1 Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria A. Latar Belakang Studi ini ingin menggambarkan tentang eksistensi sebuah entitas sosial yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis. Studi ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana pondok Pesantren waria Al- fatah Senin-kamis dalam memperjuangkan kepentingan kaum waria di Yogyakarta. Selain daripada itu, studi ini juga akan mendalami bagaimana selanjutnya Pondok Pesantren tersebut merepresentasikan dirinya di ruang publik. Studi ini akan meletakkan Pondok Pesantren sebagai basis perjuangan waria untuk memperoleh penerimaan sosial. Hidup sebagai waria harus mampu bertahan dari berbagai ragam tekanan yang menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum sepenuhnya diterima di dalam ruang sosial tersebut. Maka oleh sebab itu mereka tidak bisa lari dari tekanan-tekanan sosial, namun sebaliknya mereka harus menghadapi dengan berbagai siasat agar harapan mereka untuk mempertahankan kultur sebagai waria bisa tercapai. Melalui bahasa, gaya hidup, cara berpakaian yang bertentangan
33
Embed
Bab I Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69322/potongan/S1...2 dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Bab I
Memahami Hadirnya Frame Baru Dari Waria
A. Latar Belakang
Studi ini ingin menggambarkan tentang eksistensi sebuah entitas sosial
yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Senin-Kamis.
Studi ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana pondok Pesantren waria Al-
fatah Senin-kamis dalam memperjuangkan kepentingan kaum waria di
Yogyakarta. Selain daripada itu, studi ini juga akan mendalami bagaimana
selanjutnya Pondok Pesantren tersebut merepresentasikan dirinya di ruang
publik. Studi ini akan meletakkan Pondok Pesantren sebagai basis perjuangan
waria untuk memperoleh penerimaan sosial.
Hidup sebagai waria harus mampu bertahan dari berbagai ragam tekanan
yang menghimpit dirinya, karena kultur mereka belum sepenuhnya diterima di
dalam ruang sosial tersebut. Maka oleh sebab itu mereka tidak bisa lari dari
tekanan-tekanan sosial, namun sebaliknya mereka harus menghadapi dengan
berbagai siasat agar harapan mereka untuk mempertahankan kultur sebagai waria
bisa tercapai. Melalui bahasa, gaya hidup, cara berpakaian yang bertentangan
2
dengan jenis kelamin mereka menjadikan waria tidak memperoleh posisi tawar
menawar dalam kehidupan sosial bermasyarakat.1
Secara aturan budaya yang mengikat dalam masyarakat, kita hanya
mengakui dua sisi yang berlawanan, seperti misalnya kiri-kanan, hitam-putih,
kaya-miskin, pria-wanita. Akan menjadi hal yang tabu jika pria di posisikan
dengan pria karena karakter dari masing-masing ini telah mutlak ditentukan dan
tidak dapat di ubah. Namun seiring berjalannya waktu pertukaran jati diri ini
banyak kita temui di seluruh negara termasuk Indonesia dan khususnya untuk
daerah Yogyakarta. Pertukaran jati diri ini kerap kita kenal dengan sebutan waria.
Jika pilihan waria tetap diteruskan, maka resiko dan permasalahan besar akan
diperoleh waria dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Masalah yang kerap
kali di temukan oleh waria seperti misalnya penolakan keluarga, tidak diterima
secara sosial, dianggap sebagai lelucon dan kesulitan dalam mengakses pelayanan
publik yang telah tersedia.
Berbicara waria dari waktu ke waktu memang tidak ada habisnya, untuk
daerah Yogyakarta sendiri sudah mengalami perkembangan yang luar biasa.
Kelompok waria sudah tidak malu lagi untuk menunjukkan identitas mereka
sebagai kalangan dari masyarakat yang bertentangan dari jenis kelamin yang telah
di tentukan. Sebagai kaum yang termaginalkan kelompok ini kerap kali membuat
1Koeswinarno, 2006, Hidup Sebagai Waria, Lkis, Jakarta. hal 10
3
resah masyarakat karena kehadirannya yang di anggap sebagai sampah
masyarakat akibat ketidakmampuannya.
Namun demikian walaupun waria merupakan bagian dari masyarakat yang
dikucilkan, mereka tetap bagian dari warga negara yang secara tidak langsung
tetap dapat memanfaatkan hak-haknya sebagai warga negara. Salah satu
contohnya yakni pemanfaatan ruang publik. Namun fakta dilapangan yang kita
temui adalah kehidupan yang termaginalkan, mulai dari sisi pekerjaan, agama dan
politik. Para waria harus berjuang untuk mendapatkan akses pelayanan publik
dengan statusnya sebagai kaum minoritas. Sejatinya, dalam penelitian ini akan
melihat bagaimana proses representasi dengan formasi yang cukup panjang demi
mengakui kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat.
Mengutip skripsinya Titik Widayanti yang mengatakan bahwa waria
Yogyakarta diposisikan sebagai orang-orang tertindas. Mereka tidak memiliki
kesamaan akses dengan masyarakat lainnya. Waria mengalami diskriminasi untuk
mengakses kesehatan, pendidikan, tempat beribadah dan pekerjaan di sektor
publik. Belum mendapatkan pengakuan terhadap identitas mereka dikarenakan
budaya dominan dalam masyarakat kita yang hanya mengakui dua identitas
seksual menjadi alasan mendasar belum diakuinya identitas waria.Maka oleh
4
sebab itu tidak mengherankan jika kesulitan waria dalam mengakses merupakan
suatu sisi yang layak untuk dikaji lebih dalam lagi.2
Keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal
merupakan fakta yang menunjukkan bahwa waria diposisikan sebagai kelompok
yang termaginalkan. Belum adanya pengakuan dari masyarakat dan negara
berdampak pada keterbatasan waria dalam mengakses pekerjaan di sektor formal.
Banyak dari masyarakat yang masih meragukan kepandaian dan kualitas waria.
Pendidikan, skill yang rendah memberikan keraguan masyarakat untuk memberi
pekerjaan kepada waria. Keterbatasan pekerjaan dari sektor formal ini
menjadikam waria pada akhirnya memilih untuk bekerja di sektor informal,
seperti pekerja seks atau nyebong, ngamen dan bekerja di salon.3
Gebrakan awal yang dilakukan oleh waria yang bernama Maryani
kelahiran 15-Agustus-1960 adalah dengan mendirikan pesantren senin kamis di
daerah Notoyudan, Yogyakarta. Mendirikan pesantren merupakan langkah awal
yang dilakukan Ibu Maryani guna mempermudah waria dalam melakukan ibadah
tanpa harus melihat latar belakang mereka.Adapun maksud dari pesantren waria
ini adalah sebuah tempat yang difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan
keagamaan seperti shalat, zikir, dan belajar membaca al-quran oleh sekelompok
orang yang memiliki anatomi tubuh pria namun sifat dan tingkah lakunya
2Widayanti, 2008, Politik Subaltern, Yogyakarta. hal 3
3Ibid, hal 103
5
cenderung ke arah wanita. Munculnya pesantren waria ini merupakan realitas
sosial keagamaan dari perspekif kaum marginal yang menjadi menarik untuk
dikaji lebih dalam lagi, baik itu proses mendirikan pesantren, pengembangan
pesantren dan lainnya.
Melalui segelumit masalah yang dihadapkan pada kelompok waria
diharapkan melalui wadah Pesantren ini mereka memperoleh perubahan yang
maksimal seperti aksesibilitas pelayanan publik. Hal yang paling terlihat secara
kasat mata ialah pengaksesan waria ketika ingin beribadah. Banyak dari
masyarakat yang tidak menerima waria untuk masuk ke masjid guna beribadah.
Kesulitan dan permasalahan yang seperti ini mempersempit gerak waria ketika
ingin beribadah, belum lagi pemilihan sarung atau mukena yang akan mereka
gunakan. Tekanan sosial yang diperoleh oleh waria ini melahirkan sebuah
fenomena dan pemikiran baru untuk mendirikan pesantren khusus untuk
kelompok waria.
Terdapat suatu hal yang baru dalam kajian waria saat ini, yakni beribadah
di dalam pesantren ini para waria tidak dipaksakan untuk menggunakan sarung
dan peci. Namun, pilihan diberi kebebasan kepada setiap waria terhadap
kenyamanannya menggunakan perlengkapan untuk shalat dan beribadah. Hal unik
lainnya dari pesantren ini adalah tidak adanya batasan bagi waria yang beragama
non islam untuk masuk dan bergabung dalam pesantren ini dengan alasan agar
6
tidak adanya perlakuan tekanan yang dirasakan oleh waria, jelas Maryani ketika
berkunjung ke pondok pesantrennya.
Pemahaman tentang agama yang ditawarkan kepada waria berguna untuk
membentuk kepribadian yang lebih baik lagi.Harapannya kemudian, stigma
negatif yang melekat dalam tubuh waria dapat berangsur-angsur pulih dan waria
bisa diterima di lingkungan masyarakat. Jika hal ini telah terwujud maka waria
tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dan untuk mengakses
pelayanan publik waria juga akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan
masyarakat pada umumnya.
Dengan melihat fenomena baru ini mungkin mata hati kita akan mulai
tergerak untuk melihat waria dengan frame baru yang mereka tunjukkan kepada
masyarakat bahwa mereka tidak hanya sebagai waria yang menjadi sampah
masyarakat, namun di sisi baru mereka menunjukkan bahwa solidaritas yang
tinggi di kalangan waria mempertontonkan bahwa mereka sudah mulai bangkit
dengan formasi baru melalui sebuah ruang yang kita kenal dengan “Pesantren
Waria Al-fatah Senin-Kamis Notoyudan, Yogyakarta”. Formasi baru ini
merupakan gebrakan baru yang membuktikan bahwa waria sudah mulai bangkit
dan maju lebih cepat dari pijakan awal sebelumnya. Ditengah-tengah kesibukan
bekerja, mereka masih meluangkan waktu untuk berkumpul bersama kaum yang
termaginalkan dengan waktu yang telah disepakati bersama.Hal ini terbukti
dengan peristiwa merapi beberapa tahun silam, waria asuhan Maryani hadir dalam
7
membantu masyarakat korban merapi bantuan sosial yang mereka lakukan di
lokasi bencana alam merupakan salah satu bentuk dari pergerakan baru.Selain
dari bakti sosial yang mereka lakukan, para waria juga membantu memotong
rambut para pengungsi dengan total sekitar 250 waria. Keunikan seperti ini pada
akhirnya mengundang rasa ingin tahu pihak luar mengenai pondok pesantren
tersebut. Hal ini terbukti dengan berkunjungnya para wartawan dan peneliti asing
dari Perancis, Jerman dan Belanda seperti yang diungkapkan oleh Ibu Maryani.
Studi ini merupakan lanjutan dari skripsi yang telah di tulis oleh Ikhda
Noviyati dan Titik Widayanti. Jika hasil dari skripsi tersebut bercerita mengenai
bagaimana kelompok waria yang termaginalkan dengam berusaha penuh untuk
bangkit dan berekstensi untuk di akui dalam ranah masyarakat dan negara dan
lebih lanjut lagi mengatakan bahwa waria tidak bisa survive dikarenakan adanya
konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan. Namun berbeda dengan studi ini
yang merupakan studi lanjutan yang akan berbicara proses agenda yang terjadi di
dalam pesantren tersebut. Searah dengan proses agenda di dalam pesantren akan
terlihat bagaimana dampak yang dihasilkan melalui strategi yang dikonsepkan
oleh Ibu Maryani beserta teman-temannya.Representasi yang begitu kokoh
membuka dan meningkatkan eksistensi waria dengan harapan masyarakat dan
pemerintah mau menerima serta mengakui keberadaan mereka.
Lebih mendalam lagi penulis akan berusaha mencari titik terdalam
mengenai motif utama dari pendirian pesantren ini. Apakah murni hanya sebatas
8
ingin mendirikan pesantren sebagai arena untuk melakukan ibadah atau bahkan
pesantren dijadikan sebagai wadah bagi para waria untuk bangkit memberikan
perlawanan atas tuntutan untuk disetujuinya “Toilet ketiga”.
Lebih lanjut lagi secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangan pemikiran untuk komunitas waria adalah peningkatan pemikiran baru
dalam melangkah lebih maju sebagai kaum waria.Tidak hanya itu saja hasil
penelitian ini nantinya diharapkan dapat membantu kelompok waria dalam
menjamin eksistensinya melalui pemanfaatan yang tepat terhadap pesantren yang
dibangun oleh Maryani.Sedangkan untuk masyarakat, hasil penelitian ini
mencoba menyuguhkan pemikiran baru dalam memandangi kehidupan waria.
Masyarakat dalam hal ini tidak lagi menghambat waria dalam mengakses
pelayanan publik karena pria yang memilih dirinya untuk berpenampilan seolah-
olah seperti wanita adalah pilihan tersendiri bagi mereka yang telah difikirkan
dengan matang dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Yang terakhir
tentu dikhususkan bagi pemerintah sebagi aktor yang berperan banyak terhadap
hajat hidup masyarakatnya, maka penelitian ini memiliki satu asa agar pemerintah
dapat berfikir dan meninjau ulang terhadap setiap kebijakan publik untuk dapat
mempertimbangkan kehadiran waria di tengah-tengah masyarakat.
9
B. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang yang telah penulis jelaskan. Maka terbentuklah sebuah
rumusan masalah yang nantinya akan di jawab pada halaman selanjutya, adapun
rumusan masalah tersebut adalah:
1. Mengapa pondok pesantren waria didirikan?
2. Bagaimana pondok pesantren waria merepresentasikan dirinya di ruang publik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejauh mana perkembanganpondok pesantren hadir dalam
menjalankan fungsinya dan peranannya.
2. Untuk melihat bagaimana representasi pondok pesantren waria agar bisa di
terima oleh masyarakat
D. Kerangka Teori
D1. Politik Representasi
Perkembangan representasi politik sebagai sebuah konsep sekaligus praktek
yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejumlah fenomena dalam
perpolitikan praktis dan perkembangan debat teoretis dalam ilmu politik. Fenomena-
fenomena yang sangat mempengaruhi perkembangan representasi sebagai sebuah
konsep adalah, antara lain, demokrasi dan demokratisasi, peningkatan peranan
masyarakat sipil, maraknya kemunculan gerakan sosial baru, serta munculnya aktor-
10
aktor politik global dan internasional yang mengklaim merepresentasikan kelompok-
kelompok masyarakat yang sering diabaikan, disingkirkan atau tertindas. Dengan
demikian, perkembangan perpolitikan di tataran praksis telah memaksa ilmuwan
politik untuk memperbarui gagasan dan pemahaman mereka mengenai representasi
dan mengembangkannya menjadi sebuah konsep penting di dalam ilmu politik.4
Pada abad pertengahan, kata perwakilan banyak di pakai oleh gereja. Setelah
itu seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga politik di Eropa, khususnya
setelah lembaga parlemen, kata perwakilan di pakai sebagai orang atau sekelompok
orang yang mewakili orang lain. Pada abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah
dikaitkan dengan “agency and acting for others’, Disini konsep perwakilan sudah
berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau
mewakili orang atau banyak orang.5
Berangkat dari penjelasan di atas, Piktin mengelompokkan perwakilan ke
dalam empat kategori, Yaitu:6
1. Perwakilan formal, dimana perwakilan dipahami dalam dua dimensi:
Otoritas dan akuntabilitas. Adapun dimensi pertama berkaitan dengan