Top Banner
253 BAB 6 KESIMPULAN Tahapan ini merupakan tahapan akhir dari penelitian ini yaitu tahap menyimpulkan dari analisis, pembahasan dan diskusi yang telah dilakukan. Kesimpulan merupakan hasil dari beberapatahapan pembahasanmakna sinkronik arsitektur Bali Aga di Kabupaten Buleleng Bali. Dari pembahasan yang dilakukan dapat diketahui bahwa penciptaan arsitektur khususnya arsitektur vernakular dimulai dari gagasan masyarakat yang diwujudkan ke dalam bentuk fisik. Gagasan arsitektur muncul karena kebutuhan manusia. Setiap masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda dan kebutuhan masyarakat diturunkan dari sistem kepercayaan masyarakat dan struktur sosial masyarakat. Pada masyarakat tradisonal sistem kepercayaan memilki peranan terpenting dalam kehidupan mereka, sehingga sistem kepercayaan menjadi faktor terpenting dan mempengaruhi semua kehidupan msyarakatnya. Gagasan yang dimunculkan oleh masyarakat diwujudkan dalam bentuk fisikal dan apabila gagasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat maka gagasan tersebut akan diulang menjadi kebiasaan. Proses penerimaan, pengulangan,dan adaptasi dilakukan atau terjadi secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan tradisi pada masyarakat. Gagasan yang dapat diterimaoleh masyarakat akan terus berkembang dandianggap sebagai sesuatu yang berharga dan penting di dalam masyarakat dan sehingga menjadi objek yang memiliki nilai kesejarahan/historical object, sedangkan gagasan yang tidak dapat diterima/ditolak akan menghilang secara alami. Bentuk arsitektur yang dapat diterima oleh masyarakat dan dianggap sesuatu yang berharga kemudian menjadi tradisi. Di dalam tradisi terdapat norma, aturan tidak tertulis, filosofi hidup, sistem nilai dan aturan lainnya yang digunakan oleh masyarakatnya. Oleh karena itu di dalam sebuah bentuk arsitektur di dalamnya akan terdapat beberapa lapisan makna arsitektur yaitu lapisan terluar adalah bentuk arsitektur itu sendiri, ada tradisi di dalamnya dan ada gagasan/konsep yang menjadi ilmu pengetahuan dan seni yang dimiliki oleh masyarakatnya.
18

BAB 6 KESIMPULAN

Mar 11, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB 6 KESIMPULAN

253

BAB 6

KESIMPULAN

Tahapan ini merupakan tahapan akhir dari penelitian ini yaitu tahap

menyimpulkan dari analisis, pembahasan dan diskusi yang telah dilakukan.

Kesimpulan merupakan hasil dari beberapatahapan pembahasanmakna sinkronik

arsitektur Bali Aga di Kabupaten Buleleng Bali.

Dari pembahasan yang dilakukan dapat diketahui bahwa penciptaan

arsitektur khususnya arsitektur vernakular dimulai dari gagasan masyarakat yang

diwujudkan ke dalam bentuk fisik. Gagasan arsitektur muncul karena kebutuhan

manusia. Setiap masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda dan kebutuhan

masyarakat diturunkan dari sistem kepercayaan masyarakat dan struktur sosial

masyarakat. Pada masyarakat tradisonal sistem kepercayaan memilki peranan

terpenting dalam kehidupan mereka, sehingga sistem kepercayaan menjadi faktor

terpenting dan mempengaruhi semua kehidupan msyarakatnya. Gagasan yang

dimunculkan oleh masyarakat diwujudkan dalam bentuk fisikal dan apabila

gagasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat maka gagasan tersebut akan

diulang menjadi kebiasaan. Proses penerimaan, pengulangan,dan adaptasi

dilakukan atau terjadi secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dan

tradisi pada masyarakat. Gagasan yang dapat diterimaoleh masyarakat akan terus

berkembang dandianggap sebagai sesuatu yang berharga dan penting di dalam

masyarakat dan sehingga menjadi objek yang memiliki nilai

kesejarahan/historical object, sedangkan gagasan yang tidak dapat

diterima/ditolak akan menghilang secara alami.

Bentuk arsitektur yang dapat diterima oleh masyarakat dan dianggap

sesuatu yang berharga kemudian menjadi tradisi. Di dalam tradisi terdapat norma,

aturan tidak tertulis, filosofi hidup, sistem nilai dan aturan lainnya yang digunakan

oleh masyarakatnya. Oleh karena itu di dalam sebuah bentuk arsitektur di

dalamnya akan terdapat beberapa lapisan makna arsitektur yaitu lapisan terluar

adalah bentuk arsitektur itu sendiri, ada tradisi di dalamnya dan ada

gagasan/konsep yang menjadi ilmu pengetahuan dan seni yang dimiliki oleh

masyarakatnya.

Page 2: BAB 6 KESIMPULAN

254

Penciptaan arsitektur Bali Aga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

yang merupakan faktor yang membuat bentukan fisik arsitekturnya bervariasi,

walaupun memiliki gagasan/konsep yang sama. Setiap masyarakat memiliki

kesempatan untuk memilih kemungkinanyang disediakan oleh alam. Pilihan ini

memberi konsekwensi pada bentuk arsitektur lainnya, seperti pola perumahan

masyarakat, orientasi bangunan dan komposisi bangunan. Pilihan yang dilakukan

masyarakat juga dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat.

Ketiga faktor ini menjadi faktoryang memberi warna pada bentuk arsitektur dan

menjadikan bentuk arsitektur Bali Aga memiliki berbagai variasi. Pilihan yang

dilakukan masyarakat juga dikaitkan pada penekanan-penekanan yang dilakukan

oleh masyarakat pada aspek-aspek tertentu dalam bentuk arsitektur, seperti lebih

menekankan pada faktor keamanan, faktor keselamatan masyarakat, faktor

konsistensi penerapan konsep/gagasan dari skala meso ke skala mikro, dan

sebagainya. Penekanan yang dilakukanpadaaspek tertentu disebabkan karena

pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat. Pengalaman ini dapat berbentuk

legenda, mitos atau bentuk pengalaman lainnya yang menjadi bagian dari sejarah

masyarakat perkembangan tersebut. Dari gagasan yang dimiliki

masyarakat,pilihan yang dilakukan, pengalaman yang dimiliki, sistemkepercayaan

dan sebagainya semua dirangkai dan dirajut di dalam bentuk arsitektur dan

dijadikan tradisi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Proses penciptaan arsitektur

Bali Aga dijabarkan pada skema 6.1.

Skema 6.1 Alur proses penciptaan bentuk arsitektur dalam sebuah masyarakat Bali Aga

Page 3: BAB 6 KESIMPULAN

255

6.1 Makna Sinkronik Arsitektur Bali Aga

Dari alur proses penciptaan arsitektur dalam masyarakat trdisional, maka

dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk arsitektur dalam arti

luas. Faktor yang memegang peranan penting adalah sistem kepercayaan, struktur

sosial masyarakat, dan kebutuhan dasar masyarakat dan faktor yang menciptakan

variasi pada bentuk arsitektur (modifying factor) adalah pilihan yang dilakukan

masyarakat, pengalaman yang dimiliki. Dan masyarakat Bali Aga adalah

masyarakat yang sepakat bersatu untuk menjadi sebuah komunitas dan

menghapuskan semua artibut pribadi dan kelompok dan membentuksebuah

masyarakat yang memiliki kedudukan yang sama. Masyarakat Bali Aga memiliki

latar belakang mitos atau legenda yang menjadi landasan kesepakatan mereka

untuk membentuk sebuah masyarakat. Mitos dan legenda ini menjadi faktor yang

mengikat kesatuan mereka menjadi sebuah masyarakat. Dari pembahasan yang

telah dilakukan maka dapat disimpulkan makna sinkronik arsitektur Bali Aga

sebagai berikut:

6.1.1 Bentuk Ekspresi Arsitektur Bali Aga

Perkembangan arsitektur Bali Aga biladilihat dalam konteks kebudayaan

Bali kuno, maka bentuk arsitekturnya sudah berkembang sangat maju dan bahkan

beberapa konsep tersebut masih tetap digunakan sampai saat ini oleh masyarakat

Bali. Bentuk arsitektur Bali Aga dilihat dalam skala meso atau permukiman

memiliki pola keruangan yang mampu mengatur tata letak fungsi-fungsi dalam

permukiman dengan baik. Konsep keruangan pada permukiman masyarakat Bali

Aga yang menggunakan konsep luan-tebenbertujuan untuk mengorganisasikan

ruangan berdasarkan tingkat kesakralan ruangan. Pengaturan tata letak fungsi

dengan menerapkan konsep luanteben untuk mengatur semua komponen

permukiman dapat diletakkan dalam aturan/order yang jelas dan

menempatkannya pada posisi yang tepat sesuai dengan sistem nilai yang dimiliki

oleh masyarakat.

Pengetahuan untuk mengorganisasi ruangan menjadi sebuah aturan yang

tidak tertulis dan dibungkus dalam bentuk tradisi yang ditaati oleh masyarakat.

Pola permukiman yang terbentuk dari tata aturan tradisi yang dimiliki oleh

masyarakat dipengaruhi oleh kondisi geografis lingkungan,pilihan yang dilakukan

Page 4: BAB 6 KESIMPULAN

256

masyarakat dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat. Pengalaman dan

pilihan yang dilakukan masyarakat menciptakan pola permukiman yang berbeda,

walaupun mereka menerapkan konsep keruangan yang sama yaitu konsep

keruangan luan-teben, seperti desa Julah dan desa Tenganan memiliki kondisi

geografis yang mirip yaitu kondisi lingkungan yang relatif datar, namun keduanya

menerapkan konsepkeruangan yang sama yaitu konsep luanteben, namun

memiliki pola permukiaman yang sangat berbeda Contoh lainnya seperti desa

Bayung Gede dan desa Pengotan memiliki kondisi geografis dan iklim yang mirip

menerapkan konsep keruangan yang sama namun diterapkan dengan cara berbeda

sehingga menciptakan pola permukiman yang berbeda. Hal itu disebabkan karena

penterjemahan konsep keruangan luan-tebenditingkat desa dan rumah adat

diterapkan dengan cara yang berbeda sehingga menghasilkan pola permukiman

yang berbeda. Pada tingkat permukiman posisi luanselalu ditempatkan di arah

kaja dan pada rumah adat arah luan ditempatkan berbeda sesuai dengan

kesepakatan seperti di desa Bayung Gede dan Sidatapa posisi luan diletakkan di

area terdalam dari tapak, di desa Pengotandan Julah posisi luan diletakkan di area

terkaja,, sedangkan di desa Tenganan posisi luan diletakkan di area terdekat

dengan communal space.

Dari penyandingan yang dilakukan di beberapa desa Bali Aga nampak

bahwa pola permukiman yang terbentuk dipengaruhi oleh sistem kepercayaan

mereka karena semua permukiman tersebut menerapkan konsep keruangan luan-

teben dan posisi Pura Desa/Pura Bale Agung selalu di kaja sedangkan tempat

pemujaan di tingkat rumah adat bervariasi. Variasi pola permukiman yang

terbentuk disebabkan oleh karena masyarakat memiliki pilihan yang

berbeda,pengalaman yang berbeda dan penekanan pada aspek tertentu. Dari

pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kepercayaan menjadi faktor

utama untuk menentukan konsep keruangan permukiman Bali Aga dan pilihan

dan pengalaman menjadi faktor yang memberi warna (modifying factor) sehingga

terbentuk pola permukiman yang bervariasi. Struktur sosial masyarakat Bali Aga

pada umumnya sama yaitu masyarakat tidak memiliki kelas, sistem

kekerabatannya patrilineal danorganisasi sosial masyarakat menggunakan konsep

ulu apad/pengurus organisasi dipilih berdasarkan usia perkawinan. Struktur sosial

Page 5: BAB 6 KESIMPULAN

257

dalam masyarakat tidak banyak memberi pengaruh pada konsep keruangan

permukiman, sistem kekerabatan hanya digunakan untuk menentukan letak

bangunan rumah adat yang pada umumnya diletakkan berdekatan dengan anggota

keluarga mereka.

Bentuk rumah adat pada arsitektur Bali Aga dipengaruhi oleh kebutuhan

dasar masyarakat Bali Aga. Dengan melihat aktivitas yang dilakukan masyarakat

baik aktivitas keseharian dan maupun aktivitas ritualyang dilaksanakan maka

kebutuhan dasar masyarakat yang diwadahi rumah adat adalah (a) tempat untuk

naungan/shelter, (b) ruangan sakral dengan hirarkhi dan orientasi yang jelas, (c)

ruangan terbuka untuk melakukan interaksi sosial. Dari kebutuhan dasar tersebut

diciptakan bentuk-bentuk bangunan rumah adat dan bangunan pemujaan baik satu

masa maupun banyak masa. Tipologi bangunan yang diterima oleh masyarakat

Bali Aga secara luas adalah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan

menggunakan struktur rangka kayu dimana kolom dan balok menjadi struktur

utama bangunan. Tipologi bangunan ini dapat ditemukan di hampir semua

permukiman Bali Aga dengan berbagi variasi jumlah kolom. Formasi dan jumlah

kolom menjadi faktor yang menentukan bentuk bangunan, dan bentuk bangunan

disesuaikan fungsi yang diwadahi. Penamaan tipe bangunan ini dlakukan

berdasarkan fungsi bangunan, jumlah kolom kayu yang digunakan dan atau

bentuk bangunan. Penamaan diberikan sebagai penguatan pada makna arsitektur.

Kemampuan masyarakat Bali Aga untuk memanipulasi sumber daya

alam yang dimiliki seperti kayu dan tanah untuk dibuat menjadi bentuk yang

dibutuhkan masyarakat sudah sangat tinggi pada jamannya. Sistem struktur yang

digunakan adalah sistem struktur rangka dengan jarak bentang yang relatif sempit,

berkisar antara 1.50 - 2.00 meter dan dimensi komponen struktur yang digunakan

tidak terlalu besar, sehingga memungkinkan pekerjaan dilaksanakan oleh anggota

masyarakat sendiri. Sistem struktur yang dikembangkan dapat di bongkar pasang

dan merupakan salah satu kemampuan pencapaian teknologi masyarakat yang

sudah sangat maju. Dengan sistem ini dimungkinkan untuk melakukan

“prefabrikasi “ pada komponen bangunan sehingga dapat dipersiapkan secara

bertahap. Dengan tradisi bahwa setiap pasangan yang menikah harus membangun

Page 6: BAB 6 KESIMPULAN

258

rumah baru pada kurun waktu tertentu, maka sistem “prefabrikasi”memungkinkan

seseorang mempersiapkan komponen bangunan secara bertahap.

6.1.2 Tradisi Ber-Arsitektur Masyarakat Bali Aga.

Tradisi adalah kebiasan yang dilakukan olehmasyarakat secara turun

temurun. Arsitektur vernakular dan tradisi memiliki hubungan timbal balik yang

erat, karena dalam arsitektur terkandung tradisi dan arsitektur vernakular

dilaksanakan olehtradisi masyarakatnya. Dalam masyarakat Bali Aga sistem

kekerabatan masyarakat adalah patrilineal yaitu hak waris diberikan pada anak

laki-laki. Hak yang diwariskan kepada anaknya adalah kekayaan yang diperoleh

selama hidupnya sedangkan tanah garapan dan rumah adat/tanah pekarangan tetap

menjadi milik desa, dan anak yang sudah menikah tiak boleh tinggalbersama

orang tuanya dan harus membangun rumah adat yang baru dalam kurun waktu

tertentu. Melalui tradisi ini pengetahuan kearsitekturan dapat ditransmisikan

kepada generasi selanjutnya. Di beberapa desa Bali Aga selain tanah pekaranagn

dan tanah garapan, setiap pasangan yang ingin membangun rumah juga memiliki

hak untuk me’minta” kayu dan material bangunan lainnya pada hutan-hutan milik

desa dan dengan tradisi ini, sehingga hutan desa dapat terjaga keberlanjutannya

dan dapat menjadi sumber daya alam yang digunakan bersama secara lebih

bijaksana

Tradisi berarsitektur yang tidak mewariskanrumah adat pada

keturunannya merupakan salah satu cara masyarakat mengajarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi pada generasi selanjutnya. Bentuk rumah adat yang

sederhana dengan dimensi yang tidak terlalu besar membuat pelaksanaan

pekerjaan dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Kurun waktu yang

disepakati oleh masyarakat untuk membangun rumah adat bagi pasangan yang

sudah menikah adalah berkisar antara 3-7 tahun. Dalam kurun waktu itu

masyarakat dapat mempersiapkan komponen bangunan secara bertahap. Dalam

tradisi membuat rumah adat bagi pasangan baru menjadi salah satu alasan

mengapa komponen bangunan dibuat kecil-kecil dan dapat di “prefabrikasi”

sebelumnya atau dipersiapkan sebelumnya secara bertahap, sebelum

dirangkaimenjadi bangunan pada saatnya.

Page 7: BAB 6 KESIMPULAN

259

Pada beberapa permukiman Bali Aga bangunan rumah adat terdiri dari

beberapa massa bangunan seperti dapur, bangunan untuk hunian dan tempat

pemujaan. Masyarakat sepakat untuk memilih membangun rumah menjadi

beberapa masa juga karena alasan pembangunan yang bertahap. Tradisi

membangun rumah adat bagi pasangan yang baru menikah dimulai dengan

membuat bangunan dapur, dan pada saat ini semua aktivitas dilakukan di dalam

bangunan dapur, seperti memasak, tidur dan bersembahyang. Dan bila kondisi

telah memungkinkan maka mereka membangun bangunan untuk hunian dan

tempat pemujaan. Membangun rumah adat secara bertahap juga disebabkab

karena kebutuhan keluarga juga berkembang sejalan dengan waktu.

Pembangunan yang bertahap ini memudahkan masyarakat untuk mempersiapkan

komponen bangunan dan menjadikan semua bangunan rumah adat adalah

bangunan sakral.

Pembangunan rumah adat biasanya dilakukan sendiri dan dibantu oleh

anggota masyarakat lainnya dengan tidak banyak melibatkan tenaga ahli/tukang

bangunan dari luar. Sistem ini juga merupakan proses learning by doing yaitu

belajar sesuatu dengan melakukan sendiri sehingga transmisi pengetahuan dapat

terjadi dengan baik. Adaptasi yang terjadi pada setiap tahapan transmisi

dilakukan bersama-sama sehingga proses penyempurnaan dapat terjadi secara

gradual.

Tradisi bahwa rumah tidak diwariskan kepada keturunannya bila dilihat

dari usia bangunan memang tidak sesuai untuk diwariskan atau digunakan oleh

keturunannya. Pemakaian material organik seperti kayu, bambu dan alang-alang

memiliki usia yang tidak terlalu panjang. Perkiraan usia bangunan dengan

material organik berkisar antara 20-30 tahun harus sudah diganti beberapa

materialnya terutama yang terbuat dari bambu dan alang-alang. Sedangkan lama

usia perkawinan pada umumnya juga berkisar antara 30-40 tahun , sehingga

tradisi untuk tidak mewariskan rumah adat kepada keturunannya merupakan cara

masyarakat dahulu untuk menjamin keamanan masyarakatnya.

Tradisi yang dilakukan untuk bangunan pemujaan/pura semua tanggung

jawab untuk membangun, memelihara, memperbaiki dan menjaga bangunan

pemujaan di pura adalah tanggung jawab semua anggota masyarakat. Karena

Page 8: BAB 6 KESIMPULAN

260

sistem kepercayaan menjadi faktor terpenting dalam masyarakat maka tradisi

berarsitektur masyarakat untuk bangunan pemujaan dilkukan secara bersama-

sama secara musyawarah mufakat. Semua biaya yang dibutuhkan untuk

pembangunan dan prosesi upacara ditanggung bersama-sama dengan masyarakat.

Selain itu desa memiliki tanah garapan yang cukup luas material bangunan

diperoleh dari lahan garapan desa. Hasil panen tanah garapan ini digunakan untuk

membiayai kegiatan di pura baik untuk upacara ritual maupun untuk

pembangunan.

Tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali Aga saat ini merupakan

hasil dari proses uji coba yang panjang. Dalam membuat bangunan, tradisi

menjadi referensi yang tetapdan dalam bangunan vernacular tradisi memiliki

kekuatan autoritas tertentu. Tradisi kadang menerapkan kode tidak tertulis dan

bahkan tidak disadari. Tradisi sering dikaitkan dengan sesuatu yang tetap atau

sedikit terjadi perubahan. Tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga

merupakan kontrol sosial dari banyak pilihan yang ditawarkan oleh alam dan

lingkungan, karena tradisi menjadi preseden untuk membangun masa kini.

Tradisi memiliki kekuatan untuk membatasi adaptasi yang terjadi atau yang

dilakukan oleh masyarakat melalui norma, aturan dan nilai yang terdapat di

dalamnya. Tradisi memiliki kekuatan untuk “memaksa” menciptakan kemiripan

karena terjadi proses transmisi pengetahuan, proses berbagi pengetahuan dari

generasi pembawa tradisi kepada generasi selanjutnya. Dalam proses transmisi

ini terjadi adaptasi dari generasi sebelumnya kepada generasi selanjutnya namun

tetap mengacu pada tradisi yang dimiliki masyarakat. Melaksanakan tradisi

menjadi bagian dari struktur moral masyarakat sehingga tradisi tetap terjaga

keberlanjutannya.

6.1.3 Konsep/Gagasan Arsitektur Bali Aga

Konsep arsitektur Bali Aga merupakan gagasan atau pengetahuan yang

dimiliki masyarakat untuk mengorganisasikan keruangan permukiman, gagasan

mengenai bentuk dan gagasan mengenai esetetika bangunan dalam arsitektur Bali

Aga. Gagasan ini dituangkan dalam bentuk tradisi yang menjadi pertimbangan

atau aturan tidak tertulis pada penciptaan bentuk yang fisikal. Konsep gagasan

Page 9: BAB 6 KESIMPULAN

261

arsitektur Bali Aga meliputi konsep gagasan yang mengatur organisasi ruangan

pada tingkat permukiman, rumah adat dan tempat pemujaan; gagasan yang

dugunakan untuk menciptakan bentuk bangunan dan struktur bangunan,dan

gagasan/konsep esettika bangunan.

a. Konsep Keruangan Arsitektur Bali Aga

Konsep keruangan didefinisikan sebagai lingkungan yang ideal yang

dibuat visibel karena pada dasarnya gagasan ini belum tidak bersifat fisikal dan di

manifestasikan pada bentuk bangunan. Rumah dan permukiman juga

dipertimbangkan menjadi mekanisme fisikal yang merefleksikan dan membantu

menciptakan gambaran dunia, semangat kerja, etika dari masyarakat. Seperti

misalnya pendidikan dapat dilihat sebagai refleksi dari sikap budaya dan

membantu menciptakan manusia yang ideal, keluarga sebagai media untuk

mentransmisikan dan menjaga semangat dan membentuk manusia ideal yang

memiliki karakter dan agama dianggap sebagai sesuatu yang menentukan

semangat kerja (Rapoport, 1969:47).

Konsep keruangan arsitektur Bali Aga menggunakan konsep

luanteben,dan konsep ini digunakan untuk mengorganisasi ruangan di tingkat

permukiman, rumah adat dan tempat pemujaan. Konsep luanteben ini merupakan

gagasan masyarakat Bali Aga sebagai eskpresi pemahaman meraka pada

lingkungan dan digunakan agar fungsi-fungsi atau fasilitas yang dimiliki

masyarakat dapat diorganisasi dengan baik. Dari konsep luantebendigunakan

untuk menentukan posisi luan/ulu/kepala dan teben/rendah/kelod dan dari konsep

diturunkan menjadi sumbu/axis yang digunakan sebagai alat untuk menentukan

tata letak bangunan/ruangan dalam sebuah tapak, sehingga ruangan/ bangunan

dapat ditata sesuai dengan sistemnilai yang dimiliki masyarakat. Sumbu-sumbu

yang diturunkan dari konsep luan-teben adalah sumbu kaja-kelod, sumbu kanan-

kiri, sumbu atas-bahwa, sumbu kanan-kiri,sumbu dalam-luar dan sumbu

kanginkauh/timur barat. Sumbu-sumbu ini digunakan untuk mengorganisasi

ruangan di tingkat permukiman, rumah adat dan tempat pemujaan. Sumbu-sumbu

ini untuk menentukan atata letak bangunan, menentukan hirarkhi ruangan, dan

menentukan orientasi bangunan. Pura/tempat pemujaan selalu diletakkan di

posisi terkaja dan tertinggi, karena tempat pemujaan merupakan institusi

Page 10: BAB 6 KESIMPULAN

262

terpenting dalam masyarakat Bali Aga. Penggunaan sumbu dapat dilakukan

secara bersama-sama atau hanya menggunakan satu atau dua buah sumbu. Pada

arsitektur Bali Aga sumbu yang sangat jarang digunakan adalah sumbu kangin-

kauh/timur barat. Sumbu kanginkauh jarang digunakan karena beberapa alasan

(a) posisi kangin kalau dilihat dari arah orientasi bersembahyang masyarakat Bali

utara pada umumnya berada di sebelah kiri dan menururt etika masyarakat Bali

Aga posisi kiri tidak tepat digunakan untuk meletakkan bangunan/ruangan yang

dianggap memiliki hirarkhi lebih tinggi dan dan masyarakat memilih posisi kanan

dibandingkan dengan timur/kangin, (b) karena Bali terletak di daerah tropis,

matahari tidak menjadi sesuatu yang istimewa sehingga tidak menjadi sesuatu

yang dipertimbangkan untuk mementukan tata letak bangunan, hirarkhi ruangan

dan orientasi bangunan.

Penerapan sumbu kaja-kelod pada tingkat permukiman digunakan

dengan konsisten. Pura sebagai tempat pemujaan masyarakat desa Bali Aga

selalu diletakkan di posisi ter-kaja dan diposisi tertinggi dan kuburan, permandian

umum diletakkan di area kelod dan atau terendah. Diantara kedua kutub ini

digunakan sebagai area untuk perumahan masyarakat. Penerapan konsep luan-

teben pada permukiman merupakan gambaran lingkungan ideal menurut

pemahaman masyarakat Bali. Lingkungan yang ideal menurut masyarakat Bali

Aga adalah lingkungan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yaitu

ada tempat untuk naungan, memiliki ruangan terbuka, ruangan yang memiliki

hirarkhi kesakralan yang jelas, dan ruangan/bangunandengan orientasi yang jelas.

Konsep keruangan luanteben juga diterapkan pada tingkat rumah adat,

namun pilihan sumbu yang digunakan untuk menentukan posisi luan tidak selalu

sumbu kaja-kelod, tetapi menggunakan pertimbangan lain. Sumbu yang

digunakan untuk menentukan posisi luan pada rumah adat atau menentukan

tempat untuk sanggahkemulan/sucian/paga kedulu bervariasi sesuai dengan

pilihan masyarakat dan pengalaman yang dimiliki masyarakat. Sebagain

masyarakat Bali Aga lebih mementingkan keamanan tempat pemujaan secara

fisikal dan spiritual, sehingga mereka menempatkan sanggah di area terdalam dari

rumah adat dan menggunakan sumbu lainnya untuk menentukan hirarkhi ruangan

yang tingkatnnya dibawah sanggahkemulan. Sebagian masyarakat Bali Aga

Page 11: BAB 6 KESIMPULAN

263

mementingkan konsistensi penerapan sumbu kaja-kelod untuk menentukan posisi

sanggahkemulan dan menentukan hirarkhi kesakralan ruangan. Pilihan ini

memiliki konsekwensi pada tataletak komponen rumah lainnya seperti posisi

pintu masuk, posisi hunian dan dapur. Pilihan yang dilakukan masyarakat

mungkin berdasarkan pengalaman yang dimiliki atau hanya preferensi saja dan

kedua hal tersebut menyebabkan tercipta variasi pola tata letak bangunan dalam

perumahan masyarakat Bali Aga, dan mempengaruhi pola dan struktur keruangan

desa.

b. Konsep Bentuk dan Struktur Bangunan

Konsep keruangan arsitektur Bali Aga menerapkan konsep luan-teben

dan masyarakat Bali Aga membutuhkan bangunan atau ruangan dengan arah

orientasi yang jelas, oleh karena itu semua bangunan pada arsitektur berbentuk

persegi empat. Arah orientasi yang jelas dibutuhkan karena dibutuhkan untuk

menentukan arah bersembahyang. Orientasi bangunan ditentukan oleh arah

bersembhayang atau posisi kepala pada saat tidur, dan orientasi bangunan

ditentukan sesuai dengan sumbu yang digunakan untuk menentukan posisi luan.

Orientasi bangunan dapat ke arah kaja, atau kemua arah, namun arah

bersembahyang berorientasi ke arah kaja, atas, atau ke dalam.

Bangunan terdiri dari bagian bebaturan, kolom dan dinding dan atap.

Bebaturan dibutuhkan untuk menahan air tanah dan juga sebagai batas teritori

keluarga, karena unit rumah data tidak memiliki batas properti yang jelas,

sehingga pinggiran bebaturan juga menjadi batas properti keluarga/seseorang.

Bebaturan juga digunakan sebagai simbol hirarkhi fungsi ruangan. Bangunan

dengan bebaturan yang lebih tinggi memiliki hirarkhi yang lebih tinggi dan begitu

juga sebaliknya. Bebaturan dibuat dari tanah yang dipadatkan, atau tumpukan

batu kali dan digunakan untuk meletakkan sendi yang berfungsi sebagai dasar

kolom kayu dan digunakan sebagai landasan dinding bangunan.

Secara keseluruhan ekspresi bangunan pada arsitektur Bali Aga adalah

sederhana dan menggunakan warnadan tekstur bahan sessuai dengan material

yang digunakan. Dan material yang digunakan semuanya

merupakanmaterialyang terdapat dilingkungan mereka. Dinding bangunan

menggunakan batu bata mentah atau menggunakan tanah liat yang

Page 12: BAB 6 KESIMPULAN

264

dipadatkan/tanah polpolan. Karena dinding tidak bersifat struktural, kadang

untukdinding juga menggunakan material yang ringan seperti anyaman bambu,

anyaman daun kelapa dan material ringan lainnya. Bentuk atap menggunakan

atap kekampiahan yaitu modifikasi dari atap pelana, tetapi pada arsitektur. Atap

kekampiahan merupakan tipologi bentuk atap arsitektur Bali Aga. Bentuk atap

limasan hanya digunakan untuk bangunan pemujaan karena dimensinya lebih

kecil.

Struktur bangunan pada arsitektur Bali Aga adalah menggunakan

sistem struktur rangka batang dengan menggunakan material kayu. Kolom dan

balok merupakan struktur utama yang menunjang atap. Rangkaian kolom dan

balok menggunakan sambungan konstruksi purus dan lubang dan untuk

memastikan sambungan menggunakan lait. Sistem struktur rangka merupakan

sistem struktur yang diterapkanpada semua tipe bangunan baikuntuk unit rumah

adat maupun bangunann pemujaan. Konsep struktur ini dikembangkan oleh

masyarakat Bali Aga denganbeberapa alasan yaitu (a) kayu merupakan

materialyang banyak tersedia dilingkungan permukiman masyarakat Bali Aga.

Jenis kayu yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan kayu dilingkungan

mereka dan kayu yang tertentu jarang diperoleh hanya digunakan untuk bangunan

pemujaan; (b) dengan menerapkan sistem struktur rangka batang, maka komponen

struktur dapat di “prefabrikasi” atau disiapkan per-bagian sebelumnya, sehingga

penyediaannya dapat dilakukan secara bertahap. Solusi ini muncul sebagai

akbibat dari tradisi yang dimiliki masyarakat Bali Aga bahwa setiap pasangan

yang menikah harus memiliki rumah adat dalam kurun waktu tertentu. Kurun

waktu tertentu ini dapat digunakan sebagai waktu untuk mempersiapkan

komponen bangunan secara bertahap. Alasan ketiga yaitu (c) komponen struktur

pada umumnya memiliki dimensi yang kecil atau dimensi yang memungkinkan

untuk dapat diangkat atau dipasang oleh manusia dan tidak banyak membutuhkan

alat bantu. Proses pelaksanaan bangunan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri

tanpa atau tidak banyak dibantu oleh tenaga akhli. Dengan komponen struktur

yang memiliki dimensi kecil, dan sistem sambungan sederhana maka semuanya

dapat dilakukan sendiri.

Page 13: BAB 6 KESIMPULAN

265

Penamaan bangunan dilakukan berdasarkan jumlah tiangyang

digunakan dan jumlah tiang juga menjadi komponen yang menentukan bentuk

bangunan. Dari kedua sudutpandang tersebut dapat disimpulkan bahwa

tiang/tampul merupakan komponen bangunan yang penting dan menjadi identitas

bangunan, seperti bale tampul roras/bangunan dengan 12 tiang penyangga atau

bale sakenem/bangunan dengan6 tiang. Selain itu jumlah tiang menentukan

bentuk bangunan, karena formasi tiang dan jumlahnya akan membentuk bangunan

dengan dimensi tertentu.

c. Konsep Estetika Arsitektur Bali Aga

Bentuk bangunan arsitektur Bali Aga pada umumnya berbentuk

persegi empat dengan dimensi yang tidak terlalu besar, dan material yang

digunakan adalah material organik yang tersedia di lingkungan mereka. Konsep

estetika menurut masyarakat Bali Aga adalah konsep yang sederhana dan

fungsional artinya semua elemen bangunan difungsikan dengan baik dan tidakada

elemen bangunan yang hanya berfungsi sebagai hiasan saja . Masyarakat sangat

sedikit menambahkan elemen yang hanya digunakan untuk mempercantik atau

menghias tampilan bangunan, tetapi lebih menekankan pada aspek fungsional.

Material yang digunakan ditampilkan sesuai dengan warna dan tekstur yang

dimiliki sehingga menampilkan karakter alami dan menyatu dengan alam. Pada

perioda ini masyarakat belum banyak menggunakan lapisan warna untuk material

yang digunakan sehiingga material ditampilkan apa adanya. Pemilihan

materialyang dilakukan oleh masyarakat selain karena kebutuhan struktur dan

konstruksi juga untuk menciptakan keindahan pada bangunan. Material yang

digunakan dipilih untuk menciptakan harmoni dengan material lainnya sehingga

komposisi warna dan tekstur material menciptakanestetika bangunan itu sendiri.

Penggunaan ornamen dan dekorasi hanya digunakan pada bangunan

pemujaan, karena ornamendan dekorasai yang digunakan merupakan simbol-

simbol yang diturunkan dari sistem kepercayaan mereka. Penggunaan warna

putih dan kuning merupakan simbol kesucian dan kesakralan dan hanya

digunakan pada tempat pemujaan, warna hitam putih sebagai simbol dewa dan

prataksu/simbol dunia atas dan dunia bawah pada sesaji Bali Taksu dan

sebagainya. Warna putih hitam merupakan simbol rwa bhineda yaitu dua kutub

Page 14: BAB 6 KESIMPULAN

266

yang saling berlawanan dan merupakan satu kesatuan. Penggunaan warna, gambar

dan bentuk ornamen merupakan simbol yang diturunkan dari sistem kepercayaan

mereka, dan juga menjadi tanda bagi masyarakat bahwa tempat tersebut adalah

tempat yang suci dan sakral. Arsitektur adalah media yang digunakan untuk

melakukan mekanisme kontrol pada perilaku masyarakatnya, dan kesan ini sangat

kuat terbaca pada bangunan pemujaan.

Ornamen yang digunakan merupakan simbol yang memiliki makna

simbolik dan historik. Masyarakat menggunakan gambar yang merupakan simbol

yang menjadi sistem nilai pada masyarakat. Ornamen yang digunakan juga

merupakan simbolatau catatan yang menjadi catatan sejarah masyarakatnya.

Rangkuman Makna Sinkronik Arsitektur BaliAga dan tautan dengan teori

yang digunakan serta temuan yang diperoleh dapat dilihat dalam skema dibawah

ini :

Page 15: BAB 6 KESIMPULAN

267

Skema 6.2 Skema tautan teori dan makna arsitektur Bali Aga serta temuan penelitian ini

Page 16: BAB 6 KESIMPULAN

268

6.2 Kontribusi Keilmuan Penelitian

Arsitektur Bali Aga dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu sistem kepercayaan

masyarakat, struktur sosial masyarakatnya dan kondisi geografis lingkungan. Namun dari

ketiga faktor tersebut sistem kepercayaan memiliki peranan yang sangat penting dalam

kehidupan arsitektur, sedangkan struktur sosial dan kondisi geografis tidak terlalu

dominan memberi pengaruh pada arsitektur Bali Aga. Sistem kepercayaan menjadi

landasan bagi masyarakat untuk mengorganisasi semua aspek kehidupan mereka.

Dari pembahasan makna sinkronik arsitektur Bali Aga ditemukan bahwa makna

arsitektur bersifat berlapis, dimana gagasan/idea/konsep merupakan makna yang terletak

di lapisan terdalam dan gagasan gagasan tersebut merupakan cara pandang masyarakat

pada lingkungan dan bagaimana mereka meletakkan dirinya dalam lingkungan. Gagasan

yang diterima oleh masyarakat kemudian diulang secara menerus dan menjadi tradisi

yang dilaksanakan secara turun menurun. Tradisi menjadi institusi yang mengatur dan

mengorganisasi arsitektur Bali Aga karena di dalam tradisi terdapat aturan, norma dan

sistem nilai yang dipercaya oleh masyarakat. Kesadaran masyarakat Bali Aga pada

tradisi mereka dan melalui tradisi mereka mampu menjaga dan mempertahankan

arsitekturnya.

Desa Bali Aga ada di pegunungan atau di dataran memiliki pola permukiman

dan struktur keruangan yang bervariasi walaupun memiliki konsep keruangan yang sama

yaitu konsep luan-teben. Hal ini disebabkan karena mereka melakukan pilihan yang

berbedadan memiliki pengalaman yang berbeda sehingga masyarakat memberikan

penekanan-penekanan pada aspek tertentu.. Pilihan yang dilakukan masyarakat

berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Pengalaman sering berkaitan dengan mitos atau

legenda yang dimiliki masyarakat. Pilihan yang banyak memberi warna pada pola

keruangan arsitektur Bali Aga adalah pilihan untuk menentukan posisi luanpadatingkat

rumah adat atau pilihan untuk menentukan posisi tempat pemujaan, terutama di tingkat

rumah adat. Pilihan yang dilakukan masyarakat Bali Aga dikaitkan dengan keamanan

tempat pemujaan mereka. Posisi luan untuk tingkat rumah adat dapat di sisi kaja, area

terdalam, atau dekat dengan ruang komunal. Pilihan ini menjadi faktor yang menciptakan

variasi pola keruangan arsitektur Bali Aga, walaupun menerapkan konsep keruangan

yang sama. Piliihan yang dilakukan oleh masyarakat memberi konsekwensi yang lain

yang menjadikan pola keruangan menjadi bervariasi.

Pada tataran praktis penelitian tentang makna arsitetur Bali Aga dapat menjadi

referensi untuk mengembangkan arsitektur di Bali saat ini dan di masa depan. Konsep

Page 17: BAB 6 KESIMPULAN

269

bangunan yang kompak dengan tempat pemujaan di dalam rumah dapat menjadi salah

satu alternatif pengembangan arsitektur masa kini yang memiliki keterbatasn lahan

namun tetap masih berakar pada tradisi berarsitektur masyarakat Bali.

Secara metodologis pendekatan hermenutik untuk menganalisa makna arsitektur

dapat digunakan, khususnya penggunaan pendekatan interpretasi dialektik yang

dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Pendekatan hermeneutik yang digunakan untuk

menganalisis makna arsitektur Bali Aga mampu memberikan analisis yang cukup

mendalam. Interpertasi yang dilakukan pada sebuah objek arsitektur bersifat subjektif

dan membutuhkan langkah verifikasi untuk memvalidasi hasil interpretasi yang

dilakukan. Pada masyarakat komunal dimana sistem kepercayaan memegang peranan

terpenting dalam kehidupan masyarakat, maka verifikasi dapat dilakukan dengan

mengikuti prosesi upacara keagamaan, karena pada saat prosesi ritual semua simbol,

sistem nilai dan hirarkhi ruangan dapat terbaca dan dipahami. Selain menggunakan teori

yang dipakai untuk membahas makna arsitektur, verifikasi juga dapat dilakukan dengan

menganalisis struktur keruangan permukiman masyarakat atau rumah tinggal yang

disetarakan dengan struktur sebuah teks. Dengan demikian pendekatan hermeneutik yang

dapat digunakan untukmemahami makna arsitektur.

6.3 Saran

Arsitektur Bali Aga saat ini merupakan bagian dari arsitektur masa lalu dan

melalui proses uji coba yang panjang sehingga mampu bertahan sampai saat ini. Bentuk

arsitektur Bali Aga adalah hasil dari proses pengulangan dan adaptasi yang dilakukan

oleh masyarakat secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Penelitian arsitektur Bali Aga perlu dilakukan secara diakronik untuk mengetahui

perkembangan arsitektur Bali Aga dari waktu ke waktu dan bagaimana masyarakat

melakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dari penelitian ini bukan menjadi akhir, tetapi harus diteruskan dengan

melakukan penelitian selanjutnya. Dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk meneliti

kekayaan arsitektur etnik di Bali dan diIndonesia pada umumnya. Kekayaan pengetahuan

masyarakat etnik di Indonesia yang diekspresikan dalam arsitekturnya dapat menjadi

sumber pengetahuan untuk dimanfaatkan menjadisalah satu kekayaan untuk

mengembangkan karakter bangsa dan karakter arsitektur di Indonesia tanpa harus

kehilangan akar budaya setempat. Kekayaan pengetahuan masyarakat yang tersimpan

Page 18: BAB 6 KESIMPULAN

270

dalam tradisi berarsitektur masyarakat harus segera digali untuk menjadi

pengetahuan/kearifan lokal masyarakat sebelum digerus oleh modernisasi.

Penelitian tentang makna sinkronik arsitektur Bali Aga masih kuat memiliki

tautan dengan budaya masyarakatnya. Penelitian tentang makna arsitektur Bali Aga juga

harus dilakukan dalam konteks teori arsitektur yang meminimalkan tautannya dengan

budaya sehingga dapat digunakan untuk membangun teori arsitektur nusantara.