BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Energi listrik merupakan energi primer, yang saat ini keberadaannya belum dapat digantikan oleh energi yang lain. Di Indonesia, kebutuhan energi listrik masih banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan lain-lain. Penggunaan bahan bakar fosil tersebut berpotensi menyebabkan masalah baru dalam lingkungan, yaitu pencemaran lingkungan dan memicu pemanasan global. Selain itu, di wilayah Indonesia masih banyak daerah yang belum mendapat pasokan listrik. Tercatat baru sekitar 65% wilayah Indonesia yang sudah mendapatkan pasokan listrik, dan sisanya masih menggunakan energi alam. [1] Dengan demikian, diperlukan suatu solusi yang efektif dan efisien baik secara aspek lingkungan maupun aspek ekologi yang dapat memberikan nilai positif bagi kelestarian lingkungan tanpa menyebabkan kerusakan di muka bumi ini. [2],[3] Allah SWT sendiri melarang hambanya untuk membuat kerusakan di muka bumi ini melalui firmannya dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 56 – 58 yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf : 56-58)
53
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/717/4/4_bab1sd4.pdf · ekuivalen dengan konversi massa hidrogen yang besarnya adalah 4,2 ... tersebut ditransmisikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Energi listrik merupakan energi primer, yang saat ini keberadaannya belum
dapat digantikan oleh energi yang lain. Di Indonesia, kebutuhan energi listrik
masih banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti
minyak bumi, batu bara, dan lain-lain. Penggunaan bahan bakar fosil tersebut
berpotensi menyebabkan masalah baru dalam lingkungan, yaitu pencemaran
lingkungan dan memicu pemanasan global. Selain itu, di wilayah Indonesia masih
banyak daerah yang belum mendapat pasokan listrik. Tercatat baru sekitar 65%
wilayah Indonesia yang sudah mendapatkan pasokan listrik, dan sisanya masih
menggunakan energi alam.[1]
Dengan demikian, diperlukan suatu solusi yang efektif dan efisien baik
secara aspek lingkungan maupun aspek ekologi yang dapat memberikan nilai
positif bagi kelestarian lingkungan tanpa menyebabkan kerusakan di muka bumi
ini.[2],[3]
Allah SWT sendiri melarang hambanya untuk membuat kerusakan di
muka bumi ini melalui firmannya dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 56 – 58
yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak
akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin
sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan);
hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu
daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami
keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah
kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran.Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya
tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami)
bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf : 56-58)
Solusi yang diperlukan adalah solusi berupa inovasi yang bersifat ramah
lingkungan, tidak membahayakan mahluk hidup, dan tidak menimbulkan masalah
baru agar kelestarian alam dapat terjaga. Sel surya merupakan sebuah teknologi
ramah lingkungan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan akan
kebutuhan energi listrik di Indonesia.
Sel surya cocok dikembangkan di Indonesia karena Indonesia merupakan
negara yang memiliki iklim tropis dengan durasi penyinaran matahari yang cukup
sepanjang tahunnya. Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell,
DSSC) merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian
dunia sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat
menarik karena beberapa keunggulan.[4]
Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC
diantaranya adalah biaya produksi yang rendah dan memiliki efisiensi yang tinggi.
Saat ini, sel surya tersensitasi zat warna merupakan sel surya yang paling efisien
dan paling stabil.[5]
Dalam perkembangannya, sel surya mengalami banyak perubahan untuk
mendapatkan sel surya dengan performance yang lebih baik. Generasi pertama
dari sel surya adalah sel surya yang menggunakan bahan silikon (Si). Pada sel
surya yang menggunakan silikon, efisiensi yang dihasilkan sel surya tersebut
berkisar 20%. Kelemahan dari sel surya generasi pertama ini adalah bahan silikon
yang digunakan relatif sulit untuk didapatkan, sehingga produksi sel surya
generasi pertama tidak ekonomis karena ketersediaan silikon di alam relatif
sedikit. Pada sel surya generasi kedua, digunakan polimer semikonduktor. Pada
sel surya generasi kedua ini menggunakan perhitungan numerik yang rumit
dengan menggunakan program SCAPS, dimana program ini merupakan program
yang sama dalam proses karakterisasi sel surya dengan CdTe dan CIGS sebagai
bahan dasarnya.[6]
Kelemahan dari sel surya generasi kedua ini adalah proses
produksinya memerlukan teknologi yang relatif canggih dan biaya produksi yang
relatif tinggi.
Untuk mengatasi kelemahan pada sel surya generasi pertama dan kedua,
maka dikembangkan DSSC yang memiliki beberapa keunggulan jika
dibandingkan dengan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. DSSC
merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel surya generasi
pertama dan generasi kedua yang mana menggunakan bahan-bahan utama yang
relatif sulit didapatkan dan proses produksinya relatif kurang ekonomis. Kinerja
DSSC dipengaruhi oleh sifat dari sintesizer yang digunakan, seperti spektrum
absorpsi, dan sifat redoks. Kelebihan dari DSSC dibandingkan kedua sel surya
yang dikembangkan sebelumnya adalah cost performance yang lebih baik.
Kelemahan yang dimiliki oleh DSSC pada saat ini adalah efisiensi yang lebih
kecil dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. Efisiensi yang
kecil ini, salah satunya disebabkan oleh zat warna sensitizer yang digunakan, yang
mana masih harus dicari zat warna sensitizer yang lebih baik.
Studi komputasi dapat digunakan untuk memprediksi struktur dan sifat
suatu sistem kimia dengan relatif cepat. Keunggulan dari metode ini dapat
memprediksikan sifat molekul yang kompleks dengan hasil perhitungan yang
dapat dikorelasikan dengan hasil eksperimen. Selain itu, studi komputasi dapat
menghemat biaya, sebab hasil eksperimen dapat diramalkan sebelum eksperimen
dimulai sehingga dapat meminimalisir kegagalan saat eksperimen dilakukan.[1]
Dengan keunggulan studi komputasi, diharapkan output yang dihasilkan dari
penelitian ini merupakan output dengan performa yang relatif lebih baik.
Creutz et al berhasil mengkarakterisasi ikatan turunan katekol (4-metil
katekol, 4-t-butil katekol, dan dopamin) ke TiO2 berukuran 1 nm dan 4,7 nm
menggunakan Spektroskopi UV-Vis.[7]
Namun, dalam penelitian tersebut tidak
dijelaskan secara detail mengenai sifat elektronik dari molekul-molekul tersebut.
Pada penelitian ini akan dilakukan studi komputasi untuk mempelajari sifat
elektronik senyawa dopamin, dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin
dan metil katekol yang terabsorpsi pada permukaan TiO2 cluster. Diharapkan hasil
studi komputasi yang akan dilakukan pada penelitian ini dapat melengkapi hasil
penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimana menghitung perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat
elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa organik dopamin, metil
katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol yang
terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Density
Functional Theory (DFT), dan metode Time Dependent Density Functional
Theory (TDDFT). Perhitungan pada studi komputasi ini dihitung dengan
menggunakan perangkat lunak Firefly, dan Gaussian 03. Kemudian output yang
dihasilkan dianalisis lebih lanjut. Hasil studi komputasi ini diharapkan dapat
melengkapi hasil eksperimen Creutz et al dengan hasil yang dapat dikorelasikan
dengan hasil eksperimen. Kajian pada penelitian ini terbatas pada senyawa
organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil
katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster.
Pada penelitian ini, prediksi sifat-sifat dari senyawa organik dopamin dan
metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi
pada senyawa TiO2 cluster dibatasi pada perbedaan pita energi HOMO/LUMO,
dan sifat elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk menentukan perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat
elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa zat warna organik
dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil
katekol yang teradsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi
penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kemampuan zat warna dalam menangkap foton dapat mempengaruhi
efisiensi DSSC. Creutz et al, dalam penelitiannya tidak menyertakan data panjang
ikatan, grafik spektrum UV-VIS, osilator strength, dan beberapa data lainnya,
sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk melengkapi eksperimen Creutz et al.
Untuk itu, dilakukan studi komputasi dengan menggunakan metode DFT, dan
TDDFT untuk memprediksi sifat elektronik dari senyawa zat warna organik
dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil
katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi
hasil penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.
2.1 Energi Matahari
Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, sehingga
penelitian tentang bintang ini lebih mudah dari pada bintang lainnya. Matahari
memiliki jarak 150 juta kilometer dari bumi, dan dia menyediakan energi yang
dibutuhkan oleh kehidupan di bumi ini secara berkesinambungan. Matahari
membebaskan energi setiap detiknya menurut perhitungan para ahli, adalah
ekuivalen dengan konversi massa hidrogen yang besarnya adalah 4,2 × 106
ton/detik, yang ekuivalen dengan 1,2 × 1016
KW. [8]
Energi yang diradiasikan terbentuk akibat transformasi hidrogen menjadi
helium dalam reaksi fusi yang kemudian menghasilkan energi. Sebagian energi
tersebut ditransmisikan ke bumi dengan cara radiasi gelombang elektromagnetik.
Kecepatan pancaran radiasinya sebesar 3 × 108 m/s dengan panjang gelombang
yang berbeda - beda sehingga radiasi yang dipancarkan dapat menembus ruang
hampa udara, dan ahirnya dapat mencapai permukaan bumi. Peristiwa
pemancaran gelombang ini baru akan terhenti ketika hidrogen dalam reaksi inti
habis.[8]
Radiasi yang dihasilkan dari reaksi fusi inilah yang disebut dengan energi
surya.
Matahari juga merupakan sumber energi utama yang sangat penting bagi
kehidupan mahluk hidup baik di daratan maupun di perairan, karena cahaya
matahari memiliki peranan penting dalam proses biologis maupun fisis mahluk
hidup. Permukaan bumi menerima energi surya yang dipancarkan matahari dalam
bentuk paket-paket energi yang disebut foton. Radiasi yang dihasilkan dapat
memancarkan energi mendekati 1026
kalori/detik, dan lapisan teratas atmosfir
bumi hanya dapat menerima 2 kalori/menit.[9]
Tidak semua cahaya matahari yang mencapai permukaan bumi dapat dilihat
oleh mata manusia, hal ini diakibatkan karena tidak semua spektrum cahaya yang
dipancarkan merupakan spektrum cahaya tampak (visible light) yang mampu
dilihat oleh mata manusia. Sinar yang dipancarkan matahari merupakan gabungan
dari beragam cahaya yang memiliki panjang gelombang dan spektrum warna yang
berbeda-beda, tergantung warna yang dipancarkan. Berikut ini merupakan tabel
panjang gelombang dari beberapa cahaya tampak :
Panjang gelombang Warna
400 – 440 nm Violet
440 – 480 nm Biru
480 – 560 nm Hijau
560 – 590 nm Kuning
590 – 630 nm Jingga
630 – 700 nm Merah
Tabel 2.1 Penampakan Warna dari Panjang Gelombang Cahaya Tampak
yang Berbeda-beda[9]
2.2 Sel surya
Sel surya atau sel fotolistrik, adalah sebuah alat semikonduktor yang terdiri
dari sebagian besar dioda p-n junction dan dengan adanya cahaya matahari
mampu menghasilkan energi listrik. Menurut Culp et al, sel surya merupakan
suatu perangkat yang mampu mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik
melalui efek fotolistrik. Prinsip operasi dari efek fotolistrik dengan menggunakan
selenium, telah ditemukan oleh Adam dan Day pada tahun 1876. Kemudian pada
tahun 1941 semikonduktor yang digunakan pada fotolistrik dikembangkan oleh
Ohl, sehingga dihasilkan sambungan p-n pada dua semi konduktor.[10]
Berdasarkan jenis dan bentuk susunan atom-atom penyusunnya, sel surya
dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Sel surya Monokristal (Mono-crystalline)
Sel surya monokristal merupakan panel yang paling banyak digunakan dan
efisien, serta menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi. Sel
surya monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi
listrik besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi
alam yang memiliki suhu sangat tinggi. Efisiensi yang dihasilkan mencapai
14 - 18%. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik
ditempat yang intensitas cahaya mataharinya kurang (teduh), sehingga
efisiensinya akan turun drastis dalam cuaca berawan.[11]
Gambar 2.1 Penampang Panel Sel surya Monokristal
2. Sel surya Polikristal (Poly-crystaline)
Sel surya polikristal merupakan sel surya yang menggunakan kristal dengan
susunan atom-atom yang tidak teratur karena dibuat dengan proses casting.
Tipe ini memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan
jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama. Panel surya
jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan tipe monokristal,
sehingga memiliki harga yang cenderung lebih rendah. Proses produksi sel
surya jenis ini relatif lebih cepat dan memerlukan biaya yang relatif kecil.[11]
Gambar 2.2 Penampang Panel Sel surya Polikristal
3. Sel Surya Silikon Amorf
Sel surya silikon amorf mengacu pada objek yang memiliki bentuk pasti dan
berasal dari bahan non-kristal. Tidak seperti silikon kristal, di mana susunan
atomnya yang teratur, silikon amorf pengaturan atomnya tidak teratur. Pada
silikon amorf, aktivitas timbal balik antara foton dan silikon cenderung lebih
sering terjadi. Keunggulan kristal amorf dibandingkan dengan kristal silikon
adalah cahaya yang mampu diserap lebih banyak. Dengan demikian, sebuah
film silikon amorf yang sangat tipis dengan ketebalan kurang dari 1μm dapat
diproduksi dan digunakan untuk pembangkit listrik. Selain itu, dengan
memanfaatkan logam atau plastik sebagai substratnya, sel surya fleksibel juga
dapat diproduksi. Sel surya jenis amorf adalah sel surya yang dibentuk
dengan mendoping material silikon di belakang lempeng kaca. Dinamakan
amorphous atau tanpa bentuk karena material silikon yang membentuknya
tidak terstruktur atau tidak mengkristal. Sel surya jenis ini biasanya berwarna
coklat tua pada sisi yang menghadap matahari dan keperakan pada sisi
konduktifnya. Pada sel surya jenis ini terdapat garis-garis tipis pararel di
permukaannya, garis-garis ini merupakan lapisan n dan p dari substrat silikon
dan menjadi batas-batas individu sel surya dalam panel. Sel surya jenis ini
biasanya tanpa titik hook-up atau kabel yang jelas, sehingga penggunaannya
sedikit lebih rumit.[12]
Saat ini, sel surya telah berkembang menjadi sumber daya energi yang
bersih dan juga biaya produksi yang relatif rendah. Kekurangan yang dimiliki oleh
sel surya konvensional salah satunya adalah kinerjanya yang bergantung pada
intensitas sinar matahari. Oleh karena itu, dalam penggunaannya diperlukan
perangkat lain yang mampu menyimpan energi listrik sehingga energi listrik yang
dihasilkan dapat digunakan walaupun sel surya sedang tidak mendapatkan sinar
matahari.[10]
Faktor utama yang sangat berpengaruh pada kinerja sel surya terutama
berasal dari faktor lingkungan sistem. Sel surya akan memberikan kinerja
maksimal jika temperatur sel berada pada temperatur ruangan, yaitu sekitar 25°C.
Kenaikan temperatur sel surya akan melemahkan tegangan yang dihasilkan.
Intensitas radiasi matahari di setiap wilayah tentunya berbeda-beda, hal ini
tentunya akan mempengaruhi pada kinerja sel surya. Selain itu, posisi atau tata
letak dari sel surya itu sendiri juga akan mempengaruhi kinerja dari sel surya.
Posisi sel surya yang tegak lurus dengan arah datang sinar matahari merupakan
posisi terbaik penempatan sel surya, karena energi yang dihasilkan oleh sel surya
tersebut akan maksimal.[13]
2.3 Sel Surya Tersensitasi Zat Warna
Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell, DSSC)
merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian dunia
sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat menarik
karena beberapa keunggulan. Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC diantaranya
adalah biaya produksi yang relatif rendah dan memiliki efisiensi yang relatif
tinggi. Saat ini, sel surya tersensitasi merupakan sel surya yang paling efisien dan
paling stabil.[14]
Sel surya tersensitasi zat warna merupakan alat yang mampu mengkonversi
sinar matahari menjadi energi listrik.[1]
Sel surya generasi pertama menggunakan
bahan silikon sebagai sensitizer-nya, dan memiliki efisiensi yang tinggi yaitu
sebesar 20%.[10]
Mengingat bahan silikon yang berperan sebagai sensitizer
tersedia dalam jumlah yang relatif sedikit, mengakibatkan sel surya generasi
pertama ini memiliki biaya produksi yang relatif tinggi. Pada generasi kedua,
digunakan semikonduktor polikristalin pada proses produksinya. Kekurangan
pada sel surya generasi ini adalah proses produksinya membutuhkan teknologi
yang relatif canggih, dan biaya yang relatif mahal. Untuk mengatasi kelemahan
pada sel surya generasi pertama dan generasi kedua, maka dikembangkan DSSC
yang memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sel surya generasi
sebelumnya. DSSC merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel
fotolistrik konvensional generasi sebelumnya. Fotolistrik merupakan perangkat
yang bekerja berdasarkan konsep pemisahan muatan pada masing-masing
interface dari kedua material yang berbeda mekanisme konduksinya. DSSC
memiliki kelebihan dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua,
yaitu memiliki biaya produksi yang rendah. Artinya, biaya dalam memproduksi
DSSC relatif lebih rendah namun menghasilkan performa yang relatif tinggi.
Akan tetapi, DSSC yang terbaik saat ini masih memiliki kelemahan, salah satunya
adalah efisiensi yang lebih kecil dibandingkan dengan sel surya generasi pertma
dan kedua yaitu 12%. Efisiensi yang kecil ini diakibatkan oleh beberapa faktor,
salah satunya adalah pengaruh sensitizer yang digunakan.[15]
Sel surya tersensitasi zat warna memiliki potensi yang besar sebagai sumber
energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan karena tidak
menimbulkan polusi. DDSC juga bersifat dapat digunakan berulang kali selama
bahan yang digunakan dalam keadaan baik, sehingga dapat menekan jumlah
sampah. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan penggunaan batu baterai
konvesional, karena sifatnya yang sekali pakai. Proses pembuatannya yang tidak
harus menggunakan teknologi canggih dan bahan yang sulit ditemukan sehingga
dapat menekan biaya produksinya. Mekanisme kerja DSSC meniru sistem
fotosintesis yang terjadi di alam. DSSC terdiri dari bagian elektroda, elektrolit