BAB 7 ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) merupakan salah satu produsen listrik untuk PLN yang tergabung dalam interkoneksi Jawa dan Bali. Produk utamanya dalam pengelolaan PLTA adalah : (1). Kesiapan operasi unit pembangkit dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada pelanggan yang dinyatakan dengan EAF (Equivalent Availability Factor) declare; (2). Energi listrik (kWh) dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada pelanggan melalui transmisi tenaga listrik berdasarkan kontrak jual beli; (3). Jasa Operation dan Maintenance (O&M) pembangkit, dengan mekanisme penyampaian langsung kepada pelanggan melalui layanan pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit berdasarkan kontrak (Buku Saku Panduan Magang PT. PJB, 2010) Kesiapan operasi unit pembangkit yang dinyatakan melalui EAF merupakan indikator perusahaan dalam mewujudkan pelayanan kepada pelanggan. EAF tahun 2010 untuk UP. Cirata sebesar 95,98 persen. Artinya bahwa pembangkit siap beroperasi sebesar 95,98 persen dari total kemampuan daya yang dihasilkan. Penjualan energi listrik diakui berdasarkan kilo watt hour (KwH) yang dipasok kepada PT. PLN (Persero) dengan menggunakan formula tarif yang ditetapkan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik. Formula tarif mencangkup perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya. Disamping usaha utama, PT. PJB juga mengembangkan usaha penunjang tenaga listrik yaitu unit jasa operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit. Unit jasa ini berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali Services dan PT. Rekadaya Elektrika. Untuk dapat menghasilkan produk utama ini, kinerja staf PT. PJB sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi internal berkaitan dengan hal-hal tehnis pembangkit antara lain adalah kesiapsiagaan staf PJB selama dua puluh empat jam dalam merawat dan mengoperasikan alat-alat pembangkit sehingga berfungsi efesien dan bertahan dalam jangka panjang. Faktor eksternal pembangkit listrik tenaga air adalah tata kelola waduk yang
21
Embed
BAB 7 ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA - repository.ipb.ac.id · ... (Buku Saku Panduan Magang PT. ... berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. ... Data Pengukuran Sedimentasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
91
BAB 7
ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA
PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) merupakan salah satu produsen
listrik untuk PLN yang tergabung dalam interkoneksi Jawa dan Bali. Produk
utamanya dalam pengelolaan PLTA adalah : (1). Kesiapan operasi unit
pembangkit dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada
pelanggan yang dinyatakan dengan EAF (Equivalent Availability Factor) declare;
(2). Energi listrik (kWh) dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung
kepada pelanggan melalui transmisi tenaga listrik berdasarkan kontrak jual beli;
(3). Jasa Operation dan Maintenance (O&M) pembangkit, dengan mekanisme
penyampaian langsung kepada pelanggan melalui layanan pengoperasian dan
pemeliharaan pembangkit berdasarkan kontrak (Buku Saku Panduan Magang PT.
PJB, 2010)
Kesiapan operasi unit pembangkit yang dinyatakan melalui EAF
merupakan indikator perusahaan dalam mewujudkan pelayanan kepada
pelanggan. EAF tahun 2010 untuk UP. Cirata sebesar 95,98 persen. Artinya
bahwa pembangkit siap beroperasi sebesar 95,98 persen dari total kemampuan
daya yang dihasilkan. Penjualan energi listrik diakui berdasarkan kilo watt hour
(KwH) yang dipasok kepada PT. PLN (Persero) dengan menggunakan formula
tarif yang ditetapkan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik. Formula tarif
mencangkup perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan
pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya.
Disamping usaha utama, PT. PJB juga mengembangkan usaha penunjang tenaga
listrik yaitu unit jasa operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit. Unit jasa ini
berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali Services
dan PT. Rekadaya Elektrika.
Untuk dapat menghasilkan produk utama ini, kinerja staf PT. PJB sangat
dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi internal
berkaitan dengan hal-hal tehnis pembangkit antara lain adalah kesiapsiagaan staf
PJB selama dua puluh empat jam dalam merawat dan mengoperasikan alat-alat
pembangkit sehingga berfungsi efesien dan bertahan dalam jangka panjang.
Faktor eksternal pembangkit listrik tenaga air adalah tata kelola waduk yang
92
menjadi bahan bakar bagi alat pembangkit untuk menghasilkan listrik. Bahan
bakar berupa air tersebut ditampung dalam suatu waduk dan menjadi sumber
bahan bakar dalam jangka panjang. Tata kelola waduk tersebut dipengaruhi oleh
seberapa besar aktivitas penunjang yang memanfaatkan waduk, tekanan
lingkungan dari sekeliling waduk, dan limpasan erosi dan limbah dari hulu
sungai-sungai yang bermuara di waduk. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi
air di waduk adalah besarnya curah hujan, evaporasi dan besarnya sedimen
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Alat-alat pembangkit listrik
membutuhkan air dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yag baik. Jika
kualitas air di waduk dalam keadaan buruk, misalnya mengandung unsur logam
tinggi tentunya akan mempengaruhi efesiensi alat-alat pembangkit.
Untuk memahami lebih jauh mengenai ketersediaan air dengan produksi
listrik yang menjadi produk utama PLTA, maka perlu dipelajari hubungan antara
tinggi muka air, sedimentasi dan produksi listrik seperti pembahasan dibawah ini :
7.1 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk
terhadap Sedimentasi
Waduk diperlukan untuk menampung air pada saat musim hujan, apabila
terjadi kemarau, maka air tetap tersedia dan listrik tetap dapat dihasilkan.
Tampungan air di waduk pada prinsipnya sama dengan tampungan air ditempat
penampungan lainnya. Hal yang membedakan adalah tampungan di waduk selalu
dalam skala besar dan air yang ditampung sangat bermakna bagi kepentingan
pengairan di daerah hilir dan bahkan bernilai ekonomi bila dapat membangkitkan
tenaga listrik seperti di PLTA. Penambahan dan pengurangan volume air waduk
dapat dikontrol melalui perubahan atau fluktuasi elevasi muka air waduk. Luas
permukaan waduk juga sangat tergantung pada elevasi muka air. Luas permukaan
waduk diperlukan untuk analisis perubahan tampungan, evaporasi waduk dan
menghitung volume curah hujan yang langsung jatuh ke waduk.
Pada umumnya, air yang ditampung di waduk tidak semua dapat
dimanfaatkan. Hal ini berhubungan dengan perencanaan struktur awal sebuah
waduk. Biasanya sebuah waduk memiliki batas air tertinggi disebut dengan
elevasi normal (normal pool level) sedangkan batas air terendah disebut elevasi
minimum (minimum pool level). Pada elevasi normal, permukaan air waduk tepat
93
mencapai mercu bangunan pelimpah (spillway) dan elevasi minimum tercapai
pada saat permukaan air tepat mencapai dasar dari bangunan penyadap (intake,
gambar lihat lampiran). Ruang antara elevasi normal sampai pada elevasi
minimum disebut sebagai kapasitas tampungan efektif yaitu air yang dapat
dimanfaatkan untuk operasi waduk selama musim kemarau. Ruang dibawah
elevasi minimum disebut dengan kapasitas tampungan mati (dead storage).
Dalam sebuah waduk, ruang tersebut haus disediakan untuk menampung kadar
lumpur yang tersuspensi pada saat air masuk ke dalam waduk. Besarnya kapasitas
tampungan mati pada sebuah waduk didasarkan pada data kadar sedimen
melayang dari semua sungai yang masuk ke waduk pada saat perencanaan.
Semakin besar sedimen melayang dari sungai-sungai yang direncanakan masuk ke
waduk, semakin besar pula kapasitas tampungan mati yang harus disediakan oleh
seorang perencana. Untuk Waduk Cirata, posisi elevasi normal terletak pada
+220 m sedangkan elevasi minimum terletak pada +185 m. Mengingat
pertimbangan teknis operasional dan keamanan dari keempat turbin (sebelum
tahun 1997) maka elevasi muka air minimum dalam Pola Operasi Minimum
Waduk Cirata ditetapkan pada elevasi +205 m. Hal ini dilakukan untuk
melindungi turbin-turbin dari kemungkinan terjadinya gangguan cavitasi.
Ketersediaan air dalam waduk menjadi komponen paling penting dalam
pembangkit listrik tenaga air, sehingga debit dan jumlah air harus tersedia dalam
jumlah yang cukup dan memenuhi standarisasi untuk dapat menghasilkan listrik.
Jika muka air mencapai elevasi terendah, maka dapat mempengaruhi efesiensi
turbin. Waduk bisa mencapai elevasi terendah bisa disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain curah hujan dan sedimentasi yang tinggi. Jika curah hujan
tinggi, maka waduk dapat menampung air hujan dan muka air waduk akan
meningkat. Jika curah hujan rendah maka muka air waduk dapat berkurang.
Sedimentasi berkaitan dengan erosi dan limbah yang diperoleh dari anak-anak
sungai yang bermuara ke waduk. Jika erosi tinggi di hulu sungai atau di sekeliling
waduk, dapat terbawa sampai ke badan waduk, begitu pula jika air sungai
membawa limbah dan sampah, dapat menyebabkan sedimentasi di badan waduk.
Hal yang mampu ditangani oleh manusia adalah tingkat sedimentasi. Oleh karena
94
itu, penghitungan sedimentasi dan kualitas air waduk terus dipantau secara rutin
minimal setahun sekali.
Berdasarkan penelitian yang panjang yang dilakukan oleh PT PJB dapat
dicari hubungan antara elevasi dengan volume air waduk dalam bentuk persamaan
matematis. Berdasarkan persamaan matematis tersebut ditentukan elevasi normal
(+220 m) dengan volume kumulatif 1827 juta m3, dan elevasi minimum (+205 m),
dengan volume kumulatif sebesar 1060 juta m3, sehingga volume efektif yang
merupakan selisih antara elevasi normal dan elevasi minimum sebesar 767 juta
m3. Volume ini lebih kecil dibandingkan dengan saat perencanaan yaitu sebesar
796 juta m3. Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi sedimentasi dan sampah
anorganik lainnya di dasar waduk yang terus berlangsung dari sejak Waduk Cirata
beroperasi di tahun 1988 sampai dengan saat ini.
Berdasarkan data perencanaan waduk, elevasi muka air dasar pintu
pengambilan (intake) ditetapkan pada +185 m, dengan volume sekitar 491 juta m3
dan rencana cadangan pada +205 dengan kapasitas tampungan sebesar 1177 m3.
Setelah dilakukan pengukuran sedimentasi di tahun 2007, ternyata akumulasi
sedimen di Waduk Cirata pada elevasi +185 m setelah 20 tahun beroperasi
diperkirakan sebesar 123 juta m3 dan pada elevasi +205 m diperkirakan sebesar
117 juta m3. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas tampungan mati yang tersisa
pada elevasi +185 m tinggal 368 juta m3 dan pada elevasi +205 m tinggal 1060
juta m3. Oleh karena itu kapasitas tampungan mati Waduk Cirata masih cukup
besar meskipun telah beroperasi selama 20 tahun.
Laju sedimentasi waduk merupakan kecepatan penambahan sedimen di
waduk. Perkiraan laju sedimen waduk dapat diketahui dengan cara
membandingkan perbedaan kapasitas tampungan efektif awal pada saat
perencanaan dengan kapasitas tampungan hasil perhitungan terakhir. Perbedaan
tersebut merupakan kondisi volume sedimen yang diendapkan di dasar waduk dan
tingkat laju sedimentasi waduk dapat dihitung berdasarkan total volume sedimen
dibagi dengan lamanya waktu operasi, dalam satuan m3/tahun.
Berdasarkan hasil perhitungan sedimentasi tahun 2007 diperoleh volume
sedimen yang diendapkan selama periode 20 tahun dari 1988 – 2007 sebesar 146
juta m3 atau 7,28 juta m
3/tahun. Volume total sedimen tersebut setara dengan
95
kehilangan tebal lapisan tanah di seluruh permukaan daerah alisan sungai lokal
Cirata sebesar 3,96 mm (Luas DAS lokal 1.836 Km2). Dengan asumsi berat jenis
sedimen di Waduk Cirata sebesar 0,6 ton/m3 maka besar volume sedimen di
Waduk Cirata sekitar 4,37 juta ton per tahun. Pengurangan kapasitas tampungan
waduk dari sejak perencanaan sampai tahun 2007 bervariasi untuk setiap elevasi.
Adapun pengurangan kapasitas tampungan untuk setiap elevasi dapat dilihat dari
perbedaan kapasitas tampungan antara hasil pengukuran sedimen dengan
perencanaan seperti pada Tabel 23.
Sesuai hasil penelitian sedimentasi diatas, maka pada kondisi saat ini
produksi listrik Cirata masih dalam status aman. Yang patut diperhatikan adalah
tingkat sedimentasi yang harus dijaga, bahkan dikurangi untuk bisa
memperpanjang umur waduk dan tetap menjaga kontinuitas pasokan listrik.
Tabel 24. Perbedaan Kapasitas Tampungan antara Perencanaan vs Pengukuran
Elevasi Vol
Perencanaan
Vol
Pengukuran
Pengurangan Kapasitas
Tampungan (m) (Juta m3) (Juta m
3) (Juta m
3) %
220 1973 1827 146 7,4
215 1677 1548 129 7,7
210 1411 1292 119 8,5
205 1177 1060 117 10
200 971 851 120 12,4
195 790 666 124 5,7
190 630 505 125 19,8
185 491 368 123 25,1
180 373 254 119 31,8
175 277 186 91 32,7
170 200 134 66 33,1
165 140 90,1 50 35,6
160 100 55,3 45 44,7
150 50 12 38 76
140 20 4,06 16 79,7
130 0 0,011 0
Sumber : Data Pengukuran Sedimentasi PT PLN PJB (2008)
Apabila terjadi musim kemarau yang panjang, dan tinggi muka air sampai
pada elevasi terendah maka sistem pola operasi waduk kaskade berlaku. Misalnya
dengan meminta pasokan air dari Waduk Saguling di hulu sungai. Permintaan
96
tersebut harus melalui sistem dan prosedur yang dibangun oleh PT PLN untuk
kaskade tiga bendungan yaitu PLTA Saguling, Cirata dan jatiluhur, serta masing-
masing otorita. Sistem ini yang disebut P3B (Penyaluran Pusat Pengatur Beban).
Setiap bulan anggota P3B mengadakan rapat rutin untuk menentukan berapa
target yang diwajibkan untuk Cirata, Saguling dan Jatiluhur dalam produksi
listrik, penggunaan air irigasi, air minum, dan peruntukkan lainnya berdasarkan
data curah hujan dari Meteorologi dan data-data pendukung lain dari BPPT. Hasil
rapat ini harus disepakati, tidak boleh dilanggar dan menjadi indikator
performance masing-masing otorita pembangkit.
7.2 Perhitungan Produksi Listrik
Dalam perhitungan produksi listrik yang dikaitkan dengan ketersediaan
pasokan air, berlaku ilmu mekanika fluida, dimana terdapat 4 (Empat) perubahan
energi yang diperlukan dari air menjadi listrik yaitu : energi ketinggian (potensial)
menjadi energi kecepatan (kinetik). Dari energi kecepatan dirubah menjadi energi
mekanik atau energi putar dan terdapat generator di dalam turbin yang berfungsi
merubah energi putar menjadi energi listrik. Kerugian yang diperoleh bisa terjadi
pada saat perubahan energi kinetik, karena daya yang dihasilkan oleh listrik
berhubungan dengan banyaknya air yang dibutuhkan.
Perhitungan produksi listrik berdasarkan, ketinggian air (h) yang diperoleh
dari selisih elevasi air di bendungan, di tampungan air dan di pembuangan; flow
atau debit air (Q); efesiensi turbin ( massa jenis air ( seperti rumus dibawah
ini, berdasarkan Simanjuntak (2011) :
H adalah ketinggian air pada elevasi normal dikurangi elevasi di bendungan dan
dikurangi elevasi di pembuangan. Elevasi standar di tail race atau dipembuangan
adalah 113 m, elevasi efektif = 103 meter dan elevasi rendah berada pada 97
meter, sehingga didapatkan hasil :
H = 215 – 103 – 5,2
H = 106,8 meter
Berkaitan dengan operasional waduk untuk kebutuhan pembangkitan listrik, jika
batasan TMA (tinggi muka air) sudah terpenuhi (antara 205 s/d 220 m), maka
97
pengaturan untuk daya yang dibangkitkan adalah melalui pengaturan debit air
yang masuk ke turbin (mekanisme pembukaan Guide Vane), yang berarti bahwa
flow atau debit air sudah diatur sesuai dengan kapasitas turbin dan listrik yang
ingin dihasilkan. Nilai debit ait tersebut adalah :
Q = 135 m3/s
Maka :
Oleh karena adanya efesiensi generator, maka hasil produksi listrik tersebut akan
dikalikan dengan efesiensi generator sebesar 98%, sehingga :
Dengan perhitungan elevasi standar inilah maka produksi listrik Cirata yang
mampu dihasilkan sebesar 126 MW per turbin. Oleh karena PLTA Cirata
memiliki 8 turbin, sehingga total kapasitas listrik terpasang yang mampu
dihasilkan sebesar 1.008 MW.
Jadi TMA sangat mempengaruhi produksi listrik, selama batasan TMA
terpenuhi (elevasi normal 205 – 220 m), maka operasional pembangkit bisa
difungsikan. Ketika TMA semakin menurun dan alat pembangkit terus menerus
difungsikan, disinilah peran P3B dalam sistem kaskade Citarum mengatur
permintaan produksi listrik. TMA ini sangat dipengarui oleh curah hujan. Oleh
karena itu kondisi curah hujan menjadi pantauan yang mutlak dilakukan dalam
perencanaan produksi listrik. Bekerjasama dengan lembaga meteorologi, PT. PJB
melakukan pantauan perkiraan curah hujan di daerah Jawa Barat dan sekitarnya.
Berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan seperti pada gambar dibawah ini,
menunjukkan bahwa selama tahun 1994 - 2011 rata-rata curah hujan sebesar
1959,67 mm/tahun. Angka curah hujan relatif rendah di tahun 1997, 1999, 2006
98
dan 2009, dan curah hujan yang cukup tinggi di tahun 2011 seperti yang terlihat
dalam Gambar 20.
Gambar 20. Data Curah Hujan Rata-rata dari tahun 1994 s/d 2011
Gambar 21. Data Produksi Gross Listrik Tahunan dari 1988 s/d 2011 (MwH)
Jika data curah hujan dibandingkan dengan produksi listrik seperti yang
terlihat pada Gambar 21, maka trend produksi listrik mengikuti alur curah hujan.
Oleh karena peningkatan/penurunan curah hujan dapat mempengaruhi tinggi
muka air waduk yang pada akhirnya mempengaruhi produksi listrik. Selain curah
hujan yang pengukurannya di anak-anak sungai yang bermuara ke waduk, tinggi
99
muka air waduk juga dipengaruhi oleh keluaran Waduk Saguling (yang
merupakan inflow Waduk Cirata) dan tingkat sedimentasi di waduk. Jika
sedimentasi di waduk tinggi maka mempengaruhi kapasitas tampungan waduk
yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi muka air waduk. Oleh karena cuaca
sulit diprediksi dan siklus musim tidak teratur sehingga produksi listrik setiap
tahun akan berbeda. Selain itu kesiapan pembangkit thermal (base load) juga
mempengaruhi pengoperasian PLTA Cirata. Jika pembangkit thermal berkapasitas
besar dalam kondisi outage (keluar dari sistem) atau ada gangguan transmisi 500
kV (sutet tegangan tinggi) maka PLTA Cirata akan dioperasikan base load
sehingga produksi akan meningkat.
Terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada tahun 1997
dipengaruhi oleh musim, adanya gejala el nino menyebabkan beberapa wilayah di
Indonesia mengalami kekeringan. PLTA Cirata pun mendapat dampak dari
adanya gejala el nino tersebut, sehingga produksi listrik turun drastis pada level
858.040 MwH. Di tahun 2010-2011, terjadi gejala yang berkebalikan, dimana
pada tahun tersebut curah hujan saat tinggi, dan PLTA difungsikan maksimum.
Bagian terpenting dari suatu waduk adalah besarnya kapasitas tampungan
mati (dead storage). Kapasitas tampungan mati tersebut mempunyai batas masa
layan yang telah direncanakan sejak awal pembangunannya. Apabila batas masa
layan ini terlampaui berarti kapasitas tampungan matinya diperkirakan sudah
tertutup penuh oleh sedimen dan waduk berfungsi sebagai waduk runoff.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari PT. PJB dalam Laporan
pengukuran sedimentasi, maka dapat diprediksi umur layanan waduk. Untuk
menghitung perkiraan sisa umur layan waduk menggunakan rumus sebagai
berikut:
Vs = Vp – Va
Dimana : Vs = Volume sedimen yang diendapkan (m3)
Vp = Volume waduk pada saat perencanaan (m3)
Va = Volume waduk aktual (m3)
100
Berdasarkan rumus diatas, dapat dihitung besarnya volume sedimen yang
diendapkan pada elevasi +185 yaitu sebesar 123 juta m3, pada elevasi +205 m
sebesar 117 juta m3 dan pada elevasi +220 m sebesar 146 juta m
3. Dengan rumus
tingkat laju sedimentasi waduk, maka dapat dihitung pada elevasi +185 m sebesar
6,15 juta m3/tahun, pada elevasi +205 sebesar 5,85 juta m
3/tahun dan pada elevasi
+220 m sebesar 7,3 juta m3/tahun. Dengan rumus diatas maka dapat diperkirakan
bahwa sisa umur layan waduk pada elevasi +185, +205 dan +220 adalah berturut-
turut 60 tahun, 180 tahun dan 250 tahun. Perhitungan tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa laju sedimentasi tidak bertambah dari tahun ke tahun dan kondisi
hutan, tata guna lahan di daerah aliran sungai Citarum hulu dan wilayah sabuk
hijau (green belt) di sekeliling Waduk Cirata tidak lebih buruk dari kondisi
sekarang. Berikut ini adalah matriks perhitungan umur layanan waduk :
Gambar 22. Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi 2007
7.3 Perhitungan Estimasi Kerugian
Perhitungan estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu productivity approach dan Benefit Cost Analysis.
Benefit cost analysis merupakan pendekatan dengan membandingkan ratio antara
keuntungan yang dihasilkan, dalam hal ini produksi listrik dan biaya yang
dikeluarkan untuk memproduksi listrik. Pendekatan ini membutuhkan data-data
berbagai macam pengeluaran (cost) dalam memproduksi listrik dan benefit yang
101
diperoleh dalam usaha penjualan produksi listrik. Productivity approach
membutuhkan data produksi dan analisis dilakukan dengan melihat trend produksi
yang dihasilkan. Adanya gap atau penurunan/peningkatan produksi
mengindikasikan adanya potensi kerugian/keuntungan. Dalam penelitian ini
dilakukan kombinasi diantara dua pendekatan tersebut, produktivity approach dan
benefit cost analysis. Hal ini karena produktivitas listrik yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh curah hujan, kesepakatan dalam kelompok P3B, sistem
interkoneksi Jawa-Bali, faktor-faktor managemen dan politis. Sementara itu
benefit cost analysis membutuhkan data-data keuangan yang kemungkinan sulit
diperoleh secara lengkap dan berurutan sesuai waktu beroperasinya pembangkit.
7.3.1 Analisis Benefit
Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data benefit adalah dengan
melihat data produksi listrik dan mencari data harga jual listrik dari produsen ke
perusahaan listrik. PT. PJB memiliki dokumentasi data produksi yang lengkap,
customize dan bisa diakses pihak luar. Data yang diperoleh untuk produksi listrik
tersedia dari mulai awal pembangkit beroperasi ditahun 1988 sampai dengan
tahun 2011 dalam satuan MwH. Data produksi listrik tersebut merupakan data
gross yang belum mempertimbangkan susut trafo (kehilangan energi dalam
transmisi distribusi) dan pemakaian sendiri. Berdasarkan hasil analisis data
produksi, rata-rata susut trafo dan pemakaian sendiri kurang dari 10 persen
terhadap produksi gross. Oleh karena itu Tabel 25 dibawah ini berisi data produksi
gross, produksi net, rata-rata produksi dan data penjualan.
Data penjualan diperoleh dengan mengalikan produksi listrik net dan harga
jual listrik kepada PT. PLN (Persero). Penjualan listrik ini dilakukan melalui
hubungan kerjasama yang istimewa. Penentuan harga ditetapkan berdasarkan
perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan
pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya.
Menurut Laporan Tahunan PT. PJB Tahun 2010, harga jual listrik Rp679,00/KwH
lebih rendah dibandingkan harga tahun 2009 yang ditetapkan sebesar
Rp680,00/KwH. Berdasarkan data rata-rata harga jual listrik dalam 10 tahun
terakhir (2000-2010), diperoleh rata-rata harga jual Rp399,00/KwH. Oleh karena
102
itu untuk perhitungan benefit perusahaan ditetapkan harga jual listrik sebesar
Rp350,00/KwH.
Tabel 25. Data Produksi Listrik Gross, Estimasi Produksi Listrik Netto dan