1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banten, merupakan salah satu FDPA daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang terletak di pesisir utara bagian barat. Daerah ini berada di bawah kepemimpinan seorang adipati yang ditempatkan di Bandar Banten dengan kotanya di tepi sungai. Hal ini dapat diketahui dari berita Tome Pires, yang menyatakan bahwa Banten merupakan salah satu Bandar Kerajaan Sunda di samping Bandar Pontang, Cigeude, Tangerang, Kelapa, Karawang, dan Cimanuk (Indramayu). Bandar Banten melakukan perniagaan dengan kepulauan Maladiva dan Sumatra melalui Pacur. 1 Menurut Halwani Michrob, bahwa Islam disebarkan di Banten oleh Syarif Hidayatullah dan putranya, Hasanuddin, pada abad ke-16. Namun demikian, ramainya perniagaan di Pelabuhan Banten nampaknya tidak menutup kemungkinan bahwa agama Islam sudah mulai disebarkan jauh sebelum Syarif Hidayatullah dan-Hasanuddin datang dan menyebarkan agama Islam di Banten. Hal ini nampak dari catatan sejarah bahwa ketika Sunan Ampel Denta pertama kali ke 1 The Suma Oriental of Tome Pires and of Francisco Rodrigus, terj. Adrian Perkasa (Yogyakarta: Ombak, 2015) p. 232.
22
Embed
BAB I PENDAHULUANrepository.uinbanten.ac.id/3635/3/BAB I.pdf · nampaknya tidak menutup kemungkinan bahwa agama Islam sudah mulai disebarkan jauh sebelum Syarif Hidayatullah dan-Hasanuddin
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banten, merupakan salah satu FDPA
daerah dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang terletak di
pesisir utara bagian barat. Daerah ini berada di bawah kepemimpinan
seorang adipati yang ditempatkan di Bandar Banten dengan kotanya di
tepi sungai. Hal ini dapat diketahui dari berita Tome Pires, yang
menyatakan bahwa Banten merupakan salah satu Bandar Kerajaan
Sunda di samping Bandar Pontang, Cigeude, Tangerang, Kelapa,
Karawang, dan Cimanuk (Indramayu). Bandar Banten melakukan
perniagaan dengan kepulauan Maladiva dan Sumatra melalui Pacur.1
Menurut Halwani Michrob, bahwa Islam disebarkan di Banten
oleh Syarif Hidayatullah dan putranya, Hasanuddin, pada abad ke-16.
Namun demikian, ramainya perniagaan di Pelabuhan Banten
nampaknya tidak menutup kemungkinan bahwa agama Islam sudah
mulai disebarkan jauh sebelum Syarif Hidayatullah dan-Hasanuddin
datang dan menyebarkan agama Islam di Banten. Hal ini nampak dari
catatan sejarah bahwa ketika Sunan Ampel Denta pertama kali ke
1 The Suma Oriental of Tome Pires and of Francisco Rodrigus, terj. Adrian
Perkasa (Yogyakarta: Ombak, 2015) p. 232.
2
Banten, ia melihat sudah banyak orang Islam di Banten, walaupun
penguasa di situ masih beragama Hindu.2
Setelah Banten dikuasai oleh pasukan Demak dan Cirebon
pada tahun 1525 M, atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pada 1526
M, pusat pemerintahan Banten yang tadinya berada di daerah hulu
sungai yakni di Banten Girang, kemudian dipindahkan ke dekat
pelabuhan Banten.3 Ketika pelabuhan Banten semakin besar dan
berkembang, pada tahun 1552 Banten yang tadinya hanya sebuah
Kadipaten diubah menjadi kerajaan Islam dan kemudian ditunjuklah
Maulana Hasanuddin sebagai raja pertamanya.
Banten kemudian dikelola dengan baik oleh sultan, ulama dan
penasehat istana hingga berkembang dengan pesat, hingga akhirnya
Banten dikenal dengan wilayah religius dan negerinya para ulama
(kiai). Peran kiai Banten pada saat itu sangat signifikan dalam menata
sistem kemasyarakatan, sosial, ekonomi, pendidikan dan budi pekerti
masyarakat Banten. Kiai Banten tidak hanya tampil dalam mengajarkan
dan mentransmisikan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga terlibat aktif
2 Halwany Michrob dan Chudari A. Mudjahid, Catatan Masa Lalu Banten
(Serang: Sausara, 1993), p. 67. 3 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten (Jakarta:
Djembatan, 1983), p. 144.
3
dalam berbagai perubahan dan dinamika sosial dan politik yang terjadi
di Banten sejak masa lampau sampai saat ini.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, misalnya,
banyak ulama-ulama di luar Banten yang diundang, salah satunya
Syekh Yusuf Al-Makasari. Syekh Yusuf Al-Makasari tidak hanya
diminta untuk mengajarkan ilmu agama tetapi kemudian dijadikan mufi
agung, guru, dan menantu Sultan. Perkawinannya dengan Siti Aminah,
putri dari Sultan Ageng Tirtayasa, telah memperkuat kedudukan dan
pengaruhnya sebagai orang terdekat Sultan. Selain menduduki salah
satu jabatan tertinggi sebagai penasehat istana yang berpengaruh,
Syaikh Yusuf juga memainkan peran penting dalam masalah
keagamaan dan masalah-masalah politik.4
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, telah
menempatkan wilayah Banten pada posisi yang jauh dari kemajuan dan
semakin terpuruk, sehingga dalam kondisi seperti ini, peran kiai dan
jawara menjadi sentral yang diharapkan mampu melawan dan
memajukkan kembali kejayaan kesultanan Banten. Sehingga banyak
orang Banten percaya bahwa kiai dan jawara kharismatik memiliki
karamah dan barakah, masuk akal jika kemudian mereka tidak
4 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di
Nusantara (Jakarta: Gema Insani,2017), p.37.
4
mengalami kesulitan dalam memobalisasi massa untuk menentang
penjajahan Belanda.
Kiai dan jawara dianggap memiliki kharisma istimewa pada
masyarakat lapisan bawah di Banten. Peran sosial mereka semakin kuat
terutama di saat Banten sedang mengalami kerisis kekuasaan pasca
diruntuhkannya kesultanan pada tahun 1812 oleh Deandels. Runtuhnya
kesultanan mengakibatkan struktur kekuasaan di Banten menjadi sangat
labil dan tidak menentu. Masyarakat telah kehilangan kendali
tradisionalnya yang menjadi tulang punggung dalam proses
penyelenggaraan kekuasaan. Sementara birokrasi kolonial tidak
mendapat tempat di dalam masyarakat.5
Kiai pada masyarakat Banten, dapat dipandang sebagai mata
rantai utama antara “tradisi kecil” sistem sosial desa dengan “tradisi
besar” atau lingkungan di atas tingkat desa. Lebih dari itu, kiai karena
kepandaiannya dalam bidang agama, juga sebagai orang yang memiliki
otoritas “tafsir” bagi kepentingan praktek kemasyarakatan. Melalui
otoritasnya ini, kiai dapat membentuk struktur masyarakat yang efektif
dengan orientasi dan visi keberagamaan yang dikontruksi oleh kiai.
5 H.S. Suhaedi, Jawara Banten: perspektif Transformasi Masyarakat Banten
(Serang: LP2M IAIN SMH Banten, 2005), p.4.
5
Dalam kontek itu, posisi kiai sangat sarat dengan kemungkinan-
kemungkinan untuk menjamin dan memperbesar pengaruhnya.6
Sementara pengakuan masyarakat terhadap jawara, karena
mereka memiliki kelebihan dalam ilmu kanuragan dan maginya, serta
kemampuannya yang cukup tentang ilmu-ilmu keagamaan,7 yang tidak
kecil manfaatnya bagi kepentingan pembebasan rakyat Banten dari
sistem komersialisasi dan kapitalisme agraria dari pemerintah kolonial.
Kekuasaan pemerintah kolonial bagi masyarakat petani dianggap telah
merampok hak-hak atas tanah dan lapangan pekerjaan yang akibatnya
kehidupan para petani semakin sulit. Dalam kontek itu walaupun pada
saat tertentu kehadiran mereka seringkali mengganggu ketentraman
masyarakat, tetapi kekerasan yang dilakukan oleh para jawara dalam
tafsir petani merupakan tindakan belance of power untuk merebut hak-
hak atas tanah dan pekerjaan mereka. Karena peran besarnya itu bahkan
ada yang menghormati dan memuja jawara sebagai orang keramat.
Kiai sebagai pemegang otoriter keagamaan, dan jawara yang
memiliki kemampuan dalam ilmu-ilmu kanuragan adalah dua tokoh
penting dalam perlawanan atau pemberontakan masyarakat Banten