1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti sebagai ahli waris yang dimaksud dalam hal ini ialah keterangan atau surat waris. Keberadaan ahli waris sangat penting dalam hal pewarisan, dalam praktik untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris diperlukan suatu dokumen yang berkedudukan sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kedudukan tersebut. Dalam kontek hukum perdata, termasuk hukum waris, bukti surat akan menjadi bukti yang penting dan utama dibandingkan alat bukti lain. Dokumen yang digunakan untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris adalah surat keterangan waris. Berdasarkan surat keterangan waris inilah nantinya para ahli waris mempunyai alas hak untuk menuntut warisan. Untuk mengetahui alas hak ini maka perlu diketahui perihal subyek dan obyek hukum waris dalam kaitannya menuju surat keterangan waris yang uniform. Subyek hukum waris merupakan hal yang sangat esensial mengingat surat keterangan waris ini sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris, dan pada gilirannya berfungsi sebagai dasar untuk menuntut hak tertentu atas benda atau hak kebendaan sebagai obyek waris. Sebagaimana telah diketahui, pada saat ini ada 3 (tiga) bentuk dan 3 (tiga) instansi yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris yang disesuaikan dengan golongan atau etnis penduduk atau warga negara Indonesia. Penggolongan
36
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · sebagai ahli waris yang dimaksud dalam hal ini ialah keterangan atau surat waris. Keberadaan ahli waris sangat penting dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat
dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti
sebagai ahli waris yang dimaksud dalam hal ini ialah keterangan atau surat waris.
Keberadaan ahli waris sangat penting dalam hal pewarisan, dalam praktik untuk
membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris diperlukan suatu dokumen
yang berkedudukan sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kedudukan
tersebut. Dalam kontek hukum perdata, termasuk hukum waris, bukti surat akan
menjadi bukti yang penting dan utama dibandingkan alat bukti lain.
Dokumen yang digunakan untuk membuktikan kedudukan seseorang
sebagai ahli waris adalah surat keterangan waris. Berdasarkan surat keterangan
waris inilah nantinya para ahli waris mempunyai alas hak untuk menuntut
warisan. Untuk mengetahui alas hak ini maka perlu diketahui perihal subyek dan
obyek hukum waris dalam kaitannya menuju surat keterangan waris yang
uniform. Subyek hukum waris merupakan hal yang sangat esensial mengingat
surat keterangan waris ini sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang mengklaim
dirinya sebagai ahli waris, dan pada gilirannya berfungsi sebagai dasar untuk
menuntut hak tertentu atas benda atau hak kebendaan sebagai obyek waris.
Sebagaimana telah diketahui, pada saat ini ada 3 (tiga) bentuk dan 3 (tiga)
instansi yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris yang disesuaikan dengan
golongan atau etnis penduduk atau warga negara Indonesia. Penggolongan
2
penduduk berdasarkan etnis dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan
penduduk tersebut merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia,
yang sampai sekarang ini dianggap sebagai aturan yang sakral yang tidak dapat
diubah oleh siapapun, bahkan oleh negara. Padahal dalam rangka pembaharuan
hukum dan membangun bangsa yang bermartabat aturan seperti itu harus segera
kita tanggalkan dan kita tinggalkan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan bangsa
kita yang sudah merdeka.
Penggolongan penduduk Indonesia yang terdapat dalam aturan mengenai
pembuatan bukti sebagai ahli waris dapat dilihat faktor historis bangsa Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu menjalankan politik devide et impera
atau politik pemecah belah. Politik devide et impera ini dilakukan dengan cara
membagi penduduk nusantara dalam 3 (tiga) golongan penduduk yaitu : Golongan
Eropa, Golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, India, Arab, Pakistan), dan
Golongan Pribumi, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling
(selanjutnya disebut IS). Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan
penduduk yang didasarkan pada etnis atau ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat
pada bedanya sistem hukum yang diberlakukan terhadap setiap golongan tersebut.
Tiga golongan penduduk tersebut tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda
sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS dan Pasal 75 RR. Pembedaan pada
golongan ini membawa pula perbedaan dalam hukum keperdataan masing-masing
golongan tersebut.
Dasar hukum masih berlakunya ketentuan Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS di
Indonesia yang merupakan produk pemerintah Hindia-Belanda adalah Pasal 2
3
aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan : “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dokumen yang
digunakan untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris bagi
golongan Eropa, Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang
beragama Islam), digunakan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris,
dalam bentuk Surat Keterangan. Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa),
selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan
Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP).
Golongan Pribumi (Bumiputera), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli
waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat di bawah tangan,
bermeterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah
dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris. Golongan Eropa, Cina
atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama
ini pembuktian sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang
dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan.
Surat keterangan waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa
yang dibuat oleh Notaris tidak dibuat dalam bentuk minuta (salinan), melainkan
dalam bentuk in originali (Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris
Belanda yang diikuti di Indonesia). Artinya surat keterangan dalam bentuk yang
asli dan ditandatangani sendiri oleh Notaris yang bersangkutan. Surat keterangan
waris yang dibuat selama ini merupakan terjemahan dari Verklaring Van Erfrecht.
Permasalahannya adalah dikalangan notaris, tidak semua notaris bersedia
4
membuat surat keterangan waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan
Tionghoa. Disamping karena tidak adanya aturannya yang jelas yang mengatur
tentang surat keterangan waris dan juga karena tidak adanya aturan yang khusus
dalam hal perlindungan hukum bagi notaris yang membuat surat keterangan waris
keturunan Tionghoa, namun juga karena adanya keragu-raguan dikalangan
Notaris, jika ahli waris tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau
menyembunyikan ahli waris yang lain, karena sejak surat keterangan waris dibuat
dan dikeluarkan oleh notaris, selalu terbuka kemungkinan bagi notaris untuk
dimintakan pertanggung jawabannya baik secara moral, etika maupun hukum
yang berlaku dengan akibat hukum terberat notaris diberhentikan dari jabatannya
secara tidak hormat.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai
saat ini tidak ada ketentuan secara tegas dan khusus yang mengatur notaris dalam
membuat surat keterangan waris. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan
Notaris, disingkat UUJN) tidak ditemukan pengaturan tentang pembuatan surat
keterangan waris, demikian juga Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
PJN) tidak ditemukan kewenangan notaris dalam membuat surat keterangan
waris. Sampai saat ini, notaris membuat surat keterangan waris berdasarkan
kebiasaan yang diikuti dari notaris Belanda.
Menurut ketiga sistem pewarisan yang ada di Indonesia, masing-masing
menjelaskan bahwa suatu proses pewarisan terjadi karena adanya kematian dan
5
dengan sendirinya karena kematian harta waris pewaris beralih kepada ahli waris.
Dalam hukum waris BW, dapat di lihat pada Pasal 830 KUHPerdata yang
menyatakan sebagai berikut : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.”
Selanjutnya Pasal 833 KUHPerdata menyebutkan : “Sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak
dan segala piutang si yang meninggal ...”
Namun demikian, pada tahun 1842 dimuat dalam suatu undang-undang
yang bernama Wet op het Notarisambt Pasal 38 ayat (2), ternyata kita temui suatu
petunjuk yang menyatakan bahwa seorang notaris diwajibkan membuat akta-akta
dalam minuta, dibebaskan dari kewajiban tersebut apabila membuat akta-akta
yang disebut terakhir adalah verklaring van erfregt. Pasal ini kemudian
dimasukkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke dalam Het Reglement op het
Notarisambt in Indonesie (Nederlandsch Indie) (PJN) 1860 dalam Pasal nomor
35. Dalam pemasukannya ternyata pasal tersebut tidak dikutip dengan lengkap,
antara lain, kata-kata verklaring van erfregt dalam Pasal 38 NW ini adalah akta
dengan pihak-pihak (partij akte).
Mengingat hal yang disebutkan di atas, maka keterangan waris yang pada
umumnya dibuat di Indonesia bukanlah verklaring van erfregt yang dimaksudkan
oleh Pasal 38 Undang-undang Belanda (1842) itu. Pada tahun 1913 di Belanda
dikeluarkan undang-undang yang bernama de Wet op de Grootboeken der
Nationale Schuld. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa para ahli waris seseorang
yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam buku-buku besar utang-utang nasional
6
harus membuktikan hak mereka dengan suatu keterangan waris setelah kematian
pewaris dibuktikan.
Pembuatan keterangan hak waris oleh notaris di Indonesia semula
didasarkan pada kebiasaan saja oleh notaris sebelumnya (kebiasaan yang berasal
dari Notaris Belanda yang pernah praktek di Indonesia) yang kemudian diikuti
oleh Notaris berikutnya sampai saat ini. Terkait dengan hal itu, terdapat pula
pengaturan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris. Namun demikian, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional tidak berlaku secara umum, hanya berlaku secara
internal, mengingat Peraturan Menteri Negara tidak termasuk dalam hierarki
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris berlangsung hingga saat
telah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). UUJN merupakan
peraturan perundang-undangan utama yang mengatur mengenai Jabatan Notaris.
UUJN menentukan sejumlah kewenangan Notaris, dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN
diatur kewenangan umum Notaris sebagai berikut :
Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
7
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Kewenangan umum Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) UUJN, dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN ditentukan kewenangan lain dari
Notaris sebagai berikut :
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
Pasal 15 ayat (3) UUJN diatur pula kewenangan yang dapat dimiliki
Notaris di luar dari UUJN sebagai berikut, ”Selain kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Kewenangan dalam Pasal 15 ayat
(3) UUJN memberikan kemungkinan bagi Notaris untuk memiliki kewenangan-
kewenangan lain yang akan diatur kemudian dalam produk hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN jika dicermati tidak mengatur secara
eksplisit mengenai kewenangan Notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris,
termasuk pula mengenai sifat dari Surat Keterangan Waris, tidak terdapat
penjelasan apakah termasuk sebagai akta otentik ataukah surat di bawah tangan?
8
Meskipun demikian, sebagaimana telah disebutkan di atas dalam Pasal 15 ayat (3)
UUJN dimungkinkan bagi Notaris untuk mempunyai kewenangan lain di luar
UUJN. Kewenangan tersebut menurut Pasal 15 ayat (3) UUJN harus diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan:
c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa:
1) Wasiat dari pewaris, atau
2) Putusan Pengadilan, atau
3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
4) - Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli: surat
keteranganahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu
meninggal dunia;
- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta
keterangan hak mewaris dari Notaris.
- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya:
surat keterangan dari Balai Harta Peninggalan.
Pada dasarnya, ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah tersebut di atas merupakan peraturan bagi kewarisan hanya yang
menyangkut di bidang pertanahan, namun pada kenyataannya banyak diterapkan
secara luas untuk kewarisan bidang lain seperti perbankan maupun asuransi.
Mengacu pada ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa:
9
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara
dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran dalam ayat (1) di atas dengan ketentuan bahwa
rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA tersebut di atas dapat diketahui
bahwa untuk menjamin kepastian hukum maka perlu adanya pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah tersebut meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat bagi para pihak yang bersangkutan,
dalam hal pendaftaran tanah diperlukan keterangan waris yang buat oleh pejabat
berwenang.
Dalam praktek terdapat tiga jenis keterangan waris, yaitu keterangan waris
bawah tangan, akta keterangan waris Notaris, dan keterangan waris dari Balai
Harta Peninggalan. Keterangan waris bawah tangan hanya menerangkan bahwa
nama-nama yang ada di dalam keterangan waris tersebut merupakan ahli waris
yang berhak atas warisan dari pewaris tanpa adanya besaran bagian masing-
masing untuk ahli waris. Pembenaran keterangan waris bawah tangan biasanya
dilakukan oleh RT, RW, Kelurahan hingga Kecamatan. Sedangkan keterangan
waris yang dibuat oleh Notaris maupun Balai Harta Peninggalan memuat jumlah
atau besaran bagian dari masing-masing ahli waris.
10
Penjelasan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966
yang menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan
Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia bahwa Kantor-kantor Catatan Sipil di
Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan antara
Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. Ketentuan tersebut tidak mengurangi
berlakunya ketentuan mengenai perkawinan, pewarisan dan ketentuan-ketentuan
Hukum Perdata lainnya.
Pada sisi lain, proses pembuatan bukti sebagai ahli waris yang dibedakan
dalam tiga golongan penduduk dalam hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis (UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis). Dalam hal ini
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial (International Convention on The Elimination of All
Forms of Racial Discrimination 1965/CERD).
Pasal 5 huruf Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa penghapusan
diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan:
a. Perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan didalam hukum
kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras
dan etnis;
b. Jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa perseorangan, kelompok
orang, atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan
kesamaan penggunaan hak sebagai warga Negara; dan
c. Pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan
penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan
nasional.
Ketentuan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kedudukan semua
warga negara dalam hukum adalah sama dan bebas dari diskriminasi ras maupun
11
etnis. Berdasarkan pada ketentuan tersebut maka seharusnya proses pembuatan
bukti sebagai ahli waris bagi seluruh warga negara juga berlaku sama tanpa
pembedaan berdasarkan ras maupun etnis. Selain ketentuan tersebut, Pasal 9
Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juga
memberikan perlindungan atas perlakuan yang sama bagi setiap warga negara
menyebutkan “Setiap warga Negara berhak memperoleh perlakuan yang sama
untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan
etnis”.
Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut di atas kembali menunjukkan dengan jelas
bahwa hakhak sipil seluruh warga negara di berbagai bidang adalah sama dan
tanpa pembedaan berdasarkan ras maupun etnis. Berdasarkan berbagai ketentuan
tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Undang-Undang tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah memberikan ketentuan yang jelas
mengenai perlindungan setiap warga negara dari diskriminasi ras dan etnis.
Seharusnya penerapan tersebut dapat pula dilaksanakan dalam pembuatan bukti
sebagai ahli waris.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat
dinyatakan hingga saat ini pengaturan pembuatan surat keterangan waris belum
secara tegas dan khusus diatur baik dalam UUJN maupun dalam KUHPerdata di
Indonesia (norma kabur). Beranjak dari norma kabur ini, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Perlindungan Hukum
12
Bagi Notaris Pembuat Keterangan Hak Waris Bagi WNI Keturunan
Tionghoa”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah Notaris berwenang mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam
bentuk in originali?
2. Apa bentuk perlindungan hukum bagi Notaris yang mengeluarkan
Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali?
1.3 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sebagai pedoman
dalam mengadakan penelitian dan juga menunjukan kualitas dari penelitian
tersebut. Oleh karena itu dasarnya maka tujuan dari penelitian ini dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus yang dapat dirinci lebih
lanjut sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu di
bidang hukum, khususnya di bidang kenotariatan dan hukum tentang Hak Waris.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut :
13
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Notaris dalam
mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi
Notaris yang mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in
originali.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini
yaitu sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum pada umumnya dan bidang hukum kenotariatan pada khususnya serta
pengembangan pengetahuan mengenai hukum waris terkait dengan peranan dan
perlindungan hukum bagi Notaris dalam melakukan tugasnya sebagai pelayan
masyarakat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam bidang hukum
khususnya yang berhubungan kenotariatan agar dapat dipakai sebagai acuan bagi
Notaris dalam membuat dan mengeluarkan Keterangan Hak Waris khususnya bagi
Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa serta perlindungan hukumnya jika
terjadi permasalahan seputar Keterangan Hak Waris tersebut.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain, yang akan
14
dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan
dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus
yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur bear). Berhubungan
dengan itu maka harus dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas
yang bertentangan satu sama lain. Dengan demikian teori memiliki peranan yang
sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan
dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini ditegaskan oleh Nazir1 bahwa
teori dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian karena tanpa teori suatu
penelitian hanyalah merupakan keterangan-keterangan yang berpencar. Terkait
dengan hal tersebut, Poerwanto2 menjelaskan bahwa suatu kerangka teoritik yang
dipakai minimal mengandung tiga hal, yaitu (1) grand concepts yang melandasi
seluruh pemikiran teoritik dari suatu penelitian; (2) untuk membangun kerangka
teori; dan (3) proposisi penelitian.
Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori
Kepastian Hukum, Teori Kewenangan dan Teori Hukum Waris. Selain ketiga
teori ini, penelitian ini juga menggunakan konsep Perlindungan Hukum dan
konsep Keterangan Hak Waris.
1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum dalam penelitian ini digunakan untuk membahas
rumusan masalah yang pertama yaitu kewenangan Notaris dalam membuat surat
keterangan waris. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
secara jelas mengatur kewenangan membuat surat keterangan waris.
1 Mohammad Nazir, 2008, Metode Penelitian, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 24
2 Poerwanto, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 4.
15
Kepastian hukum mengandung arti kepastian aturan dalam undang-undang
yang tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Kepastian hukum juga mengandung
aspek konsistensi walaupun suatu peraturan perundang-undangan
diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.3
Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers4
pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan
untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah
keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas.
Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas.
Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus
ditaati. Relevansinya dalam penelitian ini bahwa diskriminasi terhadap WNI
keturunan dalam upaya membuat surat keterangan waris merupakan pengabaian
baik terhadap keadilan maupun kepastian hukum dimana WNI keturunan belum
memiliki payung hukum yang pasti untuk mengurus surat keterangan waris.
Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo
mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat