1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Seko bermukim di hulu Sungai Karama, di aliran Sungai Uro dan Betue, di Kabupaten Luwu-Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia. Mengalami perubahan sosial mendasar sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1965 akibat masuknya Agama Kristen, ekonomi pasar, serta administrasi kolonial, yang disusul berturut-turut oleh militer Jepang, revolusi mempertahankan kemerdekaan dan pendudukan gerombolan DI/TII. 1 Sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial, jajaran Gereja Protestan Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa dan Timor yang kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di beberapa perkampungan di Seko tahun 1923-1934. Murid-murid diajarkan membaca, menulis, menggambar dan menyanyi. Bahan ajarnya bersumber dari ajaran Kristen, lambat laun murid-murid mengerti ajaran Kristen lalu kemudian mereka pindah agama dan masuk ke agama Kristen. Mereka juga mempengaruhi para orangtua sehingga pindah ke agama Kristen. Diduga pembaptisan pertama dilakukan antara tahun 1926-1927 yang dibaptis Ds. H. Van Weerden, penginjil utusan Gereformeerd Zendingsbond (GZB), setelah Van Weerden, meninggalkan pos pelayanannya karena ditahan pada masa pendudukan Jepang. Ds. P. Sangka Palisungan yang adalah orang Toraja di tempatkan sebagai penggantinya. Agama 1 Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008), 1.
14
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16935/1/T2_752016029_BAB I.pdf · masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Seko bermukim di hulu Sungai Karama, di aliran Sungai Uro
dan Betue, di Kabupaten Luwu-Utara, Sulawesi-Selatan, Indonesia. Mengalami
perubahan sosial mendasar sekitar tahun 1920-an sampai dengan 1965 akibat
masuknya Agama Kristen, ekonomi pasar, serta administrasi kolonial, yang
disusul berturut-turut oleh militer Jepang, revolusi mempertahankan
kemerdekaan dan pendudukan gerombolan DI/TII.1
Sesuai dengan kebijakan pemerintahan kolonial, jajaran Gereja Protestan
Hindia Belanda (Indische Kerk) mengutus sejumlah guru dari Ambon, Minahasa
dan Timor yang kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di beberapa
perkampungan di Seko tahun 1923-1934. Murid-murid diajarkan membaca,
menulis, menggambar dan menyanyi. Bahan ajarnya bersumber dari ajaran
Kristen, lambat laun murid-murid mengerti ajaran Kristen lalu kemudian mereka
pindah agama dan masuk ke agama Kristen. Mereka juga mempengaruhi para
orangtua sehingga pindah ke agama Kristen. Diduga pembaptisan pertama
dilakukan antara tahun 1926-1927 yang dibaptis Ds. H. Van Weerden, penginjil
utusan Gereformeerd Zendingsbond (GZB), setelah Van Weerden, meninggalkan
pos pelayanannya karena ditahan pada masa pendudukan Jepang. Ds. P. Sangka
Palisungan yang adalah orang Toraja di tempatkan sebagai penggantinya. Agama
1 Zakaria J. Ngelouw, Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII 1951 (Makassar: Yayasan Ina
Seko, 2008), 1.
2
Kristen disebarkan dengan menggunakan bahasa Toraja yang kemudian
mengeserkan bahasa Seko.2
Sekitar tahun 1930-an Agama Islam masuk di Seko yang diperkenalkan
oleh seorang pedagang dari Endrekang Duri yang awalnya menikah dengan
masyarakat pribumi. Kehidupan berdampingan aman dan damai meskipun
terdapat agama Kristen, Islam dan Kepercayaan tradisional masyarakat Seko.
Pada awal tahun 1951 gerombolan DI/TII masuk di Seko dalam semangat
politik.3 Pada Tahun 1952 gerombolan tersebut melarang masyarakat memeluk
agama suku dan mewajibkan masyarakat menganut salah satu agama Kristen atau
Islam. Pada bulan September tahun 1953 gerombolan DI/TII mengislamkan
masyarakat Seko secara paksa, bagi masyarakat yang menolak pengislaman
tersebut langsung dibunuh. Algojo pembunuh yang digunakan ialah masyarakat
Seko yang telah pindah masuk ke Agama Islam dan direkrut menjadi tentara
DI/TII. Menurut catatan Ngelouw, antar tahun 1953-1965 sekitar 120 jiwa warga
Seko terbunuh pada waktu itu.4
Masyarakat Seko yang berhasil meloloskan diri dari tangan gerombolan
dengan alasan menolak pemaksaan pindah agama dan berbagai kelaliman
mengungsi keberbagai tempat. Masyarakat Seko bagian tengah dan barat
mengungsi ke daerah Mamuju, Toraja dan daerah sekitarnya, sedangkan
2 Ngelouw, Masyarakat Seko, 7.
3 Gerombolan DI/TII dipakai untuk gerakan pemberontakan Kahar Muzakkar sejak
masuk ke Seko tahun 1951, walaupun baru pada bulan Agustus 1953 nama DI/TII dipakai
gerembolan. Dalam bahasa daerah gerombolan ini disebut gurilla, yang berasal dari nama awal
gerakan ini yakni kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (GKSS), yang juga dipakai dalam suatu
organisasi yang dibentuk dalam masyarakat, Gerilya Rakyat Indonesia (GRI). Lihat Zakaria
Ngelouw, 10. 4 Ngelouw, Masyarakat Seko, 27.
3
masyarakat Seko di bagian utara mengungsi ke arah Kulawi hingga sampai di
lembah Palu. Rumah dan harta kekayaan masyarakat yang mengungsi tersebut
dibakar dan terjarah oleh gerombolan DII/TII.
Pada masa inilah masyarakat Seko yang mengungsi ke daerah Mamuju
berjumpa dengan budaya Karama, yang mengungsi ke wilayah Toraja bertemu
dengan budaya setempat, sedangkan yang mengungsi ke wilayah Luwu berjumpa
dengan budaya Luwu dan Bugis, dan yang mengungsi ke wilayah Sulawesi
Tengah berjumpa dengan budaya, Kulawi, Bada’, Kaili, Pamona dan suku
lainnya. Sehingga perjumpaan dengan kebudayaan sekitar menciptakan pengaruh
besar bagi eksistensi kebudayaan Seko, yang sangat mungkin tergeserkan dan
terdominasi oleh kebudayaan agung di sekitar mereka. Indikasinya adalah
persoalan sosial, ekonomi, tekanan psikis dan traumatis yang dialami masyarakat
Seko Pasca-pengislaman. Di lain sisi masyarakat yang masih tinggal di Seko
berada dalam tekanan dan kendali gerombolan DI/TII.
Dampaknya ialah terporak-porandanya kebudayaan Seko, melahirkan
masyarakat yang gagal kultural, kehilangan identitas dan jati dirinya. Seiring
dengan kegagalan kultural tersebut melunturkan nilai dan falsafah masyarakat
yang dihidupi. Kemudian merenggangkan kohesi sosial dalam kehidupan
masyarakat setempat, menciptakan suasana yang tidak kondusif dan rawan
terhadap konflik. Hal ini terungkap dari beragamnya konflik antar individu,
keluarga dan kelompok masyarakat dalam persandingan kekuasaan.
Realitas ini adalah bentuk perubahan sosial yang turut serta mempengaruhi
peradaban masyarakat yang muncul akibat pengaruh baik secara internal maupun
4
eksternal yang berakibat fatal menciptakan masalah sosial. Tambahan pula
dengan kenyataan populasi penduduk yang semakin meningkat yang
menciptakan masyarakat homogen dan kompleks menumbuhkan berbagai macam
peluang benturan konflik yang meresahkan masyarakat. Signifikansi perubahan
dalam dimensi kehidupan menjadi gelembung yang melanda interaksi aktivitas
antar masyarakat. Hal itu menjadi perhitungan dalam kekuatiran terhadap
goncangan budaya masyarakat yang menyentuh pikiran dan kesadaran mencari
acuan sebagai reaksi menemukan identitasnya.5
Bertitik tolak pada disintegrasi di atas, Sallombengang menjadi penting
sebagai instrumen integrasi sosial. Dengan tujuan mengeratkan kembali
keretakan hubungan yang selama ini rawan karena konflik. Hal ini penting demi
terciptanya masyarakat yang bersatu, utuh dan harmonis, integrasi sosial itu
pernah dihidupi masyarakat Seko Embonatana tradisional pra-agama Kristen dan
Islam. Sallombengang adalah salah satu bentuk ritual kebudayaan masyarakat
Seko yang diyakini mempersatukan masyarakat dari segala perbedaan. Falsafah
itu pertama kali disampaikan oleh Roka dengan tujuan masyarakat Seko tetap
bersatu.6
Roka waktu itu tampil berbicara di depan seluruh lapisan masyarakat
dengan memegang manik-manik lalu ia mengatakan, jika kamu tidak seperti
5 Arifin, Transfomasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1988) , 155. 6 Sallombengang merupakan sistem nilai dan norma bagi masyarakat Seko
Embonatana. Sejarah munculnya Sallombengang bermula dari wahyu yang diterima
seorang masyarakat yang sederhana bernama Roka yang kemudian diberi julukan
Passupu (perantara Tuhan dan manusia). Karena itu apa yang diucapkan Roka akan
terjadi dikemudian hari. Adapun pesan yang dinyatakan dalam amanah Sallombengang
ialah persatuan, kemanusiaan, keadilan dan kejujuran.
5
manik ini, hidup bersatu meskipun ada yang kecil, sedang dan besar serta warna-
warni dan beragam, maka kamu akan bercerai-berai seperti manik-manik ini,
sambil ia melepas tali manik-manik itu. Sebab itu kamu harus si-Sallombengang.
Falsafah Sallombengang yang di jabarkan melalui manik-manik (saruhane)
menekankan nilai-nilai kebersamaan hidup, yang harus dipegang teguh oleh
masyarakat Seko, sehinga masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dalam
hidup. Pemahaman yang hidup di masyarakat bahwa kata Sallombengang
berasal dari akar kata lombeng yang berarti tempat memasukkan atau menyatukan
biji-biji emas kecil untuk ditimbang, wadah itulah yang disebut satu lombeng atau
Sallombengang.
Dengan demikian Sallombengang merupakan sumber norma dan nilai
yang bersifat mengikat dalam kehidupan bersama yang seutuhnya dihayati
sebagai yang sakral dengan kekuatan moral masyarakat.7 Secara disiplin
dilakukan dalam kesadaran kolektif yang mengakarkan individu dalam
masyarakat.8 Pemahaman religius ini mendorong rasa sepayuguban bersama-
sama dalam mengambil bagian disetiap aktivitas sehari-hari.9
Penting dicatat bahawa budaya tradisional Seko Embonatana telah
teramnesiakan Pasca-agama Kristen dan Islam masuk di Seko. Salah-satu
diantaranya ialah Sallombengang yang secara praksis tidak lagi dilakukan dalam
kehidupan saat ini dikarenakan adanya justifikasi bahwa kebudayaan ini kafir dan
bebas nilai, tetapi falsafah tersebut masih hidup dalam memori kolektif
7 George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 168-169.
8 Djuretna A dan Imam Muhni, Moral Religi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 141.
9 Paul. B Hotson dan Chaster L.Hunt, Sosiologi Edisi Keenam (Jakarta: Erlangga, 1994),
306.
6
masyarakat setempat. Seperti yang dikatakan oleh Martin Heidegger bahwa
sejarah bukanlah semata-mata narasi itu sendiri, melainkan suatu yang hidup di
masa kini, dalam arti bagaimana masa lalu dibentangkan pada masa kini untuk
dimaknai (sekaligus memaknai) masa kini. Pemaknaan ini terhadap masa lalu itu
dilakukan berdasarkan konteks masa kini.10
Hal ini menegaskan bahwa
kebudaayaan yang pernah ada menjadi ingatan sejarah masa lalu untuk memaknai
kehidupaan saat ini yang gemilang. Ungkapan itu dipertegas oleh Maurice
Halbwachs yakni:
Memori adalah sebuah penampakan sosial yang isi dan kegunaanya
dijelaskan melalui interaksi dengan orang lain dalam bentuk bahasa,
tindakan, komunikasi dan dengan ungkapan emosi-emosi pada
konfigurasi keberadaan sosial kita. Ingatan terbentuk melalui dialog
dalam kelompok sosial, seperti halnya sebuah ingatan yang terbesar
atau bagian kenangan yang terkuat akan menjadi ingatan yang resmi
di dalam kelompok tersebut, dengan frasa “kita adalah yang kita
ingat, menjadi apa yang kita miliki. Dalam arti ini, tindakan
mengingat tersebut tidak semata dilakukan secara pribadi, tetapi
secara kolektif, yakni ingatan sebuah kelompok masyarakat, atau
sebuah bangsa. Ingatan kolektif semacam ini menjadi dasar bagi
identitas kolektif masyarakat tersebut, termasuk bagaimana
masyarakat itu memandang dirinya sendiri.11
Dalam konteks ini tepat sebagaimana pembahasan singkat yang menyitir
pendapat Halbwachs di atas, bila dipakai mengungkapkan kembali memori
kolektif masyarakat Seko Embonatana terhadap nilai-nilai dan falsafah yang
terkandung dalam Sallombengang dengan tujuan mengangkat nilai-nilai mitos,
spritual dan ideologi kebudayaan yang cemerlang dan kontekstual, sebagai usaha
untuk keluar dari narasi agung (grand narrative) menuju narasi kecil (little
10
Martin Heidegger dalam Widya Fitria Ningsih, Sejarah Memori: Politik Memori dan
Ideologisasi Sejarah Nasional: Masa Soekarno dan Soeharto, (ed ) Budiawan (Yogyakarta:
Ombak, 2013), 6-7. 11
Lewis A. Coser, On Collective Memory (Chicago: University of Chicago Press, 1992)
dalam Reza, A. A Wattimena, Ingatan Sosial, Trauma dan Maaf (Jakarta: Atma Jaya, 2008), 19.