1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Resistensi obat antituberkulosis (OAT) adalah tantangan besar dalam penuntasan kasus Tuberkulosis (TB) global dan nasional. Pengobatan TB resisten berhadapan dengan keterbatasan obat, efektivitas, efek obat yang tidak diinginkan, durasi waktu terapi yang panjang serta pembiayaan yang tinggi. Kasus TB-MDR menghambat keberhasilan terapi antituberkulosis lini pertama pada penderita TB baru dan kambuhan. Data resistensi OAT di Indonesia menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 2,8% kasus baru dan 16% kasus TB yang sebelumnya diobati, merupakan kasus Tuberkulosis resisten rifampisin (TB-RR) atau multi drug resisten (MDR). Kasus TB-MDR/RR yang terdata adalah 32.000 orang dan didominasi oleh kasus TB- MDR sebanyak 21.760 orang (68%) (WHO, 2017 a ). Laporan TB-MDR menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI bahkan menyatakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita TB-MDR di Indonesia sejak tahun 2009-2015 (Kemenkes RI, 2016). Kondisi ini dapat dikaitkan dengan tidak adanya peningkatan angka keberhasilan terapi untuk Indonesia dalam kurun waktu 2000-2016 dan angka keberhasilan terapi tetap berada pada kisaran 85%. Hal ini tentunya perlu dicermati karena beberapa negara telah menyampaikan keberhasilan terapi yang mencapai > 90% pada tahun 2016 (WHO, 2017 a ).
12
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resistensi obat antituberkulosis (OAT) adalah tantangan besar dalam
penuntasan kasus Tuberkulosis (TB) global dan nasional. Pengobatan TB resisten
berhadapan dengan keterbatasan obat, efektivitas, efek obat yang tidak diinginkan,
durasi waktu terapi yang panjang serta pembiayaan yang tinggi.
Kasus TB-MDR menghambat keberhasilan terapi antituberkulosis lini
pertama pada penderita TB baru dan kambuhan. Data resistensi OAT di Indonesia
menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 2,8%
kasus baru dan 16% kasus TB yang sebelumnya diobati, merupakan kasus
Tuberkulosis resisten rifampisin (TB-RR) atau multi drug resisten (MDR). Kasus
TB-MDR/RR yang terdata adalah 32.000 orang dan didominasi oleh kasus TB-
MDR sebanyak 21.760 orang (68%) (WHO, 2017a). Laporan TB-MDR menurut
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI bahkan menyatakan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah penderita TB-MDR di Indonesia sejak tahun
2009-2015 (Kemenkes RI, 2016). Kondisi ini dapat dikaitkan dengan tidak
adanya peningkatan angka keberhasilan terapi untuk Indonesia dalam kurun
waktu 2000-2016 dan angka keberhasilan terapi tetap berada pada kisaran 85%.
Hal ini tentunya perlu dicermati karena beberapa negara telah menyampaikan
keberhasilan terapi yang mencapai > 90% pada tahun 2016 (WHO, 2017a).
2
Tuberkulosis resisten obat merupakan masalah yang bisa diantisipasi melalui
regimentasi dosis OAT secara cermat. Penelitian Cohn et al. (1994) dan
Pasipanodya et al. (2013) menyampaikan bahwa tuberkulosis resisten obat lebih
banyak disebabkan oleh terapi OAT yang tidak memadai/suboptimal,
dibandingkan dengan akibat penularan dari individu lain yang telah mengalami
resistensi. Rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid merupakan kelompok
antimikobakteri yang kerjanya tergantung pada kadar (concentration dependent)
(Gumbo et al., 2007). Capaian kadar obatnya menentukan efektivitasnya terhadap
Mikobakteri dan adanya kadar suboptimal menyebabkan kerja obat terhadap
Mikobakteri tidak maksimum. Hasil pemantauan kadar terapetik setelah
pemberian regimen standar OAT menyatakan bahwa kadar suboptimal rifampisin
(Wilkins et al., 2011), isoniazid (Srivastava et al., 2011; Egelund et al., 2015),
maupun pirazinamid terkait dengan adanya variabilitas farmakokinetik individu
(McIlleron et al., 2006; Egelund & Peloquin, 2012; Pasipanodya et al., 2012;
Reynolds & Heysell, 2014). Variabilitas farmakokinetik juga dikaitkan dengan
efek obat yang tidak diinginkan atau efek samping yang juga mengakibatkan
gangguan liver (Wang et al., 2016). Efek obat tersebut berisiko menyebabkan
penderita menghentikan terapi OAT sebelum waktunya. Respon terapi lambat,
kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi OAT akibat variabilitas
farmakokinetik individu OAT memerlukan regimen terapi dengan pemantauan
kadar terapetik yang memperhitungkan dosis secara individual berdasarkan hasil
pemantauan kadar obat penderita selama terapi yang panjang dan faktor
variabilitas farmakokinetik yang berpengaruh (Peloquin, 2002, 2004; Mitnick,
3
McGee and Peloquin, 2009; Alsultan and Peloquin, 2014; Egelund et al., 2015;
Heysell et al., 2015; Olaru et al., 2015; Chawla et al., 2016; Choi et al., 2017).
Individualisasi dengan pemantauan kadar terapetik OAT memerlukan
identifikasi parameter farmakokinetik dan kuantifikasi faktor yang mempengaruhi
variabilitas farmakokinetik OAT secara spesifik. Beberapa parameter
farmakokinetik yang terkait dengan variabilitas farmakokinetik telah diidentifikasi
oleh beberapa peneliti antara lain: waktu mencapai kadar puncak (Tmaks)
rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada populasi penderita Tuberkulosis paru
dan subjek sehat (Rafiq et al., 2010), klirens (Cl) dan volume distribusi (Vd)
rifampisin pada penderita Tuberkulosis paru populasi Afrika Selatan setelah
pemberian regimen dosis standar 450-600 mg (Wilkins et al., 2008). Variabilitas
farmakokinetik individu rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid dinyatakan terkait
dengan formulasi, perbedaan jenis kelamin (Requena-Mendez et al., 2012), usia
(Thee et al., 2011), dosis per kilogram berat badan, riwayat penggunaan
antituberkulosis sebelumnya (Mcilleron et al., 2006; Denti et al., 2015), konsumsi
rokok (Kayhan, 2011), makanan (Peloquin et al., 1999; Tostmann et al., 2013;
Lin et al., 2014), ras (Weiner et al., 2010), status asetilasi (Abrogoua et al., 2015)
penggunaan obat lain (Arbe et al., 2010), berat badan rendah dan malnutrisi
(Requena-Mendez et al., 2014; Zvada et al., 2014), serta adanya penyakit
penyerta seperti Diabetes (Heysell et al., 2013; Nijland et al., 2006; Medellín-
Garibay et al., 2015). Kuantifikasi variabilitas farmakokinetik individu rifampisin
pada pemantauan kadar terapetik untuk penentuan dosis individu pada penderita
Tuberkulosis telah dinyatakan memberikan keberhasilan terapi individu yang
4
lebih baik (Sotgiu et al., 2015). Kuantifikasi variabilitas farmakokinetik
rifampisin didasarkan pada data individu dari populasi selama terapi dinyatakan
dapat menghasilkan kadar terapetik target individual yang dapat meningkatkan
keberhasilan terapi Tuberkulosis. (Wilby et al., 2014; D ’ambrosio et al., 2015;
Sotgiu et al., 2015; Sturkenboom et al. 2015; Chawla et al., 2016; Van Der Burgt
et al., 2016; Zuur et al., 2016).
Variabilitas farmakokinetik individu rifampisin dikuantifikasi dengan
pendekatan farmakokinetik menggunakan pemodelan farmakokinetik (Reynolds
& Heysell, 2014). Penerapan pemodelan ke dalam aktifitas pemantauan kadar
terapetik antituberkulosis telah membuktikan peningkatan keberhasilan terapi
antituberkulosis pada penderita tuberkulosis dengan resistensi, HIV AIDS, dan
tuberkulosis risiko tinggi (Nuermberger & Grosset, 2004; Babalik et al., 2011;
Pasipanodya & Gumbo, 2011; Pasipanodya et al., 2012; Heysell et al., 2013;
Reynolds & Heysell, 2014; Zvada et al., 2014; Sotgiu et al., 2015; Sturkenboom
et al., 2015). Pemodelan farmakokinetik menjelaskan proses biologis yang
kompleks mengenai hubungan kadar obat dengan respon terapetik serta estimasi
parameter farmakokinetik populasi dan individual (Jelliffe et al., 2001; Wilkins et
al., 2008; Goutelle et al., 2009; Upton, 2012) sehingga dapat mendukung
regimentasi dosis OAT, terutama rifampisin secara lebih rasional.
Pendekatan farmakokinetik untuk menjelaskan hubungan kadar dan waktu
suatu obat pada penderita tentunya harus mempertimbangkan keterbatasan dalam
pengambilan sampel terkait kondisi klinik penderita. Pendekatan farmakokinetik
klasik/konvensional yang memerlukan sampel darah yang relatif banyak tentunya
5
kurang etis untuk diterapkan pada penderita Tuberkulosis. Pemodelan
farmakokinetik populasi dapat diterapkan untuk mempelajari farmakokinetik pada
penderita klinik setelah pemberian suatu obat termasuk OAT. Model
farmakokinetik populasi mengkuantifikasi variabilitas farmakokinetik obat pada
sekelompok populasi, menjelaskan regimentasi dosis, dan respon farmakokinetik,
sesuai farmakokinetik individu itu sendiri (Jelliffe et al., 1993, 2000; Shargel et
al., 2005; Charles, 2014). Informasi farmakokinetik tersebut dapat diperoleh dari
pemodelan dengan memanfaatkan sampel rutin penderita setelah menggunakan
suatu obat, sekalipun dalam jumlah yang sangat terbatas (Jelliffe et al., 2001;
Mould dan Upton, 2012; Charles, 2014). Pendekatan farmakokinetik populasi
dapat menjelaskan dan mengakomodasi informasi variabilitas farmakokinetik
populasi dan individu yang ada. Pemanfaatan data individu dalam populasi
selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk individualisasi regimen dosis dengan
pendekatan maximum-a-posteriori (MAP) Bayesian (Sheiner et al., 1979; Jelliffe
et al., 1993; 2009; 2011; 2012; Salinger et al., 2010).
Metode MAP Bayesian telah dinyatakan bermanfaat dalam individualisasi
obat. Pendekatan ini mengamati respon farmakokinetik individu penderita secara
“adaptive” dengan menggunakan hanya 1-3 titik sampel yang jarang, tanpa
mengabaikan adanya perubahan fisiologis penderita selama terapi berlangsung
(Jelliffe et al., 1993; 2009; 2011; 2012). Pendekatan adaptive mempertimbangkan
seorang penderita yang baru diterapi sebagai anggota populasi yang