1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang, sehingga hal ini juga berimplikasi terhadap harta peninggalannya. Sebab sebagian harta yang ditinggalkan sebelum dibagikan harus digunakan untuk melunasi hutang orang yang meninggal (Pewaris). 1 Melihat provisi di atas, maka masalah perutangan adalah masalah yang sangat penting. Ini terjadi karena masalah tersebut menyangkut kewajiban bagi orang yang berutang untuk membayarnya, bahkan sampai meninggal pun dituntut untuk membayarnya. Salah satu kewajiban ahli waris yang berkaitan dengan harta peninggalan adalah pembayaran hutang pewaris. Kedudukan hutang seorang pewaris secara umum menurut KUH Perdata terletak sebelum semua harta peninggalan diberikan kepada legataris dan dibagikan kepada ahli waris. Dalam penerimaan warisan, khususnya dengan jalan tengah antara menerima dan menolak warisaan peraturan yang diberikan undang-undang dalam hal tersebut, masih sangat sederhana dan kurang jelas tetapi dalam praktek tidak dijumpai kesulitan, sebab apabila sudah terang suatu warisan tidak akan mencukupi untuk pelunasan hutang-hutang pewaris, dapat 1 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 38
21
Embed
BAB I 2100018 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/jtptiain-gdl-s1-2004...dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu
tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima
orang yang utang, sehingga hal ini juga berimplikasi terhadap harta
peninggalannya. Sebab sebagian harta yang ditinggalkan sebelum dibagikan
harus digunakan untuk melunasi hutang orang yang meninggal (Pewaris).1
Melihat provisi di atas, maka masalah perutangan adalah masalah
yang sangat penting. Ini terjadi karena masalah tersebut menyangkut
kewajiban bagi orang yang berutang untuk membayarnya, bahkan sampai
meninggal pun dituntut untuk membayarnya.
Salah satu kewajiban ahli waris yang berkaitan dengan harta
peninggalan adalah pembayaran hutang pewaris. Kedudukan hutang seorang
pewaris secara umum menurut KUH Perdata terletak sebelum semua harta
peninggalan diberikan kepada legataris dan dibagikan kepada ahli waris.
Dalam penerimaan warisan, khususnya dengan jalan tengah antara
menerima dan menolak warisaan peraturan yang diberikan undang-undang
dalam hal tersebut, masih sangat sederhana dan kurang jelas tetapi dalam
praktek tidak dijumpai kesulitan, sebab apabila sudah terang suatu warisan
tidak akan mencukupi untuk pelunasan hutang-hutang pewaris, dapat
1 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 38
2
dimintakan kepada hakim untuk menyatakan pailit. Hal yang menurut
peraturan pailit semua diperbolehkan.2
Adapun kekuatan pembayaran tentang pewaris dimuat dalam Pasal
1100-1101 KUH Perdata yang menyatakan :
Para pewaris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah, wasiat dan lain-lain beban memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan.3
Kewajiban melakukan pembayaran tersebut dipikul secara
perseorangan dan masing-masing menurut jumlah besarnya bagiannya, satu
dan lain dengan tidak mengurangi hak-hak para berpiutang atas seluruh harta
peninggalan selama harta itu belum terbagi, dan tidak mengurangi pula hak-
hak para berpiutang hipotik.4
Meskipun warisan itu dinyatakan bangkrut terhadap harta peninggalan
yang tidak mencukupi untuk pelunasan semua hutang pewaris, maka KUH
Perdata memberikan peraturan tentang hutang yang harus didahulukan
pelunasannya. Berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata :
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjulan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.5
2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. II, (Surakarta : Intra Masa, 1985), hal. 105 3 KUH Perdata, Pasal 1100 4 Ibid., hlm. 1101 5 Ibid., Pasal 1132
3
Alasan yang sah untuk didahulukan dari penagih-penagih lainnya
menurut Pasal 1133-1134 KUH Perdata timbul karena adanya hak istimewa,
gadai dan hipotik.6
Hak istimewa yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam
Pasal 1134 KUH Perdata :
Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.7
Dengan ketentuan bahwa gadai dan hipotik mempunyai kedudukan
lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali undang-undang menentukan
sebaliknya. Hak istimewa tersebut selanjutnya dapat dinamakan privilage.
Dengan demikian hak istimewa dalam kasus-kasus tertentu
berdasarkan undang-undang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada gadai dan hipotik.
Menurut undang-undang ada dua macam hak istimewa, yaitu hak
istimewa kepada suatu benda tertentu dan hak istimewa kepada suatu
kekayaan orang yang berpiutang. Hak istimewa terhadap benda-benda tertentu
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak istimewa terhadap
semua harta kekayaan. Berdasarkan Pasal 1138 KUH Perdata :
Hak-hak istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai seluruh bendaa, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, yang pertama didahulukan daripada yang tersebut terakhir.8
6 Pengertian gadai dan hipotik menurut KUH Perdata Pasal 1150 dan 1162, yaitu gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak. Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
7 KUH Perdata Pasal 1134 8 Ibid., Pasal 1138
4
Hutang-hutang yang diberikan hak istimewa tersebut terhadap benda-
benda tertentu tercantum dalam Pasal 1139 KUH Perdata sub 1-9 yang
berbunyi:
1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang-piutang lain-lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula dari pada gadai dan hipotik.
2. Uang-uang sewa dari benda-benda tak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi wajibnya si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa.
3. Harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar. 4. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang. 5. Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu barang yang masih
harus dibayar kepada seorang tukang. 6. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan
sebagai demikian kepada seorang tamu. 7. Upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan. 8. Apa yang harus dibayar kepada tukang-tukang batu, tukang-tukang kayu
dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan-perbaikan benda-benda tak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang.
9. Penggantian-penggantian serta pembayaran-pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai-pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.9
Sedangkan hak-hak istimewa atas benda bergerak dan tak bergerak
pada umumnya tercantum dalam Pasal 1149 sub 1-7 KUH Perdata, yang
berbunyi:
1. Biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan, biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotik.
2. Biaya-biaya penguburan dengan tak mengurangi kekuasan Hakim untuk menguranginya jika biaya-biaya itu terlampau tinggi.
3. Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.
9 Ibid., Pasal 1139 BW sub 1-9
5
4. Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan.
5. Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarga selama waktu enam bulan yang terakhir.
6. Piutang-piutang para pengusaha sekolah asrama untuk tahun yang penghabisan.
7. Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka mengenai pengurusan mereka sekedar piutang-piutang itu tidak dapat diambilkan pelunasan dari hipotik atau lain jaminan yang harus diadakan menurut bab kelima belas Buku ke satu Kitab Undang-Undang ini, begitu pula tunjangan-tunjangan yang menurut Buku kesatu oleh orang tua harus dibayar untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka yang sah yang belum dewasa.10
Bunyi Pasal 1134 KUH Perdata memberikan pengecualian terhadap
ketentuan yang ada dalam Pasal-Pasal di atas. Hal ini dapat dilihat dari bunyi
Pasal tersebut:
Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.11
Pengecualian itu secara jelas dicantumkan dalam Pasal 1139 sub 1 dan
Pasal 1149 sub 1. Dengan demikian biaya penyegelan, biaya pendaftaran harta
peninggalan dan biaya pembuatan perhitungan, begitu juga biaya-biaya lain
yang dikeluarkan secara sah juga termasuk dalam pengecualian Pasal 1134 di
atas.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa urutan biaya yang harus
dikeluarkan oleh ahli waris sebelum harta peninggalan di bagi di antara ahli
waris menurut KUH Perdata, yaitu :
1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu benda bergerak maupun tidak bergerak (Pasal 1139 sub 1)
10 Ibid., Pasal 1149 sub 1-7 11 Ibid., Pasal 1134
6
2. Biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan (Pasal 1149 sub 1) Keduanya merupakan pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 1134 BW.
3. Pelunasan gadai dan hipotok (Pasal 1134 BW) 4. Uang-uang sewa dari benda-benda tak bergerak (Pasal 1139 sub 2 dan
sebagainya) 5. Biaya-biaya penguburan dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim
untuk menguranginya jika biaya-biaya itu terlampau tinggi.
Pelaksanaan nomor 4 dan 5 berdasarkan Pasal 1138 KUH Perdata
yang berbunyi :
Hak-hak istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai seluruh benda, baik bergerak maupun tidak bergerak. Yang pertama didahulukan daripada yang tersebut terakhir.12
Meskipun dalam praktek sehari-hari pelaksanaan penguburan pewaris-
pewaris tidak pernah tertunda karena adanya Pasal di atas. Apabila proses
pelunasan dilakukan secara tegas dan konsekuen, menurut penyusun hal
tersebut akan mendatangkan kemadharatan kepada ahli waris. Sebab biaya
penguburan dan perawatan serta pengobatan pewaris yang penghabisan
menjadi beban ahli waris.13
Permasalahan akan timbul apabila ternyata harta peninggalan tidak
mencukupi apabila sampai kepada urutan biaya penguburan, perawatan dan
pengobatan pewaris yang penghabisan. Artinya apabila harta peninggalan
ternyata hanya cukup untuk melunasi privilege atau hak-hak istimewa yang
dikecualikan oleh undang-undang (Pasal 1139 sub 1 dan Pasal 1149 sub 1)
dan biaya pelunasan terhadap piutang-piutang yang diistimewakan terhadap
12 Ibid., Pasal 1138 13 Pasal 1149 sub 2 dan 3 BW tentang biaya penguburan dengan tidak mengurangi
kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya-biaya itu terlalu tinggi dan semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan.
7
benda-benda tertentu (Pasal 1139 sub 2-9). Bukankah hal tersebut akan
memberatkan ahli waris?.
Di samping permasalahan di atas, hak istimewa atau privilege dalam
KUH Perdata menunjukkan adanya perbedaan di antara para kreditur yang
semuanya menuntut seluruh piutangnya untuk dilunasi. Sebenarnya hal
tersebut kurang sejalan dengan jiwa Pasal 1132 KUH Perdata yang
menghendaki adanya keseimbangan dari semua tingkatan kreditur.14
Berkaitan dengan hal di atas R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan
bahwa:15
1. Kewajiban membayar hutang itu hanya dipikulkan kepada ahli waris yang menerima harta warisan.
2. Kewajiban masing-masing dari para ahli waris untuk membayar hutang, menyerahkan legaat-legaat dan memenuhi beban-beban lain harus seimbang dengan adanya apa yang mereka terima dari barang-barang warisan.
Sementara itu, R. Wirjono Prodjodikoro mengomentari pandangan di
atas menyatakan bahwa:
“Hal tersebut tidak terlepas dari sikap ahli waris terhadap harta peninggalan ketika warisan terluang. Apabila ahli waris menerima secara murni terhadap warisan, maka satu-satunya ahli dari penerimaan tersebut adalah bahwa penerimaan secara murni itu menghilangkan wewenang untuk menerima warisan dengan jalan tengah yaitu antara menerima dan menolak warisan”.16
14 KUH Perdata Pasal 1132 15 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,
1991), hal. 183 16 Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Yogyakarta : Mustika Wihasa,
1994), hal. 84
8
Hal di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab ahli waris yang
menerima secara murni terhadap utang-utang warisan tidak terbatas sampai
sebesar aktiva warisan saja melainkan termasuk pula harta pribadinya.17
Sementara itu menurut prinsip hukum Islam, harta peninggalan
seorang pewaris sebelum digunakan untuk melunasi hutang pewaris, harus
digunakan untuk mencukupi biaya perawatan orang yang meninggal sebelum
digunakan untuk yang lain.18 Hal ini didasarkan sebuah hadits :
Artinya : “Ketika seorang laki-laki berhenti di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari kendaraannya (onta) sehingga mematahkan leher orang tersebut (meninggal dunia). Nabi bersabda: mandikanlah ia dengan air dicampur dua bidara dan kafanilah dengan dua kain dan janganlah kamu membalsamnya dan jangan pula menutupi kepalanya, sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan talbiyah (memuji Allah) ”. (H.R. Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah tidak meneliti
dan mengatakan apakah orang yang meninggal mempunyai hutang atau tidak.
Namun beliau terus menceritakan agar jenazah itu dimandikan dan dikafani.
Di samping itu Rasulullah juga tidak merinci setiap peristiwa, sebab peristiwa
yang diutarakan oleh beliau dalam hadits di atas menduduki keumuman apa
yang diucapkan ( �������-�J�"�!������>�!-���(� ��?���!��- )”.
Artinya : “Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan bertanya: “Hai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa ramadhan, apakah aku harus membayarnya?. Nabi menjawab: ya, kemudian Nabi bersabda: “Hutang kepada Allah itu lebih haq untuk dibayarkan”. (H.R. Bukhari)
Setelah hutang kepada Allah selesai dilunasi, maka hutang kepada
manusia yang berkaitan dengan harta peninggalan yang disebut dain ainiyah,
seperti gadai lebih didahulukan daripada hutang yang tidak berkaitan dengan
harta peninggalan atau disebut dain mutlaqoh, sehingga untuk hutang yang
PRIORITAS PELUNASAN HUTANG PEWARIS DALAM PASAL 1149 KUH
PERDATA DITINJAU DARI PRINSIP HUKUM ISLAM”.
B. Pokok Permasalahan
Untuk sampai pada pemahaman yang sistematis dan mencerminkan
substansi pembahasan serta metodologi penulisan skripsi yang pada akhirnya
dapat memberikan penjelasan yang jelas serta tidak menyimpang dari tujuan
semula, maka penulis mengungkapkan pokok permasalahan skripsi ini sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah penyelesaian hutang pewaris menurut KUH Perdata Pasal
1149 dan Hukum Islam?
2. Adakah hak istimewa dalam pelunasan hutang pewaris dalam kedua sistem
hukum tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi
1. Tujuan Penulisan Skripsi
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Mengkaji persoalan penyelesaian hutang pewaris menurut
KUHPerdata dan Hukum Islam.
b. Mengetahui adakah hak istimewa dalam pelunasan hurang pewaris
dalam kedua sistem hukum tersebut.
13
2. Manfaat Penulisan Skripsi
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
a. Bagi penulis, dengan mengkaji tentang prioritas pelunasan hutang
pewaris dalam KUH Perdata Pasal 1149 dan Hukum Islam akan dapat
menambah wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan kewarisan, khususnya
tentang hutang Pewaris.
b. Dapat mengetahui lebih jelas perbedaan sudut pandang KUH Perdata
dan Hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan
dengan pelunasan hutang pewaris.
c. Hasil dari kajian ini sedikit banyak akan dapat membantu usaha
penghayatan dan pengamalan terhadap masalah yang berkaitan
tanggungan si mati, khususnya hutang.
D. Telaah Pustaka
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan
penulis, belum ada penelitian yang membahas tentang prioritas pelunasan
hutang pewaris. Sehingga kajian ini adalah sebagai upaya untuk mengetahui
tinjauan prinsip hukum Islam terhadap Pasal 1149 KUH Perdata tentang
prioritas pelunasan hutang pewaris, baik menyangkut masalah privelidge dan
juga tertib pelunasan hutang pewaris.
14
Adapun beberapa buku yang memberikan kontribusi yang sangat besar
dan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) karya M.
Idris Ramulyo. Pembahasan tentang hukum kewarisan dalam buku ini sangat
penting sekali, sebab dalam buku ini mencoba membandingkan sistem
kewarisan yang ada dalam KUH Perdata dan Hukum Islam, baik menyangkut
dasar hukum kewarisan hukum Islam, KUH Perdata, Peradilan Agama dan
peradilan, pengertian kewarisan menurut Islam dan KUH Perdata, orang-
orang yang berhak menerima waris (ahli waris) menurut Islam dan KUH
Perdata, pelaksanaan pembagian warisan menurut Hukum Islam di Pengadilan
Agama dan KUH Perdata (BW) di Pengadilan Negeri.29
Pembahasan yang paling pokok dalam buku ini adalah tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pembagian warisan
menurut hukum Islam dan KUH Perdata, khususnya tentang utang-utang si
mati. Namun demikian buku ini kurang memberikan gambaran yang jelas
tentang prioritas pelunasan hutang pewaris itu sendiri dan lebih memfokuskan
pada penerimaan dan penolakan ahli waris terhadap harta warisan. Sedangkan
dalam tinjauan hukum Islam, buku ini memberikan penjelasan tentang
pelunasan hutang yang lebih didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, Fiqih Mawaris. Buku ini tulis oleh Ahmad Rofiq. Buku ini
membahas panjang lebar tentang masalah kewarisan, baik menyangkut
29 Lihat, M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
15
tentang tinjauan umum fiqih mawaris, ahli waris dan macam-macamnya,
metode perhitungan dalam pembagian harta warisan dan beberapa contoh
perhitungan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. Sehingga
dengan pembahasan yang komprehensif akan dapat membantu dalam
menjawab permasalahan yang dibahas.30
Ketiga, Hukum Waris Islam; Lengkap dan Praktis, karya Suhrawardi
K. Lubis dan Komis Simanjutak. Pembahasan buku ini pada dasarnya adalah
sebagai pengugah tentang pentingnya sosialisasi ilmu waris yang oleh banyak
kalangan dianggap sulit, sehingga dalam bagian pertama buku ini membahas
tentang pentingnya belajar ilmu waris Islam dan juga kedudukan hukum waris
Islam dalam tata hukum di Indonesia, baik menyangkut sejarah hukum Islam
(waris) di Indonesia, kewenangan peradilan agama mengadili perkara
kewarisan dan kompilasi hukum Islam Indonesia tentang kewarisan.
Kaitannya dengan studi ini, buku ini juga membahas tentang hal-hal yang
berkaitan dengan hal-hal yang harus diselesaikan ketika si Pewaris meninggal,
baik itu menyangkut perawatan Pewaris, hibah pewaris, wasiat pewaris dan
utang-utang yang harus dibayar oleh Pewaris, meskipun diuraikan dengan
singkat, namun telah memberikan masukan yang sangat berharga berkaitan
macam-macam hutang yang menjadi tanggungan Pewaris, baik itu hutang
kepada Allah maupun kepada sesama.31
30 Lihat, Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) 31 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam; Lengkap dan
Praktis, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001)
16
Keempat, Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya yang
berjudul Fiqih Mawaris. Dalam buku Fiqih Mawaris, Hasbi ash-Shiddieqy
juga membahas banyak hal tentang hukum kewarisan, baik menyangkut si
Pewaris, ahli waris dan juga harta warisan yang ditinggalkan Pewaris. Pada
bab pertama buku itu mengulas secara luas tentang hak-hak yang harus
didahulukan ketiak seseorang meninggal. Di samping itu, Hasbi juga
mengemukakan pendapat-pendapat ulama mazhab tentang dalam bukunya itu,
sehingga dari sinilah, maka akan memperluas pengetahuan tentang perbedaan
pendapat ulama mazhab berkaitan dengan pelunasan hutang yang dibahas.
Sehingga buku ini sangat menarik sekali sebagai rujukan dalam pembahasan
tentang tertib pelunasan hutang pewaris.32
Kelima, Pokok-Pokok Hukum Perdata karya Subekti. Buku ini lebih
memfokuskan pembahasannya pada masalah-masalah perdata yang berlaitan
dengan hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris,
hukum perjanjian dan juga pembahasan tentang pembuktian, lewat waktu
(verjaring) dan hukum dagang. Beberapa keunikan buku ini adalah bahwa
hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata dibahas secara rinci dengan
bahasa yang lugas dan dapat dipahami, sehingga memudahkan penulis untuk
menelaah isi buku ini, khususnya pembahasan yang berkaitan dengan jaminan
kebendaan yang menyangkut pand, hipotik dan masalah utang piutang.33
Dari buku-buku di atas, diharapkan dapat menjadi referensi utama
dalam menyelesaikan permasalahan yang akan dikaji. Sehingga melalui buku-