-
1BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatitis B adalah salah satu penyakit menular berbahaya yang
dapat
menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan termasuk masalah
kesehatan
masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit Hepatitis B
juga merupakan
infeksi virus yang paling banyak tersebar dan dapat menimbulkan
infeksi yang
berkepanjangan seperti sirosis hati, kanker hati hingga
kematian.
Penyakit Hepatitis B disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB)
yang
bersifat akut atau kronik dan termasuk penyakit hati yang paling
berbahaya
dibanding dengan penyakit hati yang lain karena penyakit
Hepatitis B ini tidak
menunjukkan gejala yang jelas, yaitu hanya berupa sedikit warna
kuning pada
mata dan kulit disertai lesu. Sehingga penderita sering tidak
sadar bahwa sudah
terinfeksi virus Hepatitis B dan tanpa sadar pula menularkan
kepada orang lain
(Misnadiarly, 2007).
Penyebaran penyakit Hepatitis B sangat mengerikan. Menurut
World
Health Organization (WHO) Tahun 1990 diperkirakan satu biliun
individu yang
hidup telah terinfeksi Hepatitis B, sehingga lebih dari 200 juta
orang di seluruh
dunia terinfeksi, dan 1-2 juta kematian setiap tahun dikaitkan
dengan VHB. Pada
Tahun 2008 jumlah orang terinfeksi VHB sebanyak 2 miliar, dan
350 juta orang
berlanjut menjadi pasien dengan infeksi Hepatitis B kronik
(Shulman, 1994).
Berdasarkan data WHO Tahun 2008, penyakit Hepatitis B
menjadi
pembunuh nomor 10 di dunia dan endemis di China serta bagian
lain di Asia
termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita
Hepatitis B
ketiga terbanyak di dunia setelah China dan India dengan jumlah
penderita 13
juta orang, sementara di Jakarta diperkirakan satu dari 20
penduduk menderita
penyakit Hepatitis B. Sebagian besar penduduk kawasan ini
terinfeksi VHB sejak
usia kanak-kanak. Sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi
orang
menderita Hepatitis B kronik (Sulaiman, 2010).
-
2Ningsih (2010) mengatakan bahwa mayoritas pengidap Hepatitis
B
terdapat di negara berkembang. Di Indonesia berdasarkan hasil
Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, prevalensi penduduk yang pernah
terinfeksi virus
Hepatitis B adalah sebesar 34% dan cenderung meningkat karena
jumlah
pengidapnya terus bertambah terlebih lagi terdapat carrier atau
pembawa
penyakit dan dapat menjadi penyakit pembunuh diam-diam (silent
killer) bagi
semua orang tanpa kecuali. Di pedesaan penyakit Hepatitis
menduduki urutan
pertama sebagai penyebab kematian pada golongan semua umur dari
kelompok
penyakit menular, sedangkan di daerah perkotaan menduduki urutan
ketiga.
Pengobatan untuk Hepatitis B terdiri dari pengobatan telan
(oral) dan
secara injeksi. Pengobatan oral yang terkenal adalah pemberian
obat Lamivudine,
obat Adefovir dipivoxil (Hepsera), dan obat Baraclude
(Entecavir). Sedangkan
pengobatan dengan injeksi atau suntikan dilakukan dengan
pemberian suntikan
Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar
yang akan
menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di
sekitarnya.
Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A,
INFERGEN,
ROFERON) diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali
dalam
seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek samping pemberian
obat ini
adalah depresi, terutama pada penderita yang memilki riwayat
depresi
sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada otot-otot,
cepat letih dan
sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat dihilangkan dengan
pemberian
paracetamol.
Namun sayang, pengobatan-pengobatan tersebut belum mampu
dijangkau
oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat miskin di
Indonesia. Untuk
itulah diperlukan eksplorasi pemanfaatan bahan alam dan ramuan
tradisional
untuk pengobatan mandiri sehingga semua lapisan masyarakat bisa
mendapatkan
pengobatan yang murah dan aman. Hal ini juga didukung oleh
kondisi alam
Indonesia yang merupakan mega-senter keragaman hayati dunia, dan
menduduki
urutan terkaya kedua di dunia setelah Brazilia. Jika biota laut
ikut
diperhitungkan, maka Indonesia menduduki urutan terkaya pertama
di dunia. Di
-
3Indonesia diperkirakan hidup sekitar 40.000 spesies tumbuhan,
dimana 30.000
spesies hidup di kepulauan Indonesia. Di antara 30.000 spesies
yang hidup di
kepulauan Indonesia, diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies
tumbuh
berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 spesies telah
digunakan sebagai
bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional.
Plasma nutfah Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk
pengobatan
penyakit Hepatitis B adalah sambiloto, kunyit, dan temulawak.
Ketiga tanaman
tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki
kandungan kimia yang
berpotensi sebagai obat Hepatitis B. Terkait dengan latar
belakang diatas, maka
pada karya tulis ini akan diteliti mengenai pemanfaatan
sambiloto, kunyit, dan
temulawak sebagai obat Hepatitis B.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dikaji dalam karya tulis ini adalah
sebagai
berikut:
1. Bagaimana potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak sebagai
obat Hepatitis
B?
2. Bagaimana cara mengolah sambiloto, kunyit, dan temulawak
sebagai obat
Hepatitis B?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang dicapai melalui penulisan karya ilmiah ini antara
lain sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak
sebagai obat
Hepatitis B.
2. Untuk mengetahui cara mengolah sambiloto, kunyit, dan
temulawak sebagai
obat Hepatitis B.
-
41.4 Manfaat Penulisan
Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat
kepada berbagai pihak antara lain sebagai berikut :
Bagi masyarakat,
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat mengenai
manfaat
daun sambiloto (Androgramaphis paniculata) sebagai obat
Hepatitis B
sehingga dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan obat
penyakit
Hepatitis B yang dapat dijangkau oleh semua lapisan
masyarakat.
2. Memperkaya khasanah medis Indonesia dalam pengobatan
tradisional untuk
menyembuhkan penyakit Hepatitis B.
3. Memperkenalkan potensi daun sambiloto (Androgramaphis
paniculata)
sebagai obat Hepatitis B.
Bagi pemerintah,
1. Mendukung pembangunan di bidang kesehatan menuju peningkatan
daya
saing bangsa melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati lokal
Indonesia
pada pengobatan penyakit.
Bagi penulis,
1. Menambah wawasan penulis mengenai pemanfaatan daun
sambiloto
(Androgramaphis paniculata) sebagai obat Hepatitis B.
1.5 Sistematika Penulisan
Adapun penulisan karya tulis ilmiah ini dibagi dalam lima bab.
Berikut
adalah penjelasan dari masing-masing bab:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai masalah yang melatar belakangi
penelitian
dengan merumuskan masalah yang timbul, dan juga menentukan
tujuan
penelitian dengan merumuskan masalah yang timbul, dan juga
menentukan
tujuan penelitian serta batasan penelitian agar studi yang
dilakukan lebih terarah
serta disusun sistematika penulisan.
-
5BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berkaitan dengan pemaparan teori-teori yang
berhubungan
dengan hal yang dibahas yang dilakukan melalui studi literatur.
Landasan teori
tersebut akan digunakan sebagai kerangka dan bersumber dari
buku-buku
pustaka sebagai dasar pemikiran dari penulisan karya tulis
ilmiah ini.
BAB III METODE PENULISAN
Dalam bab ini menggambarkan tahapan-tahapan yang ditempuh
penulis
dalam memecahkan masalah.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tentang hasil kajian yang dilakukan
melalui studi
literatur yang menyangkut tentang potensi sambiloto, kunyit, dan
temulawak
serta cara pengolahannya.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini ditujukan untuk kesimpulan-kesimpulan yang
didapatkan
berdasarkan hasil analisis untuk menjawab permasalahan. Selain
itu, diberikan
juga saran dari penulis mengenai permasalahan dan
pemecahannya.
-
6BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis
Hepatitis virus adalah istilah yang dipakai untuk infeksi virus
(Shulman,
1994), dimana terjadi suatu proses inflamasi pada hati dan
terjadi peradangan
difus pada jaringan hati yang memberikan gejala klinis yang khas
yaitu badan
lemah, kencing berwarna seperti air teh pekat, mata dan seluruh
badan menjadi
kuning (Sujono, 1995).
2.1.1 Definisi Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang
disebabkan
oleh Virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut
atau kronis
dan dapat pula menyebabkan radang hati, sirosis hati, kanker
hati, dan
kematian (Ling & Lam, 2007).
2.1.2 Epidemiologi Hepatitis B
Menurut National Institutes of Health (2006) etiologi Hepatitis
B
adalah virus dan disebut dengan Hepatitis B Virus. Misnadiarly
(2007)
menguraikan VHB terbungkus serta mengandung genoma DNA
melingkar. Virus ini merusak fungsi lever dan sambil merusak
terus
berkembang biak dalam sel-sel hati (hepatocytes).
2.1.3 Kelompok Resiko Tinggi Tertular Hepatitis B
Misnadiarly (2007) dalam bukunya menyebutkan kelompok resiko
tinggi mudah tertularnya virus Hepatitis B, meliputi: 1) Anak
kecil
ditempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan epidermis.
2)
Seseorang yang tinggal serumah atau berhubungan seksual
dengan
penderita resiko tertular penyakit Hepatitis B. 3) Pekerja
kesehatan. 4)
Pasien cuci darah. 5) Pengguna narkoba dengan jarum suntik. 6)
Mereka
yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seperti pasien
dokter
gigi, dan lain-lain. 7) Orang yang ikut akunpuntur atau tato
yang
menggunakan jarum tidak steril. 8) Mereka yang tinggal atau
sering
-
7bepergian ke daerah endemis Hepatitis B. 9) Mereka yang
berganti
pasangan, oleh karena ketidaktahuan kondisi kesehatan pasangan.
10)
Kaum homoseksual.
2.1.4 Gejala Hepatitis B
Gejala Hepatitis B sangat mirip dengan flu, dimana 1 sampai
2
minggu kemudian barulah timbul kuning pada seluruh badan
penderita.
Saat ini biasanya penderita sudah pergi berobat karena merasa
ada
kelainan pada tubuhnya yang berwarna kuning. Warna kuning ini
diikuti
oleh perubahan fungsi hati (biasanya meningkat) pada
pemeriksaan
laboratorium. Satu sampai lima hari sebelum badan kuning,
keluhan
kencing seperti teh pekat dan warna buang air besar yang pucat
seperti
diliputi lemak juga dirasakan oleh penderita.
Pada saat badan kuning, biasanya diikuti pula dengan
pembesaran
hati dan diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut
kanan atas.
Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi yang biasanya
berada
dalam rentang waktu 2-12 minggu. Pada fase ini, badan kuning
dan
ukuran hati berangsur kembali normal. Demikian juga dengan
kenaikan
fungsi hati dari hasil pemeriksaan laboratorium akan
berangsur-angsur
mencapai normal kembali (Zain, 2006).
2.1.5 Pencegahan Hepatitis B
Menurut Ranuh (2005), secara garis besar upaya pencegahannya
terdiri dari pencegahan umum dan pencegahan secara khusus.
Secara
umum, selain uji tapis donor darah, sterilisasi instrument
kesehatan, alat
dialisis individual, membuang jarum disposible ke tempat khusus,
dan
pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga
penyuluhan
perihal seks yang aman, penggunaan jarum suntik disposible,
mencegah
kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka.
Pencegahan
secara khusus meliputi imunisasi VHB secara pasif dan aktif.
Imunisasi
pasif adalah dengan memberikan Hepatitis B immune globulins
(HBIg)
dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya
jangka
-
8pendek (3-6 bulan). Imunisasi aktif adalah dengan melaksanakan
program
imunisasi universal bagi bayi baru lahir yakni dengan memberikan
vaksin
VHB rekombinan yang tersedia.
2.2 Sambiloto (Androgramaphis paniculata)
Sambiloto yang juga dikenal sebagai King of Bitters bukanlah
tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India.
Menurut data spesimen
yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada
di Indonesia
sejak 1893. Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto
diketahui
penting sebagai tanaman cold property dan digunakan sebagai
penurun panas
serta membersihkan racun-racun di dalam tubuh (Lukas, 1998).
Dalam sistematika (taksonomi), tumbuhan sambiloto dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Acanthaceae
Genus : Androgramaphis
Spesies : Androgramaphis paniculata (Burm.f.) Ness
Gambar 2.1 Tumbuhan Sambiloto (Androgramaphis paniculata)
-
9Sambiloto berbau khas dan rasanya sangat pahit. Batang tidak
berambut,
tebal 2-6 mm, jelas persegi empat, batang bagian atas sering
kali dengan sudut
agak berusuk. Permukaan atas berwarna hijau tua atau hijau
kecoklatan,
permukaan bawah berwarna hijau pucat. Tangkai daun pendek.
Kelopak bunga
terdiri dari 5 helai daun kelopak, panjang 2 cm dan lebar 4 cm.
Permukaan luar
kulit buah berwarna hijau tua sampai hijau kecoklatan, permukaan
dalam
berwarna putih atau putih kelabu. Biji agak keras 1,5 3 mm,
lebar lebih kurang
2 mm, permukaan luar berwarna coklat muda bertonjol-tonjol
(Zein, 2009).
Secara farmakologi, sambiloto mempunyai khasiat sebagai
analgesik,
antibakteri, memperbaiki imunitas, antipiretik, antidiare,
antiinflamasi,
antimalaria, dan antiviral (WHO, 2002). Daun tumbuhan sambiloto
bermanfaat
untuk menurunkan demam tinggi dan malaria. Selain itu, daun
tumbuhan
sambiloto berkhasiat untuk mengatasi:
1. Hepatitis, infeksi saluran empedu
2. Disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel
(tonsillitis)
3. Abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas
4. (Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang
telinga
5. Kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes mellitus)
6. Tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru
7. Kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola
hidatidosa)
8. Batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma)
9. Darah tinggi (hipertensi) (Yuniarti, 2008).
Penggunaan sambiloto dalam dosis tinggi dapat menyebabkan perut
tidak
enak, muntah-muntah, dan kehilangan selera makan (Depkes RI,
1979: 20-25).
Obat ini tidak dianjurkan pemberiannya pada wanita hamil, diduga
pengaruhnya
kemungkinan dapat menyebabkan abortus (Thamlikitkul, dkk., 1991:
74).
Daun Androgramaphis paniculata Nees (Sambiloto) mengandung :
saponin, flaconoida, dan tanin. Kandungan kimia daun dan cabang
sambiloto:
diterpene lakton yang terdiri dari: deoxy androgramapholide,
androgramapholide (zat pahit), neoandrogramapholide,
14-deoxy-11,
-
10
12didehydroandrogramapholide, dan homoandrogramapholide.
Flavonoid dari
akar mengandung : polymethoxyflavone, androgramaphin, panicolin,
mono-o-
methylwithin, apigenin-7, 4-dimethyl ether, alkane, ketone,
aldehyde, kalium,
kalsium, natrium, asam kersik, dan dammar (Dep. Kes RI,
1989).
2.3 Kunyit (Curcuma longa Linn.)
Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), kedudukan tanaman
kunyit
dalam tata nama (sistematika) tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Spesies : Curcuma longa Linn.
Gambar 2.2 Kunyit (Curcuma longa Linn)
Kunyit (Curcuma longa Linn) merupakan salah satu tanaman
obat
potensial, selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai
bumbu dapur dan
zat pewarna alami. Rimpangnya sangat bermanfaat sebagai
antikoagulan,
menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma, penambah
darah, mengobati
sakit perut, penyakit hati, gatal-gatal, gigitan serangga,
diare, dan rematik.
-
11
Kandungan zat-zat kimia yang terdapat dalam rimpang kunyit
adalah: 1)
Zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa
diarilheptanoid 3-4%. 2)
Minyak atsiri 2-5%. 3) Arabinosa, fruktosa, glukosa, pati,
tannin dan dammar. 4)
Mineral yaitu magnesium besi, mangan, kalsium, natrium, kalium,
timbal, seng,
kobalt, aluminium dan bismuth (Sudarsono dkk., 1996).
Bagian yang sering dimanfaatkan sebagai obat adalah rimpang;
untuk,
antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat
malaria, obat cacing,
obat sakit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo,
memar dan
rematik. Kurkuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai
antihepatotoksik
(Kiso dkk., 1983) enthelmintik, antiedemik, analgesic. Selain
itu kurkumin juga
dapat berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan (Masuda
dkk., 1993).
Menurut Supriadi, kurkumin juga berkhasiat mematikan kuman
dan
menghilangkan rasa kembung karena dinding empedu dirangsang
lebih giat
untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Minyak atsiri pada
kunyit dapat
bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga
mampu
mengobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan untuk meredakan
batuk dan
antikejang.
2.4 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu
jenis
tanaman obat dari family Zingiberaceae yang potensial untuk
dikembangkan, dan
merupakan salah satu dari sembilan jenis tanaman unggulan dari
Ditjen POM
yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat. Pemanfaatan
tanaman ini
cukup banyak, antara lain dipergunakan oleh masyarakat dalam
pemeliharaan
dan peningkatan derajat kesehatan atau pengobatan penyakit
maupun oleh
produsen obat tradisional dan kosmetika (Nurjanah dkk., 1994;
Hernani, 2001).
Selain penggunaannya sebagai bahan baku industri seperti minuman
dan
pewarna alami, manfaat lain adalah dapat meningkatkan sistem
imunitas tubuh,
berkhasiat anti bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik, anti
inflamasi, anti
oksidan, anti tumor, diuretika, depresan, dan hipolipodemik
(Purnomowati &
-
12
Yoganingrum, 1997; Raharjo & Rostiana, 2003). Bagian yang
berkhasiat dari
temulawak adalah rimpangnya yang mengandung berbagai komponen
kimia di
antaranya zat kuning kurkumin, protein, pati, dan minyak atsiri.
Minyak atsirinya
mengandung senyawa phelandren, kamfer, borneol, sineal, dan
xanthorhizol.
Kandungan xanthorizol dan kurkumin ini yang menyebabkan
temulawak sangat
berkhasiat (Taryono dkk., 1987).
Menurut Van Steenis (1947), kedudukan tanaman rimpang
temulawak
dalam tata nama (sistematika) tumbuhan adalah sebagai
berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma xanthorriza Roxb
Gambar 2.3 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
-
13
BAB IIIMETODE PENULISAN
3.1 Sumber dan Jenis Data
Data-data yang digunakan dalam karya tulis ini bersumber dari
berbagai
referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan
yang dibahas.
Validitas dan relevansi terhadap referensi yang digunakan
dapat
dipertanggungjawabkan. Jenis data yang diperoleh berupa data
sekunder, baik
bersifat kualitatif ataupun kuantitatif.
3.2 Pengumpulan Data
Dalam penulisan karya tulis ini digunakan metode studi
pustaka,
berdasarkan studi terhadap berbagai literatur konvensional dan
e-library yang
telah teruji validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan
dengan kajian
tulisan serta mendukung uraian/analisis pembahasan.
3.3 Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan
data dengan
menyusun dari yang terkumpul secara sistematis. Teknik analisis
data yang
dipilih adalah analisis deskriptif argumentatif, dengan tulisan
bersifat deskriptif,
menggambarkan potensi temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit
(Curcuma
longa L.), dan sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai obat
Hepatitis B.
3.4 Penarikan Simpulan
Setelah melalui proses analisis data, dilanjutkan pada proses
sintesis
melalui proses menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan
penulisan
serta pembahasan yang dilakukan secara sistematis. Berikutnya
ditarik suatu
simpulan yang bersifat umum dan beberapa rekomendasi untuk
ditindaklanjuti.
-
14
BAB IVPEMBAHASAN
4.1 Potensi Sambiloto, Kunyit, dan Temulawak sebagai Obat
Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan didunia
dan
dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus
diselesaikan. Hal
ini karena selain prevalensinya tinggi, virus Hepatitis B dapat
menimbulkan
problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirroshis Hepatitis dan
karsinoma
hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi virus
Hepatitis B akan menjadi
kronik dan 20 % penderita Hepatitis kronik ini dalam waktu 25
tahun sejak
tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma
hepatoselluler
(hepatoma). Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila
infeksi terjadi
pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara
sempurna
(Siregar, tt).
Hepatitis B dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati yang
serius. Jika
seseorang dalam kondisi yang sehat dan tidak mempunyai
komplikasi, sel-sel
hati akan memperbaiki dirinya sendiri. Kasus-kasus yang berat
dan kasus-kasus
dengan komplikasi dapat menyebabkan kerusahakan hati yang
permanen. Pada
akhirnya, hal ini dapat menyebabkan gagal hati, sirosis, kanker
hati dan kematian
pada kurang lebih 1% dari kasus-kasus tersebut (Anonim,
2007).
Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk mencegah
dan
membantu pengobatan Hepatitis B diantaranya mempunyai efek
sebagai
hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik
yang dapat
merusak sel hati, juga bersifat anti radang, cholagogum, dan
khloretik, yaitu
meningkatkan produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis tumbuhan
obat yang
dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis, antara lain yaitu
temulawak
(Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), sambiloto
(Andrographis
paniculata).
Potensi sambiloto, kunyit, dan temulawak dalam mengobati
penyakit
Hepatitis B dapat dilihat dari kandungan kimia dan efek
farmakologis dari
-
15
tanaman tersebut. Sambiloto dapat dimanfaatkan sebagai obat
Hepatitis B karena
sambiloto mengandung kandungan kimia neoandrografolid,
andrografolid,
deoksiandrografolid, dan 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid
yang
memiliki efek farmakologis sebagai antiradang dan antiperik
(http://drlizahidup.blogspot.com). Selain itu kandungan kimia
andrografolida
(zat pahit) pada tanaman sambiloto juga berkhasiat sebagai
hepatoprotektor yang
sangat potensial untuk menghambat sitoksisitas hepar dan
anti-inflamasi. Neo-
andrografolida dan deoksi-andrografolida juga berkhasiat sebagai
anti-
inflamasi.
Sedangkan kandungan kimia kunyit (Curcuma longa L.) adalah
minyak
atsiri (turmeron, felandren, zingiberen, borneol, dan
lain-lain), kurkumin,
desmetoksikurkumin, tanin, dan lain-lain. Senyawa kurkumin pada
kunyit
mempunyai efek sebagai antiradang, antibakteri, dan sebagai
hepatoprotektor
(melindungi sel hati dari kerusakan). Khasiat kunyit sebagai
obat Hepatitis B
dapat dilihat dari kandungan kurkumin yang terkandung dalam
rimpang kunyit
yang bermanfaat sebagai anti inflamasi (antiradang). Dari semua
senyawa yang
terkandung dalam kunyit, tetra hidro curcumin (THC) ternyata
mempunyai
aktivatas anti inflamasi tertinggi.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) juga dapat
dimanfaatkan
sebagai obat Hepatitis B karena temulawak mengandung kandungan
kimia
kurkumin, minyak atsiri, borneol, felandren, turmerol, sineol,
glikosida,
xantorizol, kalium oksalat, dan lain-lain (Wijayakusuma, 2005).
yang memiliki
efek farmakologis sebagai anti inflamasi (anti radang),
cholagogum (merangsang
pengeluaran produksi cairan empedu), dan hepatoprotektor
(mencegah
peradangan hati) (Katno, dkk., tt). Kandungan curcumin dalam
temulawak
berkhasiat sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan antitumor.
Ekstrak temulawak
dapat mencegah penyakit hati termasuk Hepatitis B
(http://polobye.blogspot.com/2011/02/obat-herbal-untukpenyakitkanker.html).
Dari pemaparan tersebut tersirat jelas bahwa temulawak
(Curcuma
xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.), dan sambiloto
(Andrographis
-
16
paniculata) berpotensi sebagai obat Hepatitis B karena memilki
kandungan kimia
yang memiliki efek farmakologis sebagai hepatoprotektor, anti
radang, dan
cholagogum.
4.2 Cara Mengolah Sambiloto, Kunyit, dan Temulawak sebagai
Obat
Hepatitis B
Sambiloto, kunyit, dan temulawak memiliki berbagai kandungan
kimia
yang sangat berkhasiat sebagai obat Hepatitis B. Berdasarkan
literatur,
pengolahan sambiloto sebagai obat Hepatitis B disajikan dalam
bentuk rebusan
daun kering. Pengolahan sambiloto (Androgramaphis paniculata)
sebagai obat
Hepatitis B dalam bentuk rebusan dilakukan dengan merebus 5 gram
daun
sambiloto kering bersama air 2 gelas sampai tersisa 1 gelas dan
untuk satu hari
(diminum 3 x 1/3 gelas). Jika menggunakan daun segar, dosisnya
adalah sekitar
30 lembar daun dengan cara yang sama seperti merebus daun
kering. Dianjurkan
agar yang mengkonsumsi obat ini, juga disertai dengan
mengkonsumsi makanan
yang sehat dan bergizi untuk kelancaran proses pengobatan.
Namun rebusan air daun sambiloto ini memiliki kelemahan yaitu
rasanya
yang pahit menyebabkan seseorang enggan untuk meminum rebusan
air daun
sambiloto tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif untuk
mengolah
sambiloto ke dalam kapsul dengan menambahkan kunyit dan
temulawak. Kapsul
yang dipergunakan adalah kapsul gelatin keras karena kapsul ini
memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan kapsul lainnya yaitu
kapsul gelatin
tidak berbau, tidak berasa, dan mudah digunakan karena saat
terbasahinya oleh
air liur akan segera diikuti daya bengkak dan daya larut airnya.
Pengisian ke
dalam kapsul disarankan untuk obat yang memiliki rasa yang tidak
enak atau bau
yang tidak enak (Fauzi, 2007).
Menurut narasumber penulis, yang bernama I Wayan Sriaka, umur
75
tahun. Beliau sudah mengkonsumsi kapsul sambiloto dengan
beberapa tambahan
obat-obatan herbal lainnya. Selama 1 bulan sudah terbukti
khasiat dari kapsul
sambiloto tersebut, kesehatan I Wayan Sriaka sekarang sudah jauh
lebih baik
-
17
dibandingkan sebelumnya. Dalam karya tulis ini, kapsul sambiloto
dibuat dalam
sediaan kapsul gelatin keras. Proses pengolahan ini dilakukan
berdasarkan
keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI No.
04510/A/SK/XII/1989 tentang Petunjuk Operasional Penerapan Cara
Pembuatan
Obat yang baik. Proses pembuatan kapsul sambiloto adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan alat dan bahan:
Alat yang digunakan dalam pembuatan kapsul sambiloto adalah 10
buah
kapsul gelatin keras, 1 pasang sarung tangan plastik, 1 buah
sendok, dan 1
buah blender. Sedangkan bahan yang digunakan dalam pembuatan
kapsul
sambiloto adalah 10 gram sambiloto, 10 gram kunyit, dan 10
gram
temulawak.
2. Tahap pengeringan dan penyerbukan bahan:
Seluruh bahan-bahan dicuci hingga bersih dengan air mengalir.
Kemudian
kunyit dan temulawak dipotong-potong terlebih dahulu,
selanjutnya seluruh
bahan dikeringkan dengan sinar matahari kurang lebih selama 1-2
hari.
Setelah kering seluruh bahan-bahan dicampur kemudian dimasukkan
ke dalam
blender, tunggu hingga beberapa menit sampai bahan-bahan hancur
dan
berbentuk menjadi tepung (serbuk). Bahan yang sudah menjadi
serbuk
kemudian disaring.
Gambar 4.1 Alat dan Bahan Gambar 4.2 Proses Penyerbukan
-
18
Gambar 4.3 Proses Penyaringan Gambar 4.4 Hasil Saring Serbuk
Sambiloto
3. Tahap pengisian dan penutupan kapsul
Setelah bahan-bahan tersebut disaring, massanya menjadi 5
gram.
Kemudian di masukkan ke dalam kapsul, masing-masing kapsul
dapat
dimasukkan sebanyak 0,1 gram. Sehingga jumlah kapsul yang dapat
dibuat
adalah sebanyak 50 buah. Dalam pembuatan obat ini digunakan
kapsul gelatin
keras. Dalam tahap pengisian kapsul, hasil pengeringan berupa
serbuk
dimasukan ke dalam kapsul secara manual (melalui media sendok)
kemudian
kapsul ditutup rapat. Untuk menghindari kebocoran, saat
penutupan kapsul
oleskan sedikit campuran air dan alkohol pada tepi luar bagian
badan kapsul,
kemudian ditutup sambil diputar.
Gambar 4.5 Pengisian Kapsul Gambar 4.6 Perekatan Kapsul
-
19
Gambar 4.7 Penutupan KapsulKapsul sambiloto, temulawak, dan
kunyit ini dapat dikonsumsi 1 kali
sehari sebanyak 1 kapsul untuk pencegahan, atau dikonsumsi
sebanyak 2 kali
sehari masing-masing 1 kapsul bagi penderita Hepatitis B.
Keunggulan
pengobatan ini dengan media kapsul yaitu; 1) Cara pembuatannya
yang murah
dan mudah. 2) Dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan ditentukan
dengan jumlah
kapsulnya. 3) Dapat disimpan dengan jangka waktu yang relatif
lama. 4) Praktis
karena hanya diminum saja tanpa proses pengolahan yang banyak
seperti
diseduh, dihangatkan, dan lain-lain. 5) Melalui kapsul
sambiloto, maka rasa pahit
alami dari sambiloto tersebut akan lebih berkurang bila
dibandingkan dengan
cara merebusnya dan diminum secara langsung.
Sayangnya, di Indonesia sendiri sambiloto baru dikenal secara
terbatas di
kalangan orang yang biasa mengkonsumsi jamu. Melihat khasiatnya,
tentu lebih
baik jika pengobatan kembali ke alam dengan mengkonsumsi tanaman
obat
herbal, dibandingkan dengan mengkonsumsi antibiotik yang
memiliki efek
samping kurang baik dan harganya yang relatif mahal. Jika
negara-negara maju
seperti Skandinavia, Jepang, dan Cina sudah menggunakan
pengobatan ini,
tentunya Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayatinya, juga
seharusnya
memanfaatkan obat-obatan herbal seperti temulawak, kunyit, dan
sambiloto
dengan mengkonsumsinya sebagai obat Hepatitis B maupun untuk
penyakit
lainnya.
-
20
BAB VPENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik simpulan sebagai
berikut:
1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.),
dan
sambiloto (Andrographis paniculata) berpotensi sebagai obat
Hepatitis B
karena memilki kandungan kimia yang memiliki efek farmakologis
sebagai
hepatoprotektor, anti radang, dan cholagogum.
2. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa L.),
dan
sambiloto (Andrographis paniculata) dapat digunakan sebagai obat
Hepatitis
B yaitu dengan mengolahnya menjadi dalam bentuk rebusan daun
kering
ataupun dengan cara mengolahnya menjadi kapsul.
5.2 Saran
Melalui karya tulis ini dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian terhadap zat aktif dari
Androgramaphis paniculata
yang mempunyai efek anti Hepatitis B, serta untuk dapat
mengungkapkan
mekanisme kerjanya.
2. Perlu dilakukan uji klinik lanjutan secara multi senter
menggunakan
kombinasi kapsul ekstrak sambiloto dengan obat anti hepatitis
lainnya agar
waktu penyembuhan penyakit Hepatitis B lebih cepat.
3. Diharapkan pemanfaatan tanaman herbal lain lebih dioptimalkan
untuk
menanggulangi berbagai penyakit khususnya penyakit Hepatitis B
sehingga
kesehatan masyarakat lebih terjaga.
4. Disarankan kepada penderita Hepatitis B yang ingin menerapkan
pengobatan
herbal ini, agar terlebih dahulu mengkonsultasikannya kepada
ahli yang
bersangkutan.
-
21
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Hepatitis B. http://www.golongandarah.net/artikel_
[ 27 Agustus 2011].
Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia.
Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 1979. Androgramaphis paniculata Nees. Materia medica
indonesiana jilid III. 1979: 20-25.
Depkes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS
Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI.
Fauzi, Rahmi. 2007. Gelatin.
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/gelatin [27 Agustus
2011].
Hernani. 2001. Temulawak (Curcuma Xanthorhiza Roxb.) Tumbuhan
Obat Indonesia. Penggunaan dan Khasiatnya. Pustaka Popular Obor,
Jakarta. P.130-132.
Katno & Pramono S. TT. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional. Yogyakarta: Balai Penelitian Tanaman
Obat Tawangmangu, Fakultas Farmasi, UGM.
Kloppenburg, J. 1988. Petunjuk lengkap mengenai tanam-tanaman di
Indonesia dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional
(terjemahan). CDRS Bethesda dan Andi Offset, Yogyakarta. 1988:
149.
Ling, B & Lam, W. 2007. Hepatitis B: A Catalyst For
Anti-Discrimination Reforms?. http://hrichina.org/public/PDFs/CRF.
2.2007/CRF-2007-2_Hepatitis.pdf [20 Agustus 2011].
Lukas, R. 1998. Rahasia Herbalis Cina, Ramuan Tanaman Obat Cina.
Jakarta: Pustaka Delapratasa.
Misnadiarly. 2007. Mengenal, Menanggulangi, Mencegah, &
Mengobati Penyakit Hati (Liver). Jakarta: Pustaka Obor Populer.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases. 2006. What I Need to Know About Hepatitis B.
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hepb_ez-27k [20
Agustus 2011].
Nurjanah, N., S. Yuliani & A. B. Sembiring. 1994. Temulawak
(Curcuma Xanthorrhiza). Review Hasil- Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. X (2) : 43-57.
-
22
Purnomowati, S & A. Yoganingrum. 1997. Temulawak (Curcuma
Xanthorhiza Roxb.). Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lipi,
Jakarta. 44p.
Raharjo, M & O. Rostiana. 2003. Standar Prosedur Operasional
Budidaya Temulawak. Sirkular No. 8. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balittro, Bogor, P.33-38.
Ranuh, I.G.N. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi kedua,
Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Shulman, Phair, Sommers. 1994. Dasar biologis dan klinis
penyakit infeksi. Ahli bahasa Wahab S. Edisi keempat. Penerbit
gajah mada university press, 1994: 344-60.
Siregar, Fazidah A. TT. Hepatitis B Ditinjau dari Kesehatan
Masyarakat dan Upaya Pencegahan. Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU.
Sujono, Hadi. 1995. Gastoenterologi. Bandung: Alumni Bandung,
1995: 400-599.
Syukur, C. 2003. Tanaman Obat Antikanker. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta. 3-15.
Tang, W. & Eisenbrand, G. 1992. Chinese Drugs of Plant
Origin: Chemistry, Pharmacology, and Use in Traditional and Modern
Medicine. Springer-Verlag. Berlin. 1992: 97.
Taryono., E. M. Rahmat, S & A. Sardina. 1987. Plasma Nutfah
Tanaman Temu-Temuan. Edisi Khusus Ballittro. 3 (1) ;47-56.
Thamlikitkul, V., Dechatiwongse, T., & Terapong, S. 1991.
Efficacy of Androgramaphis paniculata for pharyngotonsilitis in
adults (abstract). Thai: J.med.Assoc. 74:437-42.
Van Steenis, C.G.G.J, den Hoed, D., Bloembergen, S., & Eyma,
P.J. 1947. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Alih Bahasa: Moeso S.,
Soenarto, Hardjosuwarno, Soerjosodo A., Wibisono, Margono P.,
Soemantri W. 1947. Jakarta: Pradnya Paramita.
WHO. 2002. Herba androgramaphidis. Dalam : WHO monogramaphs on
selected medicinal plants 2002; 2: 12-22.
Wijayakusuma, M.H. 2005. Mencegah & Mengatasi Gangguan
Kesehatan dengan Bahan-Bahan Alami. http://cybermed.cbn.net.id [27
Agustus 2011].
World Health Organization. World Cancer Report 2008. WHO Press,
2008.
-
23
Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional.
Yogyakarta Media Pressindo. Hal 381.
Zain, L.H. 2006. Hepatitis B dan Permasalahannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Zein, Umar. 2009. Perbandingan Efikasi Antimalaria Ekstrak Herba
Sambiloto (Androgramaphis Paniculata Nees) Tunggal dan Kombinasi
Masing-Masing dengan Artesunat dan Klorokuin pada Pasien Malaria
Falsiparum tanpa Komplikasi. Disertasi. Sumut: Universitas Sumatra
Utara.