BAB I
PEMBAHASAN GERAKAN TANAH1.1. Pendahuluan
Bencana alam seperti gerakan tanah, terutama longsor, dapat
terjadi pada berbagai skala dan kecepatan. Di alam, banjir dan
longsor sering terjadi hampir bersamaan dan disebabkan oleh hujan
yang sangat lebat yang di dalam gerakan tanah disebut sebagai unsur
pemicu. Untuk meminimalkan kerugian akibat bencana tersebut maka
dilakukan usaha mengenal tanda-tanda yang mengawali gerakan tanah,
atau disebut sebagai mitigasi.
1.2. Proses di permukaan bumi
Lereng sebagai salah satu kenampakan penting di dalam bentang
alam, di dalam waktu yang panjang akan berevolusi dan material
permukaan pada lereng akan bergerak turun karena gaya gravitasi.
Faktor-faktor dinamik proses pembentukan bentang alam dapat
dibedakan menjadi faktor pasif dan faktor aktif (gambar 1).
Faktor pasif berkaitan erat dengan keadaan lapisan bawah
permukaan dan
produknya di bagian permukaan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
jenis litologi (batuan),
kemiringan perlapisannya (perlapisan tegak, miring ataupun
mendatar), strukturnya (banyak terdapat rekahan), dan posisinya di
dalam bentang alam (pada lembah, tebing ataupun puncak).
Faktor aktif berkaitan erat dengan agen erosi, yaitu: gaya
gravitasi, iklim, tektonika aktif, dan perubahan sudut kelerengan,
serta proses biologi.
Gambar 1.1 Dinamika proses di permukaan bumi (Campy &
Macaire, 1989)
Faktor aktif: 1. Gravitasi, 2. Iklim, 3. Aksi biologi, 4.
Tektonika aktif.
Faktor pasif: 5. Batuan/litologi, 6. Struktur yang telah ada, 7.
Posisi di permukaan.
a: Pelapukan, b: transport sedimen.
Akibat kombinasi unsur-unsur di kedua faktor tersebut, batuan
akan mengalami
degradasi menjadi tanah. Peristiwa ini biasa disebut sebagai
pelapukan (weathering).
Pelapukan dapat berlangsung secara fisis maupun kimiawi. Akibat
pelapukan daya kohesi batuan menjadi berkurang dan jika tanah
tersebut berada pada suatu lereng, dan akibat gaya gravitasi, maka
akan bergerak ke bawah, baik secara perlahan (creeping) ataupun
cepat (translational sliding, debris flowing, rock falling).
Selanjutnya oleh agen transport (air atau pun angin) tanah tersebut
diangkut ke tempat yang lebih jauh sebagai sedimen .
1.3. Klasifikasi gerakan tanah
Pada suatu kelerengan tidak akan terjadi gerakan tanah hanya
oleh satu faktor saja. Hampir seluruh gerakan tanah terjadi oleh
karena penyebab yang kompleks. Sepanjang waktu lereng yang curam
itu ada, gaya gravitasi secara terus menerus menariknya ke bawah,
dan air selalu meresap ke dalam tanah, tetapi tidak terjadi gerakan
tanah pada
lereng tersebut. Kemudian datanglah faktor pemicu gerakan tanah,
misal hujan yang lebat, dan terjadilah gerakan tanah. Pemicu
gerakan tanah yang lain adalah gempabumi dan semakin umum adalah
akibat ulah manusia.
Ada dua faktor penting di dalam menentukan tipe-tipe gerakan
tanah, yaitu:
kecepatan gerakannya dan kandungan air di dalam materi yang
mengalami gerakan tanah. Tipe-tipe gerakan tanah tersebut adalah
jatuhan (falls), aliran (flows), longsoran (slides), dan amblesan
(subsidence).
Jatuhan terjadi bila suatu masa batuan pada suatu ketinggian
terpisah dari batuan
induknya, bisa oleh karena kekar (joint), bidang perlapisan,
jatuh bebas dan setelah
mengenai tanah masa batuan tersebut kemudian menggelinding.
Pemicu jatuhan bisa
karena hujan lebat, gempabumi dan beberapa penyebab lain.
Gambar 1.2. Klasifikasi gerakan tanah berdasar kecepatan dan
kandungan airnya (Abbott,2004).Aliran adalah gerakan tanah yang
berperilaku seperti fluida. Material yang mengalir bisa berukuran
bongkah sampai dengan lempung; dengan atau tanpa kandungan air.
Longsoran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu longsoran rotasional
dan longsoran planar/translational. Longsoran rotasional inilah
yang umum dijumpai, longsoran bergerak melalui bidang rotasional
yang sumbunya sejajar dengan lereng batuan. Pada keadaan tidak
terjadi longsor (gambar 3a), maka akan terjadi keseimbangan antara
driving force terhadap resisting force. Jika driving force lebih
besar dari resisting force maka terjadilah longsor dan bila longsor
terjadi, maka bagian kepala (head of slide pada gambar 3b) akan
turun dan pada bagian toe akan terangkat (gambar 3b). Setelah
terjadi longsor pada kepala terbentuk cekungan, air terakumulasi
padanya dan air tersebut meresap ke dalamnya sehingga kepala
menjadi tidak stabil. Di samping itu, di atas kepala longsoran
meninggalkan tebing yang lebih curam dibanding sebelum longsor dan
hal inilah yang menyebabkan longsoran berulang kembali di tempat
yang sama.
Gambar 1.3. Analisis stabilitas lereng pada longsoran rotasional
(Abbott, 2004).
a. Sebelum terjadi longsor b. Setelah terjadi longsor
Longsoran translasional terjadi pada bidang yang lemah seperti
bidang
sesar/patahan, bidang kekar, lapisan yang kaya akan lempung,
atau terjadi pada batuan
keras berada di atas batuan yang lunak.
Amblesan atau tanah bergerak ke bawah bisa disebabkan oleh
kompaksi sedimen
di bawahnya, pemompaan air/minyak, ataupun karena rongga di
bawah tanah, jadi bukan karena tetonika ataupun volkanisme.
1.4. Pemicu gerakan tanah
Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tanah merupakan proses
alamiah atau non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara
aktif mempercepat proses
hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Jadi pemicu ini dapat
berperan dalam
mempercepat peningkatan gaya penggerak/peluncur/driving force,
mempercepat
pengurangan gaya penahan gerakan/resisting force, ataupun
sekaligus mengakibat
keduanya.
Secara umum ganguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa :
a. hujan
b. getaran
c. aktivitas manusia.
Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran
dapat bersifat
alamiah (misalnya gempabumi) ataupun non alamiah (misalnya
ledakan atau getaran lalu lintas). Aktivitas manusia seperti
penggalian atau pemotongan pada lereng dan
pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah. Uraian
lebih lanjut tentang
pemicu gerakan tanah akan dibahas di sub bab-sub bab
berikut.
1.4.1. Gerakan tanah yang dipicu oleh hujan
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah
tertentu dan
berlangsung selama periode waktu tertentu, sehingga air yang
dicurahkannya dapat
meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk
longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di
Indonesia, yaitu tipe
hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe
hujan deras misalnya
adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari
100 mm per hari. Tipe
hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada
lereng-lereng yang tanahnya
mudah menyerap air (Premchit, 1995; Karnawati 1996, 1997), misal
pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian
longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan awal musim hujan, misalnya
pada akhir Oktober atau awal November di Jawa. Tipe hujan normal
contohnya adalah hujan yang kurang dari 20 mm per hari. Hujan tipe
ini apabila berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa
bulan dapat efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh
tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung
(Karnawati, 2000). Pada lereng ini longsoran terjadi mulai pada
pertengahan musim hujan, misal pada bulan Desember hingga Maret.
Khusus untuk kasus longsoran Purworejo dan Kulon Progo yang kondisi
lerengnya tertutup oleh tanah lempung pasiran, hujan deras dengan
curah mencapai lebih dari 500 mm selama 3 hari merupakan pemicu
longsoran.
1.4.2. Gerakan tanah yang dipicu oleh getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/ batuan pada
lereng. Jadi getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan
sekaligus mengurangi gaya penahan. Contoh getaran yang memicu
longsoran adalah getaran gempabumi yang diikuti dengan peristiwa
liquefaction. Liquefaction terjadi apabila pada lapisan pasir atau
lempung jenuh air terjadi getaran yang periodik Pengaruh getaran
tersebut akan menyebabkan butiran-butiran pada lapisan akan saling
menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar
terhadap lapisan di atasnya. Akibat peristiwa tersebut lapisan di
atasnya akan seperti
mengambang, dan dengan adanya getaran tersebut dapat
mengakibatkan perpindahan
masa di atasnya dengan cepat.
1.4.3. Gerakan tanah yang dipicu oleh aktivitas manusia.Selain
disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran. Pembukaan hutan secara
sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak
tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/ lereng untuk jalan dan
pemukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah
yang longsor.
Penanaman pohon dengan jenis pohon yang terlalu berat, misalnya
pohon durian, manggis dan bambu, serta penanaman dengan jarak tanam
terlalu rapat mengakibatkan penambahan beban massa tanah yang bisa
menyebabkan longsoran. Hal ini berarti akan menambah gaya gerak
tanah untuk longsor menuruni lereng. Pembukaan hutan untuk
keperluan manusia, seperti misalnya untuk perladangan, persawahan
dengan irigasi, penanaman pohon kelapa, dan penanaman tumbuhan yang
berakar serabut dapat berakibat menggemburkan tanah. Peningkatan
kegemburan tanah ini akan menambah daya resap tanah terhadap air,
akan tetapi air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat banyak
terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Akibatnya air hanya
terakumulasi dalam tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan
ikatan-ikatan antar butir tanah. Akhirnyakarena besarnya curah
hujan yang meresap, maka longsoran tanah akan terjadi.
Pemotongan lereng untuk jalan dan pemukiman dapat mengakibatkan
hilangnya
peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan kekuatan geser lerenguntuk melawan pergerakan massa
tanah terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanahdan akhirnya
longsoran tanah pada lereng akan terjadi.
1.5. Upaya pemantauan dan mitigasi gerakan tanah
Meskipun suatu lahan atau kawasan berdasarkan kondisi alamnya
rentan
(berpotensi) untuk bergerak atau longsor, potensi gerakan tanah
ini dapat diminimalkan
dengan beberapa langkah berikut.
a. Identifikasi zona yang rentan bergerak
b. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah
c. Menerapkan rekayasa untuk :
meminimalkan pemicu atau pengaruh pemicu
memperkuat lereng
1.5.1. Identifikasi zona yang rentan bergerak.
Identifikasi zona rentan bergerak merupakan langkah awal dalam
tahapan
pencegahan dan atau pengendalian gerakan tanah. Identifikasi
zona rentan dilakukan
dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor pengontrol gerakan
tanah. Hasil penyelidikankemudian dianalisis secara terpadu dan
digambarkan dalam peta sebaran zona-zona dengan tingkat kerentanan
yang bervariasi. Tingkat kerentanan gerakan tanah dibedakan
menjadi: :
kerentanan tinggi
kerentanan menengah
kerentanan rendah
kerentanan sangat rendah
Semakin tinggi tingkat kerentanan suatu zona berarti semakin
besar pula kemungkinan terjadinya gerakan tanah.Dengan diketahuinya
variasi tingkat kerentanan suatu kawasan atau daerah terhadap
gerakan tanah, maka dapat disusun strategi pencegahan dan
penanggulangannya secara lebih efektif. Misal: upaya perkuatan
lereng hanya diprioritaskan pada zona dengan tingkat kerentanan
tinggi saja, sedangkan untuk zona dengan tingkat kerentanan
menengah cukup dilakukan dengan penanaman vegetasi yang bersifat
memperkuat lereng. Jadi akhirnya dapat ditetapkan zona mana yang
aman untuk dikembangkan dan zona mana yang harus diproteksi.
1.5.2. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah.
Faktor kunci merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh
terhadap proses terjadinya gerakan tanah, dan seringkali merupakan
faktor yang paling sensitif untuk bereaksi terhadap perubahan
ekosistem. Teridentifikasinya faktor kunci ini sangat penting dalam
menetapkan teknik atau rekayasa pencegahan/ pengendalian gerakan
tanah yang efektif.
Identifikasi ini dilakukan dengan cara penyelidikan terhadap
kondisi, sebaran dan
proses-proses yang dicurigai sebagai faktor penyebab gerakan
tanah. Penyelidikan geologi merupakan basis utama dalam
indentifikasi ini, yang kemudian perlu diintegrasikan dengan
penyelidikan hidrologi dan penggunaan lahan. Ketelitian dalam
penyelidikan ini juga
bervariasi, tergantung pada target atau produk yang ingin
dicapai dari hasil penyelidikan. Untuk produk yang berupa arahan
kebijakan pengendalian kawasan di suatu wilayah propinsi, minimal
diperlukan ketelitian penyelidikan dengan skala peta 1 : 100.000.
Untuk wilayah kabupaten minimal diperlukan ketelitian penyelidikan
dengan skala peta 1 : 50.000
hingga skala 1 : 25.000.
1.5.3. Menerapkan rekayasa untuk pencegahan/ pengendalian.
Sebelum rekayasa diterapkan perlu dilakukan penyelidikan lebih
dahulu guna
mengetahui faktor kunci penyebab gerakan tanah. Penyelidikan
harus dilakukan secara
detil (skala 1 : 10.000 hingga skala 1 : 100).
Rekayasa yang dapat diterapkan untuk meminimalkan pemicu/
pengaruh pemicu
atau untuk memperkuat lereng meliputi :
rekayasa teknis
rekayasa vegetatif.
kombinasi keduanya.
1.6. Skala ruang dan waktu pemicu longsor dan banjir
Berbagai peristiwa yang memiliki kaitan dengan longsor dan
banjir, antara lain iklim, termasuk di dalamnya kejadian El Nino
yang dapat mengakibatkan kekeringan atau curah hujan berlebihan di
suatu daerah. Jika curah hujan berlebihan dari curah hujan biasa
maka bisa memicu longsor ataupun banjir. El Nino mempunyai siklus
4-10 tahunan dengan pengaruh keruangan/spasial sampai dengan ribuan
kilometer persegi dan kehadirannya bisa dipantau melalui satelit,
sehingga bisa diduga kapan El Nino memberikan curah hujan
berlebihan di suatu daerah. Saat itulah merupakan saat waspada
longsor maupun banjir.
Wilayah Indonesia bagian selatan dan timur merupakan jalur
gempabumi yang juga bisa memicu longsoran. Siklus suatu gempabumi
bisa puluhan sampai ratusan tahun, namun saat terjadi hanya
berlangsung beberapa menit saja dan akibatnya bisa mencakup daerah
seluas ratusan kilometer persegi. Seperti di daerah Sengir,
Prambanan, telah terjadi gerakan tanah yang mengakibatkan di daerah
kepala ambles setinggi 4 meter dan di daerah toe mengalami kenaikan
beberapa meter. Hal ini terjadi sesaat setelah gempabumi Yogyakarta
pada tanggal 27 Mei 2006.
Oleh karena itu dalam rangka upaya mitigasi bencana longsor dan
banjir, perlu
kiranya dipertimbangkan arti perbedaan dimensi dari setiap
peristiwa tersebut untuk
diletakkan di dalam kerangka skala waktu maupun skala ruang
pemicunya.LAMPIRANDAFTAR PUSTAKA
Google Search, Penanganan Gerakan Tanah12