1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menteri Luar Negeri RI tahun 1978-1988 yang juga Guru Besar Universitas Pajajaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa terjadinya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain karena adanya rasa saling membutuhkan. Misalnya, hubungan perdagangan tercipta lantaran adanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia sehingga negara-negara menjalin hubungan dengan mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri. Selain di bidang perdagangan, saling membutuhkan juga terjadi di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga (Kusumaatmadja, 1982:12). Untuk memformalkan hubungan saling membutuhkan itulah kedua negara membuka hubungan diplomatik. Sejak Indonesia membuka perwakilan di Kairo pada tahun 1950 dan Mesir membuka perwakilan di Jakarta pada tahun 1951, hubungan kedua negara sampai tahun 2010 terlihat erat, harmonis, tidak ada ketegangan apalagi pemutusan hubungan diplomatik. Selama 50 tahun hubungan, Indonesia tidak pernah mem- persona non grata-kan pejabat diplomatik Mesir dan juga sebaliknya, Mesir tidak pernah mendeportasi pejabat diplomatik Indonesia dari lembah sungai Nil. Akan tetapi, di balik keharmonisan tersebut sebenarnya terdapat ketimpangan, ketidakseimbangan dan kepincangan. Indonesia selalu memandang Mesir penting, sebaliknya Mesir hanya memandang Indonesia sebelah mata.
34
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82023/potongan/S3-2015... · 3 Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menteri Luar Negeri RI tahun 1978-1988 yang juga Guru Besar
Universitas Pajajaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa
terjadinya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain karena adanya
rasa saling membutuhkan. Misalnya, hubungan perdagangan tercipta lantaran
adanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak
merata di dunia sehingga negara-negara menjalin hubungan dengan
mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri. Selain di bidang
perdagangan, saling membutuhkan juga terjadi di bidang kebudayaan, ilmu
pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga (Kusumaatmadja, 1982:12).
Untuk memformalkan hubungan saling membutuhkan itulah kedua negara
membuka hubungan diplomatik.
Sejak Indonesia membuka perwakilan di Kairo pada tahun 1950 dan Mesir
membuka perwakilan di Jakarta pada tahun 1951, hubungan kedua negara sampai
tahun 2010 terlihat erat, harmonis, tidak ada ketegangan apalagi pemutusan
hubungan diplomatik. Selama 50 tahun hubungan, Indonesia tidak pernah mem-
persona non grata-kan pejabat diplomatik Mesir dan juga sebaliknya, Mesir tidak
pernah mendeportasi pejabat diplomatik Indonesia dari lembah sungai Nil.
Akan tetapi, di balik keharmonisan tersebut sebenarnya terdapat
ketimpangan, ketidakseimbangan dan kepincangan. Indonesia selalu memandang
Mesir penting, sebaliknya Mesir hanya memandang Indonesia sebelah mata.
2
Ketimpangan tersebut bisa dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu kuantitas formasi
perwakilan dan intensitas kunjungan pejabat negara. Pertama, menyangkut
kuantitas formasi perwakilan, jika Indonesia menempatkan banyak diplomat di
KBRI Cairo, Mesir hanya menempatkan beberapa diplomat di Kedutaan Mesir
untuk Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2010, struktur KBRI Kairo terdiri
dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Fungsi Politik, Fungsi
Ekonomi, Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya, Fungsi Protokol dan Konsuler,
Atase Pertahanan, Atase Perdagangan, Atase Pendidikan Nasional, Unit
Komunikasi, Bendahara dan Penata Kerumahtanggaan, serta Kepala Sekolah
Indonesia Cairo (SIC). Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home staff) di
KBRI Kairo mencapai 18 orang dan didukung oleh 37 pegawai setempat (local
staff). Sementara itu, Kedutaan Mesir di Jakarta pada tahun 2010 hanya terdiri
dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Atase Perdagangan,
Administrasi dan Keuangan. Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home
staff) Kedutaan Mesir di Jakarta hanya mencapai 10 orang, ditambah dengan
beberapa pegawai setempat (local staff).
Jumlah pejabat diplomatik yang dikirim suatu negara ke negara lain,
sesungguhnya mampu menunjukkan besar atau kecilnya kepentingan Negara
pengirim ke Negara tujuan. Indonesia menempatkan banyak pejabat diplomatik di
Mesir, menunjukkan besarnya kepentingan Indonesia terhadap Mesir. Sebaliknya,
minimnya jumlah pejabat Mesir yang bertugas di Kedutaan Mesir untuk
Indonesia, bisa dipahami sebagai minimnya kepentingan Mesir terhadap
Indonesia.
3
Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain, juga
bisa digunakan sebagai indikator keharmonisan kerjasama antar dua negara. Jika
dalam kurun waktu 1955 sampai dengan 1965 Presiden Soekarno telah
berkunjung ke Mesir sebanyak 6 (enam) kali. Sebaliknya, Perdana Menteri/
Presiden Gamal Abdel Nasser hanya singgah satu kali di Indonesia.
Kedatangannya pun dalam rangka menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di
Bandung pada tanggal 16-27 April 1955 (Kompas, 26/08/1997: 22).
Setelah itu, Presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyuno selalu melakukan kunjungan ke
Mesir. Hanya Presiden Habibie yang tidak sempat berkunjung ke Mesir karena
singkatnya masa jabatannya dan situasi dalam negeri yang belum stabil pasca-
pergantian kepemimpinan nasional. Sementara itu, Presiden Anwar Sadat sama
sekali tidak pernah berkunjung ke Indonesia. Presiden Hosni Mubarak pun selama
masa jabatannya hanya pernah sekali datang ke Indonesia pada tanggal 9-11 April
1983. Oleh karena itulah, pada saat menyerahkan credentials (surat-surat
kepercayaan) kepada Presiden Mubarak pada tanggal 16 Juni 2008, peneliti
menyampaikan bahwa rakyat Indonesia sudah lama merindukan kunjungan
Presiden Mesir, yang kemudian dijawab dengan kata “Insya Allah”, namun
sampai mengundurkan diri pada tahun 2011, ia tidak pernah datang lagi ke
Indonesia.
Selain kepala negara, kunjungan pejabat Indonesia, baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif, di tingkat pusat ataupun daerah, lebih tinggi
jumlahnya dibandingkan pejabat Mesir ke Indonesia. Bahkan kunjungan untuk
4
kepentingan studi banding pun lebih sering dilakukan oleh pihak Indonesia,
sehingga menimbulkan kesan akan banyaknya yang perlu dipelajari dari Mesir,
sekalipun itu dalam bidang-bidang yang sebenarnya Indonesia lebih maju seperti
halnya terkait demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara itu, kunjungan pejabat
Mesir betul-betul dibatasi hanya untuk kepentingan yang bersifat mission
oriented.
Kenyataan ini cukup membuktikan bahwa hubungan Indonesia-Mesir yang
berlangsung selama ini tidak seimbang dan berat sebelah. Indonesia terlalu
memandang penting Mesir namun tidak sebaliknya. Ketimpangan ini muncul
justru pada saat Indonesia telah meraih hasil dari perjuangannya untuk
mendapatkan pengakuan internasional sebagai syarat sahnya negara yang
merdeka, dan Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui
kemerdekaan Indonesia. Mesir pula negara pertama yang menandatangani
perjanjian persahabatan dengan Indonesia yang diikuti dengan pembukaan
perwakilan di Kairo dan di Jakarta pada tahun 1950/1951.
Lebih dari itu, Mesir tercatat sebagai negara tempat menuntut ilmu bagi
putra-putri Indonesia sejak sebelum abad 19 masehi. Hubungan Indonesia-Mesir
yang sangat historis dan bahkan emosional, semestinya dijadikan modal penting
bagi kedua negara untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama kedua negara ke
tingkat yang lebih strategis, sehingga hubungan menjadi lebih bermakna dan satu
sama lain saling memandang penting.
Dalam kondisi di atas, sebenarnya tidak sedikit dari pejabat dan pengamat
hubungan internasional yang mengeluhkan hubungan Indonesia-Mesir, karena
5
kedua Negara belum mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki masing-masing
negara. Seorang pejabat Indonesia, Emil Salim pada Seminar Internasional
Hubungan Indonesia-Timur Tengah di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 27 Januari
1976, mengungkapkan keheranannya mengapa hubungan ekonomi antara
Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah tidak bisa terjalin erat. Padahal
menurutnya, hubungan di bidang politik kedua Negara berlangsung baik
(Kompas, 28/1/1976:2).
“Sekalipun antara Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin kerja sama yang erat dalam bidang politik, namun adalah menarik bahwa kerja sama di bidang ekonomi tidak berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Emil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Kompas, 28/1/1976:2).
Untuk memperkuat argument atas lemahnya hubungan ekonomi antar
kedua Negara. Emil memaparkan sejumlah data. Misalnya, ekspor Indonesia ke
negara-negara Timur Tengah selama tahun 1975 dan 1976, rata-rata hanya US$ 6
juta setahun. Menurutnya, ini rendah sekali, karena hanya merupakan 0,3 % saja
dari jumlah ekspor (non-migas) Indonesia yang seluruhnya mencapai US$ 2
miliar setahun. Sebaliknya, ekspor Timur Tengah ke Indonesia kurang dari US$
30 juta pada tahun 1974 dan hanya naik menjadi di bawah US$ 60 juta pada tahun
1975. Ini pun, masih menurut Emil, amat rendah karena nilai impor Indonesia
Soal perkreditan, Emil menambahkan bahwa kredit yang diterima
Indonesia dari Timur Tengah terhitung kecil. Dari Mesir misalnya, hanya US$ 4,8
juta, dari Iran US$ 200 juta dan dari Arab Saudi US$ 120 juta. Emil menilai kecil
jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diterima
6
Indonesia dari kelompok Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) sejak
tahun 1968, yaitu sebesar US$ 5,6 miliar (Kompas, 28/1/1976:2).
Pengamat Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya, Indonesia Timur
Tengah: Masalah dan Prospek, mengatakan bahwa:
“Meskipun secara tradisional hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah telah terjalin berabad-abad, namun hingga kini belum terdapat suatu bentuk hubungan yang melembaga... Begitu pula hubungan dengan Mesir, meskipun merupakan sesama negara pendiri GNB (Gerakan Non Blok), namun sampai saat ini hubungan itu tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini antara lain terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama, khususnya dalam Gerakan Non Blok (Sihbudi, 1997:34).”
Riza berharap, hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di Timur
Tengah bisa mencontoh hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di
kawasan Asia Pasifik dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Dengan negara-negara
Asia Pasifik, Indonesia mempunyai hubungan yang melembaga, yaitu dalam
bentuk pertemuan tingkat menteri “ASEAN-Mitra Dialog”. Dalam forum ini
Indonesia berkesempatan membahas dan merundingkan berbagai masalah politik
dan ekonomi dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia baru, Amerika
Serikat, Kanada dan 12 negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Eropa
(Sihbudi, 1997:34-35).
Hal yang sama disampaikan Riza saat tampil sebagai pembicara dalam
seminar tentang “Persahabatan Masyarakat Indonesia-Arab” di Balai Sidang
Universitas Indonesia, Depok pada tanggal 5 September 2000. Ia menegaskan
bahwa sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei
1998, hubungan Indonesia-Mesir tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini
7
terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan
berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama (Sihbudi, 2000).
Pandangan serupa juga diakui oleh pihak Mesir. Mohammad Sayed Selim
dalam tulisannya di Surat Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997 menyoroti
ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi. Menurut Selim yang
saat itu menjabat Direktur Studi Asia Universitas Kairo, ketidakseimbangan
perdagangan kedua negara perlu dicarikan jalan keluar guna meningkatkan dan
menambah volume perdagangan sehingga tercapai keseimbangan. Lebih lanjut ia
memaparkan bahwa pada tahun 1995 nilai perdagangan Indonesia-Mesir
mencapai LE 282 juta, yang 95% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir.
Sedangkan pada tahun 1996 nilai perdagangan Indonesia-Mesir mencapai LE 346
juta, yang 99% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir. Pada tahun 1996
itu ekspor Mesir ke Indonesia tidak lebih dari LE 1 juta. Selim berharap supaya
pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Mesir merumuskan dan mengambil
langkah-langkah konkret bagaimana mewujudkan keseimbangan perdagangan.
Kepada para eksportir Mesir juga diharapkan untuk melihat peluang pada pasar
Indonesia yang luas (Al-Ahram, 1997:10).
Tidak hanya itu, beberapa Kepala Perwakilan RI di Mesir mengeluhkan
ketimpangan ini dan berharap supaya diakhiri. Pada seminar Hubungan Indonesia-
Mesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997, Duta Besar Boer Mauna mengatakan bahwa
hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi tidak berkembang sesuai yang
diharapkan. Perdagangan antara kedua negara (Indonesia-Mesir) ditandai dengan
ketidakseimbangan. Ekspor Indonesia ke Mesir selama periode 1991-1996
8
mencapai LE. 272.75 juta per tahun, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya
LE. 8.46 juta per tahun. Pada 1996 Ekspor Indonesia ke Mesir mencapai 347.10
juta, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya LE. 3.71 juta. Melalui seminar
itu, Boer mengharapkan agar dicarikan kiat-kiat untuk meningkatkan hubungan
perdagangan Indonesia-Mesir (Mauna, 1997).
Duta Besar RI untuk Mesir tahun 1980-1982, Ferdy Selim yang ikut hadir
dalam acara seminar itu mengatakan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Mesir
belum sepenuhnya menggembirakan karena perbedaan dalam memberi prioritas.
Fokus perdagangan Indonesia, menurutnya, terjalin dengan Jepang dan negara-
negara Asia-Pasifik lainnya. Sementara itu, Mesir dan negara-negara Timur
Tengah lainnya masih terbelenggu konflik militer dan politik hingga belum
sepenuhnya dapat mengembangkan potensi ekonominya (Kompas, 1997:22).
Menjelang kunjungan Presiden Soeharto pada Mei 1998, Duta Besar RI
untuk Mesir, N Hassan Wirajuda menyatakan bahwa hubungan politik Indonesia-
Mesir selama ini cukup kuat, namun perlu diperbarui dan ditingkatkan, terutama
karena hubungan baik yang sempat terjalin dulu, selama ini kurang mendapat
perhatian (Kompas, 1998:3). Kepada wartawan Kompas di Jakarta, ia mengatakan
bahwa:
“Ada semacam kesenjangan dalam hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, termasuk Mesir. Untuk kawasan Asia dan Pasifik, kita bisa melakukan konsultasi berkala dengan kawasan, melalui forum ASEAN, ARF, ataupun APEC. Sedang dengan kawasan Eropa, kita memiliki forum ASEM. Tapi dengan Timur Tengah, kita tidak mempunyai mekanisme. Bahkan untuk konsultasi sub-kawasan pun kita tidak punya mekanisme. Sepertinya ada rantai yang terputus (Kompas, 1998:3).”
9
Tak lama setelah kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Kairo
pada September 2002, Duta Besar RI untuk Mesir, Bachtiar Aly mengatakan
bahwa hubungan Indonesia-Mesir kini perlu improvisasi, tidak cukup lagi
mengandalkan semangat historis saja. “Kita harus lebih proaktif dalam
mempromosikan Indonesia. Bagaimana kita menumbuhkan dan menggalang
kepercayaan dunia terhadap integritas Indonesia, termasuk di antaranya mampu
mendatangkan investor asing sebanyak mungkin ke Indonesia,” tegas Aly
(Kompas, 2002:3).
Hal yang sama juga peneliti rasakan saat masih bertugas sebagai kepala
perwakilan RI di Mesir. Saat wawancara dengan wartawan Koran Shout
Al-Azhar, peneliti menyampaikan bahwa Indonesia dan Mesir memiliki potensi
besar. Namun, potensi besar itu kurang tergarap secara maksimal. Perdagangan
kedua negara sangat lemah dan memerlukan dorongan kuat dari kedua belah pihak
(Shout al-Azhar, 2010:14).
Peneliti juga pernah menulis di Harian Kompas akan perlunya inovasi
guna menggairahkan kembali pertalian emosional Indonesia-Mesir. Antara lain
melalui sepakbola dan kesenian. Misalnya, juara Liga Indonesia membuat
pertandingan persahabatan ke Mesir melawan juara Liga Mesir. Penyanyi terkenal
Mesir, Amer Diab terbang dengan Garuda dan melantunkan lagu-lagu cintanya di
Monas, Senayan City, dengan latar Borobudur, Prambanan, Tanah Lot dan Pantai
Senggigi (Kompas, 2009:7).
Dari latar belakang di atas, peneliti memandang bahwa persoalan
ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir perlu untuk diangkat dalam sebuah
10
penelitian komprehensif, sebab selain permasalahan ini sangat jarang diketahui
oleh mayoritas masyarakat kedua Negara bahkan para pemerati politik luar negeri
di kedua Negara pun mungkin belum banyak yang menyadari realitas di atas.
Sebab, mayoritas masyarakat selama ini memandang bahwa hubungan kedua
negara selalu dipandang normal. Hal terpenting lain yang mendasari pemilihan
judul di atas adalah faktor signifikansi professional, yaitu profesi peneliti sebagai
diplomat, yang pernah bertugas sebagai kepala perwakilan RI di Mesir.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dan
diamati dalam penelitian ini berpusat pada pertanyaan mengapa hubungan
Indonesia-Mesir sejak tahun 1950 sampai 2010 berlangsung timpang, tidak
seimbang dan berat sebelah. Indonesia memandang penting Mesir, sebaliknya
Mesir tidak memandang penting Indonesia, padahal jika ditilik dari faktor historis,
Mesir adalah negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan
Mesir pula tercatat sebagai negara pertama yang menandatangani perjanjian
persahabatan dengan Indonesia. Hal tersebut dikuatkan dengan hubungan
konsisten kedua negara yang erat, harmonis, tanpa konflik, dan memiliki
persamaan sejarah sebagai negara bekas jajahan, dan bersama-sama
memperjuangkan prinsip luar negeri non-aligned dan anti-kolonialisme, sekaligus
sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
11
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan untuk mempermudah
dalam pembahasan nantinya, maka rumusan masalah yang peneliti rumuskan
dalam tiga pertanyaan pokok, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sehingga
Indonesia memandang penting Mesir, dan bagaimana politik luar negeri
Mesir terhadap Indonesia sehingga Mesir tidak memperhitungkan posisi
Indonesia ?
2. Faktor-faktor apakah yang mendasari ketimpangan hubungan Indonesia-
Mesir ?
3. Usaha-usaha apakah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki hubungan
Indonesia-Mesir, agar ke depan Indonesia memiliki daya tawar yang
menarik, sehingga dapat merubah paradigma hubungan kedua negara ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian jenis apapun, tentu mempunyai tujuan tertentu dan diharapkan
juga hasil penelitian yang telah dilakukannya mempunyai manfaat tidak hanya
bagi penelitinya sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya,
khusunya yang menaruh minat dan perhatian terhadap masalah kerjasama
Indonesia-Mesir. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan tujuan dan manfaat
penelitian, yaitu sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
12
1. Mendeskripsikan politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sekaligus
menjelaskan realitas ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir.
2. Memahami dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari
ketimpangan hubungan kedua Negara.
3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi atau usulan untuk
memperbaiki hubungan Indonesia-Mesir.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Risalah disertasi ini diharapkan mempunyai manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan (teoretis) dan pembangunan negara (praktis).
1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
a. Mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional dan Kajian Timur
Tengah serta sebagai referensi untuk melakukan penelitian lanjutan
yang lebih mendalam.
b. Menambah khazanah pustaka di Tanah Air sebagai sumbangan
pemikiran bagi ilmu pengetahuan.
2. Manfaat bagi pembangunan negara
a. Memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia dalam
pengambilan kebijakan terkait dengan politik luar negeri terhadap
Mesir.
b. Menghasilkan landasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri
Indonesia pada masa-masa mendatang, khususnya hubungan dan
kerjasama antara Indonesia dan Mesir dalam segala bidang, terutama
di bidang perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.
13
1.4 Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran peneliti terhadap berbagai sumber pustaka, selama ini
belum ada penelitian dengan judul “Ketimpangan Hubungan Indonesia-Mesir
1950-2010. Adapun pustaka yang ada hubungannya dengan penelitian disertasi ini
adalah sebagai berikut.
Pertama, buku berjudul Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir
Tahun 1947, diterbitkan oleh Panitia Peringatan HUT Ke-32 Perjanjian
Persahabatan Indonesia-Mesir, diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1978. Buku ini
merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh yang menjadi saksi
penandatanganan perjanjian persahabatan Indonesia-Mesir tahun 1947, seperti M.
Rasyidi, AR. Baswedan dan M. Zein Hasan, serta tulisan dari beberapa tokoh
yang mengetahui kedekatan hubungan Indonesia-Mesir, seperti Moh. Natsir
(mantan perdana menteri), Achmad Subardjo (mantan menteri luar negeri),
Mohammad Roem (mantan menteri luar negeri), Sunario (mantan menteri luar
negeri), Roeslan Abdulghani (mantan menteri luar negeri) dan Saifuddin Zuhri
(mantan menteri agama).
Kedua, buku berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya
M. Zein Hassan, diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta, pada tahun
1980. Buku ini ditulis oleh pelaku sejarah, yang memimpin Perkumpulan
Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Buku ini menguraikan secara lengkap aktivitas
mahasiswa Indonesia di Mesir dalam memperjuangkan pengakuan Mesir secara
khusus dan beberapa Negara di Timur Tengah atas kemerdekaan Indonesia. Dari
buku ini tergambar dua hal: (1) dukungan Mesir terhadap perjuangan
14
kemerdekaan Indonesia; (2) kegigihan para mahasiswa Indonesia dalam
melaksanakan diplomasi, sekalipun mereka bukan diplomat dan belum pernah
mendapatkan pendidikan diplomasi.
Ketiga, buku berjudul “Seminar on the Egyptian Indonesian Relations
from Historic Perspective”, diterbitkan dalam rangka HUT ke-50 Kemerdekaan
RI dan HUT ke-48, Penandatanganan Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir,
diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1995. Buku ini berisi laporan kegiatan Seminar
Hubungan Indonesia-Mesir dari Perspektif Sejarah yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 26 Juli 1995, berisikan sambutan Menteri Luar Negeri Ali
Alatas, makalah Emil Salim dan Juwono Sudarsono.
Keempat, skripsi Peranan Mesir dalam Revolusi Indonesia Tahun 1945-
1947 oleh Ekalantri Fitriani, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996. Skripsi
ini memaparkan peranan Mesir dalam memberikan dukungan kepada Indonesia
untuk memperoleh pengakuan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sampai
kedua negara menandatangani perjanjian persahabatan tahun 1947.
Kelima, buku berjudul “Indonesia Timur Tengah: Masalah dan
Prospek” karya Riza Sihbudi, terbitan Gema Insani Press, Jakarta, tahun 1997.
Buku ini mengupas hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah.
Pada Bab I diuraikan hubungan Indonesia-Mesir. Di akhir Bab I, penulis
berkesimpulan bahwa selama kurun waktu 1947-1961, hubungan kedua negara
berjalan cukup baik, karena keduanya menjalankan garis kebijakan luar negeri
yang pada prinsipnya sama dan keduanya memiliki persamaan persepsi terhadap
masalah kolonialisme/imperalisme. Meskipun demikian, menurut penulis, terdapat
15
faktor-faktor yang menghambat bagi peningkatan hubungan kedua negara pada
periode tersebut. Yaitu: terjadinya konflik dalam negeri baik di Indonesia maupun
di Mesir, jauhnya jarak antara keduanya dan keterbatasan kemampuan ekonomi
yang dimiliki kedua negara. Faktor-faktor ini tidak dieksplorasi secara mendalam
oleh penulis, sehingga dengan itu menjadikan perlunya disertasi ini.
Keenam, buku berjudul “Al-‘Alaaqat al-Mishriyyah al-Asiyawiyyah”
(Hubungan Mesir-Asia) karya Muhammad Sayid Salim dan Ibrahim Arafat
(Editor), terbitan Center for Asian Studies, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik,
Cairo University, 2000. Buku ini membahas hubungan Mesir dengan negara-
negara Asia. Khusus nya Bab X dibahas hubungan Mesir-Indonesia yang ditulis
oleh Muhammad Sayid Salim. Tulisan Direktur Studi Asia Universitas Kairo ini
tidak jauh beda dengan makalah yang ia sampaikan pada Seminar Hubungan
Indonesia-Mesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997 dan artikel yang ia tulis di Surat
Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997. Intinya, ia menguraikan awal
terjadinya hubungan antara Indonesia dan Mesir, lalu dukungan Mesir terhadap
perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan
pengakuan internasional, era kemesraan Soekarno-Nasser dan terakhir membahas
pengaruh krisis ekonomi Indonesia dan pergantian kepemimpinan nasional
terhadap hubungan Indonesia-Mesir.
Ketujuh, tesis Diplomasi Republik Indonesia di Mesir (1947-1948),
Suranta Abd. Rahman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
2003. Tesis ini menguraikan diplomasi RI pasca-keluarnya rekomendasi dari Liga
Arab supaya negara-negara Arab mengakui Indonesia sebagai negara yang
16
merdeka dan berdaulat, yaitu pengakuan negara-negara Arab dan pembahasan
masalah Indonesia di PBB.
Delapan, buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir yang diterbitkan KBRI
Cairo, tahun 2009. Buku ini mendokumentasikan hubungan Indonesia-Mesir sejak
pertama adanya kontak kedua bangsa, jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945
sampai tahun 2008. Untuk saat ini, buku tersebut menjadi rujukan utama
hubungan Indonesia-Mesir yang lengkap dengan sumber referensi yang kaya, baik
dari Indonesia maupun Mesir. Karena ditulis dan diterbitkan oleh Pemerintah RI,
dalam hal ini KBRI Cairo, maka buku ini hanya berisi data, rekaman,
dokumentasi, tanpa disertai opini. Disertasi ini dimaksudkan untuk menganalisis
dan mengembangkan sebagian data yang ada di buku tersebut.
Sembilan, buku berjudul Abhãts Nadwat al-‘Alãqãt al-Indûnîsiyyah al-
Mishriyyah yang diterbitkan KBRI Cairo bekerja sama dengan Fakultas Adab dan
Humaniora Suez Canal University, tahun 2011. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan/makalah yang disampaikan saat seminar dalam rangka peringatan 63 tahun
hubungan Indonesia-Mesir tanggal 6 Mei 2010. Di antara pemakalahnya adalah
Dr. Amani Khudhair dan Dr. Salwa Farag yang menulis tentang hubungan
Indonesia-Mesir dan Dr. Najwa Ali yang menulis tentang hubungan ekonomi
Indonesia-Mesir. Dapat dikatakan bahwa buku ini menjadi tulisan terakhir yang
mengupas tentang hubungan Indonesia-Mesir.
Dari ke Sembilan buku yang membahas hubungan antara Indonesia dan
Mesir, secara keseluruhan menyimpulkan bahwa hubungan antara Indonesia dan
Mesir sudah terjalin cukup lama dan berlangsung jauh sebelum kemerdekaan.
17
Yang sampai saat ini hubungan kedua Negara berjalan dengan baik, tidak pernah
ada masalah. Kalaupun ada yang mengeluhkan kurang maksimalnya hubungan
Indonesia-Mesir itu dilakukan oleh Riza Sihbudi, namun dosen Universitas
Indonesia itu tidak mengeksplorasi secara mendalam keluhan itu. Karena itulah,
peneliti tertarik untuk menelitinya secara mendalam.
1.5 Kerangka Teori
Mohtar Mas’oed dalam buku Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologimengatakan:berteori adalah pekerjaan penonton, yaitu pekerjaan
mendeskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin
juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan. Yang
dimaksud dengan teori, lanjutnya, adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab
pertanyaan “mengapa”. Jadi, berteori adalah upaya memberi makna pada
fenomena yang terjadi (Masoed, 194:185-186).
Sementara itu, menurut William D. Coplin, teori merupakan sekumpulan
proposisi yang bisa diterapkan ke dalam sekumpulan gejala yang bisa membantu
para sarjana untuk menata dan mengakumulasikan ide-ide mereka (Coplin,
2003:11).
Untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah
di atas, peneliti akan menggunakan teori resiprositas (theory of reciprocity)
sebagai metode dalam menjelaskan fenomena ketimpangan hubungan Indonesia
dan Mesiryang diperkuat dengan teori modern diplomacydan multitrack
18
diplomacysebagai pendekatan sekaligus jalan keluar mengatasi masalah
ketimpangan tersebut.
1.5.1 Resiprositas
Menurut Robert O. Keohane, resiprositas adalah terma yang ambigu karena
muncul di banyak literatur yang berbeda. Masing-masing bidang pemikiran
mendefinisikan resiprositas sesuai dengan tujuan teorinya (Keohane, 1986:3).
Resiprositas juga sering digunakan di bidang psikologi sosial, matematika,
antropologi budaya dan sosiologi. Jadi, hubungan internasional bukanlah satu-
satunya displin ilmu yang menggunakan istilah resiprositas.
Resiprositas merupakan bahasa Latin dari kata “reciprocus” yang tersusun
dari kata retro dan procus, yang artinya memberi dan menerima. Dalam istilah
lain, arti yang pokok adalah saling tukar, mutual exchange (Bruni, 2008:1). Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, bentuk kata sifat dari resiprositas adalah resiprokal
yang berarti saling berbalasan. Ini adalah hukum sebab dan akibat. Dalam Kamus
Oxford, resiprositas diartikan sebagai, “the principle that one will treat someone
in a particular way if one is so treated by them (Martin, 2002:40).” Sementara itu,
dalam kamus hukum yang ditulis oleh PH Collin, resiprositas juga dapat berarti:
“an arrangement which applies from one party to another and vice versa”(Collin,
2004:249). Jadi, resiprositas adalah sebuah strategi pembalasan, yaitu kebaikan
dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan kejahatan (tit for tat
strategy).
Resiprositas mengandung 2 (dua) makna, yaitu makna kontingensi dan
ekuivalensi. Kontingensi artinya keadaan yang masih diliputi ketidakpastian
19
mengenai kemungkinan, yang akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak
terjadinya satu atau lebih peristiwa pada masa yang akan datang. Maksudnya,
bahwa resiprositas menunjukkan aksi “tergantung” pada reaksi yang bermanfaat
dari orang lain dan yang berhenti ketika reaksi yang diharapkan tidak datang.
Perilaku resiprokal membalas keburukan terhadap aksi yang buruk atau membalas
kebaikan terhadap aksi yang baik. Orang akan tersenyum jika ia diberi
senyuman,sebaliknya ia akan berbohong jika dikhianati (Keohane, 1986:5-6).
Adapun makna ekuivalensi adalah keadaan sebanding dan sepadan.
Namun, bukan berarti dipahami secara ketat harus sepadan atau sebanding
untungnya. Ekuivalensi bisa terjadi di antara pihak-pihak yang posisinya sederajat
dan juga bisa terjadi di antara pihak-pihak yang tidak sederajat.
Dalam konteks hubungan Indonesia Mesir, jika ditilik dari makna
ekuivalensi, teori resiprositas peneliti manfaatkan sebagai cara untuk menimbang
dan menganalisis keberimbangan hubungan kedua negara. Tujuannya sangatlah
jelas, jika hubungan kedua negara seimbang, maka peneliti dapat memprediksi
bahwa hubungan antara pemerintah Indonesia dan Mesir pada masa yang akan
datang semakin harmonis. Namun sebaliknya, jika hubungan antara kedua negara
terjadi ketimpangan, dikhawatirkan kedepan akan terjadi permasalahan dalam
hubungan kedua negara.
Pada titik inilah, makna kontingensi dalam teori resiprositas selanjutnya
bisa dipahami. Bahwa jalinan hubungan kerjasama antar dua negara sebenarnya
selalu berada pada keadaan yang tidak pasti. Situasi inilah yang perlu dipahami
oleh setiap pemegang kebijakan luar negeri ataupun para pemerati hubungan antar
20
negara. Untuk itulah, segala kebijakan yang akan lahir bertujuan untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik.
Literatur tentang resiprositas dalam hubungan internasional ada yang
mendefinisikannya sebagai kesetaraan manfaat. Ada juga yang mendefinisikan
resiprositas sebagai persamaan konsesi. Namun yang jelas, dalam resiprositas,
kedua belah pihak memerlukan setidaknya kesetaraan manfaat (Keohane, 1986:7).
Walaupun tidak mungkin menentukan ekuivalensi secara tepat, semua sepakat
bahwa ekuivalensi yang rata-rata adalah menjadi bagian dari arti resiprositas.
Resiprositas berkenaan mengenai pertukaran dari nilai-nilai yang kira-kira
ekuivalen, yang aksi dari tiap-tiap bagian bergantung kepada aksi sebelumnya dari
pihak lain, sehingga kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan
dibalas dengan keburukan.
Untuk mempermudah menganalisis keberimbangan hubungan Indonesia
dan Mesir. Peneliti akan menggunakan 3(tiga) indikator. Pertama, frekuensi
kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain. Kedua, jumlah pejabat
diplomatik yang ditugaskan di masing-masing negara. Ketiga, hubungan dan
kerjasama ekonomi.
Jika dikaitkan dengan teori resiprositas, makna kontingensi bisa
diterjemahkan dalam indikator pertama, yaitu frekuensi kunjungan kepala negara
dan pejabat pemerintah di kedua negara yang tidak berlangsung resiprokal.
Sedangkan makna ekuivalensi peneliti gunakan untuk menjelaskan dua indikator
lain yaitu ketimpangan jumlah pejabat diplomatik yang bertugas di masing-
21
masing perwakilan dan ketidak seimbangan hubungan dua negara dalam lingkup
kerjasama perdagangan dan ekonomi.
Walaupun Hukum Internasional tidak menentukan besar/kecilnya
formasi perwakilan. Pasal 11 Konvensi Wina 1961 hanya menyatakan, “Jika
tidak ada persetujuan khusus mengenai besarnya perwakilan, negara penerima
dapat meminta agar besarnya suatu perwakilan selalu dalam batas-batas yang
dianggap pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi di
negara penerima dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara
penerima, dalam batas-batas yang sama dan atas dasar nondiskriminasi dapat
menolak untuk menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu” (Mauna,
2001:485-488).
Dengan demikian, jumlah staf perwakilan tidak dipersoalkan kecuali jika
terlalu banyak. Yang dianggap masalah bukan sedikitnya, tetapi malah
banyaknya. Banyaknya jumlah pejabat diplomatik satu negara dikhawatirkan akan
merugikan negara yang ditempati. Misalnya, pejabat-pejabat diplomatik dari
negara asing itu melakukan mata-mata (spionase).
Menurut pakar hukum internasional yang juga diplomat, Boer Mauna,
pada dasarnya besarnya staf perwakilan bergantung kepada beberapa hal,
diantaranya (1) Volume pekerjaan dan tingkat intensitas hubungan kedua negara,
(2) Faktor kesanggupan negara pengirim (dana dan personil), dan (3) Pentingnya
negara penerima di mata negara pengirim (Mauna, 2001:485-488).
Resiprositas hubungan kedua negara itu dipengaruhi oleh pandangan satu
negara kepada negara yang lain. Seberapa penting negara A bagi negara B.
22
Pertanyaannya, apa yang membuat suatu negara itu penting bagi negara yang lain?
Coplin menyebutkan ada 3(tiga) faktor, yaitu letak geografis, hubungan ekonomi
dan ikatan historis. Letak geografis menjadikan suatu negara penting bagi negara
lain. Perbatasan atau wilayah perairan bersama menimbulkan situasi-situasi yang
harus ditangani secara rutin. Dengan demikian, makin jauh jarak suatu negara
dengan negara lain, makin sedikit pula interaksi rutinnya (Coplin, 2003:273).
Selain itu, hubungan ekonomi memengaruhi jumlah dan jenis interaksi
rutin. Perdagangan timbal balik yang padat menimbulkan kondisi-kondisi bagi
interaksi rutin yang luas dan bervariasi bukan saja karena banyaknya tipe masalah
administratif yang bisa ditimbulkan oleh volume perdagangan yang cukup besar,
melainkan juga karena negara-negara yang terlibat banyak dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan ekonomi masing-masing (Coplin, 2003:273).
Ikatan historis turut memperbesar jumlah interaksi rutin antarnegara.
Negara yang memiliki ikatan historis dengan negara lain, akan melakukan
interaksi rutin. Misalnya karena ikatan kolonial antara bekas negara penjajah dan
negara jajahannya (Holsti, 1988:214). Contoh lainnya seperti negara yang
berhutang jasa kepada negara lain karena pernah mendapatkan pengakuan
kemerdekaan dan kedaulatan dari negara tersebut.
Sementara itu, Morgenthau berpendapat bahwa suatu negara dipandang
penting oleh negara lain, jika memiliki letak geografis, swasembada pangan,
bahan baku dan produksi industri, kesiagaan militer, ukuran dan kualitas
penduduk (Morgenthau, 2010:169). Intinya, suatu negara akan dipandang penting
23
oleh negara lain manakala negara tersebut mempunyai hal-hal yang menjadi target
atau sasaran dari kepentingan nasional (national interest) negara lain.
Jack C. Plano dan Roy Olton mendefinisikan kepentingan nasional
adalah sebagai berikut. Kepentingan nasional adalah tujuan pokok yang paling
penting yang menjadi pedoman para pembuat keputusan di suatu negara dalam
membuat kebijakan politik. Negara akan mengedepankan apa yang paling penting
kebutuhannya secara umum. Termasuk di dalamnya hak untuk mempertahankan
diri, kemerdekaan, integritas wilayah, keamanan, serta kesejahteraan ekonomi
(Plano dan Olton, 1980:9).
Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam
analisis hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan,
meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Analisis sering
menggunakan konsep kepentingan nasional sebagai dasar untuk menjelaskan
perilaku suatu negara (Mas’oed, 1994:139).
Meskipun demikian, suatu negara jangan dulu menepuk dada merasa
penting selama hanya mengandalkan kekayaan alam, letak geografis, militer dan
penduduk, tanpa diikuti keunggulan di bidang diplomasi. Tanpa diplomasi,
menurut Morgenthau, semua kekuatan menjadi sia-sia. Diplomasi yang bermutu
tinggi akan membawa keserasian antara tujuan dan sarana diplomasi luar negeri
dengan sumber kekuatan nasional yang tersedia. Diplomasi bermutu tinggi akan
menyadap sumber-sumber kekuatan nasional yang tersembunyi dan mengubah
mereka sepenuhnya dan secara terjamin menjadi realitas politik (Morgenthau,
2010:169).
24
Negara-negara yang tidak mempunyai kekuatan sebagaimana disebutkan
Morgenthau di atas tidak perlu berkecil hati. Masih ada harapan untuk bisa berdiri
sama tinggi dengan negara-negara lain dengan syarat ia memiliki ketangguhan
diplomasi. Diplomasi yang berkualitas dapat bertindak sebagai katalisator untuk
faktor yang berbeda-beda yang membentuk kekuatan (Morgenthau, 2010:169).
Oleh karena itu, efektifitas diplomasi yang dilakukan Negara melalui perantara
para diplomat dalam kondisi normal, harus sama artinya dengan siasat dan taktik
militer para pemimpin militer dalam kondisi masa perang (Morgenthau,
2010:170).
Morgenthau menyebutkan tiga fungsi dasar diplomat. Pertama, bertindak
sebagai wakil simbolis negaranya. Ia berkewajian menghadiri jamuan makan
kenegaraan, resepsi dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh negara, dimana
dia ditugaskan. Sekaligus, ia berkewajiban menyampaikan dan menerima ucapan
selamat dari negara tempat ia ditugaskan (Morgenthau, 2010:620-621).
Kedua, diplomat bertindak sebagai wakil sah negaranya. Ia berhak
membuat pernyataan yang bersifat mengikat, menandatangani kontrak-kontrak
untuk dipatuhinya, seolah-olah ia korporasi. Ia diberi kuasa untuk menandatangani
sebuah perjanjian atau meneruskan dan menerima dokumen-dokumen ratifikasi
dari suatu perjanjian yang telah ditandatangani untuk dilaksanakan sesuai masa
berlaku perjanjian tersebut. Ia berkewajiban memberikan perlindungan hukum
bagi warga negaranya yang berada di negara tempat ia bertugas. Ia dapat mewakili
negaranya pada konferensi atau dalam badan-badan PBB dan memberikan
25
suaranya atas nama dan berdasarkan instruksi-instruksi pemerintahnya
(Morgenthau, 2010:621-622).
Ketiga, diplomat bersama kementerian luar negeri bertugas untuk
menentukan arah politik luar negerinya. Jika kementerian luar negeri adalah pusat
nadi politik luar negeri, maka para diplomat adalah urat-urat nadi yang jauh
letaknya, yang memelihara lalu lintas dua arah antara pusat dan dunia luar. Para
diplomat harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kekuatan sesungguhnya.
Mereka harus mendapatkan informasi-informasi mengenai rencana pemerintah
tempat mereka ditugaskan, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara
langsung kepada pejabat-pejabat pemerintah, pimpinan-pimpinan politik, melalui
pengamatan secara teliti pada pers dan lain-lain. Selanjutnya, mereka harus
mengevaluasi pengaruh yang tersembunyi pada kebijakan-kebijakan pemerintah
yang berlawanan arah di dalam pemerintahan, partai-partai politik dan opini
umum (Morgenthau, 2010:622).
Selain urat nadi, fungsi para diplomat adalah mulut dan tangan sebuah
Negara, sebagai media penyampai kepentingan Negara pengirim melalui kata-kata
dan tindakan-tindakan. Mereka harus mampu “menjual” politik luar negeri ke
negara tempat ditugaskan. Karena itu, daya tarik pribadi diplomat dan
pemahamannya tentang psikologi rakyat negara setempat menjadi prasarat hakiki
(Morgenthau, 2010:621-622).
1.5.2 Modern Diplomacy (R.P. Barston)
Tiga fungsi utama diplomat yang dijelaskan Morgenthau adalah sebagai
wakil simbolis negara, wakil sah negara, dan pemegang kebijakan politik luar
26
negeri bersama Kementerian Luar Negeri negara pengirim. Hal itu sebenarnya
telah mewakili makna diplomasi modern yang dikemukakan oleh Barston dalam
buku Modern Diplomacy, walaupun belum secara menyeluruh. Namun setidaknya
pendapat ini telah merubah wacana klasik yang berkembang pada awal-awal
lahirnya Ilmu Hubungan Internasional, bahwa tugas utama seorang diplomat
hanyalah mereduksi potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan antar
negara, sehingga terciptalah perdamaian dunia (Barston, 1988:1).
Dalam diplomasi modern, menurut Barston (1988:2) setidaknya ada
enam tugas pokok seorang diplomat yang wajib diketahui dan dijalan kan, Yaitu:
(1) Merepresentasikan Negara, (2) Memberikan Informasi terkait negara dimana
dia ditugaskan/listening post, (3) Memberikan masukan kepada Pemerintah
terkait kebijakan Luar Negeri yang akan dijalankan, (4) Mereduksi potensi konflik
yang muncul dari kerjasama bilateral ataupun multilateral, (5) Menjalankan
kebijakan Politik Luar Negeri, dan (6) Menyesuaikan diri dalam dinamika politik
luar negeri yang dinamis.
Penggunaan teori Modern Diplomasi dalam penelitian ini bertujuan
untuk menjawab dan memberikan jalan keluar atas permasalahan ketimpangan
yang peneliti rasakan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir.
Sekaligus menguji teori ini, apakah teori diplomasi modern mampu menjawab
tantangan permasalahan diplomasi saat ini atau tidak. Harapan selanjutnya, jika
teori ini memang benar-benar mampu menjawab tantangan, maka peneliti
berharap dapat merekomendasikannya, sebaliknya jika tidak, maka apa yang harus
kita lakukan untuk menyelesaikan persoalan di atas.
27
Masih dalam buku Modern Diplomacy, Barston (1988:158) menjelaskan
bahwa jalur ekonomi dan perdagangan sesungguhnya bisa digunakan sebagai
instrumen untuk mempererat hubungan antar negara, selain penggunaan isu
keamanan dan jalur politik tentunya (1988:184).
1.5.3 Multitrack Diplomacy (Dr. Louise Diamond & Ambassador John McDonald)
Multi-Track Diplomasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan
perdamaian dalam hubungan Internasional. Sistem ini dikenal dengan multi-track
disebabkan adanya beberapa unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya,
unsur tersebut bisa meliputi (individu, kelompok, institusi ataupun komunitas).
Untuk selanjutnya beberapa unsur ini saling bekerjasama dan saling menopang
demi sebuah tujuan bersama, yaitu terciptanya kehidupan dunia yang harmonis.
Singkatnya, konsep yang ditawarkan di dalam Multi Track Diplomacy
adalah: dalam diplomasi diperlukan kesatuan antara aktor-aktor elit negara dengan
aktor-aktor non-negara. Aktor-aktor negara adalah para diplomat yang dikirim
khusus oleh pemerintahan sebuah negara, sedangkan aktor-aktor non-negara
adalah semua elemen masyarakat sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk
melakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak pemerintah negara lain
ataupun pihak non pemerintah (Diamond & McDonald, 1996:1). Proses interaksi
inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif terhadap hubungan kedua
negara, baik dirasakan secara langsung ataupun tidak.
Penggunaan konsep multitrack diplomacy dalam penelitian ini berdasarkan
keyakinan peneliti bahwasannya dalam proses diplomasi keberadaan aktor resmi
negara haruslah mampu memanfaatkan potensi dan kemampuan aktor-aktor lain.
28
Penggunaan konsep ini juga bertujuan untuk melihat kerjasama Internasional antar
negara, yang dalam hal ini Indonesia-Mesir sebagai aspek yang kompleks dengan
aneka ragam aktor.
1.6 Hipotesis
Jika melihat latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan
penelitian, untuk kemudian dianalisis dengan memanfaatkan teori resiprositas,
maka hipotesis peneliti dalam disertasi ini adalah sebagai berikut.
1. Hubungan Indonesia-Mesir tidak berlangsung resiprokal karena
Indonesia lebih memandang penting Mesir, sedangkan Mesir belum
memberikan perhatian yang serupa.
2. Indonesia memandang penting Mesir karena Mesir memiliki posisi
tawar yang lebih tinggi daripada Indonesia. Sementara itu, Mesir
memandang sebelah mata Indonesia, karena Mesir tidak memiliki
kepentingan yang berarti di Indonesia.
3. Untuk memajukan hubungan bilateral dan meningkatkan kerja sama
yang resiprokal, Indonesia perlu menunjukkan kelasnya sebagai
negara yang patut diperhitungkan oleh Mesir.
1.7 Metodologi Penelitian
Metodologi adalah ilmu tentang metode, sedangkan metode merupakan
cara kerja dalam melakukan kegiatan penelitian. Karena itu, agar kegiatan
penelitian dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan sedikit pun, diperlukan
29
ilmu yang berkaitan dengan metode dan juga diperlukan metodenya. Untuk tu, di
bawah ini dikemukakan prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan metodologi
dan metode, yaitu yang dapat dijelaskan di bawah ini, yaitu sebagai berikut.
1.7.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif analitik,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang realitas pada
objek yang diteliti secara objektif dan komprehensif. Data-data yang diperoleh
diklasifikasikan sesuai dengan bidangnya masing-masing dan dianalisis serta
disajikan dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara logis dan
komprehensif. Objek penelitiannya pun diuraikan secara terperini, sistematis, dan
runtut sesuai dengan identifikasi masalah yang telah ditentukan di awal
penelitian.
1.7.2 Jangkauan Penelitian
Penelitian ini berfokus pada hubungan dua negara, yaitu Indonesia dan
Mesir, mencakup segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya,
dan lain sebagainya. Sementara itu, untuk rentang waktu, peneliti membatasi
fokus penelitian dimulai pada tahun 1950 hingga 2010. Alasan logis dipilihnya
tahun 1950 sebagai titik awal penelitian karena pada tahun tersebut pemerintah
Indonesia berhasil membuka perwakilan di Kairo, yang pada tahun berikutnya,
1951 diikuti oleh Mesir dengan membuka perwakilan di Jakarta. Alasan logis
terkait pembatasan fokus penelitian sampai tahun 2010, karena pada tahun
tersebut, Mesir mulai memasuki sejarah dan kondisi pemerintahan yang baru,
yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Hosni Mubarak.
30
1.7.3 Jenis dan Sumber Data
Jika dilihat dari aspek data yang digunakan, penelitian ini termasuk
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, yang
terkaitan dengan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan aspek lain secara
holistik. Yang dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleog, 2012:6).
Menurut William D. Coplin, sumber data yang memungkinkan untuk
dimiliki para sarjana politik internasional adalah (1) dokumen-dokumen tertulis
yang dihasilkan dari tindakan pemerintah atau tindakan aktor-aktor lain yang
berkaitan dengan peristiwa tertentu; (2) pernyataan-pernyataan politik publik atau
perorangan dan tulisan-tulisan mereka yang berkaitan dengan perumusan
kebijakan luar negeri; (3) publikasi dari lembaga-lembaga yang bertugas mencatat
aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah luar negeri; (4) pendapat atau
komentar para ahli yang pengetahuan dan pemahamannya terhadap peristiwa atau
proses tertentu dianggap sudah diakui (Coplin, 2003:19).
Karena itu, data yang diperoleh selama penelitian berasal dari dua sumber
utama, yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer berupa data asli yang diperoleh langsung dari tangan
pertama yaitu naskah perjanjian dan data yang didapatkan melalui observasi
(pengamatan), pertemuan langsung saat berdiplomasi dan wawancara dengan
tokoh-tokoh pelaku/saksi yang mengalami atau memiliki informasi.
31
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder berupa data yang mengutip dari sumber lain, seperti