-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari kehidupan sosial
dengan sesama. Manusia
dikategorikan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang
lain. Dalam prosesnya
manusia akan berhadapan dengan komunikasi, transaksi dan
negosiasi dalam rangka
sosialiasi. Komunikasi, transaksi dan negosiasi membutuhkan
perantara salah satunya adalah
bahasa. Bahasa merupakan sebuah fenomenon yang luar biasa,
tanpanya mungkin kehidupan
manusia tidak berwujud1 dan hal ini merupakan kemampuan rasional
yang dimiliki oleh
setiap manusia. Inilah yang diyakini membuat manusia berbeda
dengan spesies makhluk
hidup lainnya. Manusia mempunyai kemampuan untuk menggunakan
simbol-simbol, tanda-
tanda yang hubungannya dengan benda ditunjukkan dengan sifat
arbitrer.2 Sehingga manusia
dimungkinkan untuk mengartikan simbol-simbol dan
mengkomunikasikannya.
Manusia melakukan komunikasi dengan bahasa yang dimengerti dan
hal ini dilakukan
secara turun temurun. Menurut Durkheim bahwa bahasa dapat
dilihat sebagai cara menjaga
ikatan sosial3 sehingga hubungan antar manusia dapat dilihat
sebagai organisasi yang
mempunyai struktur sosial. Pengelompokan-pengelompokan cenderung
terjadi dalam
masyarakat yang disebut sebagai moiety (formasi-formasi tertua
dalam pengelompokan
masyarakat yakni dua kelompok besar yang masih bisa dibagi dalam
kelompok-kelompok
kecil) kemudian menjadi clans (klan-klan) yang paling dekat
dengan hubungan kekerabatan.4
Dalam pengelompokan sosial tersebut bahasa tetap digunakan
sebagai salah satu media
komunikasi terhadap sesama anggota kelompok. Dengan bahasa maka
sebuah kelompok
dapat membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain. Dapat
dikatakan bahwa
1 Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna (Yogyakarta, Jalasutra,
2010) 108.
2 Roger M. Keesing, Antropologi Budaya (Jakarta, Erlangga, 1989)
23.
3 Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013) 34.
4 Ibid, 35
-
2
masing-masing kelompok sosial mempunyai bahasa khas yang
digunakan dalam kelompok
untuk mengidentifikasikan diri sebagai kelompok tertentu. Bahasa
memegang peranan
penting sebagai identitas juga diferensiasi terhadap kelompok
sosial yang lain.
Di Maluku penggunaan bahasa asli sudah mulai berkurang. Tetapi
untuk beberapa clan
di daerah tertentu, bahasa asli Maluku yang disebut sebagai basa
tana masih digunakan. Basa
tana juga digunakan pada acara-acara adat yang dilaksanakan di
Maluku. Yang paling sering
adalah basa tana yang digunakan sebagai kapata5 dalam acara
pelantikan raja, pelantikan
saniri6 negeri, panas pela
7, perkawinan adat, upacara kematian, pembangunan rumah adat
dan beberapa seremonial adat lainnya. Di negeri-negeri8 adat di
Maluku pemakaian bahasa
daerah dipakai dalam waktu tertentu. Untuk berbicara sehari-hari
masyarakat Maluku sudah
memakai bahasa melayu ambon, sehingga penggunaan bahasa daerah
jarang sekali dipakai
5 Kapata adalah tradisi bertutur di Maluku yang dilantunkan
dengan berirama. Syair yang dinyanyikan
umumnya merupakan kisah-kisah yang terkait dengan sejarah
setempat. Bagi masyarakat tradisional di kepulauan ini kapata
merupakan refleksi identitas lintas generasi. syair atau sajak yang
dinyanyikan atau dilantunkan dengan bahasa daerah, yang
lirik-liriknya mengandung banyak arti filosofis tentang kebudayaan
dan dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitar, dan juga
hubungan dengan sang Khalik. Dikutip dari : Marlon Ririmase,
Melagukan Masa Lalu, Melantunkan Identitas : Peran Kapata dalam
Studi Sejarah Budaya di Maluku, dalam Jantra : Jurnal Sejarah dan
Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Volume VII
No.2, Desember 2012, 182.
6 Saniri Negeri adalah lembaga adat yang berperan mengayomi adat
istiadat dan hukum adat. Saniri
berperan membantu Raja atau Kepala Desa dalam menyelesaikan
setiap perselisihan di lingkup negeri atau dusun. Anggota Saniri
adalah mereka yang merupakan wakil yang diberikan tanggung jawab
oleh para leluhur yang menemukan dan mendirikan negeri untuk
pertama kali, serta yang menetapkan aturan-aturan adat dan
diwariskan kepada keturunan mereka. Dikutip dari : Alfredo Ronald,
Cangara Hafied, Tang Mahmud, Lembaga Adat “SANIRI” Sebagai Forum
Komunikasi dalam Penyelesaian Masalah Publik di Ambon. Program
Pascasarjana UNHAS 2011.
7 Panas Pela adalah seremonial adat yang diadakan untuk
memperingati kembali suatu sistem
hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa
suatu perjanjian hubungan antara satu negeri (sebutan untuk kampung
atau desa) dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau
lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku. Tujuan
melakukan panas pela beragam, antara lain : untuk mengokohkan dan
mengingatkan kembali perjanjian yang telah dilakukan antara dua
negeri, mempererat solidaritas antara dua negeri, untuk menolak
bala, pengucapan syukur, untuk menyelesaikan suatu masalah dalam
dua komunitas yang telah mengikat janji (Pela) dan lain sebagainya.
Dikutip dari : Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27.
8 Istilah negeri bukanlah berasal dari bahasa asli Ambon. Suatu
negeri adalah persekutuan teritorial
yang terdiri dari beberapa Soa (pada umumnya, paling sedikit 3
soa). Dikutip dari : Ziwar Efendi, Hukum Ambon – Lease (Jakarta,
Pradnya Paramita, 1987) 31.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjianhttps://id.wikipedia.org/wiki/Negerihttps://id.wikipedia.org/wiki/Kampunghttps://id.wikipedia.org/wiki/Desahttps://id.wikipedia.org/wiki/Pulauhttps://id.wikipedia.org/wiki/Agama
-
3
kecuali untuk acara adat. Dalam beberapa hal tertentu idiom9
orang Maluku seperti Mena
Muria yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “depan
belakang siap” adalah idiom
yang biasanya dipakai oleh orang tua-tua dulu sebagai ungkapan
untuk menanyakan apakah
kora-kora10
siap dijalankan untuk melaut.
Kata Mena Muria sendiri adalah bahasa asli Maluku atau basa tana
yang mengandung
makna filosofis budaya tersendiri bagi yang mengatakannya.
Konsep Mena Muria sebagai
semantik budaya dan politik bahasa telah ada dalam pemahaman
masyarakat Maluku. Mena
Muria dipahami dalam khasanah budaya orang Maluku yang berasal
dari bahasa Alune.
Bahasa Alune sebagian besar masih dipertahankan didaerah Pulau
Seram pesisir, salah
satunya di Desa Nuruwe. Mena Muria menurut orang Nuruwe dapat
berarti “Maju tanpa
mundur”11
. Dalam tradisi orang Alune, yang lebih tua atau kakak akan
dipanggil dengan
istilah Sia Mena atau Ile Mena. Sedangkan yang bungsu atau lebih
muda akan disebut dengan
Ile Muli. Dalam pembagian antara yang kakak dan adik berdasarkan
pada pembagian sumber
mata air besar di Pulau Seram, yaitu tiga aliran sungai besar
yang membelah sepanjang
daratan. Tala, Eti, Sapalewa diyakini sebagai tempat petuanan
sekaligus tempat perpisahan
tiga orang saudara (yang diwakili dengan tiga mata air) Ile Mena
adalah yang tertua
mengikuti aliran sungai Tala, Ile Talele mengikuti sumber air
Eti, Ile Muli mengikuti sumber
air Sapalewa.
Daerah mereka dibagi berdasarkan tiga aliran sungai tersebut.
Selain itu adat di Negeri
Seram sebagian besar juga menggunakan sebutan Hatu Mena dan Hatu
Muli yang merujuk
pada pembagian dan pemetaan komunitas. Mena adalah mereka yang
menjaga daerah bagian
9 Idiom adalah Ungkapan (dari bahasa Belanda: idioom; bahasa
Latin: idioma, "properti
khusus"; bahasa Yunani: ἰδίωμα - "ungkapan khusus") dapat juga
disebut sebagai ekspresi, kata, atau frasa dengan makna kiasan yang
dipahami dalam kaitannya dengan penggunaan umum bahwa ekspresi yang
terpisah dari arti harfiah atau definisi dari kata-kata yang dibuat
(Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Ungkapan)
10 Kora-Kora dalam bahasa Indonesia adalah jenis kapal Kerakah
yaitu kapal dagang zaman dahulu.
11 Informasi dari Bapak NM, Penutur bahasa Alune di Desa
Nuruwe.
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Belandahttps://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Latinhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunani
-
4
depan (pintu masuk suatu tempat tinggal Klan) dan sebaliknya
dibagian belakang dijaga oleh
Muli. Fenomena Mena Muria juga ditemukan oleh Pdt. Elifas.
Maspaitella12
ketika
mengunjungi daerah di Hunitetu.13
Mereka mempunyai sebutan yang hampir sama yaitu
Mena Muri. Secara harfiah mempunyai makna yang sama dengan Mena
Muria di Nuruwe.
Bukan saja di Seram pesisir (Maluku Tengah), di daerah Seram
Gunung seperti Maraina juga
mempunyai penyebutan yang sama tetapi dengan makna yang berbeda.
Mena Muria menurut
masyarakat Maraina bukan merujuk pada pemetaan wilayah dan
status sosial melainkan
merujuk pada sumber daya alam yang ada di Seram. Mena dipahami
sebagai bagian dari
sumber daya laut dan Muria merujuk pada sumber daya digunung.
Dalam pemahaman
mereka, dengan sumber daya alam yang banyak maka masyarakat
Maluku tidak perlu cemas
sehingga muncul istilah Mena Muria menurut pemahaman orang di
Seram Gunung Maraina.
Hal ini membuktikan bahwa Mena Muria memiliki arti yang
berbeda-beda dalam komunitas
masyarakat Maluku.
Namun pada kenyataannya kata Mena Muria menjadi hal yang sangat
sensitif
terkhususnya di Maluku. Adalah merupakan hal yang tabu jika
mengatakan ungkapan
tersebut di depan umum. Alasannya adalah kata Mena Muria sering
diidentikkan dengan
gerakan sosial politik di Maluku yakni RMS (Republik Maluku
Selatan). Apalagi pada
lambang RMS terdapat tulisan Mena Muria. Beberapa waktu lalu ada
sebuah kejadian yang
cukup mencoreng wajah Maluku terkait dengan insiden tarian
cakalele14
pada peringatan
Hari Keluarga Nasional 29 Juni 2007 yang lalu. Berdasarkan
berita yang tersebar, ada para
12
Sekum GPM periode 2015-2020. Wawancara dilakukan pada hari
Kamis, 13 April 2017 di Kantor Sekum Sinode GPM. Pada Pukul 11.00
WIT.
13 Salah satu desa di wilayah Seram Bagian Barat, Maluku
Tengah.
14 Salah satu tarian khas Maluku yang memperagakan gerakan
peperangan dan dilakukan dalam
bentuk kelompok. Penarinya adalah kaum laki-laki yang
menggunakan parang dan salawaku (senjata khas Maluku), badannya
digosok dengan arang, menggunakan kain berang merah (lambang
keberanian). Kadangkala diselingi dengan atraksi-atraksi berbahaya
seperti kebal tubuh.
-
5
penari cakalele yang secara sengaja mengibarkan bendera RMS dan
menggunakan atribut
RMS.15
“....Hajatan nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono
(SBY) dan Ibu Negara bersama beberapa menteri Kabinet Indonesia
Bersatu,
para Gubernur, Walikota serta Bupati se-Indonesia itu tercoreng
oleh ulah 29
"penari liar" yang tampil tiba-tiba dan sempat mengibarkan
bendera sebuah
kelompok separatis. Kepala Negara dalam kesempatan itu
memberikan reaksi
keras dan memerintahkan aparat terkait untuk melakukan
investigasi khusus
terhadap kasus tersebut. Ternyata para penari liar tersebut
adalah kelompok
seperatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang mencoba
memanfaatkan
momen besar itu untuk menarik perhatian publik... Atas
peran-peran siapa sehingga para penari liar itu bisa berada di
tengah lapangan, menembus
lapisan-lapisan pengamanan RI satu, bahkan pemimpin grup penari
Cakalele
tersebut, Johan Teterissa, ternyata juga memiliki ID Card (kartu
pengenal)
untuk acara besar itu. rapat di rumah Johan Teterisa di Aboru.
Dari informasi
inilah polisi bergerak pada 21 Juni 2007 meringkus empat
tersangka dan
menyita 59 lembar bendera RMS yang sudah dijahit, termasuk
ratusan
potongan lembar kain warna merah, biru, putih, dan hijau yang
bakal dijahit
menjadi bendera di kawasan Benteng Atas, Kecamatan Nusaniwe
(Kodya
Ambon)....”
Kehebohan warga kota Ambon dan seluruh orang Indonesia terjadi
pasalnya acara
tersebut disiarkan langsung stasiun tv nasional. Dengan semangat
separatisme mengibarkan
bendera empat warna tersebut diikuti dengan teriakan Mena Muria
yang membangkitan
euforia16
warga Ambon. Situasi menjadi tegang selama beberapa jam. Para
pelaku tarian
cakalele beserta bendera RMS diamankan. Seluruh warga kota Ambon
menjadi panik,
apalagi saat aparat keamanan masuk sampai ke rumah-rumah warga
untuk memeriksa atribut
yang berbau RMS. Situasi Ambon yang sudah mulai kondusif pasca
perang horizontal 1999
silam kembali memanas. Mulai dari saat itu perbincangan yang
menyangkut RMS dengan
segala atributnya dilarang. Di Maluku, sentimen-sentimen semacam
ini bukan menjadi berita
baru. Kata Mena Muria yang sarat akan nilai kebudayaan Maluku
tidak bebas untuk
dilantangkan.
15
http://www.antaranews.com/berita/68991/melacak-jejak-oknum-intelektual-rms-dalam-kekacuan-harganas-ambon
Diakses pada Tanggal 16 Pebruari 2017. Pukul 17.00
16 suatu perasaan senang yang berlebihan yang tidak beralasan
atau rasa optimisme / kekuatan yang
tidak rasional.
http://www.antaranews.com/berita/68991/melacak-jejak-oknum-intelektual-rms-dalam-kekacuan-harganas-ambonhttp://www.antaranews.com/berita/68991/melacak-jejak-oknum-intelektual-rms-dalam-kekacuan-harganas-ambon
-
6
Berbeda halnya ketika ada orang Maluku yang meneriakkan Mena
Muria diluar
Maluku, di Salatiga misalnya. Berulang kali kegiatan kebudayaan
sering dilakukan di
Salatiga salah satunya ketika Hari Pattimura. Kegiatan ini
dilaksanakan Setiap bulan Mei
oleh HIPMMA (Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Asal Maluku) yang
diisi dengan acara-
acara seni. Tak jarang ada teriakan Mena Muria yang sepertinya
membakar semangat muda
orang Maluku di tanah rantau sebagai sorakkan solidaritas.
Tentunya penggunaan kata Mena
Muria oleh mahasiswa dan pelajar asal Maluku di Salatiga tidak
mengidentifikasikan diri
mereka sebagai simpatisan gerakan sosial politik tersebut
sehingga kata Mena Muria dirasa
aman ketika diteriakan di luar Maluku. Menyadari bahwa dalam
sebuah kata mengandung
emosi dan makna hal ini pula berlaku dalam kata Mena Muria.
Sebuah kata memiliki
beberapa fungsi : 17
1. Fungsi Emotif merupakan fungsi mengkonstruksikan kata yang
disampaikan terlepas
dari betapa harfiahnya kata tersebut. Seringkali melibatkan
laten dari emosi, sikap, dan
status sosial.
2. Fungsi Konotatif adalah ketika sebuah pesan atau kata
dikirimkan dengan melibatkan
sifat-sifat subjektif seperti nada suara, seleksi individual
atas kata-kata.
3. Fungsi Pengacuan adalah pesan yang dikonstruksikan untuk
menyampaikan informasi.
4. Fungsi puitik merupakan konstruksi untuk menyampaikan pesan
dengan cara yang
sama seperti puisi (mawar merah, violet biru, awan hitam).
5. Fungsi Patik merupakan fungsi pesan yang dirancangkan untuk
menegaskan,
mengakui dan mengukuhkan hubungan sosial.
6. Fungsi Metalingual adalah fungsi yang mengindikasikan kode
yang digunakan.
17
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna (Yogyakarta, Jalasutra,
2010) 122-123.
-
7
Bahasa juga mempengaruhi perilaku individu maupun kolektif.
Bahasa merupakan
bagian integral dari budaya.
“Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki
bersama
oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda
budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan
bahwa
budaya itu dipelajari”18
Pemahaman tentang kebudayaan didalam ilmu-ilmu sosial kini
beranjak ke satu arah
yang sangat bertentangan dengan premis-premis evolusionisme.
Budaya dalam hubungan-
hubungan internasional mulai dipahami sebagai sebagai tindakan
politis. Kebudayaan bukan
lagi dipahami sebagai manifestasis sekuensial yang mengalir
begitu saja melainkan juga
sebagai sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang secara kolektif
dengan cara yang berbeda-
beda ditempat dan waktu yang juga berbeda.19
Tidak heran apabila produk-produk budaya
sering dipolitisir penggunaanya sebagai upaya untuk memobilisasi
massa. Masyarakat Aboru
di Pulau Haruku Maluku Tengah, diidentikan sebagai simpatisan
dan anggota dari RMS.20
Ditambah dengan peristiwa HARGANAS yang beberapa pelakunya
teridentifikasi sebagai
orang Aboru maka semakin menambah keyakinan bahwa orang Aboru
memang dekat dengan
hal-hal yang berbau gerakan sosial politik. Stigma negatif
tersebut akhirnya bertahan dalam
pikiran masyarakat dan aparat pemerintah, sehingga gerak-gerik
masyarakat Aboru selalu
dicurigai sebagai usaha melakukan tindakan separatisme. Segala
atribut yang berkaitan
dengan RMS dalam hal ini bendera, penggunaan kata Mena Muria,
bahkan warna rumah
yang terindikasi mengandung empat warna (Biru,Putih, Hijau,
Merah) mengundang perhatian
aparat keamanan. Kata Mena Muria adalah warisan budaya yang
dapat digunakan oleh setiap
18
Sarinah, Ilmu Sosial Budaya Dasar. ( Yogyakarta : Deeppublish,
2016) 11. 19
Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan, 46 20
Lihat : Conflict Management, Mari Mencegah Konflik : Memahami
Sistem Peringatan Dini Berbasis Jaringan Komunitas. (Jakarta :
Institut Titian Perdamaian, 2005) 24.
https://id.wikipedia.org/wiki/Sistemhttps://id.wikipedia.org/wiki/Agamahttps://id.wikipedia.org/wiki/Politikhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bahasahttps://id.wikipedia.org/wiki/Pakaianhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bangunanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Senihttps://id.wikipedia.org/wiki/Bahasahttps://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi
-
8
orang dimanapun dan kapanpun sebagai identitas budaya. Makna
Mena Muria tidak banyak
dipahami oleh orang Maluku. Yang terpola dalam pemikiran
kebanyakan orang adalah jika
berkata tentang Mena Muria maka akan merujuk pada RMS. Kata Mena
Muria harus
dipisahkan, bukan sebagai bahan politik tetapi sebagai budaya
dan identitas masyarakat
Maluku. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin
melakukan penelitian dengan
judul : “Makna Mena Muria Bagi Masyarakat Aboru Pulau Haruku di
Maluku
Tengah”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, maka masalah yang
dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut :
1. Apa makna Mena Muria bagi masyarakat Aboru di Pulau
Haruku?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemaknaan Mena Muria bagi
orang Aboru?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai berdasarkan
permasalahan di atas :
1. Mendeskripsikan makna Mena Muria bagi masyarakat Aboru.
2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pemaknaan Mena Muria
bagi orang
Aboru.
1.4. Signifikansi Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
signifikansi penulisan tesis
ini adalah :
1. Manfaat Teoritis.
-
9
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi
secara akademis bagi
pengembangan dan pemahaman keilmuan. Terutama aspek-aspek
sosiologis dalam
menganalisa fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Terutama dalam
memahami bahasa daerah sebagai bagian dari budaya.
2. Manfaat Praksis.
Peneliti berharap Penelitian ini dapat memerikan pemahaman
secara benar kepada
masyarakat Maluku pada umumnya dan masyarakat Aboru pada
khususnya tentang
makna Mena Muria serta penggunaannya sebagai semantik budaya.
Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat Aboru
memahami secara
kritis produk budaya salah satunya bahasa sebagai bagian dari
identitas yang
mengandung nilai keluhuran. Sehingga proses sosialisasi dalam
masyarakat Maluku
tidak mengalami abrasi budaya akibat kesalahpahaman yang
menimbulkan
kekhawatiran dalam menggunakan bahasa daerah.
penulis menemukan beberapa hal yang menjadikan penelitian ini
sangat penting, karena
ungkapan Mena Muria mengandung makna yang penting bagi nilai
kultural orang Maluku.
Sehingga jika tidak dilakukan penelitian maka masyarakat Maluku
pada umumnya dan
masyarakat Aboru pada khususnya tidak akan memahami apa makna
budaya dari kata Mena
Muria. Penelitian ini sangat penting dilakukan sekarang karena
jika tidak maka makna Mena
Muria akan disalahartikan oleh masyarakat Maluku, khususnya
masyarakat Aboru. Jika
semakin lama masyarakat dibiarkan dengan stigma negatif terhadap
kata Mena Muria maka
akibatnya identitas kultural masyarakat Maluku kehilangan makna.
Sehingga bahasa yang
adalah produk budaya akhirnya tidak berdiri semestinya,
melainkan menjadi bahan politisir
yang menyesatkan warga memahami arti yang sebenarnya.
-
10
1.5. Metode Penelitian
1. Metode dan Jenis Penelitian
Demi tercapainya tujuan penelitian di atas, maka penulis
menggunakan penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif. Di mana metode penelitian
kualitatif adalah proses
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-
orang atau perilaku yang dapat diamati.21
Data-data penelitian akan diuraikan secara
deskriptif. Uraian deskriptif ini dimaksudkan untuk membuat
gambaran secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta, sifat-sifat antar fenomena
yang diteliti.22
Untuk
mendapatkan data penulis menggunakan teknik pengumpulan sebagai
berikut :
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,
mencari jawaban,
mencari bukti terhadap fenomena (perilaku, kejadian-kejadian,
keadaan, benda dan
simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi
fenomena yang
diobservasi dengan mencatat fenomena tersebut guna penentuan
data. Penggunaan
metode observasi dengan maksud antara lain : pertama, untuk
mengamati fenomena
tertentu sebagai suatu peristiwa aktual; kedua, untuk menyajikan
kembali gambaran
dari fenomena tersebut dalam laporan penelitian; dan ketiga,
untuk melakukan
eksplorasi atas setting antropologi agama di mana fenomena itu
terjadi.23
b. Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to
face) dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer)
21
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : Remadja
Karya CV, 1989)3. 22
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta, Graha Indonesia, 1998)
63-64. 23
Bnd. Imam Suprayogo dan Tabroni, Metodologi Penelitian
Sosial-Agama (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) 167.
-
11
yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewed)
yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu.24
Teknik wawancara yang saya gunakan adalah
wawancara bebas tidak terstruktur. Artinya, pertanyaan yang
disusun, saat wawancara
bisa berkembang dan tidak terpaku pada pertanyaan yang telah
tersusun sebelumnya.
3. Informan Kunci
Dalam melakukan penelitian tentunya tidak lepas dari peran
informan kunci. Informan
dapat membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data yang
digunakan dalam
penulisan ini. Yang akan menjadi Informan bagi penulis adalah
pemerintah desa Aboru,
Tokoh-tokoh masyarakat, dan beberapa warga Aboru dari berbagai
lapisan masyarakat.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Negeri Aboru Pulau Haruku kabupaten
Maluku Tengah.
Negeri Aboru merupakan salah satu kampung adat yang disebut
dengan Negeri dari 11
Negeri di Pulau Haruku. Jarak antara pusat kota (Pulau Ambon)
dan pulau Haruku 40,4 KM.
Untuk menempuh perjalanan ke Aboru dapat menggunakan
transportasi laut (speed boat) dari
pelabuhan Tulehu ke pelabuhan Aboru kurang lebih 45 menit
perjalanan.
1.6. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari lima bab antara lain :
Bab I Merupakan pendahuluan yang berisikan Latar Belakang,
identifikasi masalah
dan pembatasan masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat
Penelitian, Urgensi Penelitian, Metodologi Penelitian yang
terdiri dari
Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data dan yang
terakhir
Sistematika Penulisan dan kerangka teoritis.
24
Ibid, 72 .
-
12
Bab II Merupakan teori yang berisikan tentang teori bahasa dan
semiotika. Didalam
teori-teori semiotika akan dibahasa beberapa teori sosial yang
juga
mendukung penulisan ini. Teori-teori ini yang kemudian dipakai
untuk
pendekatan terhadap makna Mena Muria dan menggambarkan
kebudayaan
Maluku dan bahasa secara umum meliputi definisi, fungsi, dan
karakteristik.
Bab III Merupakan hasil penelitian, dalam bab ini penulis akan
berbicara tentang hasil
penelitian di lapangan yang akan memaparkan tentang gambaran
umum
Negeri Aboru didalamnya terdapat letak geografis, sejarah,
keadaaan
penduduk, keadaan pendidikan, keadaan sosial-ekonomi. Dalam bab
ini juga
akan dipaparkan tentang Mena Muria dari segi sejarah, fungsi,
dan
definisinya serta. Pemaparan Mena Muria akan dibagi dalam dua
bagian
yakni makna Mena Muria secara kultural dan makna Mena Muria
secara
kontemporer.
Bab IV Merupakan bagian analisa penulis terhadap hasil
penelitian dan teori. Dalam
bab ini penulis akan menganalisa hasil dengan menggunakan teori
bahasa,
semiotika dan pendekatan sosiologis untuk menganalisa makna Mena
Muria
bagi orang Aboru dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaknaan
tersebut.
Penulis juga akan membahas sedikit tentang RMS dan penggunaan
kata
Mena Muria sebagai semboyan RMS dan akibatnya bagi pemaknaan
kultural
dalam kata tersebut.
Bab V Merupakan bagian penutup dari penulisan tesis yang berisi
kesimpulan dan
saran.