1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi. Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan, fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi. Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahan- lahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan gejala pembangunan “antiruang” di perkotaan. RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam
21
Embed
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88718/potongan/S2-2015...Permasalahan RTH yang terjadi bisa dilihat di beberapa kota besar yakni Jakarta,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas
dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi.
Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin
banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan
kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada
kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan,
fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan
sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk
pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota
menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi.
Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur
perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan
gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya
kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan
infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu
faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis
atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH).
Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan
lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota.
Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara
ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH
dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahan-
lahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada
di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan
semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan
gejala pembangunan “antiruang” di perkotaan.
RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam
pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam
2
eksistensinya. RTH mempunyai peranan yang penting dalam tata ruang kota karena
manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk, masa depan
kota beserta keberlangsungannya dan sekaligus sebagai penyedia oksigen. Menurut
Fandeli (2004) RTH kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan
kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan
olahraga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasi berdasarkan status
kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurut Undang-
undang R I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa proporsi
RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayah keseluruhan.
Keberadaan undang-undang mengenai penataan ruang tersebut kenyataannya
belum sepenuhnya menjadikan RTH sesuai dengan proporsi yang sudah ditetapkan.
Permasalahan RTH yang terjadi bisa dilihat di beberapa kota besar yakni Jakarta,
Semarang, Bandung dan Surabaya. Kondisi yang sangat memprihatinkan yang
dialami Kota Jakarta yakni ketersediaan RTH hanya 9,8% dari luas wilayahnya
(66.152 ha) (Kompas, tanggal 25 April 2011). Berkurangnya RTH ini dipicu oleh
pesatnya perkembangan Kota Jakarta sebagai urban life. Kondisi RTH lebih
memprihatinkan lagi terjadi pada Kota Semarang, luas RTH hanya menempati area
seluas 7,5% dari luas wilayahnya (37.370, 39 ha) (Koran Tempo 12 Desember 2012).
Berkurangnya RTH di Kota Semarang disebabkan oleh alih fungsi lahan yakni
menjadi lahan industri antara tahun 2003-2007 sebanyak 9,45%, konversi RTH
menjadi perumahan sebanyak 29,59% (Sri Hartini, Harintaka dan Istarno, 2008).
Sementara menurut Ernady Syaodih dan Weisyaguna (2011) RTH di Kota Bandung
menempati area seluas 1,678.27 ha (10,03%) dari luas wilayah (16,729 ha).
Permasalahan utama dalam penaatan, pemeliharaan dan pengembangan RTH di Kota
Bandung adalah minimnya sarana dan prasarana pemeliharaan, keterbatasan jumlah
sumber daya manusia (SDM), khususnya petugas lapangan, mengingat luasnya Kota
Bandung dan kompleksitas permasalahan di Kota Bandung. Di Kota Bandung telah
terjadi konversi hutan lindung menjadi lahan permukiman sebanyak 12,9% pada
tahun 2008. Fenomena lain terjadi di Kota Surabaya, dimana untuk luasan RTH baru
mencapai 20,18% dari total luas wilayahnya yakni seluas 1.479,18 ha. Penyebab
utama kurangnya RTH ini karena adanya pembangunan untuk sarana prasarana
3
penduduk sehingga RTH terkesampingkan peranannya (www.kompas.com, tanggal 24
Juli 2013 ).
Gejala sebagaimana diuraikan di atas bahwa keberadaan RTH di kota
seringkali tergeserkan oleh pembangunan fisik kota dan masih kurangnya luasan
RTH, terjadi pula di kota-kota lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan kajian
penelitian serupa di daerah lain terkait dengan RTH. Permasalahan nyata terkait
dengan RTH juga terjadi di Kota Yogyakarta, sehingga perlu dilakukan penelitian
mengingat Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata dan pendidikan dengan luas
wilayah 32,5 Km2
(3.250 ha) dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 462.752
orang. Terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2009 yaitu sebesar 1,27%
(BPS DIY 2009). Konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pemenuhan
kebutuhan hunian adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan
untuk perumahan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1,981 ha
sehingga jumlahnya mencapai 2.106,338 ha. Sementara lahan pertanian pada tahun
2009 seluas 130,029 ha dan mengalami pengurangan sebesar 4,023 ha. Terjadi
konversi lahan pertanian ke non pertanian pada tahun 2009 sebesar 19,01% (BPN
Kota Yogyakarta, 2009).
Perubahan keruangan ini juga terjadi pada daerah pinggiran Kota Yogyakarta,
dimana daerah tersebut secara fisik mempunyai ciri kekotaan. Kabupaten Bantul dan
Sleman, pada tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian. Terjadi kenaikan perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Bantul, dari yang semula 39,419 ha naik menjadi 52,2708 ha (24,54%).
Sementara di Kabupaten Sleman mengalami kenaikan sebesar 58,11% yakni dari
21,002 ha menjadi 50,225 ha. Berbeda dengan Kota Yogyakarta, terjadi perubahan
penggunaan lahan yang relatif lebih kecil, yakni hanya 2,55% (dari 5,865 ha menjadi
6,0182 ha) (sumber: BPN Yogyakarta, 2012).
Dinamika penduduk Kota Yogyakarta yang cukup tinggi mempengaruhi
dinamika penggunaan lahan kota dan harus diantisipasi oleh pemerintah dengan
berbagai langkah pembangunan. Penduduk kota yang tumbuh dengan cepat
memerlukan tempat tinggal dan sarana pendukungnya. Dampak dari kebutuhan lahan
untuk permukiman penduduk adalah konversi lahan pertanian, pekarangan, lahan