Top Banner
1 BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan 1.1. Kemiskinan sebagai Persoalan Global Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak pernah berhenti dibicarakan. Berbagai disiplin ilmu mencoba mengembangkan berbagai teori, konsep dan pendekatannya untuk memahami berbagai dimensi yang berhubungan dengan kemiskinan. Upaya tersebut bertujuan untuk meminimalisir kemiskinan. Dalam perkembangannya dihasilkan berbagai tolak ukur yang digunakan untuk menentukan keadaan miskin. Pada umumnya tolak ukur kemiskinan tersebut sampai pada kesimpulan tentang keadaan serba kekurangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Pada tahun 2001, diperkirakan 21% penduduk dunia berada dalam keadaan sangat miskin dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut miskin. 54 Kebanyakan penduduk miskin tersebut berada di negara-negara berkembang, secara khusus berada di wilayah Afrika. Namun demikian, di banyak negara di wilayah Asia, terdapat pula penduduk miskin yang sangat banyak sehingga diberi istilah kemiskinan yang luar biasa. 55 Berbagai usahapun dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah ini, namun kemiskinan masih tetap dominan. 54 www.developmentgoal.org/poverty.htm#percapita . Diakses, 12 Januari 2007. 55 Aloysius Pieris, S.J., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 1996, hal. 115.
24

BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

Mar 13, 2019

Download

Documents

doandat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang Permasalahan

1.1. Kemiskinan sebagai Persoalan Global

Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak pernah berhenti

dibicarakan. Berbagai disiplin ilmu mencoba mengembangkan berbagai teori,

konsep dan pendekatannya untuk memahami berbagai dimensi yang berhubungan

dengan kemiskinan. Upaya tersebut bertujuan untuk meminimalisir kemiskinan.

Dalam perkembangannya dihasilkan berbagai tolak ukur yang digunakan untuk

menentukan keadaan miskin. Pada umumnya tolak ukur kemiskinan tersebut

sampai pada kesimpulan tentang keadaan serba kekurangan dan tidak terpenuhinya

kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan.

Pada tahun 2001, diperkirakan 21% penduduk dunia berada dalam keadaan

sangat miskin dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut miskin.54

Kebanyakan penduduk miskin tersebut berada di negara-negara berkembang,

secara khusus berada di wilayah Afrika. Namun demikian, di banyak negara di

wilayah Asia, terdapat pula penduduk miskin yang sangat banyak sehingga diberi

istilah kemiskinan yang luar biasa.55 Berbagai usahapun dilakukan untuk

mengentaskan kemiskinan di wilayah ini, namun kemiskinan masih tetap dominan.

54 www.developmentgoal.org/poverty.htm#percapita. Diakses, 12 Januari 2007. 55 Aloysius Pieris, S.J., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 1996, hal. 115.

Page 2: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

2

Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Asia juga

tidak luput dari persoalan kemiskinan. Sekalipun kemiskinan telah ada sejak dulu

namun pada periode terakhir jumlahnya semakin banyak karena dampak krisis

multidimensional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini.56 Biro

Pusat Statistik (BPS), pada bulan Februari 2006 mengeluarkan data tentang angka

kemiskinan di Indonesia sebesar 39, 1 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta,

ketimbang Februari 2005, sebesar 35,1 juta (15,97%).57 Berbagai usaha dilakukan

untuk meminimalisir kemiskinan, baik melalui kebijakan politik maupun ekonomi.

Namun demikian keberadaan masyarakat yang miskin tidak pernah menurun tetapi

cenderung meningkat, terlebih lagi di daerah-daerah yang pada dasarnya kurang

memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup masyarakatnya. Salah satunya adalah daerah Nusa Tenggara

Timur (NTT).

1.2. Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur

Sebuah penelitian yang hasilnya tertuang dalam Laporan Pembangunan Manusia

Indonesia tahun 2001 (BPS, BAPPENAS dan UNDP) membuat peringkat kinerja

pendapatan perkapita pada lingkup provinsi di Indonesia. Pendapatan perkapita

yang tertinggi adalah provinsi DKI Jakarta dengan pendapatan:

Rp.5.943.000/tahun atau Rp. 495.250/bln, dan yang terendah adalah provinsi NTT

dengan pendapatan:Rp. 712.000,-/thn atau Rp. 59.333,-/bln. Laporan tentang 56 Edi Suharto, Ph.D., Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung:PT Refika Aditama, 2005, hal. 131. 57 Data BPS 2006.

Page 3: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

3

peringkat dalam lingkup kabupaten, dari 294 kabupaten, pendapatan perkapita

terendah adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (salah satu kabupaten di NTT)

dengan pendapatan: Rp. 497.000,-/thn atau Rp. 41.410,-/bln58. Data dari BPS

Propinsi NTT pada tahun 2006 memaparkan tentang perkembangan jumlah dan

prosentasi penduduk miskin di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS): pada

tahun 2003, jumlahnya sebesar 148.100 atau 37,38%; tahun 2004, sebesar 149.500

atau 37,43% dan tahun 2005 sebesar 160.600 atau 39,29%.59 Sekalipun pada tahun

2006, kabupaten TTS tidak dikatakan sebagai daerah paling miskin di Indonesia

tetapi angka kemiskinan di daerah ini masih sangat tinggi.

Gambaran kemiskinan di NTT dapat juga dilihat dari keadaan yang

seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama pada masyarakat pedesaan.

Pada umumnya penduduk di NTT mempunyai mata pencaharian sebagai petani

ladang kering. Hasil pertanian tersebut sangat bergantung pada curah hujan di

musim penghujan. Musim penghujan biasanya hanya berlangsung kurang lebih 3

bulan saja. Bahan makanan pokok yang ditanam adalah jagung dan kacang-

kacangan Pada bulan-bulan tertentu, sekitar bulan November sampai Februari,

biasa dikatakan sebagai bulan-bulan ‘lapar biasa’. Pada bulan-bulan tersebut,

makanan dari hasil panen tahun sebelumnya sudah habis, sementara itu makanan

dari hasil tanaman yang baru ditanam belum ada, sehingga bahan makanan yang

ada sangat terbatas. Pada masa ini, bahan makanan yang masih tersedia adalah

58 www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_10 htm. Diakses tanggal 14 Januari 2007. 59 BPS Propinsi NTT .

Page 4: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

4

umbi-umbian dan pisang. Keadaan tersebut selalu terjadi setiap tahun pada bulan-

bulan yang sama.

Mereka juga rentan terhadap penyakit. Anak-anak mengalami kurang gizi,

sementara banyak orang dewasa yang mengidap penyakit seperti TBC dan

Malaria. Kebanyakan tidak mengobati penyakit tersebut karena berbagai sebab,

diantara karena tidak mempunyai uang untuk mengobati penyakit tersebut ke

puskemas dan lebih memilih mengobati penyakitnya dengan pengobatan

tradisional. Sakit penyakit yang tidak segera diobati menyebabkan semakin

berkurangnya produktifitas kerja, padahal pekerjaan sebagai petani ladang kering

sangat membutuhkan kesehatan fisik. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa

kelemahah fisik mengakibatkan produktifitas kerja mereka menurun sehingga

mereka tidak dapat bekerja di ladang. Keadaan tersebut membuat mereka tidak

dapat memenuhi kebutuhan pokok dan dikategorikan sebagai orang miskin.60

1.3. Upaya Pengentasan Kemiskinan.

Pemerintah daerah menyadari bahwa kemiskinan menjadi salah satu tantangan

bagi masyarakat di NTT, sehingga berbagai usaha dilakukan dalam rangka

mengentaskan kemiskinan tersebut. Usaha-usaha tersebut dilakukan oleh

pemerintah daerah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan di kecamatan Amanatun Utara, kabupaten TTS,

upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan diantaranya:

60 Robert Chambers, Rural Development:Putting The Last First, New York, 1983, hal. 110.

Page 5: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

5

1.3.1. Bantuan Bibit Tanaman Produktif.

Bantuan bibit tanaman perkebunan dilakukan oleh pemerintah daerah melalui

Dinas Perkebunan. Bantuan yang diberikan adalah bibit tanaman sukun, vanili,

kemiri, jambu mete, jarak, jati dan mahoni. Bantuan tersebut diharapkan dapat

memberi hasil yang baik dan meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga

membantu masyarakat hidup sejahtera dan keluar dari kemiskinan.

Namun demikian, bantuan tersebut tidak memberi hasil yang optimal

karena tidak adanya bimbingan dan penyuluhan tentang bagaimana cara menanam,

memeliharaan dan memasarkan hasilnya. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat

menanam tanaman tersebut dengan sembarangan bahkan membiarkan bibit

tersebut tidak tumbuh. Dengan demikian dapat diduga bahwa tujuan pemberian

bantuan tersebut tidak tercapai.

1.3.2. Program Pengembangan Kecamatan (PPK).

PPK di Kecamatan Amanatun Utara dimulai pada tahun anggaran 2003-2004.

Dana PPK tersebut berasal dari bantuan Bank Dunia. Bantuan ini diberikan untuk

memberdayakan perekonomian masyarakat. Kegiatan yang dilakukan berupa

kegiatan simpan pinjam, usaha ekonomi produktif dan pembiayaan pembangunan

prasarana dan sarana umum. Usaha ekonomi produktif yaitu bantuan dana

bergulir untuk membuat usaha produktif, seperti: pembuatan kios, penggemukan

sapi dll. Sedangkan pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana umum

digunakan untuk pengadaan sarana kesehatan, pendidikan dan jalan. Dana PPK

Page 6: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

6

yang diberikan untuk setiap kecamatan sebesar Rp. 1.000.000.000,- dan dana

tersebut harus dihabiskan dalam 1 tahun program.61 PPK telah 3 tahun

dilaksanakan di Kecamatan Amanatun Utara dengan total dana sebesar Rp.

3.000.000.000,-.62

Menurut Wellem Lopo63, petugas unit pengelolaan kegiatan kecamatan

Amanatun Utara, tujuan utama program tersebut adalah pengembangan

perekonomian masyarakat desa. Dana program tersebut difokuskan pada bantuan

dana bergulir untuk usaha produktif masyarakat. Usaha produktif yang diberikan

merupakan usulan dari anggota-anggota kelompok masyarakat. Namun dalam

pelaksanaannya, banyak usaha produktif tersebut tidak berkelanjutan dan dana

bergulir yang harus dikembalikan mengalami masalah. Pada tahun pertama,

pengembalian dana bergulir sebesar 100%, namun kemacetan terjadi pada tahun

kedua dan ketiga sehingga pengembalian dana bergulir tersebut tidak lebih dari

35%.

1.3.3. Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Bantuan ini merupakan bantuan yang diberikan kepada masyarakat miskin sebagai

biaya kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Pada tahun 2006, BLT

telah disalurkan kepada 2.351 KK dengan total dana sebesar: Rp. 2.821.200.000,-

61 Wawancara dengan Bp. Wellem Lopo, Pengurus PPK kecamatan Amanatun Utara, tanggal 2 Mei 2007. 62 Laporan Tahunan Camat Amanatun Utara tentang Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan Pembangunan dan Pelayanan Kemasyarakatan di Kecamatan Amanatun Utara tahun 2006, hal. 12. 63 Wellem Lopo, Wawancara, 2 Mei 2007.

Page 7: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

7

Tujuan pemberian BLT adalah menolong masyarakat miskin supaya tidak semakin

terpuruk dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak.

Usaha pemberian BLT juga tidak menyelesaikan akar persoalan

kemiskinan yang ada. Bantuan tersebut bersifat karitatif dan sesaat saja. Hal

tersebut justru menimbulkan mental ketergantungan. Sementara itu juga, bantuan

tersebut tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang

berdampak pada kenaikan harga semua bahan kebutuhan hidup.

1.3.4. Bantuan dari LSM.

Terdapat dua yayasan LSM yang pernah berkarya di kecamatan Amanatun Utara

pada tahun 1996-1998, yaitu yayasan Tananua, yang bernaung dibawah gereja

Katolik dan yayasan Alfa Omega, yang bernaung dibawah Gereja Masehi Injili di

Timor (GMIT). Secara garis besar, kedua yayasan tersebut bergerak dibidang

pengembangan perekonomian masyarakat. Mereka mengarahkan program-

programnya yang menunjang upaya pengembangan perekonomian masyarakat

tersebut. Mereka membuat pelatihan-pelatiahn kepada para pemuda tentang cara

mengolah tanah di kebun, cara memelihara ternak yang baik. Mereka memberikan

bibit tanaman dan alat-alat pertanian.

Yayasan-yayasan tersebut dapat dikatakan merupakan perpanjangan

pelayanan gereja bagi pengembangan dan kesejahteraan masyarakat. Namun

demikian, sekalipun yayasan tersebut berbasis pada gereja, tetapi pengelolaannya,

diatur secara terpisah dan independen.

Page 8: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

8

Kehadiran LSM cukup membantu masyarakat, khususnya dalam upaya

pemberdayaan melalui pelatihan-pelatihan yang bermanfaat bagi pekerjaan para

petani pada umumnya. Namun demikian, kehadirannya dalam kurun waktu yang

relatif singkat tersebut membuat program-program pengembangan masyarakat

tidak berkelanjutan. Pada saat ini, dampak dari kehadiran LSM tersebut tidak

terasa sama sekali, masyarakat tetap mengolah ladang dengan cara tradisional,

yaitu dengan cara tebas-bakar.

1.4. Kegagalan Upaya Pengentasan Kemiskinan.

Upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan LSM

sebagaimana telah diuraikan diatas, justru cenderung memperlihatkan hasil yang

tidak menggembirakan. Upaya pengentasan kemiskinan yang menghabiskan

banyak dana serta tenaga tidak memberi dampak yang signifikan dalam kehidupan

masyarakat. Masyarakat tetap berada dalam keadaan yang miskin. Hal tersebut

dapat terjadi karena pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan tidak

memiliki tujuan jangka panjang yang berkesinambungan.

Kendala lain yang dirasakan adalah sikap masyarakat yang tidak dapat

diajak keluar dari kemiskinan. Hal ini terkait dengan budaya masyarakatnya.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-

konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat.64

Konsepsi-konsepsi tersebut diterjemahkan dalam norma-norma serta aturan-aturan

64 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta, PT. Gramedia, 1974, hal. 32.

Page 9: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

9

adat yang mengikat masyarakat. Memang bukan hal yang mudah jika upaya

pengentasan kemiskinan berbenturan dengan tatanan nilai masyarakat. Jadi

nampaknya program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh

pemerintah dan LSM kurang memperhatikan atau bahkan mengabaikan nilai-nilai

budaya masyarakat setempat.

Sesungguhnya, upaya pengentasan kemiskinan seharusnya diintegrasikan

dengan pendekatan sosial budaya.65 Pendekatan ini memperhatikan sistem nilai

budaya yang menyebabkan munculnya pola pikir serta tindakan tertentu pada

masyarakat. Namun pendekatan ini seringkali juga diabaikan. 66 Padahal

pengabaian pendekatan aspek sosial-budaya dapat mengakibatkan rapuhnya

penanganan kemiskinan dari aspek politik dan ekonomi.67

1.5. Masyarakat Atoni Pah Meto.

Masyarakat Atoni Pah Meto merupakan salah satu suku masyarakat di NTT.

Mereka tinggal di pulau Timor. Pada saat ini, pada umumnya masyarakat Atoni

Pah Meto beragama Kristen, Katolik dan Protestan. Sekalipun mereka beragama

Kristen, namun dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali bahwa mereka masih

memelihara serta menjalankan norma-norma serta aturan-aturan adat. Hal tersebut

nampak dalam interaksi mereka dengan sesama anggota suku dan juga dengan

65 Makalah Ir. Fred Benu, MS, Ph.D., (tidak dipublikasikan), Data Penduduk dan Rasionalisasi Program Penanggulangan Kemiskinan di NTT, hal. 10. 66 J.B. Banawiratma, S.J. dan J.Mulder, S.J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal. 124. 67 J.B. Banawiratma, S.J., “Analisa Sosial dan Pembebasan:Refleksi Teologis” dalam J.B.Banawiratma, S.J. (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 1987, hal. 153.

Page 10: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

10

orang lain. Kebersamaan mereka nampak pada acara-acara yang berhubungan

dengan siklus hidup maupun siklus pertanian, seperti upacara penerimaan anak

yang baru lahir, pernikahan, kematian, permulaan masa menanam bibit dan

sebagainya.

Keyakinan masyarakat Atoni Pah Meto pada nilai-nilai budayanya

terbentuk dalam hubungan dengan ‘yang lain’ yaitu Yang Maha Tinggi atau

disebut Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi.68

Masyarakat Atoni Pah Meto masih mempercayai bahwa ketiga unsur tersebut

mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu sekalipun banyak ritus adat

yang sudah tidak dilakukan lagi pada saat ini, namun penghayatan mereka dalam

relasi dengan ‘yang lain’ itu masih sangat mempengaruhi kehidupan mereka,

sebagai pribadi maupun dalam kehidupan sosial masyarakat Atoni Pah Meto

sampai saat ini. Kehidupan yang bermakna berarti mempunyai hubungan yang

baik dengan Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi

itu. Relasi yang baik, di satu sisi membuat mereka terhindar dari malapetaka dan

di sisi lain mereka dapat mengharapkan kesejahteraan, keadilan dan kesehatan.

Kepercayaan kepada Uis Neno, roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan

yang lain mempersatukan anggota masyarakat dalam kesatuan sistem nilai budaya.

Oleh karena itu, individu dalam masyarakat juga mempunyai keterikatan yang

kuat dengan anggota masyarakatnya karena faktor kepercayaan dan kekerabatan.

Sistem nilai tersebut membentuk identitas kultural masyarakat, sehingga dalam

68 Pieter Middelkoop, Curse, Retribution, Enmity, Amsterdam:Drukkerij en Uitgeverij Jacob van Campen, 1960, hal. 23-24.

Page 11: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

11

koridor nilai-nilai budaya tersebut, setiap individu didalamnya mendapatkan

makna hidup, kedudukan serta rasa aman. Menurut John M. Prior, kebudayaan

kosmis yang menjadi ciri bagi kebudayaan-kebudayaan lokal di Indonesia Timur

menempatkan pernghormatan terhadap pribadi sebagai bagian dari keseluruhan,

dari keluarga, suku dan kosmos.69 Dengan demikian, pribadi yang hidup dalam

masyarakat Atoni Pah Meto tidak pernah menjadi pribadi yang bebas pada dirinya

sendiri.

Komunalitas dalam kehidupan masyarakat Atoni Pah Meto membuat

individu di dalamnya terikat satu sama lain, namun demikian masing-masing

individu dalam masyarakat Atoni Pah Meto juga mempunyai tanggung jawab,

contohnya pada ritus memperkenalkan anak yang baru lahir kepada anggota

keluarga (napoitan li ana). Pada ritus tersebut tidak disebutkan apakah anak

tersebut laki-laki atau perempuan. Jika anak tersebut laki-laki maka disebutkan

bahwa anak itu membawa suni-auni (parang-tombak/linggis), sedangkan jika anak

tersebut perempuan, maka disebutkan bahwa anak itu membawa ike-suti (alat

memintal benang-alat menenun). Pemberian sebutan sebagai pembawa suni-auni

atau ike-suti memang menunjukkan peran sosial dalam masyarakat berdasarkan

gender bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian pembagian peran tersebut

tetap menjadi tanggung jawab dari masing-masing individu, yang seharusnya

dihayati dan dilaksanakan dengan baik.

69 John M. Prior, SVD., ”Kebudayaan, Iman dan Sekularisme”, dalam DR. Georg Kirchberger, SVD. dan DR. John M. Prior, SVD. (Ed.), Iman dan Transformasi Budaya, Seri Verbum, Ende:Penerbit Nusa Indah, 1996, hal. 298-299.

Page 12: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

12

2. Rumusan Permasalahan.

Melihat latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Apakah kegagalan upaya pengentasan kemiskinan berhubungan dengan

nilai budaya yang dianut masyarakat Atoni Pah Meto?

2. Apakah nilai budaya masyarakat Atoni Pah Meto yang dapat

dikembangkan sehingga mendorong mereka keluar dari kemiskinan?

3. Bagaimana gereja menyikapi realita kemiskinan dan religiositas

masyarakat Atoni Pah Meto?

3. Hipotesa

Tesis ini berasumsi bahwa:

1. Banyaknya kegagalan upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Atoni

Pah Meto yang dilakukan oleh berbagai pihak karena mereka tidak

mempertimbangkan budaya masyarakat Atoni Pah Meto.

2. Ada pemahaman religius-kultural yang dapat mendorong masyarakat Atoni

Pah Meto keluar dari kemiskinan.

3. Gereja mempunyai pandangan dan sikap tertentu terhadap kemiskinan dan

religiositas masyarakat Atoni Pah Meto.

Page 13: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

13

4. Kerangka Teori Penelitian.

4.1. Tinjauan Sosio-Budaya terhadap Kemiskinan.

Istilah kemiskinan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai suatu

realitas, mandiri dan dapat dihitung dengan angka, karena kemiskinan tidak dapat

diukur hanya menggunakan indikator kepemilikan materi.70 Kemiskinan tetap

merupakan kenyataan yang kompleks karena mempunyai banyak segi dan

dimensi, yang bersifat material sampai yang non-material/mental, sehingga tidak

mudah untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai

kemiskinan.71 Namun demikian tetap ada usaha membuat tolak ukur yang

digunakan untuk menentukan kemiskinan. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha

untuk mengerti serta menentukan kebijakan dalam usaha membantu masyarakat

yang miskin. Tolak ukur tersebut menggunakan kategori-kategori untuk

menentukan keadaan masyarakat yang miskin. Beberapa kategori kemiskinan

tersebut adalah kemiskinan mutlak/absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan

struktural, kemiskinan situasional dan kemiskinan kultural.72 Sekalipun banyak

tolak ukur serta kategori yang digunakan, namun pada dasarnya kemiskinan

merupakan keadaan serba kekurangan.

Banyak upaya telah dilakukan untuk membantu masyarakat miskin keluar

dari kemiskinannya. Namun upaya yang dilakukan biasanya ditinjau berdasarkan

70 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 19. 71 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal 124. 72 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, hal. 19.

Page 14: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

14

pendekatan ekonomis, yang menentukan tujuan peningkatan serta kemajuan

ekonomi/material sebagai tolak ukur keberhasilan program pengentasan

kemiskinan dan juga tinjauan politis, kebijakan publik menjadi harapan untuk

mengurangi angka kemiskinan. Namun demikian, pada kenyatannya pengentasan

kemiskinan yang hanya dilihat dari aspek ekonomi dan politis tidak memberi hasil

seperti yang diharapkan. Oleh karena itu pada saat ini telah berkembang

pemahaman bahwa persoalam kemiskinan harus juga memperhatikan tinjauan dari

aspek sosio-budaya.

Tinjauan terhadap kemiskinan dari aspek sosio-budaya merupakan salah

satu upaya mengerti cara berpikir dan nilai-nilai yang dipegang oleh orang miskin,

yang diwujudkan dalam mentalitas serta struktur sosial yang dibangun.73 Hal

tersebut juga berarti bahwa dibelakang setiap masyarakat ada pandangan hidup

serta nilai-nilai tertentu yang mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat

tersebut.74 Oleh karena itu jika mentalitas suatu masyarakat tergantung pada

lingkungannya, maka mentalitas orang-orang miskin juga dibangun dari nilai-nilai

yang hidup dalam lingkungannya. Nilai-nilai hidup tersebut secara khusus

terbentuk dari budaya yang dikembangkan pada masyarakat tersebut.

73 Sunarso Hs dan Joh.Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan” dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, hal. 172. 74 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, hal 151.

Page 15: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

15

4.2. Masyarakat berbudaya Kosmis.

Identitas suatu kelompok masyarakat mengungkapkan ‘konsep diri’ yang

dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya. Identitas tersebut dapat

dilihat melalui kebudayaan yang dikembangkan. Kebudayaan itu sendiri terkait

dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki bersama, yaitu bagaimana

cara seseorang memahami dunia yang berada disekitarnya.75 Kebudayaan yang

dikembangkan dalam masyarakat yang hidup dalam budaya agraris dan lisan

adalah kebudayaan kosmis. Kebudayaan yang melihat seluruh tatanan alam, sosial

dan simbolik dalam suatu satu sistem yang total, sehingga segala sesuatu yang

terjadi dalam kehidupan mereka tidak pernah dilihat berdiri sendiri tetapi selalu

saling terkait dengan keseluruhan tata kosmis.76

Dalam masyarakat berbudaya kosmis itu, pembentukan pandangan hidup

dan perilaku berkaitan dengan relasi yang dibangun dalam masyarakat. Tata

kosmis merupakan harmoni antara empat hubungan yang membentuk identitas

masyarakat maupun individu. Pembentukan identitas tersebut dapat digambarkan

sebagai berikut:77

75 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2004, hal. 8. 76 John M. Prior, Kebudayaan, Iman dan Sekularisme, dalam Dr. Georg Kirchberger dan Dr. John M. Prior, Seri Verbum: Iman dan Transformasi Budaya, Ende, Penerbit Nusa Indah, 1996, hal. 298. 77 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 174.

Page 16: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

16

Dunia gaib/transenden (2)

Kosmos

Alam semesta (2) Masyarakat/sesama manusia (1)

IDENTITAS

SOSIO-BUDAYA DAN INDIVIDU

Dunia benda/ (3) Diri Sendiri (4)

Alam

Bagan di atas memperlihatkan bahwa identitas sosio-budaya dan individu dalam

masyarakat kosmis ditentukan oleh:

1. Hubungan manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat. Hal

tersebut menunjukkan gambaran tentang masyarakat.

2. Hubungan manusia dengan dunia gaib, termasuk didalamnya kosmos atau

alam semesta serta roh-roh. Dalam relasinya dengan manusia, dunia gaib

menjadi semacam masyarakat transenden. Relasi ini hendak

memperlihatkan apakah suatu masyarakat masih mempunyai hubungan

dengan dunia gaib dan roh-roh. Dalam masyarakat kosmis, relasi ini masih

Page 17: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

17

terpelihara karena roh-roh yang tinggal dalam dunia gaib tetap menjadi

bagian serta mempengaruhi kehidupan masyarakat.

3. Hubungan manusia dengan dunia materi, termasuk lingkungan alam.

4. Hubungan manusia dengan diri sendiri sebagai individu.

Identitas masyarakat kosmis memang terbentuk dari pandangan yang

menghubungkan relasi-relasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

mengambil contoh masyarakat Jawa, yang dapat dikatakan sebagai bagian dari

masyarakat kosmis, J.B. Banawiratma dan J. Muller mengatakan bahwa jika

terjadi konflik dalam relasi ke empat unsur tersebut maka masyarakat cenderung

mengutamakan relasi dengan dunia gaib dan sesamanya daripada dunia materi dan

dirinya sendiri.78 Dan relasi dengan sesama merupakan perwujudan dari

pemahaman terhadap relasi manusia dengan dunia gaib. Pada dasarnya, relasi

yang terpenting adalah relasi manusia dengan Yang Maha Kuasa, karena relasi

tersebut menentukan bagaimana manusia berelasi dengan sesama, alam/materi dan

dirinya sendiri. Dengan demikian nilai-nilai budaya masyarakat kosmis cenderung

ditentukan oleh religiositas masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dari

religiositas masyarakat tersebut kemudian membentuk mentalitas masyarakat,

yang terwujud dalam sikap, prilaku dan peranan sosial yang dimainkan oleh setiap

individu dalam masyarakat.79

78 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 176. 79 J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial lintas Ilmu, hal 151.

Page 18: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

18

5. Judul:

RELIGIOSITAS DAN KEMISKINAN:

Mengembangkan Religiositas Masyarakat Atoni Pah Meto

Menghadapi Kemiskinan

Religiositas berangkat dari pengertian kata religi, yang dapat berarti

penyerahan diri kepada sesuatu yang lebih tinggi dalam keyakinan bahwa manusia

itu bergantung pada sesuatu ‘yang lebih tinggi’ itu.80 Religi juga memuat hal-hal

keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan tingkah laku. alam pikiran dan

perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri.81

Mangunwijaya mengatakan bahwa religiositas lebih melihat aspek yang ‘didalam

lubuh hati’, riak getaran hati nurani pribadi, yang terjadi dalam perjumpaan

dengan ‘yang lebih tinggi’.82 Dari ketiga pemahaman tersebut, nampaknya

religiositas lebih banyak berhubungan dengan respon yang muncul karena

pengalaman perjumpaan dengan ‘yang lebih tinggi’. Sekalipun nampaknya

merupakan pengalaman pribadi, namun demikian, dalam masyarakat kosmis, yang

pengalaman pribadi tersebut dapat diceritakan dari individu kepada yang lainnya

dan kemudian dapat menjadi pengalaman bersama yang diturunkan dari generasi

ke generasi. Dengan demikian, religiositas adalah nilai-nilai budaya yang

80 Prof.DR. R.M. John Tondowidjojo, Etnologi dan Pastoral di Indonesia, Ende:Penerbit Nusa Indah, 1992, hal. 123. 81 Koentjaraningrat, Beberapa pokok Antropologi Sosial, Jakarta:P.T. Dian Rakyat, 1974, hal. 269- 272. 82 Y.B. Mangunwiajaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1982, hal. 11.

Page 19: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

19

terbentuk dari pengalaman perjumpaan dengan ‘yang lebih tinggi’. Religiositas

tersebut mempengaruhi seluruh segi kehidupan masyarakat.

Kemiskinan merupakan keadaan serba kekurangan.83 Kekurangan tersebut

dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.84 Kenyataan kemiskinan ini jugalah yang

dihadapi oleh masyarakat Atoni Pah Meto. Aloysius Pieris mengatakan bahwa

dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia, kenyataan yang mencolok adalah

kenyataan kemiskinan dan religiositas yang beragam, dan keduanya saling

berhubungan.85. Dengan demikian, kemiskinan masyarakat Atoni Pah Meto

berhubungan juga dengan religiositas masyarakatnya.

Atoni Pah Meto merupakan salah satu suku yang berada di Propinsi NTT.

Suku ini dapat dikatakan sebagai suku terbesar di antara suku-suku yang lain.

Nama Atoni Pah Meto berarti orang dari tanah kering.86 Pemberian sebutan Atoni

Pah Meto dapat dipahami karena tanah Timor dikenal sebagai daerah yang kering,

curah hujan yang sedikit, struktur tanah yang berbukit-bukit, berbatu dan

mengandung zat kapur.87

Sementara itu Penggunaan kata ‘mengembangkan’ berarti menjadikan

lebih baik88 Suatu upaya untuk melihat kembali apa yang telah ada. Dalam

kehidupan masyarakat Atoni Pah Meto, tentu saja telah ada nilai-nilai religius yang 83 W.J.S. Poerwodarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. XI, 1989, hal. 652. 84 Sunarso Hs dan Joh. Mardimin, “Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan”, dalam Joh. Mardimin (ed.), Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 20. 85 Aloysius Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, hal. 115. 86 H.G.Schulte Nordholt, The Political System of The Atoni of Timor, The Hague, Martinus Nijhoff. 1971, hal. 19. 87 Andreas T. Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Ende:Penerbit Nusa Indah, 2004, hal. 15. 88 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 2001, hal 173.

Page 20: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

20

mewarnai kehidupan mereka. Upaya membangun merupakan usaha menemukan

nilai-nilai yang dapat dikembangkan, diperluas dan memperdalam makna hidup

masyarakat. Namun demikian, upaya pengembangan tersebut bukan berarti

romantisme masa lalu yang membawa masyarakat kembali pada religiositas

‘mula-mula’. Upaya mengmbangkan mengandung unsur konfirmasi dan

konfrontasi/koreksi terhadap diri sendiri, sebagai mana yang dilakukan dalam

upaya kontekstualisasi antara Injil dan kebudayaan.89 Oleh karena itu religiositas

masyarakat yang diterjemahkan dalam nilai budaya, mentalitas serta perilaku

diharapkan dapat mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan berdasar pada

kesadaran bahwa kebudayaan merekapun mempunyai nilai-nilai yang dapat

dikembangkan untuk menghadapi kemiskinan..

6 Tujuan Penelitian

a. Menemukan dan memahami makna nilai budaya masyarakat Atoni Pah

Meto sehingga dapat mendorong mereka mengembangkannya untuk

menghadapi kemiskinan.

b. Memberikan sumbangan pemikiran teologis yang memperhatikan konteks

sosio-budaya masyarakat sehingga mendorong gereja memperkaya

perhatian dan kepedulian kepada masyarakat miskin.

89 E.G. Singgih, Berteologi dan Konteks, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2000, hal. 30.

Page 21: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

21

7. Metode Penelitian.

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian literatur dan

penelitian lapangan.

7.1.Penelitian Literatur:

Penelitian ini digunakan untuk membangun landasan teoritis tentang unsur-unsur

yang mempengaruhi keberadaan masyarakat kosmis. Hal tersebut dilakukan untuk

menyusun gambaran umum nilai-nilai religius-kultural serta relasi yang terjalin,

yang kemudian didialogkan dengan konteks kehidupan masyarakat Atoni Pah

Meto. Penelitian ini berguna bagi perspektif hermeneutis permasalahan yaitu

dalam rangka mencari sumber-sumber yang dapat dipakai untuk memahami dan

menganalisa perspektif empiris yang terjadi dalam masyarakat Atoni Pah Meto.

7.2. Penelitian Lapangan:

7.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara,

Kabupaten TTS. Pilihan terhadap lokasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa

prosentasi kemiskinan di wilayah ini sangat besar, yaitu sebesar 93,28%.

Disamping itu, masyarakatnya masih memegang nilai-nilai budaya dan aturan adat

setempat sehingga masih dapat ditelusuri pandangan dan pengalaman religius

mereka.

Page 22: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

22

7.2.2. Subyek Penelitian.

Nara sumber penelitian ini adalah beberapa anggota masyarakat yang mewakili

unsur-unsur kelompok masyarakat, yaitu 5 orang dari unsur masyarakat adat, yang

beragama Katolik dan Protestan, 3 orang dari unsur pemerintahan daerah, 2 orang

dari unsur gereja, 3 orang dari unsur perempuan, 3 orang dari unsur pemuda, 2

orang dari unsur LSM, tokoh masyarakat atau adat, orang-orang yang

berkecimpung di LSM dan 2 orang dari unsur pendidikan. Wawancara yang

dilakukan mengarahkan mereka pada tujuan penelitian

7.2.3. Waktu Penelitian.

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, yaitu bulan April dan Mei 2007.

7.2.4. Jenis Penelitian.

Penelitian lapangan berguna untuk mencari jawaban dari kategori-kategori yang

telah dibuat dalam penelitian literatur. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan

digunakan metode penelitian etnografi karena penelitian ini berupaya untuk

memahami, mengartikan dan menjelaskan pemahamanan masyarakat tentang

pengalaman hidup mereka.90 Dan penelitian ini menggunakan ancangan kualitatif,

data diperoleh berdasarkan hasil obeservasi dab wawancara dengan subyek

penelitian. Ancangan ini digunakan karena lebih menekankan pada proses dan

makna yang lebih fleksibel karena tidak secara ketat diukur dari segi jumlah,

90 A.B. Subagyo, Ph.D., Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004, hal. 109-111.

Page 23: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

23

intensitas dan frekwensinya. Ancangan ini juga berusaha mencari jawaban atas

pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi

makna.91 Penggunaan ancangan kualitatif lebih berguna karena penelitian ini lebih

mengarah pada pengalaman dan pencarian makna hidup.

8 . Sistematika Pembahasan.

Bab I : PENDAHULUAN

Bagian ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan,

rumusan permasalahan, hipotesa, kerangka teoritis, tujuan

penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II : KEADAAN RELIGIUS-KULTURAL MASYARAKAT.

ATONI PAH METO

Bab ini memaparkan tentang keberadaan masyarakat Atoni Pah

Meto secara khusus yang berada di desa Lilo, kosmologi

masyarakat Atoni Pah Meto, relasi-relasi yang dijalin dalam

kehidupan sosio-kultural mereka serta ritus-ritus adat.

91 A.B. Subagyo, Ph.D., Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif, hal.62.

Page 24: BAB I P E N D A H U L U A N 1. Latar Belakang Permasalahan ...sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50040183/9a8d8a...Wacana tentang kemiskinan merupakan hal yang tidak

24

Bab III : MEMAKNAI KEPERCAYAAN MASYARAKAT

ATONI PAH METO

Bagian ini merupakan analisa dan interpretasi tentang nilai-nilai

budaya masyarakat Atoni Pah Meto sehingga dapat memberi

sumbangan dalam upaya keluar dari kemiskinan.

Bab IV : GEREJA BERADA BERSAMA MASYARAKAT

ATONI PAH METO.

Bagian ini berisi upaya gereja mendukung masyarakat Atoni Pah

Meto untuk mengupayakan pengentasan kemiskinan yang

memperhatikan religiositas masyarakat.

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan kesimpulan dan saran yang dapat bermanfaat

bagi pihak-pihak yang peduli pada kemiskinan masyarakat Atoni

Pah Meto.