1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru secara lengkap merumuskan kompetensi guru SD/MI. Menurut Permendiknas No.16 Tahun 2007 tersebut, salah satu kompetensi pedagogik inti yang melekat pada profesi guru adalah menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar serta memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. Lebih lanjut kompetensi pedagogik tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi guru kelas berikut; 1) Memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 2) Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 3) Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; 4) Mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil
12
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13304/1/T2_942015016_ BAB I... · untuk meningkatkan hasil belajar kognitif dan psikomotorik, pengembangan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007
Tanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru secara lengkap
merumuskan kompetensi guru SD/MI. Menurut
Permendiknas No.16 Tahun 2007 tersebut, salah
satu kompetensi pedagogik inti yang melekat pada
profesi guru adalah menyelenggarakan penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar serta
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran.
Lebih lanjut kompetensi pedagogik tersebut
dijabarkan ke dalam kompetensi guru kelas
berikut; 1) Memahami prinsip-prinsip penilaian dan
evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan
karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 2)
Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar
yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai
dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 3)
Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar; 4) Mengembangkan
instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil
2
belajar; 5) Mengadministrasikan penilaian proses
dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan
menggunakan berbagai instrumen; 6) Menganalisis
hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk
berbagai tujuan; 7) Melakukan evaluasi proses dan
hasil belajar; 8) Menggunakan informasi hasil
penilaian dan evaluasi untuk menentukan
ketuntasan belajar; 9) Menggunakan informasi hasil
penilaian dan evaluasi untuk merancang program
remedial dan pengayaan; 10) Mengkomunikasikan
hasil penilaian dan evaluasi kepada pemangku
kepentingan; dan 11) Memanfaatkan informasi hasil
penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran
(Permendiknas No 16 Tahun 2007).
Berdasarkan rumusan utuh kompetensi guru
kelas SD/MI di atas, yang salah satunya adalah
kemampuan guru melakukan penilaian, jelaslah
bahwa guru SD di samping menjalankan
kewajibannya sebagai guru juga harus melakukan
penilaian pembelajaran. Penilaian dilakukan
dengan tahapan awal memahami hakikat dan
penilaian, memahami cakupan ranah atau aspek
yang dinilai, merancang prosedur penilaian,
menyusun instrumen, melaksanakan penilaian,
mengadministrasikan hasilnya, mengolah hasil,
3
melaporkan hasil dan menggunakan hasil penilaian
untuk melakukan pembinaan siswa dan
memperbaiki pembelajaran.
Popham seperti dikutip oleh Naniek
Sulistyawardani, dkk (2012: 94) menyatakan bahwa
keberhasilan seseorang ditentukan oleh ranah
afektif. Seseorang dengan kemampuan afektif yang
buruk tentu akan kesulitan mencapai keberhasilan
belajar yang optimal. Hal ini dikarenakan hasil
belajar kognitif dan psikomotorik sangat
dipengaruhi oleh kemampuan afektif. Oleh karena
itu, pendidikan harus memberikan perhatian
intensif yang menyangkut ranah afektif. Selain
untuk meningkatkan hasil belajar kognitif dan
psikomotorik, pengembangan ranah afektif di
sekolah secara positif dapat mempengaruhi
kehidupan anak baik di rumah atau di lingkungan
sekitarnya.
Pendapat Popham di atas jelas menunjukkan
bahwa penilaian afektif sangat penting dalam
perkembangan perilaku anak di masa depan serta
penting untuk bekal mereka dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Berpijak pada pentingnya
penilaian ranah afektif maka penulis berasumsi
bahwa salah satu kegiatan merancang penilaian
yang penting adalah merancang penilaian untuk
4
ranah sikap (afektif), dibandingkan dengan
penilaian ranah pengetahuan (kognitif) maupun
ranah keterampilan (psikomotorik). Mengingat
ranah sikap merupakan obyek penilaian yang
abstrak, oleh karena itu diperlukan pemahaman
dan keterampilan yang cukup baik untuk
melaksanakannya.
Permasalahannya adalah apakah para guru
SD di lapangan telah merancang dan
melaksanakan penilaian ranah sikap tersebut
dengan baik ? Pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan melihat fenomena yang terjadi melalui
kajian penelitian yang sudah ada dan studi awal
penelitian ini. Camellia dan Umi Chotimah (2012)
meneliti tentang kebiasaan guru dalam melakukan
penilaian di Ogan Ilir, menemukan bahwa: 1)
guru sering menilai siswa hanya dari segi
kemampuan kognitif saja, 2) guru sebenarnya
mengetahui bahwa akan pentingnya penilaian
ranah sikap siswa, 3) guru belum bisa secara
maksimal membuat dan melaksanakan penilaian
ranah sikap, 4) guru ingin membuat instrumen
penilaian ranah sikap.
Yuhana Dwi Krisnawati (2013: 108) meneliti
tentang kemampuan guru mengembangkan
instrumen penilaian ranah sikap menemukan hasil
5
penelitian bahwa guru dalam menilai domain
afektif tidak membuat indikator yang tepat
sesuai Kata Kerja Operasional (KKO), penilaian
juga tidak memperhatikan SK-KD dan
karakteristik ranah afektif. Maka perlu
dikembangkan instrumen penilaian domain
afektif, yaitu sesuai SK-KD dengan indikator
penilaian sesuai dengan KKO domain afektif,
serta dapat digunakan untuk mengukur seluruh
karakteristik domain afektif dan telah diujikan
secara teoritik maupun empirik.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti dengan melibatkan 13 guru SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana menunjukkan
temuan berikut: 1) Hanya 31% guru yang
melakukan penilaian yang mencakup tiga ranah
(kognitif, afektif, dan psikomotor); 2) Hanya 31%
guru yang melakukan penilaian non tes jenis skala
sikap untuk mengukur sikap siswa; 3) Hanya 23%
guru yang memiliki pemahaman yang cukup untuk
mengembangkan penilaian sikap; dan 4) Hanya
15% guru yang memiliki pemahaman yang cukup
untuk mengembangkan instrumen penilaian skala
sikap model Likert.
Berdasarkan gab dan riset di lapangan
seperti yang telah diuraikan di atas, nampak bahwa
6
terdapat kesenjangan yang sangat besar antara
praktik penilaian yang ideal dengan kenyataan yang
terjadi, secara berturut-turut 69%, 69%, 77% dan
85%. Kesenjangan yang besar ini merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi melalui melalui
tindakan pelatihan.
Selanjutnya hasil wawancara informal
dengan guru-guru SD Laboratorium Kristen Satya
Wacana (SD Laboratorium Kristen Satya Wacana)
yang dilakukan peneliti menghasilkan informasi
bahwa guru SD Laboratorium Kristen Satya
Wacana menyadari betul sesungguhnya masalah
sikap dirasakan penting, akan tetapi pada
kenyataannya guru tidak menilai domain afektif
dengan menggunakan instrumen yang relevan.
Penilaian dilakukan tanpa acuan yang jelas dan
dianggap sudah melakukan penilaian. Penilaian
pada aspek sikap hanya terbatas pada pembuatan
tugas-tugas dan pekerjaan rumah seperti membuat
catatan ataupun mencari literatur dari internet,
selain itu juga hanya dilakukan melalui
pengamatan pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Kegiatan penilaian seperti itu
sebenarnya tidak dapat dikatagorikan sebagai
penilaian ranah sikap, karena hanya menekankan
pada aspek pengulangan materi atau hafalan
7
sejumlah konsep. Penilaian dengan pengamatan
yang dilakukan oleh gurupun juga terbatas pada
sikap siswa di dalam kelas. Berdasarkan data
nilai sikap di SD Laboratorium Kristen Satya
Wacana dinyatakan bahwa nilai sikap siswa
minimal sudah B (Baik). Data ini diperoleh dari
keputusan guru kelas saja, tidak didasarkan hasil
pengukuran menggunakan instrumen sikap seperti
skala sikap misalnya.
Berdasarkan uraian tentang pentingnya
penilaian ranah sikap, temuan berbagai penelitian
dan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan,
maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian tindakan sekolah dengan judul: In
House Training untuk Meningkatkan Kemampuan
Guru SD dalam Penyusunan Instrumen Penilaian
Ranah Sikap”.
Pilihan jenis penelitian ini didasarkan
pertimbangan berikut: 1) Berangkat dari
permasalahan kebutuhan tentang perlunya
peningkatan kemampuan penilaian yang dirasakan
oleh kepala sekolah SD Laboratorium Kristen Satya
Wacana; 2) Permasalahan ini merupakan
permasalahan mendesak yang harus segera diatasi;
3) Hasil penelitian ini dapat dirasakan manfaaatnya
secara langsung oleh kepala sekolah dan para guru;
8
4) Para partisipan dalam penelitian ini dapat
meningkat kemampuannya.
Selanjutnya dasar pemilihan model In House
Training sebagai sarana untuk meningkatkan
kemampuan guru dalam menyusun instrumen
ranah sikap karena model ini memiliki banyak
kelebihan. Lulu Kemaludin (2015: 1) menyatakan
bahwa In House Training adalah program
pelatihan/training yang diselenggarakan oleh suatu