1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien (R. Rizal Isnanto. 2009). Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas (Mujtahid, 2010). Saat ini profesi dan pelayanan kesehatan telah menjadi sasaran kritik dan sorotan media massa, terutama setelah adanya kasus Terri Schiavo di AS yang pada akhir Maret lalu meninggal dunia setelah pengadilan mengabulkan permohonan suaminya, Michael Schiavo. Kasus ini menjadi perhatian dunia, karena di-blow up oleh media internasional (Mujtahid, 2010). Di Indonesia sendiri, setelah kasus Ny Agian Isna Nauli Siregar mulai "pudar" dari publikasi media, seiring dengan kondisi kesehatannya yang kini kian membaik, sebenarnya ada kasus paling gres yang membuat publik Indonesia kembali gempar, menyusul permohonan euthanasia yang diajukanoleh suami Ny Siti Zulaeha, Rudi Hartono, ke PN Jakarta Pusat (Mujtahid, 2010).
48
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang · PDF filetindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... masalah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik
yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik
profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan
hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart
perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi
keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat
harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan
mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang
terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan
bertindak sebagai advokat klien (R. Rizal Isnanto. 2009).
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan
lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang
berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum
terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang
mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa
keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip
hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas (Mujtahid, 2010).
Saat ini profesi dan pelayanan kesehatan telah menjadi sasaran kritik dan
sorotan media massa, terutama setelah adanya kasus Terri Schiavo di AS yang
pada akhir Maret lalu meninggal dunia setelah pengadilan mengabulkan
permohonan suaminya, Michael Schiavo. Kasus ini menjadi perhatian dunia,
karena di-blow up oleh media internasional (Mujtahid, 2010).
Di Indonesia sendiri, setelah kasus Ny Agian Isna Nauli Siregar mulai
"pudar" dari publikasi media, seiring dengan kondisi kesehatannya yang kini kian
membaik, sebenarnya ada kasus paling gres yang membuat publik Indonesia
kembali gempar, menyusul permohonan euthanasia yang diajukanoleh suami Ny
Siti Zulaeha, Rudi Hartono, ke PN Jakarta Pusat (Mujtahid, 2010).
2
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia
(Kristiantoro. 2004).
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak
membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak
untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan
mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia (Kristiantoro. 2004).
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut
adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Kristiantoro. 2004).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan
oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus
melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia
bisa dilakukan (Kristiantoro. 2004).
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat
prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah
tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah
terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau
tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak
diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis (Tongat, 2005).
3
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan
dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih
butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus
diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan
proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit (Tongat, 2005).
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang
mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari
komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter (Tongat, 2005).
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan
yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini
penulis tertarik untuk membahas tentang permasalahan “Euthanasia dalam Aspek
Etik Dan Hukum Keperawatan”.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
konsep etik dan hukum keperawatan khusunya dalam kasus euthanasia
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep dasar tetang etik dan hukum keperawatan
2. Untuk mengetahui konsep dasar dari euthanasia dan permasalahan
yang timbul dari kasus euthanasia yang berhubungan dengan etik dan
hukum
3. Untuk mengetahui peran masing-masing profesi terkait dengan etik
dan hukum terhadap kasus euthanasia
4. Untuk mengetahui pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
dalam kasus euthanasia tersebut
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Etik Keperawatan
2.1.1 Definisi
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain (Makhfudli. 2009).
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta
ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.Secara
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu (Makhfudli. 2009).
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara
hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan.Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain (Makhfudli. 2009).
2.1.2 Tipe-Tipe Etik
Tipe-tipe etik antara lain:
1. Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang
kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan.
Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul
tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan,
politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik
pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu
pelaksanaan pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas,
bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin
5
membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme
terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang
berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara
lain : peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian
pelayanan kesehatan
Dapat disimpulkan bahwa bioetik lebih berfokus pada dilema
yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi teori etik dan
prinsip etik terhadap masalah-masalah pelayanan kesehatan.
2. Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih
memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada
klien. Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang
kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu
etik dan dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis
untuk mendapatkan keputusan etik (R. Rizal Isnanto, 2009).
2.1.3 Teori Etik
Teori-Teori etik antara lain:
1. Utilitarian
Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi
atau akibat tindakan Contoh : Mempertahankan kehamilan yang
beresiko tinggi dapat menyebabkan hal yang tidak menyenangkan,
nyeri atau penderitaan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada
dasarnya hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
bayinya.
2. Deontologi
Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumber-
sumber, dan euthanasia.
6
2.1.4 Prinsip-Prinsip Etik
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih
dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh
orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan
kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak
klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik
antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan
oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti.
7
Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat,
komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada
klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa
argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika
kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau
adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan
informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar
dalam membangun hubungan saling percaya.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya
dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan,
adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap
kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau
keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali (R. Rizal Isnanto, 2009).
2.1.5 Kode Etik Keperawatan Indonesia
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan
sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat
keputusan.Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam
melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional
Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode
etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik
keperawtan Indonesia :
1. Perawat dan Klien
a. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial.
b. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.
c. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali
jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
2. Perawat dan praktek
a. Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang
keperawatan melalui belajar terus-menerus
9
b. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan
serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
c. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi
yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan
memberikan delegasi kepada orang lain
d. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.
3. Perawat dan masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
4. Perawat dan teman sejawat
a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam
memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
b. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis
dan ilegal.
5. Perawat dan Profesi
a. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya
dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
b. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan
profesi keperawatan
c. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun
dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi (Aziz Alimul Hidayat,
2004).
10
2.2 Konsep Dasar Profesional
2.2.1 Definisi Profesional
Secara umum , profesi merupakan pekerjaan yang memiliki pengetahuan
khusus, melaksanakan peranan bermutu, melaksanakan cara yang disepakati,
merupakan ideologi, terikat pada kesetiaan yang diyakini dan melalui pendidikan
perguruan tinggi. Profesi sebagai suatu pekerjaan dalam melaksanakan tugasnya
memerlukan tehnik dan prosedur, dedikasi, serta peluang lapangan pekerjaan yang
berorientasi pada pelayanan, memiliki kode etik yang mengarah pada orang atau
subyek. ( Atik Purwandari, 2008)
Profesi dapat pula diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang
menuntut keahlian dari para anggotanya. Keahlian tadi diperoleh melalui apa yang
disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi
itu (pendidikan/ latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi
(Inservice training) ( Djam’an Satori,dkk , 2008)
Pengertian profesional menunjuk pada dua hal, yaitu orang yang
menyandang suatu profesi dan penampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah
professional dikontraskan dengan “nonprofessional” atau “amatiran”. Dalam
kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaann sesuai dengan
ilmu yang telah dimilikinya, jadi tidak asal tahu saja (Mirzal Tawi, 2008).
Selanjutnya, Walter Johnson (1998) mengartikan petugas professional
sebagai “seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai
tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan
pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan,
keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi “(Djam’an Satori,dkk ; 2008).
Profesional juga dapat diartikan sebagai memberi pelayanan sesuai dengan
ilmu yang dimiliki dan manusiawi secara utuh/penuh tanpa mementingkan
kepentingan pribadi melainkan mementingkan kepentingan klien serta menghargai
klien sebagaimana mengahargai diri sendiri (Mirzal Tawi, 2008).
Seorang anggota profesi dalam melakukan pekerjaannya haruslah
professional. Setiap anggota profesi baik secara sendiri- sendiri atau dengan cara
bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar, yaitu belajar untuk
11
mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa
yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang sehingga
pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat (Mirzal Tawi, 2008).
2.2.2 Ciri-ciri Profesional
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa seorang dikatakan
profesional, karena ia mempunyai standar kualitas dan ciri-ciri tertentu. Menurut
Anwar Jasin, ciri mendasar dari sebuah makna profesional tersebut antara lain:
1. Tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan
jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam
mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil
dalam mengerjakan tugasnya.
2. Motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu
adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan
(bayaran) yang menjadi tujuan utama.
3. Terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi
pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang
bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku
pekerjaannya.
4. Terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling
menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu
komunitas tertentu (Mujtahit, 2010).
Masih mengenai ciri-ciri profesional, pandangan yang hampir senada
dengan Jasin juga diungkapkan oleh Tilaar, bahwa para profesional mempunyai
ciri-ciri khusus. Mereka sesungguhnya bekerja untuk mengabdi pada suatu
profesi. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi itu adalah memiliki suatu keahlian,
merupakan panggilan hidup, memiliki teori-teori yang baku secara universal,
mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, dilengkapi
dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, memiliki otonomi
dalam melaksanakan pekerjaannya, mempunyai kode etik, mempunyai klien yang
jelas, mempunyai organisasi yang kuat, dan mempunyai hubungan dengan profesi
pada bidang-bidang yang lain (Mujtahit, 2010).
12
Sementara menurut Roestiyah, seorang profesional paling tidak memiliki
ciri atau kreteria sebagai berikut:
1. Berpendidikan professional.
2. Mengakui sadar profesinya. Jadi memiliki sikap dan mampu
mengembangkan profesinya, dan tidak bermaksud untuk
menjadikannya sebagai batu loncatan untuk memasuki profesi lain.
3. Menjadi anggota profesionalnya, yang dapat pengakuan pemerintah
maupun masyarakat.
4. Mengakui dan melaksanakan kode etik profesional yang tanpak pada
usaha untuk mengembangkan profesi serta ilmu, pengembangan diri,
dan mengakui serta menghormati norma-norma masyarakat.
5. Pengembangan diri dan profesi ini bukan karena tekanan dari luar
maupun karena profesi itu, melainkan timbul dari dalam diri yang
bersangkutan.
6. Mengikuti berpartisipasi dengan memanfaatkan alat komunikasi
dengan antar anggotanya maupun dengan pihak lembaga lain di luar
organisasi profesionalnya. Komunikasi itu antara lain dapat berbentuk
publikasi ilmiah dan sebagainya, dan ketujuh, dapat bekerja sama
dengan anggota maupun organisasi profesional lain, baik sebagai
individu maupun di dalam rangka organisasi (Mujtahit, 2010).
Dengan kreteria tersebut, seorang profesional merupakan hasil dari suatu
yang dipersiapkan dan dibina di pekerjaannya. Oleh sebab profesi tersebut terus
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
seorang profesional adalah seorang yang secara berkembang atau trainable.
Trainable dari seorang profesional tentunya akan lebih mudah apabila mereka
mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat.
Menurut Tantri Abeng, istilah profesional memiliki aspek-aspek tertentu.
Aspek yang dimaksud adalah menyangkut masalah ilmu pengetahuan
(knowledge), aspek ketrampilan (skill), serta sikap mental (attitude). Untuk yang
terakhir ini menjadi catatan khusus, yang melekat dalam diri profesional. Artinya
terbuka terhadap pandangan ataupun nilai-nilai baru yang lebih positif dan
menerima perbedaan pendapat serta berlaku jujur (Mujtahit, 2010).
13
Lebih lanjut, Tantri Abeng mengemukakan bahwa aspek pengetahuan,
ketrampilan dan sikap mental setara dan sama petingnya sebagai fondasi untuk
membangun kualitas dan mutu profesional. ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil
pendidikan, oleh sementara ahli disyaratkan sampai pada advanced educational,
sedang skill atau keahlian di dapat dari latihan, dan aktivitas melaksanakan
pekerjaan atau learned on the job. Adapun attitude atau sikap mental merupakan
kepribadian, tetapi bisa dididik lewat pendidikan agama dan pendidikan moral
sejak dini, di samping tuntutan yang berasal dari lingkungannya (Mujtahit, 2010).
2.2.3 Ciri-Ciri atau Tanda-Tanda Profesionalisme Keperawatan (Miller)
Adapun ciri-ciri atau tanda-tanda Profesionalisme Keperawatan menurut
Miller adalah:
1. Peningkatan dasar pengetahuan yang diberikan pada tingkat universitas
dan orientasi pengetahuan pada tingkat pascasarjana dan doktor (graduate
level) keperawatan.
2. Perwujudan kompetensi yang berasal dari dasar teori penegakan diagnosa
dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan baik aktual
atau potential (ANA, 1980).
3. Spesialisasi ketrampilan dan kompetensi yang membatasi keahlian (Miller,
1985).
4. Secara umum tenaga profesional sering diidentifikasi sebagai:
a. seorang yang serius terhadap perkerjaannya,
b. berpenampilan sangat baik, dan mendemonstrasikan etik dan tanggung
jawab terhadap pekerjaannya (Ellis dan Hartley, 1980).
2.2.4 Peran utama perawat profesional
Peran utama perawat professional adalah memberikan asuhan
keperawatan kepada manusia (sebagai objek utama kajian filsafat ilmu
keperawatan: ontologism) yang meliputi (Nursalam, 2008) :
a. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan
kebutuhan klien
b. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi
masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis dan spiritual
14
c. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan
masyarakat) mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Pelayanan yang diberikan oleh perawat harus dapat mengatasi
masalah-masalah fisik, psikis dan social spiritual pada klien dengan
fokus 7 utama merubah perilaku klien (pengetahuan, sikap dan
ketrampilannya) dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga klien
dapat mandiri (Nursalam, 2008).
2.3 Konsep Hak-Hak Pasien
2.3.1 Pengertian-Pengertian
Hak : Kekuasaan / kewenangan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu.
Kewajiban : Sesuatu yang harus diperbuat atau yang harus dilakukan oleh
seseorang atau suatu badan hokum
Pasien : Penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam
keadaan sehat maupun sakit
Perawat : seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Rumah Sakit : sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian
Hak pasien : hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien
SE Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.YM.02.04.3.5.2504 Tahun
1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah
Sakit (Mirzal Tawi, 2009).
2.3.2 Hak Dan Kewajiban Pasien Di Rumah Sakit :
2.3.2.1 Hak pasien
1. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
2. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
15
3. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai
dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan tanpa
diskriminasi .
4. Pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan dengan standar profesi
keperawatan
5. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah
sakit.
6. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan
pendapat klinis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak
luar.
7. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di
rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang
dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.
8. Pasien berhak atas “privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.
9. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi :
a. Penyakit yang diderita tindakan medik apa yang hendak dilakukan
b. Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tsb sebut dan
tindakan untuk mengatasinya
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosanva.
e. Perkiraan biaya pengobatan
10. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
11. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung
jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang
penyakitnya.
12. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
13. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16
14. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit
15. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan
perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
16. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun
spiritual (Mirzal Tawi, 2009).
2.3.2.2 Kewajiban Pasien
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan
tata tertib rumah skait
2. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat
dalam pengobatannya.
3. Pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan
selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat.
4. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua
imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/dokter
5. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang
telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya (Mirzal Tawi, 2009).
2.4 Konsep Pengambilan Keputusan
2.4.1 Dasar-Dasar Pengambilan Keputusan
Dasar-dasar pengambilan keputusan menurut George R. Terry yaitu :
1. Intuisi
Pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan
memiliki sifat subjektif, sehingga mudah terkena pengaruh.
Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa
kebaikan dan kelemahan.
Kebaikan antara lain sebagai berikut :
a. Waktu yang digunakan untuk pengambilan keputusan relatif
lebih pendek.
b. Untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan
keputusan akan memberikan kepuasan pada umumnya.
17
c. Kemampuan mengambil keputusan dari pengambilan
keputusan itu sangat berperan, dan itu perlu dimanfaatkan
dengan baik.
Kelemahaan antara lain :
a. Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
b. Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit di ukur
kebenaran dan keabsahaannya.
c. Dasar-dasar lain dalam pengambilan keputusan sering kali
diabaikan.
2. Pengalaman
Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat
bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman pengalaman seseorang
dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan
untung ruginya, baik-buruknya keputusan yang aka dihasilkan. Karena
pengalaman seseorang yang menduga masalahnya walaupun dengan
melihat sepintas saja mungkin sudah dapat menduga cara
penyelesaiannya.
3. Fakta
Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan
keputusan yang sehat , solit, dan baik. Dengan fakta, maka tingkat
kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi,
sehingga orang dapat menerima keputusan-keputusan yang dibuat itu
denganrela dan lapang dada.
4. wewenang
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukannya
oleh pemimpin terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya kepada orang lainyang lebih rendah kedudukannya.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki
beberapa kelebihan dan kelemahan yaitu :
Kelebihannya antara lain :
a. Kebanyakan penerimaannyaadalah bawahan,terlepas apakah
penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa.
18
b. Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup
lama
c. Memiliki orientasi (otentik).
Kelemahannya antara lain sebagai berikut :
a. Dapat menimbulkan sifat rutinitas.
b. Mangansosiasikan dengan praktek dictatorial
c. Sering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan
sehingga dapat menimbulkan kekaburan.
5. Rasional
Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan
yang di hasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten
untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu,
sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Pada pengambilan keputusan ini terdapat hala-hal
sebagai berikut :
a. Kejelasan masalah
b. Orientasi tujuan
c. Penegtahuan alternative
d. Preferensi yang jelas
e. Hasil maksimal
2.5 Konsep Hukum
Hukum adalah himpunan peraturan berupa perintah & larangan yg
mengurus tata tertib suatu masyarakat & karena itu harus ditaati oleh masyarakat
(E.Utrecht). Hukum adalah Keseluruhan kumpulan peraturan & kaedah dalam
suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi
(Mertkusumo S).
Unsur-unsur hukum:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
2. Sebagai sarana utk mewujudkan keadialan sosial lahir dan batin
Sumber Hukum:
1. Undang-undang
2. Kebiasaan (convention)
19
3. Putusan Hakim (Jurisprudensi)
4. Traktat (Treaty)
5. Doktrin
Tata Urutan Peraturan UU di Indonesia
1. Ketetapan MPRS RI. No.XX/MPRS/1966
2. UUD 1945
3. Ketetapan MPR
4. UU & Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah (PP)
6. Keputusan Presiden (KEPRES)
7. Peraturan Pelaksana lainnya.
2.5.1 Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung
dengan pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata,
hukum pidana, serta hukum administrasi. Pengertian peraturan hukum tdk hanya
mencakup peraturan perundang-undangan & peraturan nasional saja, tetapi juga
mencakup pedoman internasional, hukum dan kebiasan (HJJ. Leenen, 1972)
Lingkup Hukum Kesehatan
1. Hukum kedokteran
2. Hukum Perumahsakitan
3. Hukum tentang limbah & Polusi
4. Hukum tentang makanan, minuman & obat-obatan
5. Hukum tentang keselamatan kerja
6. Hukum keperawatan
7. Hukum lingkungan
8. Hukum Kesehatan di RS
2.5.2 Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan
Hukum mempunyai beberapa fungsi bagi keperawatan :
1. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
mana yang sesuai dengan hukum.
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain.
20
3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri.
4. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan
dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah
hukum (Kozier, Erb, 1990)
2.5.3 Undang-Undang Praktek Keperawatan
1. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
a. BAB I ketentuan Umum, pasal 1 ayat 3
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
b. Pasal 1 ayat 4
Sarana kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1239/MENKES/SK/XI/2001tentang Registrasi dan Praktek Perawat
(sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
a. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
b. Dalam ketentuan menteri ini yang dimaksud dengan :
1) Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik
di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Surat ijin perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis
pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan diseluruh Indonesia.
3) Surat ijin kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah
Indonesia.
21
c. BAB III perizinan,
Pasal 8, ayat 1, 2, & 3 :
1) Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana
pelayanan kesehatan, praktek perorangan atau kelompok.
2) perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana
pelayanan kesehatan harus memiliki SIK
3) Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus
memiliki SIPP
Pasal 9, ayat 1
1) SIK sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 diperoleh
dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
Pasal 10
1) SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 diperoleh dengan
mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli
madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengaan
kompetensi yang lebih tinggi.
3) Surat ijin praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti
tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat.
Pasal 13
1) Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan atau SIPP dilakukan
melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang
keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan
melakukan praktek keperawatan.
22
Pasal 15
1) Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang
untuk :
a. Melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan
keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir (i)