KTUN.
12.
Sadjijono, op.cit, h. 86. 13.
W. B Lane dan Simon Young, 2007, Administrative Law in Australia, Lawbook Co.,
New South Wales, h. 73. 14.
Philipus M. Hadjon et. al., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia
(Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cet. XI, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, h. 125. 15.
Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, 1985,
Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den
Rijn, h. 17.
6
Sejalan dengan pendapat H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan
pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa KTUN memegang peranan
yang sangat vital dalam lalu lintas penyelenggaran pemerintahan untuk mengatur
hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah (penguasa) dan
masyarakat (warga negara) dalam bingkai Hukum Administrasi Negara (hukum
publik), terutama ketika menghadapi peristiwa konkret dan bersifat individual.
KTUN digunakan untuk melengkapi keterbatasan dari undang-undang (regeling)
yang tidak mampu menjangkau pengaturan sampai pada peristiwa konkret dan
individual yang disebabkan karena perubahan dan kebutuhan masyarakat yang
begitu cepat.
Sejarah mencatat bahwa pembentukan hukum sebelumnya dilakukan
melalui suatu kodifikasi. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa untuk
menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin
cepat, sudah bukan saatnya untuk membentuk hukum melalui kodifikasi sebab hal
ini menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin
selalu ketinggalan zaman.16
Maka dari itu dibentuklah hukum dalam bentuk
undang-undang yang notabene mekanisme pembentukannya lebih mudah dan
lebih cepat dibandingkan dengan bentuk kodifikasi.
Secara prinsip, undang-undang merupakan produk hukum yang bersifat
pengaturan (regeling) dan memiliki norma yang bersifat umum-abstrak
(algemeen-abstract). Sehingga, ketika menghadapi peristiwa konkret, norma yang
16.
Maria Farida Indrati S., 2013, Ilmu Perundang – undangan 1 (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Cet. XVI, Kasinius, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), h. 3, dikutip
dari A. Hamid S. Attamimi, “Kodifikasi Sebabkan Hukum Selalu Berjalan di Belakang”, Kompas,
17 Februari 1988, h. XII.
7
bersifat umum-abstrak tersebut membutuhkan istrumen yuridis yang bersifat
individual-konkret (individueel-concreet). 17
Oleh karena itulah diperlukan produk
hukum dalam bentuk KTUN untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan
dengan peristiwa yang bersifat konkret dan individual tersebut.
Seiring dengan adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari mengakibatkan masyarakat semakin lama semakin sangat
tergantung dengan keberadaan KTUN tersebut. Mengingat pendapat dari E.
Utrecht, maka semakin lama semakin luas lapangan pekerjaan pemerintahan yang
berakibat semakin banyak pula urusan yang diikat oleh suatu persetujuan
pemerintah melalui penetapan KTUN.
Penetapan suatu KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan
(Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu sebagaimana
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Adanya penentuan batas waktu
secara normatif ini bertujuan untuk memberikan kepastian kepada semua pihak,
baik pemohon maupun badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara)
yang bersangkutan. Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan atas
dikeluarkannya suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan
Tata Usaha Negara yang berwenang agar KTUN yang disengketakan tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
17.
Ridwan HR., op.cit, h. 136.
8
Tata Usaha Negara dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN).
Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang tidak
menetapakan KTUN yang dimohon sedangkan batas waktu penetapan
sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan telah lewat,
berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PTUN, maka badan atau pejabat
pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang berwenang dianggap menolak
menetapkan permohonan KTUN yang dimaksud. Badan atau pejabat
pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang menolak menetapkan KTUN disamakan
dengan suatu KTUN (Pasal 3 ayat (1) UU PTUN).
Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menentukan
batas waktu penetapan, Pasal 3 ayat (3) UU PTUN menyebutkan bahwa : “Dalam
hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN mengandung arti, bahwa apabila
peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, maka
badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) memilki batas waktu
selama 4 bulan sejak diterimanya permohonan untuk menetapkan KTUN yang
dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 4 bulan tidak juga menetapkan
KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha
9
Negara) yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan
terhadap permohonan KTUN tersebut. Dalam berbagai literatur, KTUN
sebagaimana diuraikan di atas disebut sebagai KTUN “fiktif negatif”.
Namun, ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN tersebut tampaknya
kontradiktif dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU
Administrasi Pemerintahan). Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Administrasi
Pemerintahan menyatakan bahwa:
Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas
waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU Administrasi
Pemerintahan menentukan bahwa: “Apabila dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut
dianggap dikabulkan secara hukum.”
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan
mengandung arti bahwa jika peraturan perundang – perundang tidak menetapakan
batas waktu penetapan suatu KTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata
Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap wajib menetapakan
KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 10 hari kerja tidak juga
menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata
10
Usaha Negara) yang bersangkutan dianggap mengabulkan permohonan penetapan
KTUN yang diajukan oleh pemohon (fiktif-positif).
Dengan demikian keberadaan kententuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan
ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan menunjukkan
bahwa telah terjadi pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of
norm, geschijld van normen) antara kedua undang-undang tersebut. Pertentangan
norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam
penerapannya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas disertai dengan alasan-
alasan yang ada, maka penulisan skripsi ini mengambil judul “Pengaturan
Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu
Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis mengangkat
beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu
penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam
hukum positif Indonesia?
2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan
ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan?
11
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah perlu ditentukan secara tegas
batasan materi yang dibahas dalam tulisan agar pembahasan yang diuraikan
nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang
diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari
pokok permasalahan. Adapun ruang lingkup masalah atau pembatasan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan penetapan KTUN
yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia, dalam hal ini
dibatasi pada tataran undang-undang (dalam arti formal).
2. Kedua akan dibahas mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU
PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi
Pemerintahan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan
secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui penetapan Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN).
12
b. Tujuan Khusus
Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan
hukum ini, yakni:
1. Untuk mengetahui pengaturan terkait penetapan KTUN yang batas waktu
penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perudang-undangan dalam
hukum positif Indonesia.
2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal
53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan.
1.5 Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum administrasi
negara, khususnya pemahaman mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar antara peraturan
perundangan-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak saling bertentangan
(conflict of norm, geschijld van normen), terdapat kekosongan norma (vacuum of
norm, leemeten van normen) bahkan juga terjadi norma yang tumpang tindih
sehingga menimbulkan kekaburan norma (vague van normen) yang dalam
penerapannya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.
13
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan
solusi konkret kepada pihak-pihak terkait penetapan suatu KTUN terutama bagi
badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya terkait penetapan KTUN yang batas waktu
penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Penulisan ini
juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait
pengajuan permohonan penetapan KTUN. Selain itu, penulisan ini diharapkan
dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang nantinya
agar dapat membentuk undang-undang yang baik, sitematis dan tidak
menimbulkan berbagai interpretasi.
1.6 Landasan Teoritis
a. Konsep Wewenang
Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan-hubungan hukum.18
Sedangkan menurut H.D. Stout yang dikutip oleh
Ridwan H.R., wewenang adalah “het geheel van rechten en plichten dat hetzij
explixiet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend”
(keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat
18.
Sadjijono, op. cit, h. 57 dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 154-155
14
undang-undang kepada subjek hukum publik). 19
Wewenang (bevoegheid)
merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi,
karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang
diperolehnya. Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak
pemerintahan. Kebasahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari