BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang sangat pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya penggumpalan tenaga kerja di kota-kota besar di Indonesia. Dampak lain dari tingginya arus urbanisasi kota adalah dalam hal permukiman kota. Namun urbanisasi yang terkonsentrasi seperti diuraikan di atas, disamping merugikan juga mempunyai keuntungan. Perlengkapan infrastruktur bagi modernisasi ongkosnya menjadi murah. Perkembangan ekonomi lebih cepat. Tingginya jumlah penduduk di pusat kota mengharuskan terpenuhinya kebutuhan akan permukiman yang layak huni, khususnya untuk menampung kaum urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan jasa di kawasan komersial yang ada di pusat kota.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam
dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat kota
yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat
yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota
itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus
urbanisasi. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang sangat
pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya penggumpalan tenaga kerja di
kota-kota besar di Indonesia. Dampak lain dari tingginya arus urbanisasi kota adalah
dalam hal permukiman kota. Namun urbanisasi yang terkonsentrasi seperti diuraikan
di atas, disamping merugikan juga mempunyai keuntungan. Perlengkapan
infrastruktur bagi modernisasi ongkosnya menjadi murah. Perkembangan ekonomi
lebih cepat. Tingginya jumlah penduduk di pusat kota mengharuskan terpenuhinya
kebutuhan akan permukiman yang layak huni, khususnya untuk menampung kaum
urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan jasa di
kawasan komersial yang ada di pusat kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang
lengkap di pusat kota ini menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim
di kawasan tersebut. Mereka membutuhkan tempat hunian lebih banyak berada di
sekitar kawasan komersial kota, hal ini dimungkinkan juga karena mereka mendekati
pusat perdagangan untuk membuka usaha dengan memanfaatkan keramaian dan
padatnya pengunjung yang berdatangan ke pusatpusat perbelanjaan di kota. Selain itu
alasan lain bagi masyarakat tertarik untuk bertempat tinggal di sekitar kawasan pusat
kota karena lebih memudahkan jangkauan tempat kerja bagi mereka yang bekerja di
pusat kota, serta memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat yang banyak
bekerja di kawasan CBD kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di
pusat kota juga menjadi daya tarik masyarakat untuk tinggal di kawasan tersebut.
Perumahan dan pemukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan dan
berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan.
Pemukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala
unsur serta kegiatan yang berkaitandan yang ada di dalam pemukiman. Pemukiman
dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan
perumahan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan
persyaratan rumah sehat. Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya
sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi
syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan.
Permukiman kumuh yang terbentuk di Kelurahan Lette, Kec. Mariso merupakan
akibat dari tingginya harga lahan di Kota sehingga masyarakat cenderung bertempat
tinggal di daerah yang padat namun dapat dijangkau. Kondisi sarana prasarana yang
ada di Kelurahan Lette, Kec. Mariso masih sangat minim dan tidak sesuai dengan
standar yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Lette,
Kec. Mariso?
2. Bagaiamana kondisi sarana prsarana yang ada di Kelurahan Lette, Kec.
Mariso?
3. Bagaimana solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
permukiman kumuh Kelurahan Lette, Kec. Mariso?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik permukiman kumuh yang ada di
Kelurahan Lette, Kec. Mariso
2. Untuk mengetahui kondisi sarana prsarana yang ada di Kelurahan Lette,
Kec. Mariso
3. Dapat menerapkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
permukiman kumuh Kelurahan Lette, Kec. Mariso
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Permukiman Kumuh
1. Pengertian
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah.
Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan
golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah yang
kotor yang bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi daerah
slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk dengan
status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak
layak huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman (Utomo
Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang sudah
sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya (Herlianto,
1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai daerah penduduk
yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi
syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).
Permukiman kumuh berdasarkan karakteristiknya adalah suatu lingkungan
permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas. Dengan kata lain
memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dan tidak
memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung
membahayakan bagi penghuninya.
Berdasarkan turner (1972) dalam Yuliastuti dkk (2000) pengertian
permukiman kumuh adalah kawasan hunian masyarakat dengan ketersediaan
sarana dan prasarana umum yang buruk, sedangkan Yudhohusodo dalam
mendefinisikan permukiman kumuh sebagai bagian dari lingkungan perumahan
perkotaan yang merupakan tempat tinggal masyarakat berpenghasilan rendah,
dikenal dan dianggap oleh masyarakat di luar daerahnya sebagai daerah yang
kumuh, padat penduduk, sarat pengangguran, serta dikesankan sebagai segala
sesuatu yang bersifat jorok.
Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka,
serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
2. Ciri Permukiman Kumuh
Ciri permukiman kumuh merupakan permukiman dengan tingkat hunian
dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, bangunan tidak teratur, kualitas
rumah yang sangat rendah. Selain itu tidak memadainya prasarana dan sarana
dasar seperti air minum, jalan, air limbah dan sampah.
Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Sidang BKPN Nomor 1989/1990
Tanggal 15 Februari 1990 dalam , menyatakan bahwa ciri-ciri lingkungan
permukiman kumuh antara lain:
a) Tanah tempat berdirinya lingkungan kumuh dapat berupa tanah negara, tanah
instansi, tanah perorangan atau badan hukum.
b) Penghuni lingkungan kumuh dapt terdiri atas pemilik tanah bangunan, pemilik
bangunan di atas tanah sewa, penyewa bangunan tanpa termasuk tanahnya,
atau pemilik bangunan yang didirikan tanpa pemegang hak atas tanahnya
c) Penggunaan bangunannya dapat untuk tempat hunian, tempat usaha atau
campuran
d) Peruntukan penggunaan tanahnya menurut rencana kota dapat untuk
perumahan, jalur pengaman, atau keperluan lainnya
e) Fasilitas lingkungan biasanya tidak ada atau tidak lengkap memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan
f) Sarana lingkungan biasanya tidak ada atau tidak lengkap memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan dengan tata letak yang tidak teratur.
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR.
Parsudi Suparlan adalah :
1) Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2) Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3) Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4) Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu
terwujud sebagai :
a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu
dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau
sebuah RW.
c) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau
RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian
liar.
5) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya..
6) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di
sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil.
Berdasarkan salah satu ciri diatas, disebutkan bahwa permukiman kumuh
memiliki ciri “kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin”. Penggunaan
ruang tersebut berada pada suatu ruang yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya
sehingga berubah menjadi fungsi permukiman, seperti muncul pada daerah
sempadan untuk kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Permukiman tersebut muncul
dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, kondisi rumah yang kurang
baik dengan kepadatan yang tinggi serta mengancam kondisi kesehatan penghuni.
Dengan begitu, permukiman yang berada pada kawasan SUTET, semapadan
sungai, semapadan rel kereta api, dan sempadan situ/danau merupakan kawasan
permukiman kumuh.
Kawasan permukiman kumuh di perkotaan, sesuai dengan kriteria yang
dibuat Dirjen Cipta Karya terdiri atas:
1) Kepadatan penduduknya tinggi > 200jiwa/ha
2) Kepadatan bangunannya tinggi >110bangunan/ha
3) Kondisi prasarananya buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase,
persampahan) yang terbangun <20% dari luas kawasan
4) Kondisi bangunan rumah tidak permanen atau semi permanen dan tidak
memenuhi persyaratan minimal.
5) Rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit, masalah keamanan dan
kriminalitas
Berdasarkan DPU Cipta Karya tiga kondisi kekumuhan dilihat dari status
tanah antara lain:
a) Kawasan lingkungan kumuh diatas tanah ilegaldengan kondisi tingkat
kekumuhan dan kepadatan tinggi. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan
RUTR
b) Kawasan/lingkungan kumuh di atas tanah legal dengan kepadatan tinggi
c) Kawasan/lingkungan kumuh di atas tanah legal, tidak terlalu kumuh/padat
3. Penyebab Permukiman Kumuh
Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh antara lain urbanisasi dan
migrasi yang tinggi, terutama bagi sekelompok masyarakat tertentu dan
berpenghasilan rendah yang biasanya sudah betah tinggal dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan permukimannya. Secara rinci diuraikan lingkungan
permukiman kumuh mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan
utilitas lingkungan. Kalaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disampingitu
tata letak bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat
semi permanen, misalnya triplek
b) Kepadatan bengunan dengan KDB yang lebih besar daripad yang dijanjikan,
dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (>500jiwa/ha)
c) Fungsi-fungsi kota yang bercampur tidak beraturan
Sumalyo (1993) menguraikan klasifikasi kondisi rumah di dalam kampung
dari segi bahan bangunan, yaitu:
a) Konstruksi dari bahan darurat (plastik, kayu, bambu dan bahan-bahan bekas
lainnya
b) Konstruksi sementara (bambu, nipah, lantai tanah dipadatkan dll)
c) Konstruksi semi permanen dengan bahan-bahan yang lebih baik dari yang
disebut sebelumnya (bambu diawetkan, seng, kayu dll)
d) Konstruksi permanen (bata, batu dan bahan-bahan lainnya yang lebih awet)
Sumalyo (1993) juga menguraikan kategori kampung dari segi
letak/geografisnya, yakni:
a) Kampung dalam kota/ pusat kota
b) Kampung setengah kota (semi-urban), terletak antara pusat dan pinggiran
c) Kampung pinggiran kota, berpenduduk kurang padat
d) Kampung di daerah belakang kota (hinterland)
4. Pendekatan penanganan permukiman kumuh
Kekumuhan yang terjadi pada lingkungan pada lingkungan diatas tanah
ilegal dengan kepadatan tinggi merupakan salah satu masalah yang sulit untuk
diatasi. Pada kondisi yang demikian, Pemerintah Daerah dapat memastikan bahwa
perbaikan permukiman adalah salah satu cara untuk mengatasi kondisi seperti itu.
Perbaikan lingkungan permukiman kumuh harus dapat memecahkan
masalah kumuh secara mendasar. Perbaikan permukiman ini menyangkut masalah
fisik dan non fisik. Dalam perbaikan lingkungan permukiman kumuh perlu
dilakukak pemeliharaan tentang sikap, perilaku dan pandangan masyarakat
lingkungan tersebut trhadap usaha perbaikan lingkungan. Perlu penyuluhan yang
terus-menerus sebelumnya selama dan sesudah pekerjaan perbaikan permukiman
dilakukan.
Penilaian masyarakat terhadap kondisi permukiman dan fasilitas-fasilitas
yang ada didalamnya antara lain ditentukan oleh:
a. Tingkat penghasilan
b. Jenis mata pencaharian
c. Tingkat pendidikan
d. Status legalitas lahan
5. Permukiman kumuh di Makassar
Sumalyo (1993) dalam penelitiannya mengenai pola pertumbuhan
permukiman kumuh di Kota Ujung Pandang (Makassar-Red) menerjemahkan
permukiman kumuh sebagai suatu kawasan di perkotaan dimana penduduknya
hidup dalam kondisi sosial – ekonomi rendah. Dari data pengamatannya diketahui
bahwa sebagian besar penduduk yang bermukim di permukiman kumuh
merupakan pendatang atau para migran dari pedesaan. Kedatangan mereka atas
dasar adanya kontak atau hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah berada
terlebih dahulu di kota. Selain itu data yang di dapatkan juga mengungkapkan
bahwa sebagian besar migran berpendidikan rendah (dibawah SMA) dan tidak
memiliki keterampilan khusu yang menunjang. Oleh karena itu, penyesuaian pola
hidup para pendatang dengan kehidupan sosial ekonomi perkotaan tidak dapat
berlangsung secara cepat dan gaya hidup pedesaan atau tradisional masih
dijalankan.
Hal tersebut diatas merupakan faktor yang mendorong mereka untuk bekerja
pada sektor informal dengan pendapatan terbatas untuk hidup di daerah
perkotaan, dalam hal ini pekerjaan yang mereka geluti dapat dikategorikan
sebagai setengah menganggur dan sebagian lagi menganggur. Dengan segala
keterbatasan yang ada, mereka juga hanya dapat hidup dan menempati rumah
dengan kondisi kelayakan yang terbatas pula, baik dalam hal konstruksi, bahan
dan fasilitas lainnya, demikian juga dengan infrastruktur yang menunjang
kehidupan sehari-hari mereka.
Sumalyo (1993) memaparkan bahwa kelompok-kelompok rumah yang serba
terbatas membentuk kawasan permukiman kumuh kota yang keadaannya makin
diperburuk oleh tidak tersedianya prasarana lingkungan seperti misalnya jalan
lingkungan, drainase, tempat pembuangan sampah, MCK. Tempat pembuangan
sampah sementara di permukiman kumuh ini merupakan tanah kosong bekas
rawa maupun lahan dimana sebelumnya merupakan pinggiran pantai.
Permukiman kumuh di Kota Ujung Pandang dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu permukiman kumuh di pantai, permukiman kumuh di pinggiran
kota (semi-urban) dan permukiman kumuh di tengah kota.Uraian ketiga kategori
permukiman kumuh tersebut sebagai berikut:
a) Permukiman kumuh pantai
Karena bentuk dan letak kota Ujung Pandang, permukiman kumuh
dalam kategori pantai banyak terdapat di Kecamatan Mariso dan Kecamatan
Tallo dimana sebagian wilayahnya berupa pantai (wunas : 1988) dalam
sumalyo (1993). Namun demikian saat ini wilayah kecamatan mariso yang
dahulunya berupa kawasan pantai telah berubah akibat sedimentasi dan
intervensi manusia.
Masih sama dengan tahun pemaparan laporan akhir penelitian Sumalyo,
permukiman pada daerah tersebut tidak mempunyai fasilitas sanitasi,
kesehatan, air minum maupun drainase. Hampir semua bagian kawasan
permukiman dalam kategori ini, berdiri diatas endapan sampah yang secara
berangsur-angsur memadat.
b) Permukiman kumuh pinggiran kota
Pemukiman kumuh dikategorikan dalam pinggiran kota tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan perkembangan pemukiman baru. Kawasan
kumuh semacam ini banyak terdapat pada sebagian kecamatan pinggiran yaitu
ntara lain : bagian Barat kecamatan Makassar dan Tallo dan bagian Selatan-
Barat kacamatan Tamalate. Lahan dimana permukiman kumuh pinggiran kota
berdiri, sebagian sawah atau kebun cukup subur dan sebagian lagi rawa-rawa.
Bentuk arsitektur rumah-rumahnya kebanyakan mirip dengan yang dipantai,
berupa rumah panggung tradisional Bugis atau Makassar, tetapi bahan
bangunannya rata-rata sedeikit lebih baik. Permukiman kumuh kota tersebut
dalam kecamatan-kecamatan yang secara geografis terletak dalam pusat kota
seperti misalnya Wajo dan Makassar, berkepadatan penduduk rata-rata sekitar
290 jiwa per hektar. Pertumbuhan penduduknya relatif kecil dibanding
dengan lainnya yaitu hanya 4, 23 %. Sekitar 70 % penghuninya adalah
migran, datang sebelum tahun 1977 dan 22 % sesudah 1979. rumah-rumahnya
dalam kondisi relatif labih baik dari kedua jenis permukimankumuh diuraikan
diatas, sebagian besar sudah mempunyai fasilitas air bersih. Karena lokasinya
terletak dekat dengan pusat kota, permasalahannya yang utama adalah banjir,
lalu lintas dan kebakaran. Yang terakhir disebut sering terjadi terutama pada
musim kering dan permasalahannya semakin sulit daitasi kaerna kepadatanya
tinggi dan jalan-jalan atau lorong tidak dapat dilalui oleh mobil pemadam
kebakaran.
II.2 Tinjauan Umum Pemberdayaan
Menurut Pranarka dan Moeljarto (1996:12) dalam Yuliastuti dkk (2000)
menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya terbentuk oleh ide
untuk menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri
Pada saat ini, konsepsi pemberdayaan masyarakat telah dijabarkan dalam lingkup
yang lebih luas yaitu untuk menciptakan kemitraan pembangunan antara pemerintah,
masyarakat dan swasta/pengusaha. Selain itu pembahasan pemberdayaan masyarakat
juga semakin banyak, dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata, LSM ini siap untuk
membela dan melindungi masyarakat yang lemah. Keterlibatan LSM menjadikan
pemerintah lebih serius dalam menangani pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat.
II.3 Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat mempunyai dua pengertian yaitu secara luas
maupun sempit. Dalam arti luas pembangunan masyarakat dapat diartikan sebagai
perubahan sosial yang berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan pada
bidang sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Pembangunan masyarakat dalam arti
sempit adalah perubahan sosial di suatu wilayah tertentu baik di kampung, desa, kota
kecil maupun kota besar (Ndraha.1990:72).
II.4 Peran Serta Masyarakat
Istilah peran serta sering juga disebut dengan partisipasi. Menurut Hanabe
pengertian partisipasi adalah suatu usaha berkelanjutan yang memungkinkan
masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, baik secara aktif maupun pasif.
Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan
keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan pembangunan
(Hanabe, 1996:11 dalam yuliastuti dkk : 2000)
Partisipasi masyarakat juga dapat di artikan sebagai keterlibatan masyarakat
dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang
dilakukan pemerintah, keterlibatan dalam memikul tanggung jawab dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan, keterlibatan dalam menikmati hasil
pembangunan secara adil dan merata (Tjokroamidjojo,1994:207 dalam Yuliastuti dkk
: 2000).
II.5 Hambatan dalam Peran Serta Masyarakat
Permasalahan umum yang sering terjadi dalam pelaksanaan peran serta
masyarakat baik menurut Diana Conyers dan Slamet dalam yuliastuti dkk (2000)
yaitu apakah masyarakat memang ingin terlibat dan kemudian masyarakat
mengetahui apa yang menjadi keinginan mereka. Sedangkan hambatan yang lain
adalah muncul dari kondisi dan karakteristik masyarakat itu sendiri, misalnya tingkat
perekonomian, tingkat pendidikan dan unsur kepercayaan. Hambatan dari luar
terutama terjadi karena belum adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan
masyarakat. Kondisi ini dapat terjadi karena pemerintah cenderung memaksakan
kebijakan kepada masyarakat, sedangjan di pihak masyarakat sering dicurigai sebagai
penghambat pembangunan (wibisana, 1980 dalam yuliastuti dkk: 2000)
Sedangkan menurut Jorge dalam Swan (1980) pada laporan akhir penelitian
yuliastuti (2000) hambatan untuk berpartisipasi adalah karena sebagai berikut:
Kemiskinan
Pada kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan, relatif kecil kemungkinan
yang diharapkan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka lebih
mengutamakan pemenuhan kebutuhan fisik dasar terlebih dulu, sebelum mereka
menutuskan untuk ikut berpartisipasi.
Pola masyarakat
Dalam komunita smasyarakat, ada kelompok maupun individu masyarakat yang
tidak mau berpartisipasi. Persoalannya adalah sifat heterogenitas suatu
masyarakat yang berwujud pada perbedaan ras, etnik, agama maupun politis.
Berbagai tipe masyarakat ini menimbulkan persaingan dan prasangka yang pada
akhirnya akan mempengaruhi semangat untuk bekerja sama.
Birokrasi
Faktor birokrasi diterangai sebagai salah satu penghambat partisipasi. Kebijakan
dari pusat sering berbeda arah apabila telah sampai di daerah. Hal ini di sebabkan
oleh terlalu panjang dan rumitnya mata rantai birokrasi dari tingkat pusat ke
daerah. Birokrasi sering melampaui standar, terpaku pada prosedur formal dan
kompleks.
Bagan Kerangka Pikir
Terbentuknya Permukiman
Kumuh di perkotaan
Prasarana lingkungan sebagai
Pendukung aktivitas penduduk
Menurunnya kualitas prasarana
Keterbatasan pemerintah Adanya wadah swadaya
masyarakat Aspirasi akan kebutuhan
prasarana
Partisipasi aktif masyarakat mengenai aspirasi kebutuhan
prasarana yang tepat
prasarana permukiman
Patokan Rumah yang Sehat dan Ekologis
Patokan yang dapat digunakan dalam membangun rumah yang ekologis adalah
sebagai berikut:
1. Menciptakan kawasan penghijauan di kawasan pembangunan sebagai paru-paru
hijau.
Sosialisasi dengan tokoh masyarakat
dan aparat setempat
Perlibatan masyarakat dalam perencanaan prasarana permukiman kumuhRengking
kebutuhan prasarana
lingkungan
Rencana Pemenuhan Kebutuhan Prasarana Lingkungan
2. Memilih tapak bangunan yang sebebas mungkin dari gangguan/radiasi geobiologis
dan meminimalkan medan elektromagnetik buatan.
3. Mempertimbangkan rantai bahan dan menggunakan bahan bangunan alamiah.
4. Menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan udara dalam bangunan.
5. Menghindari kelembapan tanah naik ke dalam konstruksi bangunan dan
memajukan sistem bangunan kering.
6. Memilih lapisan permukaan dinding dan langit-langit ruang yang mampu
mengalirkan uap air.
7. Menjamin kesinambungan pada struktur sebagai hubungan antara masa pakai
bahan bangunan dan struktur bangunan.
8. Mempertimbangkan bentuk/proporsi ruang berdasarkan aturan harmonikal.
9. Menjamin bahwa bangunan yang direncanakan tidak menimbulkan masalah
lingkungan dan membutuhkan energi sedikit mungkin (mengutamakan energy
terbarukan).
10. Menciptakan bangunan bebas hambatan sehingga gedung dapat dimanfaatkan
oleh semua penghuni (termasuk anak-anak, orang tua,maupun orang cacat tubuh).
\\
A. PENGERTIAN KUMUH
a. Permukiman Kumuh
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah perkampungan
kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta
memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal
Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar
minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b. Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan).
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun <20% dari luas
persampahan.
e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal
untuk tempat tinggal.
f Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan.
g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non
fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh (Lanjutan)
Untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan kriteria.
Penentuan kriteria kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti kesesuaian peruntukan lokasi
dengan rencana tata ruang, status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi,
tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan, kondisi fisik, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Selain itu digunakan kriteria sebagai kawasan
penyangga kota metropolitan seperti kawasan permukiman kumuh teridentifikasi
yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi bagian dari
kota metropolitan.
Berdasarkan uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan permukiman
kumuh digunakan kriteria-kriteria yang dikelompok kedalam kriteria:
• Vitalitas Non Ekonomi
• Vitalitas Ekonomi Kawasan
• Status Kepemilikan Tanah
• Keadaan Prasarana dan Sarana
• Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota
• Prioritas Penanganan
Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan sistem
pembobotan pada masing-masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa
setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda-beda. Selanjutnya dalam
penentuan bobot kriteria bersifat relatif dan bergantung pada preferensi individu atau
kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-masing kriteria.
Kriteria Vitalitas Non Ekonomi Kriteria Vitalitas Non Ekonomi dipertimbangkan
sebagai penentuan penilaian kawasan kumuh dengan indikasi terhadap penanganan
peremajaan kawasan kumuh yang dapat memberikan tingkat kelayakan kawasan
permukiman tersebut apakah masih layak sebagai kawasan permukiman atau sudah
tidak sesuai lagi.
Kriteria ini terdiri atas variabel sebagai berikut:
a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
atau RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.
b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi
terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu
hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.
c. Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai,
mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh
berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.
Kriteria Vitalitas Ekonomi
Kriteria Vitalitas Ekonomi dinilai mempunyai kepentingan atas dasar sasaran
program penanganan kawasan permukiman kumuh terutama pada kawasan
kumuh sesuai gerakan city without slum sebagaimana menjadi komitmen
dalam Hari Habitat Internasional. Oleh karenanya kriteria ini akan
mempunyai tingkat kepentingan penanganan kawasan permukiman kumuh
dalam kaitannya dengan indikasi pengelolaan kawasan sehingga peubah
penilai untuk kriteria ini meliputi:
a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah
kota, apakah apakah kawasan itu strategis atau kurang strategis.
b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, dimana keterkaitan
dengan faktor ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk
dapat menangani kawasan kumuh yang ada. Kawasan yang termasuk
dalam kelompok ini adalah pusat- pusat aktivitas bisnis dan
perdagangan seperti pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi
lainnya.
Kriteria Status Tanah Kriteria status tanah sebagai mana tertuang dalam
Inpres No. 5 tahun 1990 tentang Peremajan Permukiman Kumuh adalah merupakan
hal penting untuk kelancaran dan kemudahan pengelolaanya. Kemudahan pengurusan
masalah status tanah dapat menjadikan jaminan terhadap ketertarikan investasi dalam
suatu kawasan perkotaan. Perubah penilai dari kriteria ini meliputi:
a. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman.
b. Status sertifikat tanah yang ada.
Kriteria Kondisi Prasarana dan Sarana
Kriteria Kondisi Prasarana dan sarana yang mempengaruhi suatu kawasan
permukiman menjadi kumuh, paling tidak terdiri atas:
a. Kondisi Jalan
b. Drainase
c. Air bersih
d. Air limbah
Kriteria Komitmen Pemerintah Setempat
Komitmen pemerintah daerah (kabupaten/kota/propinsi) dinilai mempunyai andil
sangat besar untuk terselenggaranya penanganan kawasan permukiman kumuh. Hal
ini mempunyai indikasi bahwa pemerintah daerah menginginkan adanya keteraturan
pembangunan khususnya kawasan yang ada di daerahnya.
Perubah penilai dari kriteria ini akan meliputi:
a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh
dengan indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan
penanganannya.
b. Ketersediaan perangkat dalam penanganan, seperti halnya rencana