1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Burma-Myanmar 1 . Hal ini menarik untuk diteliti karena selama ini tulisan yang ada sebatas berbicara mengenai perlakuan yang diterima bukan tindakan yang dilakukan. Etnis Muslim Rohingya ini merupakan satu dari total 135 etnis minoritas yang ada di Burma-Myanmar. Adapun dari sejumah etnis minoritas tersebut, etnis Muslim Rohingya dianggap etnis yang paling teraniaya (most persecuted ethnic) menurut UN (United Nations-PBB). Etnis ini tidak hanya teraniaya akibat diskriminasi yang diperoleh dari kebijakan pemerintah setempat tetapi juga dari kelompok atau etnis lainnya. Presiden Thein Sein pernah menyarankan bahwa satu-satunya solusi terkait masalah Muslim Rohingya ini adalah dengan cara mendeportasi mereka. Kenyataannya sampai sekarang belum ada satu negara yang benar-benar memberikan hak kewarganegaraan terhadap mereka. Penduduk Muslim Rohingya pun masih dianggap sebagai kelompok etnis yang tidak berkewarganegaraan. 1 Dikarenakan belum ada nama yang pasti untuk menyebutkan nama negara ini, maka penulis menggunakan nama ‘Burma-Myanmar’.
22
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63490/potongan/S2-2013... · muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau
resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan
diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Burma-Myanmar1. Hal ini menarik
untuk diteliti karena selama ini tulisan yang ada sebatas berbicara mengenai
perlakuan yang diterima bukan tindakan yang dilakukan. Etnis Muslim Rohingya
ini merupakan satu dari total 135 etnis minoritas yang ada di Burma-Myanmar.
Adapun dari sejumah etnis minoritas tersebut, etnis Muslim Rohingya dianggap
etnis yang paling teraniaya (most persecuted ethnic) menurut UN (United
Nations-PBB).
Etnis ini tidak hanya teraniaya akibat diskriminasi yang diperoleh dari
kebijakan pemerintah setempat tetapi juga dari kelompok atau etnis lainnya.
Presiden Thein Sein pernah menyarankan bahwa satu-satunya solusi terkait
masalah Muslim Rohingya ini adalah dengan cara mendeportasi mereka.
Kenyataannya sampai sekarang belum ada satu negara yang benar-benar
memberikan hak kewarganegaraan terhadap mereka. Penduduk Muslim Rohingya
pun masih dianggap sebagai kelompok etnis yang tidak berkewarganegaraan.
1 Dikarenakan belum ada nama yang pasti untuk menyebutkan nama negara ini, maka penulis menggunakan nama ‘Burma-Myanmar’.
2
Etnis muslim Rohingya ini telah didiskriminasi sejak tahun 1948 ketika
adanya pemisahan etnis yang dilakukan oleh Inggris. Pemisahan yang dilakukan
di wilayah Rakhine tersebut memisahkan etnis Buddha Myanmar dan Muslim
Rohingya. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa etnis Rohingya
bukanlah merupakan bagian dari Burma-Myanmar. Sebenarnya diskriminasi yang
dialami oleh etnis Muslim Rohingya juga dialami oleh etnis minoritas lainnya
seperti Kachin, Chin, Mon,dan Shan. Akan tetapi perbedaan yang mencolok
adalah bahwa junta yang berkuasa menyatakan bahwa tidak ada yang disebut
sebagai kelompok etnis minoritas Rohingya dalam sejarah Burma-Myanmar.
Dibawah pemerintahan militer yang menguasai Burma-Myanmar, pada
tahun 1982 muncul kebijakan baru yang disebut Burma Citizenship Law (BCL)
dimana warga Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, hak atas tanah, dan
pendidikan serta pekerjaan yang layak dan cukup. Tidak seperti golongan etnis
minoritas lainnya yang setidaknya diakui kewarganegaraannya oleh rezim Burma-
Myanmar, etnis Muslim Rohingya ini dianggap sebagai penduduk sementara dan
tidak mendapat hak kewarganegaraan secara penuh. Sayangnya demokrasi baru
yang telah diusung juga tidak membawa perubahan signifikan bagi mereka. Hal
ini terlihat sejak juli dimana biksu-biksu Buddha sudah melancarkan aksi anti-
Rohingya di berbagai kota di segala penjuru negara. Pada bulan Oktober, ratusan
mahasiswa yang beragama Buddha berunjuk rasa di Sittwe (Ibu Kota negara
bagian Rakhine) untuk melawan Rohingya dengan mengatakan bahwa mereka
adalah “teroris Bengali” (Aziz, Businessweek.com, 12 Nov 2012).
3
Ada sebuah kepercayaan diantara mereka yang menyatakan bahwa
Rohingya bukanlah termasuk Burmese (warga Burma-Myanmar), tetapi “Bengali”
yang berasal dari Bangladesh atau manapun. Presiden Thein Sein sendiri pernah
menyatakan bahwa satu-satunya solusi bagi etnis tersebut adalah mendeportasi
mereka semua. Tidak ada negara manapun yang menerima mereka. Tidak heran
jika akhirnya mereka tidak menjadi warga negara yang diakui secara legal
dimanapun (Economist.com, 20 Okt 2012). Permasalahan terkait warga negara
inilah yang dianggap sebagai pemicu utama terjadinya berbagai konflik yang
menimpa etnis Muslim Rohingya. Karena hal inilah maka etnis Muslim Rohingya
sering dijadikan objek yang diskriminasi.
Kebijakan maupun perlakuan diskriminatif yang selama ini diterima oleh
warga Muslim Rohingya akhirnya menimbulkan respon atau sikap yang
ditunjukkan. Beberapa tulisan pernah menyatakan bahwa etnis Muslim Rohingya
juga pernah melakukan perlawanan. Respon pertama yang ditunjukkan adalah
dibentuknya semacam tentara “Mujahid” yaitu pada masa pemerintahan Junta
Militer. Organisasi yang dibentuk di bawah deklarasi Dobboro Chaung pada 20
Agustus 1947, dipimpin oleh Jafar Hussain yang dikenal dengan nama Jafar
Kawal (Tha, 2006). Organisasi ini bertujuan untuk membentuk daerah otonomi
atau negara bagian khusus penduduk Muslim. Selain itu mereka menuntut agar
bagian utara Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw dimasukkan ke dalam
wilayah negara Pakistan.
Pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Muslim Rohingya bukanlah
satu-satunya respon yang dilakukan . Selama rentang waktu 64 tahun semenjak
4
Burma-Myanmar merdeka, warga Muslim Rohingya pun akhirnya memiliki
respon yang berbeda-beda. Berbagai perlawanan baik secara langsung atau tidak
ditunjukkan etnis ini. Hal ini dikarenakan Burma-Myanmar yang sekarang dalam
masa transisi demokrasi pun masih menunjukkan sikap yang diskriminatif. Hal ini
terbukti dengan sikap pemerintah Burma-Myanmar yang tidak memihak bahkan
terkesan membiarkan ketika konflik etnis berlangsung pada Juni dan Oktober
2012. Hal ini akhirnya menimbulkan pola respon yang dilakukan oleh etnis
Muslim Rohingya bisa dikatakan berbeda dari masa periode sebelumnya yaitu
periode Junta Militer.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan respon yang dilakukan etnis Muslim Rohingya terhadap
kebijakan diskriminatif yang diterapkan, maka penulis mengajukan pertanyaan
yaitu:
1. Bagaimana perlawanan yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam
menghadapi kebijakan yang diterapkan pemerintah Burma-Myanmar?
3. Tujuan Penelitian 3.1 Untuk mengetahui apa sebenarnya pola atau respon yang dilakukan
etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif
dari pemerintah Burma-Myanmar.
3.2 Untuk mengetahui mengapa terdapat perbedaan respon dari sejak
kemerdekaan Burma-Myanmar pada tahun 1948 hingga sekarang?
5
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pedoman bagi
ilmu pengetahuan serta mengetahui bagaimana sikap resistensi yang dilakukan
oleh etnis Muslim Rohingya selaku etnis minoritas yang selama ini dianggap
teraniaya. Selain itu tulisan ini juga diharapkan dapat mendukung dan
memperkaya tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya. Dimana nantinya
diharapkan hasil dari penelitian ini bisa memberikan salah satu solusi dalam
menyelesaikan masalah terkait etnis Muslim Rohingya.
5. Jangkauan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada rentang waktu antara tahun 1948 – 2012.
Pengambilan tahun 1948 karena terhitung pada awal kemerdekaan Burma –
Myanmar dari Inggris dan tahun 2012 dimana terjadi konflik besar yang
menyebabkan eksodus warga Burma-Myanmar dalam jumlah yang besar.
Sehingga dalam kurun waktu sekitar 64 tahun tersebut dapat dilihat apa saja
tindakan yang telah dilakukan warga Muslim Rohingya dalam menghadapi
kebijakan yang didapat, baik dari jaman otoriter pemerintah Junta hingga masa
transisi demokrasi seperti sekarang ini.
6. Landasan Teori / Kerangka Berfikir
6.1 Etnis Minoritas Etnis adalah sebuah kolektivitas yang anggotanya memiliki kesamaan
gaya hidup, sejarah dan bahasa namun identifikasi mereka terhadap tanah air
nenek moyang bersifat lemah dan beresiko untuk hilang sama sekali sementara
etnisitas adalah hasil tarik menarik antara teritori dan budaya. Jika suatu etnis
berusaha dan sukses dalam membangun klaim terhadap teritori yang ditempatinya
6
dan dengan teritori itu etnis tersebut menganggapnya sebagai tanah air, maka etnis
tersebut dianggap sebagai bangsa (Oommen, 1997: 69). Kelompok etnik
merupakan suatu kategori khas penduduk dalam masyarakat lebih luas dalam
kebudayaannya yang biasanya berbeda dengan kebudayaan kita. Para anggota
kelompok tersebut adalah orang/ kelompok yang merasa terikat oleh kesamaan
ras, nasionalitas atau kebudayaan (Moris, 1968: 161).
Secara sosiologis, minoritas dapat didefinisikan dalam konteks perbedaan
kekuatan dimana kelompok didalam struktur sosial, menjadi subjek yang di
diskriminasi dan atau mendapatkan prasangka buruk dari kelompok yang lebih
kuat atas dasar perbedaan yang nyata atau digunakan sebagai kriteria sebuah
pengelompokkan tertentu (Carlier, 1974: 7 dalam Carlier, 1974: 36). Untuk
menjelaskan mengenai minoritas ini memerlukan proses yang sangat akurat,
dimana elemen seperti pengelompokkan, pelabelan dan keseimbangan kekuatan
harus ditekankan, tidak hanya sebatas data statistik. Jika bersandar pada teori
sosiologi secara umum dan studi minoritas secara khusus (Newman 1973, Rex,
1961, Werthem, 1971 dalam Carlier, 1977: 36), maka kata kunci yang kemudian
muncul adalah ‘diskriminasi’ dan ‘prasangka’ dimana kedua konsep tersebut
sering dijadikan kelompok yang berkuasa sebagai senjata di dalam konflik sosial.
Sedangkan menurut Theodorson & Theodorson (1979: 258-259),
kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui
berdasarkan perbedaan ras, agama, atau suku bangsa, yang mengalami kerugian
sebagai akibat prasangka (prejudice) atau diskriminasi istilah ini pada umumnya
dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan
7
untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan
seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai
contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat
kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering
digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat,
yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah
didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah
memperoleh hak-hak istimewa (privileged) atau tidak didiskriminasikan, tetapi
tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam
kelompok minoritas.
Oleh karenanya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang
berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok
minoritas hanya ditujukan kepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk
masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu
juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok (lntergroup relation) .
Menurut Theodorson & Theodorson (1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti
penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas
dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-
suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehingga dapat dianggap sebagai
masalah sosial (social problem).
6.2 Teori Pergerakan Sosial Konsepsi gerakan sosial memuat gagasan tentang sebuah kekuatan sosial
yang ringkas dan padat yang terutama bersumber kuat dari keluhan-keluhan sosial
8
yang terpencar-pencar namun satu dari kelompok-kelompok, kasta-kasta dan
komunitas-komunitas masyarakat yang teraniaya, terpinggirkan dan dikecewakan.
Konsep tersebut menunjuk pada proses gerak-mandiri (self-action) dari
masyarakat untuk mereproduksi dan mencipta kembali (regenerate) dirinya
sendiri dalam proses kehidupan dan pertumbuhannya. Gerakan sosial sendiri
merujuk pada sekelompok dan sekumpulan utuh aksi-aksi konflik dari sebuah
kolektivitas dalam perlawanannya terhadap musuh demi memperjuangkan tujuan-
tujuan jangka panjang dan jangka pendek tertentu (Singh, 2010: 428).
Pergerakan sosial sering diartikan adanya tindakan kolektif yang dilakukan
sekelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak maupun kepentingannya.
Pada perkembangannya, studi gerakan sosial berkembang menjadi dua yaitu
gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama atau klasik
sering diartikan gerakan yang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan
bertujuan untuk mendapatkan atau menjawab permasalahan yang ada seperti
gerakan melawan kolonialisme dan sebagainya. Serta gerakan sosial ‘baru’ (GSB)
yang sifatnya lebih kontemporer.
Adapun permasalahan gerakan dari kelompok yang tidak berdaya, Scott
(1989) lebih senang menyebutnya sebagai ‘perlawanan’ (resistance) ketimbang
Oommen (1990) yang menyebutnya sebagai ‘protes’ didalam studinya. Menurut
pembacaan Oommen terhadap studi-studi mengenai protes, ada lima tipe tulisan
mengenai protes dalam hal jenisnya. Yaitu (ibid: 392):
a) Aksi-aksi kekerasan kolektif yang terorganisir
b) Aksi-aksi non-kekerasan kolektif yang terorganisir
9
c) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat non-
kekerasan atau kekerasan yang terorganisir
d) Mobilisasi pada level mikro (micro-mobilisation) yang bersifat sesaat dan
tak terorganisir
e) Protes-protes individual.
Terkait dengan seni perlawanan, Singh (2010) menyatakan bahwa data
mengenai ekspresi-ekspresi resistensi telah ada sepanjang keberadaan masyarakat.
Dimana dalam proses perlawanan tersebut berlangsunglah proses diferensiasi dan
perjuangan demi mempertahankan diri. Dimana Singh juga mengatakan bahwa
gerak pertempuran menjadi syarat organis bagi perjuangan demi mempertahankan
diri. Lebih lanjut, Singh juga memetakan tema-tema terkait gerakan sosial lama
atau klasik. Tema-tema tersebut antara lain gerakan-gerakan petani dan
perjuangan agrarian, post-history dan kesadaran kaum tani serta studi-studi
subaltern, gerakan suku, dan gerakan buruh. Adapun didalam penulisan tesis ini,
penulis lebih menekankan konsepsi gerakan suku.
Gerakan mengenai suku, sering berkenaan dengan konsep primordialisme.
Selama ini literatur yang ada menulis mengenai perlawanan etnis atau suku
tertentu terhadap sistem pemerintahan kolonialisme. Tidak heran, gerakan suku
sering dianggap sebagai salah satu gerakan kemerdekaan. Dimana gerakan-
gerakan kesukuan secara tradisional berusaha membela komunitas, yaitu demi
pelestarian warisan sosial, cultural, dan simbolik mereka, serta untuk bisa
menjalankan kontrol dan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam latar
kolonial, basis sosial gerakan-gerakan kesukuan secara umum tidak mengandung
10
elemen-elemen teknologi modern, sarana-sarana komunikasi yang cepat, maupun
terfokus pada nilai-nilai ekonomi dari perjuangan demokrasi. Perjuangan suku
tidak dikarakteristikan oleh tantangan kontemporer. Inilah mengapa, meskipun
banyak gerakan suku yang mengandung banyak aspek GSB, gerakan tersebut
sebenarnya masih termasuk perjuangan ‘lama’. Mereka termasuk gerakan sosial
‘lama’ dikarenakan sifat dasar dari inti-inti konfliktual mereka tidaklah’baru’
(Singh, 2010: 340).
Tema yang diangkat oleh GSB ini lebih beragam seperti gerakan terkait
lingkungan hidup, perempuan, kesukuan hingga pertahanan identitas-kolektif.
Terkait dengan isu kontemporer, sebenarnya dapat memunculkan bentuk-bentuk
aksi kolektif yang berbeda-beda seperti aksi kolektif yang bersifat kesukuan dan
agrarian, persoalan otonomi, hak asasi manusia dan sebagainya. Bahkan, masih
ada bentuk-bentuk lain yang masih tersembunyi di latar belakang yang menunggu
kesempatan untuk muncul di atas medan sosial yang tak adil (Singh, 2010: 428).
Terkait dengan, GSB, timbul pula beragam konsepsi tentang gerakan
kemasyarakatan. Gerakan kemasyarakatan yang terkait dengan GSB ini dapat
dilihat terkait periode perkembangannya. Mirsel menyatakan (2006: 16-18) ada
tiga tahapan atau periode yang mendukung terjadinya pola perbedaan dalam hal
gerakan kemasyarakatan yaitu:
1. Tahapan pertama ditandai oleh pandangan negatif terhadap gerakan
kemasyarakatan dan cenderung menjelaskannya dari sudut pandang
psikologi sosial. Sebagai reaksi terhadap popularitas psikoanalisis dan
pengaruh “dunia nyata” Nazisme, fasisme, Stalinisme, tindakan-tindakan
11
main hakim sendiri (dengan mengeroyok dan membunuh) dan kerusuhan-
kerusuhan berbau ras, maka pada tahun 1940-an dan 1950-an teori gerakan
kemasyarakatan meneliti asal-usul irasional dari setiap gerakan yang
muncul, sambil menggunakan paradigma teori psikoanalisis, psikologi
sosial, dan teori perkumpulan massa (mass society).
2. Tahapan kedua, teori-teori gerakan kemasyarakatan didasarkan pada
pandangan yang lebih positif mengenai aneka gerakan yang muncul.
Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki
strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi structural tertentu.
Di tahun 1960-an, gerakan-gerakan kemasyarakatan muncul dan sekaligus
merangsang para pencetus teori-teori gerakan kemasyarakatan untuk
memandang fenomena-fenomena tersebut secara lebih baik.
3. Periode ketiga dapat pula disebut sebagai periode dekonstruksi. Sejak
akhir tahun 1970-an hingga saat ini, gerakan-gerakan baru bermunculan,
namun tidak lagi terlalu terkait dengan nilai-nilai liberal, demokratis,
pluralis, dan atau kekirian seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli
gerakan kemasyarakatan. Menurut aliran-aliran pemikiran baru ini, semua
fenomena yang berhubungan dengan manusia merupakan tafsir sosial
(socially constructed) di dalam proses wacana dan interaksi sosial; karena
itu, tidak ada unsur baku di dalam komunitas manusia.
Adapun para sosiolog gerakan kemasyarakatan menanggapi berbagai
kenyataan dan gaya pemikiran baru ini dengan mengajukan teori yang
berdasarkan konsep seperti kebudayaan, pembingkaian (framing) dan konstruksi
12
identitas. Dinamika gerakan kemasyarakatan dan gerakan tandingan, aktivisme
lintas-negara dan persoalan-persoalan lintas batas, dan hubungan antar gerakan
kemasyarakatan dengan media telah mendapat perhatian semakin besar. Pada
periode ini tumbuh kembali minat terhadap teori-teori psikologi sosial, dengan
pusat perhatian pada proses pembentukan identitas kolektif (Mirsel, 2006: 20).
Selain tipe-tipe dari gerakan sosial, ada pula faktor-faktor yang
mendukung terbentuknya gerakan sosial ini. Faktor terkait dengan gerakan sosial
ini bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal merupakan faktor yang lebih cenderung berasal dari dorongan masyarakat
itu sendiri untuk melakukan perubahan. Faktor internal juga dapat dilihat dari
situasi dalam negeri sebuah negara dalam mendukung adanya perubahan. Terkait
gerakan sosial, faktor internal dapat dilihat dari segi politik (pemerintahan yang
cenderung otoriter atau demokratis), kondisi sosial maupun budaya masyarakat
setempat. Sedangkan faktor eksternal dapat terjadi karena pengaruh dari luar.
Dalam hal ini pengaruh luar yang dimaksud dapat dilihat dari luar suatu negara
atau komunitas. Bentuk faktor dari luar ini dapat didorong oleh kondisi budaya,
ekonomi (Kriesi, 1996: 159), fisik maupun terjadinya peperangan. Faktor
eksternal ini menjadi dibutuhkan ketika pengaruh tersebut dapat membantu
menyelesaikan permasalahan ataupun membantu terjadinya perubahan didalam
sebuah tatanan masyarakat.
6.3 Teori Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel (1957) dalam upaya
untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok dan
13
perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan
antar proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi harus dibedakan antar
proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses
identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri-ciri tertentu
termasuk dalam suatu kelompok tertentu). Menurutnya perilaku kelompok
berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok antara
lain ethnosentrisme, ingroup bias, kompetisi dan diskriminasi antar kelompok,
stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpaduan kelompok (Sari:
2011).
Menurut teori ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri
dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam
jaringan hubungan sosial yang rumit. Proses-proses yang mendasari perilaku
kelompok adalah kategorisasi dan perbandingan sosial. Hal ini memungkinkan
penekanan persamaan pada hal-hal yan terasa sama dan penekanan pada
perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda. Pada gilirannya kategorisasi dan
perbandingan sosial ini meningkatkan persepsi ingroup. Tidak ada kebenaran
yang semata-mata objektif, semua kebenaran disimpulkan dari perbandingan.
Tajfel mendefinisikan Identitas Sosial sebagai pengetahuan individu di
mana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan
emosi serta nilai (Tajfel, 1979). Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik,
kelas pekerja, agama, umur, gender, suku keturunan, dll. Biasanya pendekatan
dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrelationship serta
kehidupan alamiah masyarakat dan society (Hogg & Abrams, 1988). Kemudian,
14
pendekatan identitas sosial juga mengamati bagaimana kategori sosial yang ada
dalam masyarakat tidak terbentuk secara sejajar, tapi juga menimbulkan status
sosial dan kekuasaan. Pada mulanya teori identitas sosial adalah evolusi teori yang
keluar dari teori kategorisasi sosial. Teori kategori sosial sendiri diperkenalkan
oleh Tajfel tahun 1972. Teori identitas sosial adalah teori yang dikembangkan
setelah Tajfel melihat kategorisasi yang dilakukan individu melekatkan juga nilai-
nilai di dalamnya pada kelompoknya dalam menilai kelompok lain.
6.4 Diskriminasi Menurut Banton, diskriminasi yang didefinisikan sebagai perlakuan yang
berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu menciptakan apa
yang disebut dengan jarak sosial (social distance). Sedangkan Ransford (1980)
membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan