1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, serta menjadi salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Pada KTT pangan sedunia tahun 1966 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua negara anggota. Komitmen tersebut dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights, dimana hak atas pangan ditetapkan menjadi bagian penting dari hak asasi manusia. 1 Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan oleh Undang- Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996, yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian pangan. Hal ini menggambarkan bahwa apabila suatu negara tidak mandiri dalam pemenuhan pangan, maka kedaulatan negara bisa terancam. Undang-Undang Pangan ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermanfaat. 1 Mewa Ariani, Difersifikasi Konsumsi Pangan: Antara Harapan Dan Kenyataan, Bogor: Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, 2010, hal. 2.
42
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70129/potongan/S1-2014... · ketahanan pangan nasional sesungguhnya terletak di ... Para ahli yang memberikan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, ketahanan
pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis, serta menjadi salah satu
faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi,
keamanan, politik dan sosial. Pada KTT pangan sedunia tahun 1966 di Roma,
para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan
komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya
penghapusan kelaparan di semua negara anggota. Komitmen tersebut dituangkan
dalam Universal Declaration of Human Rights, dimana hak atas pangan
ditetapkan menjadi bagian penting dari hak asasi manusia.1
Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan oleh Undang-
Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan
Nomor 7 Tahun 1996, yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian
pangan. Hal ini menggambarkan bahwa apabila suatu negara tidak mandiri dalam
pemenuhan pangan, maka kedaulatan negara bisa terancam. Undang-Undang
Pangan ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat
perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi dan kearifan lokal secara bermanfaat.
1 Mewa Ariani, Difersifikasi Konsumsi Pangan: Antara Harapan Dan Kenyataan,
Bogor: Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, 2010, hal. 2.
2
Gagasan diversifikasi pangan sebenarnya bukan merupakan hal baru.
Slogan diversifikasi pangan bahkan telah dicanangkan sejak tahun 1970, jauh
sebelum kita meraih swasembada beras. Bahkan pada Repelita IV, pemerintahan
Orde Baru memberikan perhatian cukup besar terhadap diversifikasi dengan
menempatkannya pada urutan teratas program di sektor pertanian, baru kemudian
diikuti intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi.2 Namun dalam perjalanannya,
pemerintah Orde Baru justru lebih menekankan pentingnya swasembada beras,
yang kini telanjur menjadi konsumsi pangan pokok mayoritas masyarakat
Indonesia.
Kebijakan atau program secara langsung ataupun tidak langsung yang
terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah,
melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh
gerakan sadar pangan dan gizi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan,
Program Diversifikasi Konsumsi Pangan dan Gizi oleh Departemen Pertanian
(1993 - 1998) dan lain – lain. Dari sisi kelembagaan, tahun 1989 pada Kabinet
Pembangunan VI dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang
meluncurkan “Aku Cinta Makanan Indonesia” (ACMI). Pada tahun 1996 telah
lahir Undang – Undang nomor 7 tentang Pangan, Tahun 2001, pada era kabinet
Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin
langsung oleh presiden.3 Dalam perwujudan ketahanan pangan pada umumnya
dan diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam
2 Lassa, J. A., Memahami Kebijakan Pangan Dan Nutrisi Indonesia, Journal Of NTT Studies, 2009, hal. 28. 3 Ibid., hal. 41 ‐ 43
3
Undang – Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) melalui program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini
mempunyai salah satu tujuan yaitu menjamin peningkatan produksi dan konsumsi
yang lebih beragam.4 Namun, hingga kini keinginan untuk menekan konsumsi
beras melalui diversifikasi konsumsi pangan tampaknya belum juga berhasil.
Secara umum upaya penganekaragaman konsumsi pangan sangat penting
untuk dilaksanakan secara massal, mengingat trend permintaan terhadap beras
kian meningkat seiring dengan derasnya pertumbuhan penduduk. Adanya efek
pemberian beras bagi keluarga miskin (Raskin) juga ikut mendorong masyarakat
menjadikan beras sebagai ‘primadona’ dalam hal konsumsi pokok sehari – hari,
serta belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok
bagi masyarakat setempat menjadi salah satu faktor penunjang yang tidak dapat
disepelekan. Kekhawatiran krisis pangan di masa yang akan datang karena
ketergantungan masyarakat indonesia terhadap beras sebagai konsumsi pangan
tunggal dapat diibaratkan seperti bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak
kapan saja.
Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah mencanangkan program
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang merupakan
implementasi dari rencana strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses
Pertanian, yang salah satunya ialah mengenai peningkatan diversifikasi pangan,
yang merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan
4 Krisnamurthi, Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 tahun dan
tantangan ke depan, Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003, Hal. 5.
4
Presiden RI pada tahun 2009-2014, dengan tujuan untuk meningkatkan
keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini
merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 Tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43
Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk
mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui
basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat.
Ronald P Cantrell5 mengatakan bahwa stabilitas masa depan Indonesia
terletak pada kemampuannya untuk menjamin ketahanan pangan dan keberhasilan
pembangunan masyarakat pedesaannya. Pendapat ini menunjukkan bahwa kunci
ketahanan pangan nasional sesungguhnya terletak di pedesaan dan ukurannya
tidak harus difokuskan hanya pada beras padi. Oleh karena itu, perlu dipikirkan
bagaimana menjabarkan ketahanan pangan ke dalam diversifikasi pangan yang
dimulai dari desa. Pengertian diversifikasi disini bersifat vertikal di samping
horizontal, artinya bukan saja mengkonsumsi komiditi non beras (horizontal)
tetapi juga mendiversifikasikan produk satu komoditi (vertikal) misalnya dari padi
menjadi tepung, bihun, kue, dan lain-lain.
Menurut draft pedoman pelaksanaan P2KP yang dirilis oleh Kementrian
Pertanian, mekanisme program P2KP diimplementasikan melalui berbagai
5 Samhadi, Kompas, 24 Februari 2007, hal. 7.
5
kegiatan, yaitu: (1) Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep
Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), (2) Model Pengembangan Pangan
Pokok Lokal (MP3L), serta (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP.6 Melalui tiga
kegiatan besar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas konsumsi pangan
masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang baik. Disamping itu
perlu dijalin kerja sama kemitraan dengan pihak swasta yang antara lain bisa
berupa Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL) baik di bidang pangan maupun bidang lainnya seperti
pendidikan, dengan sosialisasi baik kepada anak usia dini maupun ke kelompok
wanita, sehingga tercipta masyarakat dalam konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman.
Kebijakan P2KP menarik dikaji terutama yang berkaitan dengan proses
implementasinya, karena setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, hingga
kini program P2KP dianggap belum berhasil mencapai tujuannya untuk menekan
konsumsi beras dan menciptakan ketahanan pangan yang stabil.
Penelitian ini kemudian diarahkan untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan permasalahan yang terjadi pada tahap implementasi kebijakan
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP), khususnya di Desa
Wonokerto Kabupaten Sleman. Studi ini setidaknya akan mendapatkan temuan
yang relevan dan konstruktif bagi dunia pertanian, khususnya bidang ketahanan
pangan. Pada tataran yang lebih luas, hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan telaah secara riil tentang sebuah produk politik di bidang ketahanan
6 DPPK Kabupaten Sleman, Pedoman Umum Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP) Kabupaten Sleman, 2013, hal. 2.
6
pangan yang bernama Program P2KP. Demikian gagasan dasar dilakukannya
penelitian ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa kondisi dan uraian tersebut dapat dirumuskan
permasalahan penelitian ini, yaitu: Bagaimana implementasi kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dalam rangka
memperkuat ketahanan pangan pada tingkat lokal di Desa Wonokerto
Kabupaten Sleman?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mengetauhi pelaksanaan implementasi kebijakan program P2KP di Desa
Wonokerto menurut juklak dan juknis.
2. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
program P2KP di Desa Wonokerto, baik faktor yang mendukung maupun
faktor yang menghambat sehingga menggambarkan dinamika P2KP pada
dimensi lokal.
7
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang terkait dengan pengembangan ketahanan pangan disamping bagi
penulis sendiri, sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi referensi keilmuan dan langkah awal
untuk mengkaji suatu konsep tentang implementasi kebijakan, dalam hal ini
kebijakan P2KP dan implikasinya terhadap masalah ketahanan pangan
khususnya di Desa Wonokerto Kabupaten Sleman.
2. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini dapat memberi input atau kontribusi
yang berharga bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam mengevaluasi
dan menelaah pelaksanaan program P2KP sebagai upaya meningkakan
ketahanan pangan di daerah.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini akan membuka cakrawala masyarakat luas,
khsusnya masyarakat Desa Wonokerto tentang pelaksanaan program P2KP
secara lebih dalam. Melalui penelitian ini masyarakat menjadi familiar dengan
berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi program P2KP
khususnya di Desa Wonokerto, Kabupaten Sleman.
5. Kerangka Teori
A. Kebijakan
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
8
kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif
memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi
kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih ilmiah dan
sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.7
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternatif yang siap dipilih
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis
yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan
tentang alternatif terbaik.8
B. Kebijakan Publik
Pada dasarnya banyak para ahli yang memberikan definisi tentang
kebijakan publik. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai
latar belakang yang berbeda-beda. Sementara di sisi lain, pendekatan dan model
yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan menentukan bagaimana
kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan.
Para ahli yang memberikan definisi mengenai kebijakan publik antara
lain9:
1) Robert Eyestone, mengatakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan
2) Thomas R. Dye, mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan;
3) Richard Rose, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami
sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai suatu keputusan tersendiri;
4) Carl Friedrich, memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu;
Bagi Philip J. Cooper, kebijakan publik sebagai pilihan otoritatif yang
dibuat demi kepintingan masyarakat. Dengan sendirinya, kebijakan publik hanya
dapat dikeluarkan oleh pemerintah, tidak oleh badan lain, walaupun kebijakan
tersebut mungkin diambil atas desakan pihak lain diluar pemerintah. Aspek paling
vital dalam kebijakan publik adalah pembuat keputusan.
Kebijakakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah mempunyai
hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik
sebelum ditetapkan dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah. Lembaga-
lembaga pemerintah merupakan pola - pola perilaku yang tersusun dari individu –
individu dan kelompok – kelompok. Pola – pola perilaku individu dan kelompok
yang stabil mungkin mempengaruhi substansi kebijaksanaan publik. Pola – pola
10
ini mungkin memberikan manfaat kepada kepentingan – kepentingan tertentu
dalam masyarakat dan tidak memberikan manfaat kepada kepentingan –
kepentingan lain.
Penyelenggaraan kebijakan P2KP dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
pemerintah, tokoh masyarakat dan masyarakat. Oleh karena itu, sangat mungkin
terdapat masalah – masalah yang menghambat implementasi kebijakan P2KP
disebabkan adanya kepentingan – kepentingan yang berbeda dari lembaga
pelaksana. Kepentingan itu berasal dari pola perilaku individu – individu dan
kelompok – kelompok yang ada dalam lembaga tersebut.
C. Implementasi Kebijakan
Implementasi secara politik adalah implementasi yang perlu dipaksakan
secara politik karena walupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi.
Tahap implementasi terjadi hanya setelah keputusan hukum ditetapkan dan dana
disediakan. Implementasi kebijakan tidak hanya bersangkut paut dengan
mekanisme operasional kebijakan ke dalam prosedur – prosedur birokrasi,
melainkan juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan bagaimana suatu
kebijakan tersebut diperoleh kelompok – kelompok sasaran.10
Studi implementasi kebijakan atau analisis implemetasi kebijakan
memfokuskan diri pada aktivitas – aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan
untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Udoji
(1981) dalam Wahab, implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting,
10 Riant Nugroho, Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen
Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012, hal. 32.
11
bahkan mungkin jauh lebih penting dibandingkan proses pembuatan kebijakan,
karena suatu kebijakan hanya sekedar susunan peraturan yang sempurna dan
hanya tersimpan rapi dalam arsip apabila tidak diimplementasikan.11
Implementasi kebijakan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk
mengoperasikan sebuah program. Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah
jembatan yang menghubungkan antara tindakan – tindakan dengan tujuan yang
ingin dicapai dari suatu kebijakan. Seperti yang dikemukakan oleh Pressman dan
Wildavsky, implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan
dengan sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut.12
Sedangkan Van Meter dan Carl Horn, Dalam ”The Policy Implementation
Process” di dalam Jurnal Administration and Society, Vol. 5 no. 4 tahun
1975, mendefinisikan implementasi sebagai :
” ... policy implementation encompasses those action by public and privat individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in the prior policy decisions. This includes both one-tome efforts to transform decision into operational terms, as well as contuining efforts to achieve the large and small changes mandated by policy decisions” (Van Meter & Van Horn; 1975:447).
Implementasi kebijakan dibatasi sebagai tindakan – tindakan yang
dilakukan oleh individu – individu (atau kelompok - kelompok) pemerintah
maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan – keputusan kebijakan sebelumnya. Dengan demikian
11 S.A. Wahab, Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
perlu ditekankan bahwa tahap implementasi tidak akan dimulai sebelum tujuan –
tujuan dan sasaran sasaran ditetapkan oleh keputusan.
Eugene Bardach dalam bukunya yang berjudul The Implementation Game
: What happen after a bill become a Law?, berpendapat bahwa proses politik
dalam suatu policy tidak berhenti hanya pada saat penyusunannya, tapi juga
sampai pada tahap implementasi. Berbagai trik politik berlangsung saat sebuah
kebijakan dijalankan, sehingga seringkali tujuan utama dari kebijakan tersebut
justru tidak tercapai. Menurutnya sebuah implementasi adalah suatu permainan
tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam kondisi ketidak-pastian oleh
orang - orang dan kelompok - kelompok guna memaksimalkan kekuasaan dan
pengaruh mereka. Hal ini terjadi karena kontrol rasional organisasi tidak dapat
berjalan dengan sendirinya pada kebijakan yang dijalankan oleh berbagai aktor
dan institusi, atau dengan kata lain, proses implementasi itu sudah dengan
sendirinya berpotensi memunculkan konflik kepentingan dan kekuasaan diantara
para aktor pelaksananya. Permainan yang demikian tentu bisa berakibat tidak
sehat bagi implementasi sebuah kebijakan.
Dalam rangka implementasi kebijakan P2KP, pelaksana atau implementor
harus tunduk kepada instruksi – instruksi legal yang dibuat oleh pembuat
kebijakan. Maka dari itu sebelum melaksanakan proses implementasi, pelaksana
harus mengetahui dan memahami apa yang harus mereka lakukan. Karena itu
menurut Jones (1977) ditegaskan bahwa implementasi mengatur kegiatan –
kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan
kebijakan yang diinginkan. Kegiatan utama yang paling penting dalam
13
implementasi, yaitu meliputi: 1) Penafsiran, merupakan kegiatan yang
menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan
dapat dijalankan. 2) Organisasi, sebagai unit atau wadah untuk menempatkan
program ke dalam tujuan kebijakan. 3) Penerapan, berhubungan dengan
perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain – lainnya.13
Jones menjelaskan dari sudut institusional, organisasi bisa dilihat dari
aktor atau badan – badan dalam implementasi program dengan memfokuskan diri
pada peranan birokrasi sebagai lembaga pelaksana primer. Penafsiran terhadap
rencana kebijakan ke dalam proses implementasi hanya dilakukan oleh organisasi
pemerintah dan pihak – pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan program
kebijakan. Suatu program kebijakan akan berhasil bila penafsiran oleh badan –
badan eksekutif, birokrat dan beberapa pihak lain yang terlibat apa adanya.
Patton dan Savicky membedakan kegagalan implementasi kebijakan ke
dalam dua jenis; pertama, kegagalan program (program failure), yaitu kegagalan
yang disebabkan kebijakan tidak dapat diimplementasikan. Kedua, kegagalan
teori (theory failure), yaitu jika kebijakan dapat dilaksanakan tetapi tidak
menghasilkan manfaat yang dikehendaki.14
Sedangkan menurut Winter (1990) terdapat empat variabel kunci yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: (1) proses formasi kebijakan, (2)
perilaku organisasi pelaku implementasi, (3) perilaku pelaksana di tingkat bawah
13 C. Jones. Op. Cit. hal. 18.
14 Riant Nugroho, Op. Cit, hal. 84.
14
(street-level bureucrats), (4) respons kelompok target kebijakan dan perubahan
dalam masyarakat.15
Sementara itu, Cheema dan Rondinelli, mengatakan bahwa untuk analisa
implementasi program – program pemerintah yang bersifat desentralisasi, ada
empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu
program,16 yaitu:
a. Kondisi lingkungan
b. Hubungan antar organisasi
c. Sumberdaya orgnaisasi untuk implementasi program; dan
d. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana
Keempat faktor ini dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kondisi
lingkungan meliputi: tipe sistem politik, struktur pembuatan kebijakan,
karakteristik struktur, politik lokal, kendala sumberdaya, sosio kultural, derajat
keterlibatan para penerima program, dan tersedianya infrastruktur yang cukup.
Kedua, hubungan antar organisasi, meliputi unsur kejelasan dan konsistensi
program, pembangunan fungsi antar instansi yang pantas, standarisasi prosedur
perencanaan, anggaran, implementasi dan evaluasi, ketepatan, konsistensi, dan
kualitas komunikasi antar instansi, dan efektivitas jejaring untuk mendukung
program.
15 Ibid., hal. 85‐86.
16 A. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 100.
15
Ketiga, sumberdaya organisasi, meliputi unsur: kontrol terhadap sumber
dana, keseimbangan antara pembagian anggaran dan kegiatan program, ketepatan
alokasi anggaran, pendapatan yang cukup untuk pengeluaran, dukungan
pemimpin politk pusat, dukungan pemimpin politik lokal, dan komitmen
birokrasi. Terakhir, keempat, karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana,
meliputi: keterampilan teknis; manajerial dan politis petugas; kemampuan untuk
mengkoordinasi; mengontrol dan mengintegrasikan keputusan; dukungan dan
sumberdaya politik instansi; sifat komunikasi internal; hubungan yang baik antara
instansi dengan pihak di luar pemerintah, kualitas pemimpin instansi yang
bersangkutan; komitmen petugas terhadap program, dan kedudukan instansi
dalam hierarki sistem administrasi.17
Menurut Grindle18 ada dua hal yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi dalam proses politik dan administrasi, yaitu contens of policy dan
contexs of policy. Adapun dimaksud content of policy yaitu kepentingan yang
dipengaruhi (interest affected), tipe manfaat (type of benefits), derajat perubahan
yang diharapkan, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber
daya yang dilibatkan. Sedangkan yang dimaksud contexs of policy yaitu
kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan
penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap.
Jika kebanyakan tokoh diatas lebih fokus terhadap implementor dalam
mengukur keberhasilan proses implementasi, lain halnya dengan Mazmanian dan
17 Ibid., hal. 101 ‐ 102.
18 S. Wibawa, Studi Implementasi Kebijakan. Yogyakarta: Laporan penelitian pada
jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM, tidak diterbitkan, 1992, hal. 26.
16
Sabatier melihat masyarakat sebagai objek kebijakan mempunyai peran penting
dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan diimplementasikan.
Dalam teorinya, dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni:19
1. Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems)
2. Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure
implementation)
3. Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
Masing – masing model implementasi tentu saja memiliki kelebihan dan
kekurangan, seperti yang diungkapkan Patton dan Savicky bahwa tidak ada satu
model terbaik atau model tunggal untuk melakukan melakukan studi
implementasi. Pada dasarnya faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi
suatu kebijakan tergantung pada jenis kebijakan itu sendiri. Hal ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Ingram, dimana analisis implementasi kebijakan
bergantung pada jenis kebijakannya.20
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Mazmanian dan Sabtier,
dimana implementasi kebijakan diklasifikasikan ke dalam tiga variabel,21 yaitu:
19 A. Subarsono. Op. Cit, hal. 87.
20 Riant Nugroho, Op. Cit, hal. 85
21 Ibid., hal. 91 ‐ 92.
17
a. Variabel independen: yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang
berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan,
keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan
konsistensi tujuan.
c. Variabel dependen: yaitu variabel - variabel yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan
teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat
yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat
pelaksana.
Pengelompokan ke dalam tiga variabel diatas dilakukan dengan
pertimbangan yang disesuasikan dengan objek diteliti, yaitu kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Untuk lebih jelasnya,
implementasi kebijakan yang dilihat sebagai suatu proses politik dan administrasi
dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini
18
Gambar 1. Model Implementasi Menurut Mazmanian & Sabtier
(Sumber: Subarsono, 2005:95)
Implementasi kebijakan dengan mengikuti gambar di atas, adalah model
yang sesuai untuk menganalisis implementasi kebijakan P2KP. Hal ini disebabkan
dalam implementasi kebijakan P2KP melibatkan beberapa organisasi pelaksana
yang memiliki kepentingan cukup beragam dan sifat kebijakan ini yang begitu
dekat dengan kelompok sasarannya, yaitu masyarakat. Sehingga untuk
menjelaskan konteks politik dan administrasi dalam mencapai keberhasilan
implementasi kebijakan program P2KP, maka penggunaan teori Mazmanian dan
Sabtier dinilai tepat untuk mengkaji faktor – faktor yang berpengaruh dalam
Tahap – tahap dalam proses imple mentasi
Output kebijakan dari badan-badan pelaksana
Kepatuhan kelompok sasaran terhadap output ke bijakan
Dampak nyata output kebijakan
Dampak ouput kebijakan sebagaimana dipersepsi
Perbaikan mendasar dalam UU
Variabel Independen: 1. Tingkat kesulitan masalah teknis yang ada 2. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran 3. Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi 4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Variabel Intervening: 1. Kejelasan atau konsistensi tujuan 2. Teori kausal yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Dikresi pelaksana 6. Tingkat komitmen implementor 7. Akses-formal pelaksana ke organisasi lain
Variabel Dependen: 1. Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumber daya kelompok sasaran
utama 4. Dukungan kewenangan 5. Komitmen dan kemampuan pejabat
pelaksana
19
mempermudah dan menghambat implementasi kebijakan program P2KP. Berikut
penjelesannya.
1. Variabel Independen (mudah tidaknya masalah dikendalikan)
Terlepasnya dari kenyataan bahwa banyak sekali kesukaran-
kesukaran yang dijumpai dalam implementasi program-program
pemerintah, sebenarnya ada sejumlah masalah-masalah sosial yang jauh
lebih mudah untuk ditangani bila dibandingkan dengan masalah lainnya.
Aspek-aspek teknis dari permasalahan serta perilaku yang akan diatur
sangat bervariasi sehingga ini menjadi kendala dalam implementasi
program. Hal-hal yang dapat mempengaruhi program dari sudut pandang ini
adalah:
a. Tingkat kesulitan masalah teknis yang ada
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan tergantung pada
sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya kemampuan untuk
mengembangkan indicator - indikator pengukur prestasi kerja yang tidak
terlalu mahal serta pemahaman mengenahi prinsip-prinsip hubungan kausal
yang mempengaruhi masalah. Contahnya adalah kebijakan penyeragaman
kurikulum sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia yang lalu dalam
pelaksanaannya hampir dikatakan tidak banyak menemuhi hambatan-
hambatan teknis sehingga tujuan-tujuan formal dari kebijakan tersebut dapat
direalisasikan dengan relatif mudah. Sementara itu kebijakan pengendalian
atau pelestarian lingkungan hidup berjalan tersendat-sendat karena
kesukaran-kesukaran dalam memonitor secara teratur kadar pencemaran
20
lingkungan, luasnya wilayah yang harus dicakup dalam program, masih
rendahnya kesadaran para pelaku, relatif mahalnya peralatan yang
digunakan dan masih rendahnya pengetahuan teknis para pejabat di daerah
mengenahi masalah yang ditangani. Setiap program jelas akan menyangkut
masalah biaya yang biasanya dikumpulkan dari wajib pajak serta dari
kelompok-kelompok sasaran. Biaya yang dipikul tidak sebanding dengan
tindakan-tindakan perbaikan terhadap masalah yang sedang dihadapi, maka
dukungan politik terhadap program tersebut kemungkinan akan mengalami
penurunan yang menimbulkan perubahan tujuan formalnya. Adanya
teknologi yang canggih yang menjadi syarat dapat dilaksanakannya suatu
program baru mungkin akan menimbulkan desakan-desakan keras berbagai
pihak untuk menunda sementara waktu maksud pencapaian tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijakan hingga diperoleh kepastian
bahwa telah tersedia sarana atau teknologi yang dapat menjamin efektifitas
pencapaian tujuan tersebut.
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran
Hal ini menyangkut kelompok sasaran dari pembuatan suatu
kebijakan atau dapat dikatakan masyarakat setempat yang dapat bersifat
homogeni ataupun heterogen. Kondisi masyarakat yang homogen tentunya
akan lebih memudahkan suatu program ataupun kebijakan
diimplementasikan, sementara itu dengan kondisi masyarkat yang lebih
heterogen akan lebih menyulitkan ataupun mendapat lebih banyak tantangan
dalam pengimplementasiaannya.
21
c. Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi
Dalam artian bahwa suatu program atau kebijakan akan lebih
mudah diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok orang
tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang
kelompok sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri. Semakin
kecil dan semakinjelas yang perilakunya akan diubah, maka semakin besar
pula peluang untuk memobilisasikan dukungan politik terhadap program
dan dengan demikian akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan
kebijakan.
d. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki
Jumlah modifikasi perilaku yang diinginkan bagi tercapainya
tujuan formal adalah fungsi dari jumlah total orang yang menjadi kelompok
sasaran dan jumlah perubahan yang dituntut dari mereka. Semakin besar
perubahan perilaku yang dikehendaki, semaikin sulit memperoleh
implementasi yang berhasil. Sebuah kebijakan atau program akan lebih
mudah diimplementasikan ketika program tersebut lebih bersifat kognitif
dan memberikan pengetahuan. Sementara itu, program yang bersifat
merubah sikap atau perilaku masyarakat cenderung cukup sulit untuk
diimplementasikan seperti perda larangan merokok ditempat umum,
pemakaian kondom dan Keluarga Berencana, dan lain-lain.
2. Variabel Intervening (Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses
implementasi)
22
Pada prinsipnya perintah eksekutif untuk dapat mensetrukturkan
proses implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang
akan dicapainya dengan cara melakukan seleksi terhadap lembaga-lembaga
yang tepat untuk mengimplementasikannya, dengan cara memberikan
kewenangan dan dukungan sumber-sumber finansial pada lembaga-lembaga
tersebut. Para pembuat kebijakan dapat memainkan peran yang cukup
berarti dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan dengan cara
mendayagunakan wewenang yang mereka miliki untuk menstrukturkan
proses implementasi secara tepat.
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan
Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan dengan cermat dan disusun
secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang
amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai
pedoman yang konkrit bagi para pejabat-pejabat pelaksana dan sebagai
sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri. Tujuan yang jelas dapat pula
berperan selaku sumber-sumber bagi para aktor yang terlibat, baik yang ada
didalam lembaga maupun yang ada diluar lembaga. Semakin baik suatu
peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang cermat dan disusun menurut
urutan kepentingannya bagi para pejabat pelaksana dan aktor-aktor lainnya,
semakin besar pula kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan
pelaksana dan pada gilirannya perilaku kelompok-kelompok sasaran akan
sejalan dengan petunjuk-petunjuk tersebut.
23
b. Teori kausal yang memadai
Setiap usaha pembaharuan sosial setidaknya secara implisit
memuat teori kausal tertentu yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan
usaha pembaharuan itu akan tercapai. Dalam kaitan ini harus diakui bahwa
salah satu kontribusi penting dari analisis implementasi ini adalah
perhatiannya pada teori yang menyeluruh mengenahi bagaimana cara
mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki. Hubungan yang baik
suatu teori kausal mensyaratkan bahwa hubungan-hubungan timbal balik
antara campur tangan pemerintah disatu pihak, dan tercapainya tujuan-
tujuan program dapat dipahami dengan jelas.
c. Sumber keuangan yang mencukupi
Dana tak dapat disangkal merupakan salah satu faktor penentu
dalam program pelayanan masyarakat apapun. Dalam program-program
regulatif dana juga diperlukan untuk menggaji atau menyewa tenaga dan
untuk memungkinkan dilakukannya analisis teknis yang diperlukan untuk
membuat peraturan atau regulasi tersebut. Secara umum tersedianya dana
amat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.
d. Intergrasi organisasi pelaksana
Beberapa ahli menyatakan bahwa kesukaran-kesukaran untuk
mewujudkan tindakan yang terkoordinasi dilingkungan badan atau instansi
tertentu dan diantara sejumlah besar badan-badan lain yang telibat. Masalah
24
koordinasi ini makin runyam jika menyangkut peraturan pemerintah pusat,
yang dalam pelaksanaannya seringkali amat tergantung pada pemerintah
daerah. Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan
perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki
badan-badan pelaksana.
e. Direksi pelaksana
Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus
diberikan kejelasan aturan serta konsistensi agar tidak terjadi kerancuan
yang menyebabkan kegagalan pengimplementasian. Selain dapat
memberikan kejelasan konsistensi tujuan, memperkecil hambatan, dan
intensif yang memadahi bagi kepatuhan kelompok-kelompok sasaran, suatu
undang-undang masih dapat mempengaruhi lebih lanjut proses
implementasi dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan
pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana.
f. Tingkat komitmen implementor terhadap tujuan kebijakan
Pada prinsipnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh
pembuat undang-undang atau peraturan untuk menjamin bahwa para pejabat
pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan.
Tanggungjawab untuk implemetasi dapat ditugaskan pada badan-badan
yang orentasi kebijakannya sejalan dengan peraturan dan bersedia
menempatkan program pada prioritas utama.
25
g. Akses formal pihak-pihak luar
Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan ialah sejauh
mana peluang-peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi aktor-aktor diluar