240 BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Dalam hal ini dibahas tentang : (1) gambaran umum lokasi penelitian, (2) kondisi alam dan kependudukan, dan (3) keadaan umum perikanan 5.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Selat Madura terletak disebelah utara Propinsi Jawa Timur bagian Selatan, yaitu :Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo dan Situbondo. Disebelah Barat adalah :Surabaya dan disebelah Selatan dari Pulau Madura sedangkan disebelah Timur Selat Bali. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Gambar 28. Jawa Timur dan Selat Madura Dari wilayah Selat Madura tersebut dipilih lokasi yang mewakili nelayan payang dominan serta memiliki kearifan local yang masih berlaku pada masyarakat nelayan payang, maka dipilih Kabupaten Probolinggo, yang terdiri atas 4 Kecamatan, yaitu : Sumber Asih, Karang Anyar, Randu Putih dan Randu Tatah. Dari 4 Kecamatan tersebut nelayan payang dominan adalah di Kecamatan Sumber Asih, Desa Gili Ketapang.Sehingga untuk deskripsi kearifan
125
Embed
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi ...mimitprimyastanto.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/BAB-V-HASIL... · ... Sebelah Selatan Kabupaten Lumajang. (4) Sebelah Barat Kabupaten
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
240
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Dalam hal ini dibahas tentang : (1) gambaran umum lokasi penelitian, (2)
kondisi alam dan kependudukan, dan (3) keadaan umum perikanan
5.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Selat Madura terletak disebelah utara Propinsi Jawa Timur bagian
Selatan, yaitu :Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo dan Situbondo.
Disebelah Barat adalah :Surabaya dan disebelah Selatan dari Pulau Madura
sedangkan disebelah Timur Selat Bali. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
Gambar 28. Jawa Timur dan Selat Madura
Dari wilayah Selat Madura tersebut dipilih lokasi yang mewakili nelayan
payang dominan serta memiliki kearifan local yang masih berlaku pada
masyarakat nelayan payang, maka dipilih Kabupaten Probolinggo, yang terdiri
atas 4 Kecamatan, yaitu : Sumber Asih, Karang Anyar, Randu Putih dan Randu
Tatah. Dari 4 Kecamatan tersebut nelayan payang dominan adalah di
Kecamatan Sumber Asih, Desa Gili Ketapang.Sehingga untuk deskripsi kearifan
241
lokal lebih banyak informasi dari nelayan payang yang ada di Kecamatan
Sumber Asih, Desa Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo.
5.1.2. Demografi , Geografi dan Topografi
a. Geografis Probolinggo
Letak Geografis Kabupaten Probolinggo berada pada posisi Lintang
Selatan (7’40’ – 8’10’) dan Bujur Timur (112’50’ – 113’30’) dengan luas wilayah
kurang lebih 169.000 Ha atau + 1.696 km2 . Sebagaimana gambar dibawah ini :
Gambar 29.Peta Kabupaten Probolinggo
Tabel 1. peruntukan wilayah dengan luasannya di Kabupaten Probolinggo
No Peruntukan Luas (Km2 ) Persentase (%)
1. Tambak/Kolam 14 0,82
2. Persawahan 373 21,97
3. Perkebunan 33 1,94
4. Hutan 427 25,15
5. Tegal 514 30,28
6. Permukiman 148 8,72
7. Pulau Gili 0,61 0,05
8. Lain-lain 188 11,07
9. Jumlah 1.697,61 100
242
b. Topografi Kabupaten Probolinggo
Kabupaten Probolinggo terletak dalam wilayah hukum Propinsi Jawa
Timur berada di bagian Tengah Jawa Timur dengan batas-batas sebagai berikut:
(1) Sebelah Utara adalah Selat Madura. (2) Sebelah Timur Kabupaten
Situbondo. (3) Sebelah Selatan Kabupaten Lumajang. (4) Sebelah Barat
Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Probolinggo dilihat dari ketinggian diatas permukaan air laut,
berada pada ketinggian 11 sampai 55 meter, yakni terdiri dari dataran rendah
dan sebagian dataran tinggi. Kabupaten Probolinggo beriklim tropis yang terdiri
dari 2 musim, yakni musim kemarau (Mei – September) dan musim hujan
(Oktober – April). Adapun curah hujan selama 1 tahun sebesar 895 mm, jumlah
hari hujan sebesar 44 hari, curah hujan terbesar sebesar 255 mm, curah hujan
terkecil sebesar 29 mm. Derajat temperatur udara di Kabupaten Probolinggo
berkisar antara 28o C – 31o C , sebagian besar terdiri atas dataran rendah dan
pesisir pantai sehingga memiliki sumberdaya perikanan cukup besar dan
prospektif.
5.1.3. Keadaan Umum Perikanan
Umumnya produksi ikan di Kabupaten Probolinggo ditangkap dengan
beberapa alat tangkap seperti purse seine, payang, gill net, pancing, bubu dan
cantrang. Sedangkan jenis ikan yang banyak tertangkap di perairan kabupaten
Probolinggo adalah tembang, layang, kembung, peperek, tongkol, layur, dan
lain-lain.
Potensi perikanan tangkap yang cukup besar ini tidak lepas dari kondisi
wilayah yang cukup luas diwilayah utara pesisir pulau Jawa, serta dibantu
dengan sarana dan prasarana yang cukup menunjang seperti pelabuahn dan
tempat pelelangan ikan.
243
Kabupaten Probolinggo memiliki 2 musim dan diantara 2 musim tersebut
ada musim yang dikenal sebagai musim “pancaroba” , dimana masyarakat
nelayan Selat Madura mengenalnya dengan sebutan “Angin Gending” yang
ditandai dengan hembusan dan tiupan angin kering yang kencang dimana angin
tersebut berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut.Dimusim ini, masyarakat
nelayan Selat Madura biasanya tidak melakukan kegiatan penangkapan
diwilayah penangkapan karena kondisi cuaca yang tidak mendukung dan beralih
untuk melakukan kegiatan penangkapan diluar dari wilayah Probolinggo, yang
biasa disebut dengan andun.
5.2. Hasil Analisis Efektifitas Kearifan Lokal dan Kendala-kendala dalam
Implementasinya
Dalam penelitian ini populasinya terdiri atas Stakeholders yang terkait
dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Madura,
khususnya di lokasi terpilih, yaitu Kabupaten Probolinggo sehingga informasi
yang didapat lebih banyak dari Key Informant dan data pendukung lainnya yang
bersumber dari masyarakat nelayan lokal. Adapun pembahasan dalam hal ini
terdiri atas : (1)Potensi Kearifan Lokal, (2)Hubungan antara Konsep Kearifan
Lokal dan Keberadaan Kearifan lokal Masyarakat Nelayan Selat Madura,
(3)Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan dan Pembangunan
Sumberdaya Perikanan yang Lestari dan Berkelanjutan, (4)Peluang
Pembedayaan Kearifan Lokal, (5)Model Pengelolaan dan Pemberdayaan, (6)
Membangun Model PengelolaanSumberdaya Berbasis Masyarakat dan (7)
Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Implementasinya.
244
5.2.1. Potensi Kearifan Lokal dan Hubungannya dengan Religi (Agama
Islam)
Menurut Ridwan (2007) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan
yang eksplisit dan muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-
sama masyarakat dan lingkungannya dalam system lokal yang sudah dialami
bersama-sama. Proses evolusi yang begiti panjang dan melekat dalam
masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energy
potensial dari system pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama
secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan local tidak sekedar
sebagai acuan tingkah laku seseorang , tetapi lebih jauh , yaitu mampu
mendimanisasi kehidupan yang penuh keadaban. Selanjutnya dikatakan
bahwa pada masa sekarang kearifan lokal menjadi kecenderungan umum
masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan
politik terbaik.Menurut Suhartini (2009), bahwa dalam beradaptasi dengan
lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan
lokal yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya,
aktivitas, dan peralatan sebagai wujud hasil abstraksi mengelola lingkungan.
Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan
pedomanyang akurat dalam mengembangkan kehidupan
lingkungannya.Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan
hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun
temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya
alam.Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat
ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran
tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat
245
besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan budaya ini,
penguatan modal sosial, seperti pranata sosial budaya , kearifan lokal , dan
norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting
menjadi basis yang utama.
Sedangkan menurut Wibowo (2011), bahwa fungsi dan makna
kearifan lokal ada beberapa, yaitu :
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumberdaya manusia, misalnya
berkaitan dengan daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan ,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada
Pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna social, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial ekonomi, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, misalnya upacara ngaben dan penyucian
roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk dan kekuasaan patron
client.
Dari berbagai hal tersebut, maka dapat difahami bahwa kearifan lokal
sebenarnya memiliki relasi atau hubungan yang sangat erat dengan Religi
(Agama), karena selain bersumber dari Agama, juga merupakan kristalisasi
dari perpaduan antara Agama dan Pengalaman Masyarakat Lokal. Ada
beberapa contoh yang dapat ditunjukkan sebagai bukti keterkaitan antara
Kearifan Lokal dengan Agama Islam, antara lain :
246
1. Islam telah melarang tegas pengrusakan alam, seperti tertera
dalam Al-qur’an Surah Ar-Ruum : 41 ( Alie Yafie dalam Taufiq,
2009).
2. Dalam beberapa Kitab Fiqih, menurut Hatim Gazali peneliti
Community for Religion and Social Engineering (CRSe) UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta ,dalam Taufiq (2009).Bahwaisyu lingkungan
hanya disinggung secara generic dan belum spesifik. Hal ini bisa
difahami karena Kitab tersebut disusun pada waktu itu belum
muncul problem lingkungan sperti saat ini. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa sejak masa awal Islam telah ada aturan untuk
menjaga lingkungan. Seperti pada Al-qur’an Surah Al-Baqarah :
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan
tujuan: (a). melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan; menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil; (b). memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan; dan (c). meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Oleh karena itu model pengelolaan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil dengan konsep pembangunan berkelanjutan harus melibatkan
adanya peran serta masyarakat dan model yang dibangun tidak bertentangan
dengan kondisi sosial, budaya dan adat setempat.lebih baik lagi akan sangat
membantu jika memang ada kearifan lokal setempat yang bisa digunakan
sebagai jembatan antara model yang akan dibangun dan objek masyarakat
sebagai pelaku utama.
Jika kita melihat kondisi kearifan lokal dan budaya setempat yang akan
sangat berpotensi dalam model pembangunan berkelanjutan dapat kita lihat yaitu
petik laut,onjem, nyabis, andun, pengambek dan kontrak kerja. Hanya tinggal
bagaimana model diadaptasikan dengan kondisi kebutuhan masyarakat nelayan
Selat Madura sehingga tidak akan ada pertentangan dan sasaran tetap tercapai.
280
5.2.6. Membangun Model Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat.
Strategi membangun masyarakat pesisir dalam rencana pembangunan
berkelanjutan berbasis masyarakat dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu, yang sifatnyanon struktural dan struktural.Dari kedua pendekatan ini,
nantinya perlu adanya kesepakatan lokal yang ada didalam masyarakat dengan
dilindungi oleh pemerintah kabupaten sebagai pelindung dari adanya
kesepakatan lokal yang dibuat dan diterapkan dalam masyarakat lokal.Non
structural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini menggunakan
pendekatan secara mental dan pengetahuan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam
pengelolaan sumberdaya dalam lembaga yang nantinya akan dibangun.
Sehingga diharapkan nantinya, ketika “wadah” masyarakat dalam betuk lembaga
lokal telah terbentuk, sumberdaya manusia yang ada didalamnya bisa
menggerakkan dengan baik dan akan tercapai sasaran dan tujuan yang
diharapkan.
Pendekatan struktural adalah pendekatan yang menyeluruh yang
menekankan pada penataan system, pembentukan lembaga dan struktur sosial
politik yang ada dalam masyarakat direbuild.Pendekatan ini menggunakan
peranan dari lembaga lokal jika memang ada dan tentunya yang berwewenang
atau lembaga yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut jika memang tidak
ada. Dalam membangun lembaga lokal memang peranan masyarakat sangat
dominan dan penting tetapi akan kurang kuat karena aspek structural biasanya
akan lebih efektif jika dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai otoritas
kewenangan, sehingga perlu adanya tuntunan atau bimbingan pada langkah
awal merintis dan membangun suatu system dan lembaga pada masyarakat
pesisir. Kemudian dengan pendekatan Kedua pendekatan tersebut harus saling
281
mendukung, melengkapi dan dilaksanakan secara berkaitan dalam satu
kesatuan.
1. Pendekatan Subyektif.
Pendekatan non struktural atau subyektik adalah pendekatan yang
menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan
untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya dengan diiringi
pemahaman konsep atau wawasan sebagai landasan guna mencapai
sasaran yang akan dicapai. Pendekatan ini masyarakat lokal ketika telah
memilik pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan
peran sertanya sebagai subjek yang akan melakukan tindakan lansung
dalam masyarakat pada saat mengelola sumberdaya yang ada
disekitarnya.
Dengan membekali wawasan dan pengetahuan masyarakat dalam
pengelolaan masyarakat meskipun butuh waktu yang lama tetapi
akandengan sendirinya masyarakat lebih menyadari keterkaitan dengan
lingkungan dan juga akan terbentuk sendiri suatu mata pencaharian
alternatif misalnya jika lingkungan sekitar yang kotor maka akan dapat
sendirinya dibentuk konsep ekowisata yang tentunya mendatangkan
sumberdaya ekonomi bagi masyarakat setempat. Maka dari itu otoritas
pemerintah Kabupaten Probolinggo harus memberikan minimal
meningkatkan dan membuka wawasan dan pengetahuan dengan
beberapacara, misal penyuluhan dan pelatihan masyarakat agar terlibat
aktif. Contoh-contohnya diantara lain :
a. Pengembangan keterampilan masyarakat.
b. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
c. Peningkatan animo masyarakat agar berperan serta
d. Peningkatan kualitas pendidikan formal sumber daya manusia
282
e. Memberikan motivasi masyarakat untuk berperanserta.
Jika mengacu pada penjelasan diatas, maka kita dapat
memasukkan langkah-langkah tersebut kedalam beberapa adat dan
budaya yang sudah teridentifikasi pada masyarakat lokal diantaranya :
a) Tradisi petik laut, pada susunan acaranya terdapat beberapa hal
yang dalam pikiran logis tidak masuk akal dan kurang bermanfaat
tanpa harus mengganti dan menghilangkan ditambahkan acara yang
lebih bermanfaat dan dampaknya langsung kepada lingkungan
sektar dan masyarakat. Dalam beberapa acara yang terdapat pada
upacara petik laut dapat kita modifikasi tanpa harus menghilangkan
kondisi asli, sebagai berikut :
Pada upacara larung sesaji, ditambahkan pelepasan bibit-bibit
ikan dalam jumlah banyak sehingga ada manfaat lingkunga yang
didapat.
Selain pada upacara larung sesaji, ditambahkan kegiatan
transplatasi terumbu karang dilaut dangkal sekitar pulau gili.
kegiatan ini memutuhkan ahli dalam bidangnya, maka dari itu
diperlukan kerja sama dengan ahli terkait tanpa melepas peran
serta masyarakat lokal.
Pada acara hiburan petik laut, yang umumnya dilangsungkan
selama dua hari, selain adanya pagelaran kesenian ludruk
Madura, akan lebih bermanfaat, pihak pemerintah masuk dengan
memberikan penyuluhan dan pelatihan sehingga penambahan
wawasan dan pengetahuan masyarakat tercapai.
Upacara petik laut, seyogyanya diagendakan dalam setiap tahun
dengan pasti sehingga ini bisa dijadikan komoditi pariwisata dan
283
bisa menambah nilai jual Selat Madura yang seharusnya bisa
dijadikan sebagai lokasi ekowisata.
b) Onjem yang dimiliki masyarakat nelayan Selat Madura masih bersifat
tradisional dan masih dimiliki hanya beberapa segelintir orang.
Dengan kondisi demikian, pemerintah akan lebih baik memberikan
penyuluhan yang baik dalam pembuatan rumpon, alat-alat yang
dibutuhkan seperti GPS dan bantuan tenaga ahli sehingga lebih
banyak onjem yang dimiliki setiap warga. Yang nantinya diharapkan,
pada kondisi musim paceklik, meskipun hasil ikan sedikit yang
didapatkan dari rumpon, setidaknya menjamin ketersediaan ikan
sebagai komoditas utama nelayan. Selain itu, adanya transplantasi
terumbu karang secara jangka panjang akan meningkatkan
ketersedian sumberdaya ikan dilaut.Pada budaya onjem dapat
diperbaiki dan diperbanyak dengan peran serta pemerintah dalam
memberikan penyuluhan yang baik dalam pembuatan rumpon, dan
bantuan tenaga ahli sehingga lebih banyak onjem (rumpon) yang
dimiliki setiap warga masyarakat nelayan selat madura.
c) Pada kearifan lokal andun perlu diarahkan kepada daerah baru,
bahkan sampai ZEE, agar bisa meningkatkan pendapatan nelayan
sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan.
d) Dalam sistem kontrak kerja perlu diupayakan pemerintah aturan agar
terjadinya kompetisi yang sehat agar terhindar dari konflik sosial.
e) Kearifan lokal nyabis bisa dilakukan para nelayan modal kecil
sedangkan nelayan modal besar lebih membutuhkan pada data
tentang sum berdaya ikan serta teknologi penagkapan lebih baik
untuk memperbesar investasinya.
284
f) Kearifan lokal pengambek diupayakan perannya agar lebih berpihak
kepada nelayan kecil dengan arahan pemerintah tentang informasi
pasar dan besarnya jasa yang harus ditanggung nelayan agar tidak
merugikan nelayan.
2. Pendekatan struktural.
Pendekatan structural bertujuan untuk membentuk struktur, system
dan kelembagaan local, yang terdiri atas : system kehidupan masyarakat
local, system social, system ekonomi, dan system lingkungan setempat.
Pendekatan structural yang tertata dengan baik , maka dapat menjadikan
masyarakat local berkesempatan lebih baik dalam mengelola sumberdaya
perikanan secara sustainable. Disamping itu pembangunan struktur SEL
(Sosial-Ekonomi-Lingkungan) diupayakan agar bisa meningkatkan
kreativitas masyarakat local untuk menjaga kelestarian sumberdaya
perikanan dari berbagai anasir dari dalam dan luar yang mengancam
pelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Pendekatan semacam ini
bermuara pada pengurangan sekaligus menghindarkan masyarakat
nelayan dari permasalahan SEL (social-ekonomi-lingkungan), dimana hal
tersebut sering mendudukkan masyarakat nelayan dalam bargaining
position yang lemah. Adapun langkah-langkah yang dapat diupayakan
pada masyarakat nelayan Selat Madura sebagai berikut :
a. Membentuk lembaga lokal.
Dengan kondisi masyarakat nelayan Selat Madura yang religious
dan antusias misalnya pada saat upacara petik laut, bisa dimanfaatkan
dengan membentuk struktur tetap yaitu sebuah lembaga yang berperan
dalam mengatur segala aspek kehidupan.Seperti mengatur kondisi
lingkungan sekitar yang sangat kotor dengan memberlakukan aturan-
285
aturan yang disepakati oleh bersama. Sebagai contoh adalah pada
umumnya apabila akan tiba hari lebaran Iedul Fitri atau telasan, maka
masyarakat nelayan akan mengecat rumah, membersihkan Masjid ,
Mushollah, juga dengan gotong royong membersihkan linkungan sekitar,
termasuk makam keluarga. Hal ini bisa diupayakan dimasa mendatang
sebagai bentuk even lomba kebersihan lingkungan antar RT atau RW.
Pada saat kondisi lembaga telah kuat, maka dengan sendirinya akan
tercipta masyarakat mandiri dalam membentuk lingkungan yang sehat
berbasis masyarakat tanpa meninggalkan kesejahteraan dan kondisi
lingkungan yang baik.
Menurut Sahri Muhammad et al (2010) bahwa kebijakan Saptagon
Akses berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
rumahtangga nelayan dan dilakukan melalui pelatihan pada rumahtangga
ABK (Anak Buah Kapal). Adapun Saptagon Akses tersebut dilakukan
dengan cara :
1. Akses Sosial melalui penguatan Kelompok Usaha Bersama (KUB)
2. Akses SDM (Sumberdaya Manusia) melalui penguatan Vocational
Skill non melaut bagi ibu rumahtangga dalam kegiatan alternative
mata pencaharian di darat.
3. Akses teknologi ramah lingkungan melalui penguatan Vocational Skill
nelayan dalam kegiatan melaut.
4. Akses Finansial secara local melalui penguatan Lembaga Keuangan
Masyarakat Pesisir (LKMP).
5. Akses SDA (Sumberdaya Alam) melaui penguatan perijinan dan Co-
Management dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
6. Akses Pasar melalui penguatan KUB dalam Kemitraan Usaha untuk
Penguatan Ekonomi Lokal (KPEL).
286
7. Akses Politik melalui penguatan Participatory Budgeting Skill yang
berkaitan dalam Implementasi penguatan Community Development
melalui penganggaran Pemerintah Daerah (PEMDA).
b. Mengembangkan keikut sertaan masyarakat lokal dalam proses
pengambilan keputusan.
Berhasil tidaknya mengikut sertakan masyarakat lokal dalam
memanage sumberdaya perikanan yang ada dipengaruhi oleh policy para
pengambil keputusan (decision maker). Policy berdasarkan keikut sertaan
masyarakat local yang berbasis kepada keinginan stake holder akan
berdampak pada suksesnya pengelolaan terhadap sumberdaya
perikanan yang ada. Keikut sertaan stake holder merupakan
keniscayaan, hal itu disebabkan adanya penyesuaian terhadap keinginan
dan aspirasi stake holder sekaligus sejalan dengan potensi sumberdaya
perikanan yang tersedia di alam.
Policy yang berdasarkan pada keikut sertaan masyarakat dan
keterbatasan potensi sumberdaya yang ada dapat meningkatkan
partisipasi masyarakat local dalam pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya yang ada. Disamping hal tersebut diatas akan berdampak
positif terhadap tata ruang wilayah, sekaligus adanya kesempatan bagi
masyarakat local untuk berperan serta terhadap lingkungan sekitar. Dan
pada gilirannya nanti akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
local. (Nurmalasari, 2009).
c. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi.
Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam
pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan
pesisir dan laut.Ketersediaan informasi mengenai potensi dan
287
perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat
berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah
tersebut.
5.2.7. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Implementasinya
Dalam upaya untuk menjadikan kearifan lokal yang ada dalam
implementasinya masih terkendala dengan belum adanya paying hukum yang
mengikat stakeholder, agar efektifitas pemberdayaan kearifan lokal dalam rangka
pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan
tercapai.Adapun beberapa langkah yang diharapkan untuk mencapai hal
tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan berbasis masyarakat tidak serta merta dilakukan mandiri oleh
masyarakat, perlu bantuan dari pemerintah mulai dari biaya, tenaga ahli dan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan agar pembangunan berkelanjutan
dengan berbasis masyrakat lokal bisa terwujud.
2. Pembangunan yang dilakukan di Selat Madura harus melihat berbagai
aspek, seperti sektor ekonomi, masyarakat, sosial, budaya, dan pemerintah
desa, daerah maupun pusat. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan
antara satu dengan yang lainnya. Untuk mewujudkan keterpaduan tersebut
maka dalam perencanaan pembangunan harus mengintegrasikan semua
semua kepentingan pada sektor-sektor yang terlibat. Maka dari itu perlu ada
musyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam perencanaan
pembangunan. Seperti kerjasama Bappedakab dan Departemen Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Probolinggo dalam perencanaanRENSTRA
(Rencana Strategis)pengelolaan pulau dan pesisir.
3. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada masih sangat
berpotensi untu dikembangkan diperlukan perencanaan yang lebih
288
menyeluruh pada usaha peningkatkan keterampilan dan pengetahuan
terhadap teknik-teknik budidaya melalui kegiatan dan pelatihan serta studi
banding di tempat-tempat yang sudah maju. Disamping itu dukungan dana
dan aspek pemasaran hasil usaha budidaya perikanan
4. Dalam merangkai kebijakan-kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir
dan nelayan, baik dalam usaha pemanfaatan maupun dalam pengelolaan
sumberdaya alam laut dan pesisir Selat madura, dan kabupaten Probolinggo
secara umum, perlu dipertimbangkan kekayaan kearifan lokal yang ada dan
dilakukan identifikasi karakteristik sosial masyarakat pesisir secara cermat.
Ini penting dilakukan dalam membentuk nilai yang terwujuddalam kehidupan
sehari hari sebagai dasar dan filosofi dalam membangun keserasian,
keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya,
sehingga membawa hasil yang optimal.
5. Untuk itu dalam strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya pesisir dan
pemberdayaan masyarakat diharapkan sedapat mungkin nilai kearifan lokal,
tradisi/hukum adat beserta sistem kelembagaan yang ada, baik
kelembagaan yang nyata berupa struktur masyarakat adat dan organisasi
formal pemerintahan maupun Lembaga formal, Keputusan Bupati,
Keputusan Camat, sampai Keputusan Desa hendaknya dapat
mengakomodir dan memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup,
bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
6. Diperlukan adanya keterbukaan dalam menerima hal baru berupa wawasan
dan pengetahuan sehingga tidak terjadi ketidak berhasilan model
pembangunan berbasis pengetahuan lokal
7. Dibutuhkan adanya penguatan kelompok-kelompk atau lemabaga sehingga
mudah dalam terbentuknya model co manajemen dalam masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya lingkungan Pulau Gili.
289
8. Diupayakan adanya perubahan mindset bahwa pendidikan merupakan salah
satu hal yang penting dalam kehidupan guna membangun keterbukaan dan
pengetahuan serta wawasanterhadap kelestarian sumberdaya dan
lingkungan berbasis kearifan lokal yang ada.
5.3. Analisis Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan Melalui Pendekatan
Sistem.
Pembahasan tentang hasil estimasi model ekonomi rumahtangga nelayan
payang di Selat Madura dengan mengintegrasikan nelayan juragan dan
pendega. Agar memudahkan dalam pembahasan, maka analisis didasarkan
pada 4 (empat) blok, yaitu : (1) Produksi, (2) Curahan Kerja, (3) Pendapatan, dan
(4) Pengeluaran, terdiri dari 23 persamaan perilaku dan 22 persamaan identitas.
Model ekonomi rumahtangga nelayan payang di Selat Madura terdiri atas
juragan dan pendega, dimana merupakan model persamaan simultan dengan
menggunakan data cross section di 4 Kecamatan : Sumber Asih, Karang Anyar,
Randu Putih dan Randu Tatah, Kabupaten Probolinggo pada tahun 2012. Model
dispesifikasi secara berulang untuk memperoleh model yang bermakna menurut
kriteria Ekonomi, dan memuaskan menurut kriteria Statistika.Secara rinci hasil
analisis Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga disajikan pada Lampiran 5.
Hasil Analisis Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga nelayan payang
yang didasarkan pada kriteria Ekonomi, menunjukkan bahwa semua parameter
peubah penjelas pada persamaan perilaku mempunyai tanda sesuai harapan.
Sedangkan berdasarkan kriteria statistika, menunjukkan jumlah persamaan
perilaku dengan nilai koefisien determinasi (R2 ) lebih besar dari 0.50 sebanyak
40 % dan koefisien determinasi (R2 ) lebih kecil dari 0.50 sebanyak 60 %.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data cross section, sehingga hasil
290
estimasi model ekonomi rumahtangga dapat dikatakan cukup memuaskan
berdasarkan criteria ekonomi dan statistika.
Hasil Analisis model ekonomi rumahtangga dalam penelitian ini toleransi
taraf nyata nilai alfa) sampai 0.30,dimana hasil estimasi parameter pada
persamaam perilaku yang menunjukkan nilai t statistika pada taraf
nyata 0.30dianggap menunjukkan ada hubungan nyata antara peubah
penjelas dengan peubah endogen.
5.3.1. Respon Produksi Ikan
Perilaku produksi ikan disusun dalam empat persamaan perilaku dan satu
persamaan identitas.Hasil analisis estimasi persamaan perilaku produksi ikan
disajikan pada tabel 9.
1. Respon Aset Kapal
Perilaku asset kapal (ASKJ) dipengaruhi oleh pemberian kredit (KRKJ),
nilai alat tangkap (ITMJ), pendapatan rumahtangga juragan (YJSPK), dan
prasarana desa (DESA).
Parameter peubah kredit (KRKJ) bernilai posistif, hal itu dapat
diinterpretasikan bahwa pemberian kredit mampu merangsang peningkatan
ukuran asset kapal ikan pada alat tangkap payang di Selat Madura. Adapun
peubah lain yang berpengaruh positif terhadap penggunaan ukuran asset kapal
adalah nilai alat tangkap (ITMJ), tingkat pendapatan (YJSPK) dan penyediaan
prasarana pelabuhan (DESA)di desa pesisir Selat Madura. Hal ini dapat
menjelaskan perilaku rasional dalam rumahtangga juragan, bahwa perubahan
asset kapal dipengaruhi adanya perubahan pada nilai alat tangkap , tingkat
pendapatannya, pemberian kredit dan penyediaan prasarana pelabuhan
perikanan.Karena semua peubah penjelas tersebut merupakan keperluan
291
nelayan untuk termotivasi meningkatkan hasil produksinya melaut, sehingga bisa
meningkatkan pendapatannya sekaligus kemampuan untuk pembayaran kredit
yang ditanggungnya.Sehingga pemerintah perlu mengupayakan kebijakan paket
kredit yang lunak sekaligus membangun fasilitas prasarana pelabuhan yang
memadai.
Tabel 9. Hasil Esimasi Parameter perilaku nelayan payang dalam Blok Produksi
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
1. Aset Kapal (ASKJ) Intercept Kredit untuk Juragan (KRKJ) Nilai Alat Tangkap (ITMJ) Pendapatan RT Juraga (YJSPK) Prasarana Desa (DESA) 2.Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Intercept Aset Kapal (ASKJ) Harga BBM (PBM) Pendidikan/Pengalaman Pendega (PDPP) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Harga Ikan (PIK) Curahan Kerja Agroindustri dalam RT. Pendega (CDPA) NYABIS ONJHEM 3. Produktivitas/ Trip (PRM) Intercept Teknologi (TEK) Prasarana Desa (DESA) Tingkat Produksi MSY (SSDA) PETK LAUT 4. Jumlah Frekuensi Melaut FQM) Intercept Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Curahan Kerja Agroindustri dalam RT. Juragan (CDJA) Curahan Kerja Non-Perikanan dalam RT. Juragan(CDJL) 5. Produksi Ikan : QNM = PRM*FQM
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
292
Parameter peubah prasarana desa bernilai positif, sebagai proksi
ketersediaan prasarana pelabuhan perikanan dapat diinterpretasikan bahwa
peningkatan penyediaan prasarana pelabuhan perikanan mampu merangsang
peningkatan ukuran asset kapal yang digunakan rumahtangga nelayan payang di
selat Madura. Disamping itu, perubahan ukuran asset kapal dipengaruhi oleh
pendapatan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa perubahan pendapatan yang semakin meningkat akan
memotivasi untuk menambah ukuran asset kapal , dimana juga akan diikuti
dengan semakin meningkatnya produksi mendatang Disamping itu juga
dipengaruhi perubahan nilai alat tangkap yang digunakan. Hal ini dikarenakan
semakin besar ukuran asset kapal akan memerlukan jumlah dan ukuran alat
tangkap yang lebih besar, sehingga akan menambah nilai alat tangkap yang
digunakan nelayan payang di Selat Madura, bisa berupa penambahan armada
atau memperbesar ukurannya.
Parameter peubah prasarana desa bernilai positif, dimana prasrana desa
mewakili ketersediaan prasarana pelabuhan perikanan dapat diinterpretasikan
bahwa nelayan payang Selat Madura semakin bersikap positif terhadap
pemanfaatan pelabuhan perikanan dalam kegiatan produksi penangkapan ikan
di laut. Penyediaan dan pelayanan pelabuhan perikanan yang semakin
meningkat akan memacu rumahtangga nelayan payang untuk menggunakan
ukuran asset kapal yang semakin besar.Sehingga dimasa mendatang diperlukan
peranan pemerintah dan stakeholder untuk memajukan perikanan payang
khususnya dan perikanan pada umumnya di Selat Madura lebih serius agar
peningkatan kesejahteraan nelayan sekaligus pemberdayaan mereka dalam
pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan (sustainable).
293
2. Respon Daerah Penangkapan Ikan
Perilaku daerah penangkapan ikan (DPI) dipengaruhi oleh peubah aset
kapal (ASKJ), harga BBM (PBM), pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ),
pendidikan dan pengalaman pendega (PDPP), curahan dalam rumahtangga
pendega untuk kegiatan agroindustri (CDPA), harga ikan (PIK), dan onjhem
(rumpon)sebagai suatu budaya kearifan lokal masyarakat nelayan payang di
Selat Madura.. Peubah nyabis tidak berpengaruh terhadap perilaku DPI. Lama
pendidikan dan pengalaman kerja pendega maupun juragan adalah merupakan
proksi mutu SDM nelayan payang Selat Madura.
Parameter peubah daerah penangkapan (DPI) dipengaruhi secara positif
oleh peubah curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan
agroindustri (CDPA) dan onjhem (rumpon). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut, juragan dan pendega
semakin rasional untuk mempertimbangkan penggunaan curahan kerja dalam
rumahtangga pendega untuk kegiatan agroindustri seperti pegolahan ikan dan
pemasaran ikan yang semakin berkualitas serta keberadaan onjhem sebagai
rumah ikan atau sarang ikan yang menyediakan stock ikan atau restocking
sumberdaya ikan akan memacu daerah penangkapan ikan yang semakin luas.
Dimana semakin meningkat hasil ikan yang didapat, maka akan memerlukan
curahan kerja yang semakin meningkat dibidang yang berkaitan dengan usaha
penangkapan ikan.Dan untuk memudahkan kegiatan penangkapan ikan ditengah
laut (daerah penangkapan ikan), sebagian nelayan memasang sarang ikan atau
onjhem didalam laut, onjehm ini dibuat dari daun pohon kelapa yang masih utuh,
batangan bamboo, dan batu pemberta yang disusun sedemikian rupa, onjhem ini
akan menjadi tempat berkumpul dan bertelur ikan sehingga dapat membantu
nelayan untuk menjaringnya (Kusnadi, 2000). Maka dimasa mendatang
diperlukan untuk pemberdayaan onjhem ini ketempat daerah penagkapan yang
294
lebih luas lagi untuk meningkatkan hasil tangkapan sekaligus upaya pelestarian
sumberdaya ikan oleh stakeholder.
Disamping itu nampak kontribusi kearifan lokal onjhem (rumpon)
terhadap pembangunan perikanan mendatang Laut sebagai karakteristik kondisi
alam sudah terpenuhi jika mengacu pada Christy(1992). Onjem merupakan hasil
buah pikir yang terjadi karena desakan adaptasi manusia dengan alam. Onjem
juga memiliki batas-batas wilayah dalam pengelolaannya, meskipun tidak ada
teknologi canggih yang digunakan, dan hanya menggunakan cara tradisional
dalam mengetahuinya batas-batas ini bisa ditentukan hukum adat yang melekat
seperti: misalnya, secara naluriah jika onjem ini bukan milik kita, maka kita tidak
akan melakukan penangkapan ikan di onjem orang lain tersebut. Hal ini
merupakan sebuah bentuk hukum adat yang tidak tertulis dalam masyarakat
nelayan Selat Madura. Dari aspek teknologi, meskipun sederhana dibanding
rumpon-rumpon modern yang sudah ada saat ini.Teknologi yang digunakan
tetap bisa berfungsi dengan baik meskipun hasil belum maksimal dibanding hasil
tangkapan dilaut lepas.Sehingga aspek teknologi terpenuhi meskipun sederhana
dan tradisional.Aspek budaya juga terpenuhi dalam onjem masyarakat nelayan
Selat Madura, dapat dilihat dari adanya budaya menghormati “jika ini milikmu
maka aku tidak boleh memanfaatkannya tanpa seijinmu” dan apabila ini
dilanggar maka hasil akan diambil pemilik onjem dan adanya sanksi moral dari
masyarakat. Ditinjau dari aspek distribusi kekayaan tidak terpenuhi karena
memang onjem merupakan milik pribadi meskipun berada dilahan komunal dan
tidak ada hukum yang melindungi seperti halnya sertifikat tanah pada umumnya.
Sedangkan dari aspek otoritas pemerintah, tidak adanya hukum yang melindungi
tidak berarti kegiatan atau tradisi ini illegal dan melanggar hukum. Bahkan jika
kita lihat dan kaji lebih dalam akan berdampak positif bagi lingkungan, yaitu
dengan adanya onjem ini maka sebagai rumah bagi ikan untuk melakukan
295
pemijahan dan tempat berlindung dari pemangsa, disamping itu terjadi rantai
makanan sebagai wujud keseimbangan alam akan terjadi disekitar rumpon. Hal
ini sebagai salah satu wujud kepedulian masyarakat nelayan selat Madura
terhadap lingkungan dengan diterapkannya kearifan lokal onjem ini, dimasa
mendatang dapat ditumbuh kembangkan dengan teknologi yang lebih baik, yaitu
dengan upaya pembangunan terumbu karang buatan (Primyastanto. M., 2012).
Sehingga perlu dilestarikan dan diberdayakan dengan sentuhan teknologi
yang ramah lingkungan, serta pembuatan terumbu karang buatan ditempat
tertentu sebagai fishing ground untuk memperluas daerah penagkapan ikan bagi
nelayan.
Perluasan daerah penangkapan dipengaruhi secara negative oleh
perubahan aset kapal (ASKJ), harga BBM (solar) atau (PBM), dapat
diinterpretasikan bahwa peningkatan aset kapal dibarengi dengan peningkatan
harga BBM akan menurunkan perluasan dan jangkauan daerah penangkapan
ikan. Hal ini secara logis akan berdampak karena semakin meningkat asset
kapal dan harga BBM akan meningkatkan biaya operasional melaut, dimana bagi
nelayan payang bekal dan biaya yang disediakan terbatas, sehingga
antisipasinya adalah tetap melaut dengan memperpendek jarak daerah
penangkapan ikan. Apabila pemerintah membuat kebijakan peningkatan harga
BBM, maka nelayan payang Selat Maduraakan merespon secara cepat untuk
memperpendek jangkauan daerah penangkapan ikan.
Policy (kebijakan) pemerintah untuk menaikkan harga BBM akan
berdampak pada perilaku nelayan payang Selat Madura dalam mengatur
jangkauan daerah penangkapan ikan, yaitu : (1) Jangkauan daerah
penangkapan ikan semakin menurun, sehingga penangkapan ikan di wilayah
pantai akan semakin padat dan sumberdaya perikanan pantai akan mengalami
over fishingsebaliknya sumberdaya perikanan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
296
(ZEE) tidak dapat dioptimalkan yang mengakibatkan kerugian besar bagi para
nelayan, dan (2) Produktivitas hasil penangkapan ikan semakin menurun, biaya
operasional semakin meningkat, maka akibatnya pendapatan nelayan semakin
berkurang.
Oleh karena itu, untuk memacu nelayan payang selat Madura agar
memperluas daerah penangkapan ikan khususnya dan bagi armada perikanan
nasional umumnya, agar dapat menggantikan armada asing yang melakukan
illegal-fishing di wilayah ZEE, memerlukan kebijakan kenaikan harga BBM
secara bijaksana, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan kombinasi
paket program peningkatan ukuran asset kapal . Sedangkan upaya selanjutnya
untuk memperluas daerah penangkapan ikan pemerintah perlu mengupayakan
pelatihan dan penyuluhan dengan paket teknologi onjhem (rumpon) , dimana
disamping sebagai rumah ikan juga merupakan satu upaya untuk melestarikan
ketersediaan ikan sekaligus merupakan upaya untuk melestarikan sumberdaya
ikan.
Parameter harga ikan sebagai peubah penjelas berpengaruh negative
terhadap daerah penangkapan ikan, hal ini diinterpretasikan sebagai salah satu
bentuk adaptasi nelayan terhadap lingkungan ekosistemnya, dimana bagi
nelayan payang lingkungan fisik laut banyak mengandung resiko. Adanya risiko
dan ketidakpastian ini disarankan untuk disiasati dengan mengembangkan pola-
pola adaptasi berupa perilaku ekonomi yang spesifik yang selanjutnya
berpengaruh pada pranata ekonominya, termasuk perubahan meningkatnya
pada harga ikan, yang justru malah semakin memperpendek jarak daerah
penangkapan ikan.
297
3. Respon Produktivitas
Pada perilaku produktivitas (PRM), dipengaruhi oleh peubahkearifan lokal
PETIK LAUT.Produktivitas hasil tangkapan ikan merespon positif terhadap
peubah PETIK LAUT. Perilaku tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
peningkatan pelaksanaan petik laut akan meningkatkan produktivitas
pemanfaatan sumberdaya yang ada, terutama akan membuka peluang kerja
baru sebagai akibat dari terbukanya peluang usaha baik perikanan dan non
perikanan, yaitu dengan menjadikan even petik laut sebagai ekowisata dan bisa
dilakukan per tahun. Hal tersebut akan meningkatkan produktivitas rumahtangga
nelayan secara keseluruhan.
Dalam tradisi petik laut, dapat kita lihat untuk karakteristik alam dapat
terlihat, bahwa laut merupakan objek dari tradisi tersebut.Kemudian dari segi
budaya, petik laut merupakan budaya dari masyarakat pesisir hampir
sebagian besar masyarakat nelayan Selat Madura di Jawa Timur. Dari aspek
distribusi kekayaan, biaya yang digunakan dalam petik laut merupakan biaya
yang dikumpulkan dari semua lapisan masyarakat nelayan Selat Madura
yang besarannya dikategorikan berdasarkan dari segi jenis alat tangkap yang
dimiliki oleh nelayan. Sehingga antara pemilik alat tangkap payang jurung
dan alat tangkap sleret atau purse seine akan berbeda, yang tentunya akan
berbeda juga dari tingkat ekonomi nelayan karena biaya operasional dan
biaya dalam satu kali trip beserta hasilnya akan sangat berbeda.
Respon produktivitas hasil tangkapan ikan terhadap perbaikan status
sumberdaya menunjukkan hubungan tidak nyata. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa peningkatan produtivitas melalui pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan (sustainable) pada tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY)
adalah sulit diimplementasikan, karena terkait dengan siklus hidup ikan yang
298
menjadi sasaran penagkapan,disamping itu juga membutuhkan waktu pemulihan
yang panjang (Anderson, 1986), serta bergantung pada jenis ikan yang menjadi
tujuan penangkapan (Hannesson, 1988).
Perbaikan teknologi tidak berpengaruh terhadap produktivitas hasil
tangkapan ikan nelayan payang, hal ini terjadi sebagai akibat kondisi
sumberdaya perikanan yang terbatas hanya di Selat Madura, dimana
sumberdaya ikan semakin terkuras (over-exploited). Sehingga pemanfaatan
sumberdaya perikanan akan menghadapi masalah over fishingdimana pada
akhirnya akan mengancam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu untuk memacu nelayan payang selat
Madura untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya perlu diupayakan
untuk mencari daerah penangkapan baru (fishing ground), dan mencari
alternative pendapatan baru bagi rumahtangga.
4. Respon Frekuensi Melaut
Perilaku frekuensi melaut (FQM) dipengaruhi oleh jangkauan daerah
penangkapan ikan (DPI) dan tidak dipengaruhi oleh curahan kerja dalam
rumahtangga juragan untuk agroindustri (CDJA) dan curahan kerja dalam
rumahtangga juragan untuk kegiatan produktif non-perikanan (CDJL).
Daerah penangkapan ikan yang semakin jauh dan luas akan
meningkatkan frekuensi melaut nelayan payang Selat Madura, hal ini sangat
relevan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang masih belum dioptimalkan
terutama di wilayah ZEE. Disamping itu terjadi pergeseran mindsetnelayan
sendiri, dimana dahulu hanya one-day fishing, sekarang sudah beralih dengan
motto tidak akan pulang sebelum mendapatkan ikan, sehingga hal ini akan
meningkatkan pendapatan nelayan.
299
Sementara itu perluasan daerah penangkapan ikan, sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, dipengaruhi oleh peubah asset kapal, mutu SDM, harga
BBM dan curahan kerja untuk agroindustri , serta kearifan lokal onjhem, petik
laut. Sedangkan frekuensi melaut merespon daerah penangkapan Ikan (DPI),
dan telasan. Sehingga faktor yang mempengaruhi perilaku juragan dalam
mengatur frekuensi melalut pada dasarnya merupakan kombinasi factor yang
sangat kompleks, sebagai berikut :
1. Faktor pertama : merupakan pilihan kontradiksi antara : (a) tingkat
pendapatan (YJSPK), (b) peningkatan ukuran kapal (ASKJ) dan
perbaikan teknologi (TEK), dimana pada satu sisi merangsang
nelayan untuk meningkatkan produltivitas dan frekuensi melaut,
dengan (c) kecenderungan kenaikan harga BBM (PBM) pada
sisi lain yang akan menambah beban biaya, merangsang nelayan
payang selat Madura untuk merespon kenaikan BBM dengan
jalan mengurangi frekuensi melaut.
2. Faktor kedua : kemampuan memilih untuk meningkatkan atau
mengurangi frekuensi melaut yang terkait dengan ketrampilan
nelayan juragan (PDPJ) dan nelayan pendega (PDPP).
Dengan demikian frekuensi melaut (FQM) pada dasarnya merupakan
pilihan ketidakpastian (uncertainty) yang tidaklah mudah. Dalam menghadapi
ketidakpastian tersebut, perilaku rumahtangga nelayan payang juragan
cenderung pada dua hal , yaitu : (1) melakukan kegiatan komplementer untuk
mengurangi kondisi ketidakpastian dengan jalan mengembangkan sumberdaya
pendapatan dari kegiatan agroindustri (CDJA), atau (2) pengembangan
alternative lapangan kerja non-perikanan (CDJL), seperti pedagang, dan ini
terbuka lebar apabila petik laut dijadikan even tahunan untuk menjadi ekowisata
300
yang akan menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara, yang akan
meningkatkan pendapatan nelayan.
5. Produksi Ikan
Produksi ikan (QNM) merupakan persamaan identitas, yaitu perkalian
antara produktivitas (PRM) dan frekuensi melaut (FQM), seperti yang ditunjukkan
pada persamaan (5) sebagai berikut :
QNM = PRM * FQM……………………………………………….(5)
Produksi ikan diperhitungkan atas dasar hasil penangkapan ikan per trip
melaut. Berdasarkan uraian diatas, peubah yang mempengaruhi produksi ikan
secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kelompok peubah yang berpengaruh positif, yaitu : (a) Nilai alat tangkap
yang digunakan RT juragan (ITMJ), (b) Curahan hari kerja RT pendega
pada agro-industri (CDPA), (c) daerah penangkapan ikan (DPI), (d)
tingkat pendapatan (YJSPK), (e) pemberian kredit (KRKJ), (f) serta
kearifan lokal ONJHEM dan PETIK LAUT.
2. Kelompok peubah yang berpengaruh negative, yaitu : (a) ukuran asset
kapal ,(b) dan harga BBM (PBM) dan (h) peningkatan mutu SDM nelayan
(PDPJ) dan (PDPP)
3. Kebijakan kenaikan harga BBM mengancam pengembangan dan
perluasan daerah penangkapan ikan, sementara pemberdayaan kearifan
lokal ONJHEM dan PETIK LAUT merupakan faktor penting dalam
memelihara keberlanjutan usaha penangkapan ikan.
5.3.2. Respon Curahan Kerja
Curahan kerja rumahtangga juragan dan pendega untuk kegiatan
produktif agroindustri dan non-melaut (non-perikanan) pada penelitian ini,
301
merupakan peubah eksogen.Hasil analisis estimasi persamaan perilaku curahan
kerja rumahtangga nelayan dapat dilihat pada tabel 10.
A. Rumahtangga Juragan
6. Curahan Kerja Dalam Rumahtangga Juragan
Curahan kerja dalam rumahtangga juragan (CDJT) merupakan
penjumlahan curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan melaut (CDJM),
kegiatan agroindustri (CDJA) dan kegiatan produktif non-perikanan lainnya,
seperti pertanian dan pertukangan (CDJL) yang ditunjukkan pada persamaan
identitas (6) sebagai berikut :
CDJT = CDJM + CDJA + CDJL ………………………………….(6)
Peubah curahan kerja dalam rumahtangga juragan untuk kegiatan
agroindustri dan kegiatan produktif non-perikanan dalam penelitian ini sebagai
peubah eksogen.Curahan kerja dalam rumahtangga juragan sangat bergantung
pada kegiatan produktif melaut.
7. Respon Curahan Kerja Melaut dari Dalam Rumahtangga Juragan
Perilaku curahan kerja melaut dalam rumahtangga juragan (CDJM)
dipengaruhi secara positif oleh peubah frekuensi melaut (FQM), hal ini
merupakan interaksi yang logis dimana semakin meningkat frekuensi melaut
akan semakin meningkat pula curahan kerja melaut rumahtangga juragan. Dan
tidak dipengaruhi oleh peubah curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan
kegiatan agroindustri (CDJA), CDJHDL, yaitu : interaksi antara kegiatan produktif
non-perikanan lainnya, seperti pertanian dan pertukangan (CDJL), kekayaan
juragan (HKJ) juga tingkat pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ), serta
kearifan lokal TELASAN. Hal ini dapat dijelaskan sebagai suatu system
302
agrobisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tga sub system
utamanya, yaitu (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan),
dan (3) pemasaran, tetapi juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi
prasarana dan sarana, financial, SDM dan iptek, serta hukum dan kelembagaan,
dimana sampai saat ini kebijakan pemerintah di bidang agrobisnis perikanan
dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan.
Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar, yaitu : (1) belum
adanya kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat/quota) penangkapan stock
ikan di suatu kawasan perairan (laut), termasuk di Selat Madura. Semua nelayan
secara bebas tanpa batas dapat menangkap ikan di Selat Madura. Akibatnya
terjadi over fishing yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap, (2)
belum ada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) laut yang mengakomodasi
lahan usaha budidaya perikanan laut sebagai kawasan khusus/ tertentu yang
mendapat perlindungan dari konversi dan bahaya pencemaran, serta pengaturan
penjarangan (spacing), (3) belum adanya kebijakan tentang kredit murah dan
lunak untuk mendukung usaha perikanan tangkap , pengolahan sampai
pemasarannya. Sehingga berakibat pada belum optimal dalam upaya untuk
menjadikan system agrobisnis dalam perikanan, dimana menjadikan curahan
kerja rumahtangga juragan untuk kegiatan agroindustri (CDJA), dan kegiatan
non-perikanan (CDJL) sebagai alternative pendapatan di luar perikanan.
Disamping itu pendidikan pada masyarakat nelayan belum mengarah kepada
peningkatan SDM untuk perikanan secara spesifik.
Perilaku curahan kerja melaut dalam rumahtangga juragan pada
dasarnya adalah rasional, mengingat kegiatan melaut yang sarat dengan
ketidakpastian atau uncertainty memotivasi juragan untuk selalu
mengembangkan alternative kerja produktif lainnya.Potensi untuk
mengembangkan alternative curahan kerja untuk kegiatan agroindustri (CDJA)
303
dalam rumahtangga juragan dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi
curahan kerja rumahtangga, baik pria maupun perempuan.Sedangkan
pengembangan alternative curahan kerja untuk non-perikanan (CDJL) dalam
rumahtangga juragan ditunjukkan bergantung juga pada tingkat kekayaan,
pendidikan dan pengalaman juragan. Sehingga ada upaya kedepan sebagai
berikut :(1) pemberdayaan masyarakat nelayan, (2) pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara efisien, optimal dan sustainable, (3) pengembangan prasarana
dan sarana, teknologi pasca panen, (4) penguatan SDM dan Iptek , (5)
pengembangan prasarana dan sarana keamanan di laut , dan (6) pemberian
insentif ekonomi untuk stakeholder. Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk
antisipasi pasar persaingan global, dimana produk perikanan ditentukan oleh
criteria seperti : produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, produk
harus memiliki kualitas yang baik dan seragam serta produk dapat tersedia
secara massal (Pigot, 1994).
304
Tabel 10.Hasil Esimasi Parameter perilaku nelayan payang dalam Blok Curahan Kerja Rumahtangga Juragan dan Pendega
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
6.Curahan Kerja Dalam RT Juragan CDJT =CDJM + CDJA + CDJL 7. Curahan Kerja Melaut dari dalam RT Juragan (CDJM) Intercept Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Agroindustri (CDJA) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk non-Perikanan (CDJHDL) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) TELASAN 8.Curahan Kerja Melaut dari Luar RT Juragan (CLJM) Intercept Jumlah ABK (JABK) Aset Kapal (ASKJ) Angkatan Kerja RT Juragan Laki- laki (AKJL) 9. Curahan Kerja Melaut Total RT Juragan CTJM = CDJM + CLJM 10.Curahan Kerja Melaut RT Pendega (CDPM) Intercept Curahan Kerja Dalam RT Pendega untuk Agroindustri(CDPA) Curahan Kerja dalam RT Pendega untuk Non-Perikanan (CDPYL) Pendidikan/Pengalaman Pendega (PDPP) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) TELASAN 11. Curahan Kerja Total Dalam RT Pendega (CDPT) CDPT = CDPM + CDPA + CDPL
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 CDJHDL : interaksi CDJL*HKJ*PDPJ CDPYL : interaksi CDPL*YPL
Menurut Widiatmono, Vuichard dan Clignet (1998) bahwa seseorang
menjadi nelayan (termasuk menjadi juragan) di pantai utara Jawa Tengah,
305
karena berbagai sebab, seperti karena seseorang dilahirkan di desa pantai,
berasala dari keluarga nelayan, pedagang ikan, atau lainnya. Latar belakang
yang bervariasi tersebut telah menghantarkan seseorang untuk memasuki
profesi perikanan. Oleh karena itu ketika seseorang memilih profesi sebagai
nelayan, maka pengalaman kerja sebelumnya ikut mempengaruhi pilihan
rumahtangga dalam meningkatkan pendapatannya.. Dalam banyak hal nelayan
seperti sub budaya mata pencaharian lainnya , membentuk masyarakatnya
sendiri. Nelayan juga sering terasing karena mereka harus hidup di sepanjang
pesisir laut .Keterasingan relative ini semakin besar karena nelayan semakin
terpisah dari masyarakat daratan ketika menangkap ikan. Disamping itu karena
banyak nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, dimana saat itu orang
lain masih tidur, sehingga sering dipandang sebagai orang terpencil dari
masyarakat (Pollnac, 1988).
Dalam mengelola usahanya nelayan menghadapi ketidakpastian hasil
tangkapan ikan di laut, nelayan cenderung menggunakan berbagai
strategi.Strategi jangka pendek yang digunakan berupa aktivitas selain
penangkapan ikan, sedangkan strategi jangka panjang adalah membekali anak-
anaknya dengan pendidikan lebih lanjut (Roch, Luong, and Clignet, 1998).
Curahan kerja dalam rumahtangga juragan melaut berhubungan positif
dan dipengaruhi oleh frekuensi melaut (FQM) dan tidak dipengaruhi oleh curahan
kerja rumahtangga juragan untuk kegiatan agriindustri (CDJA), CDJHDL dan
TELASAN.Perilaku tersebut dapat diinterpretasikan bahwa CDJM bersifat
komplementer dengan CDJA karena adanya factor pengendalian resiko dan
ketersediaan angkatan kerja wanita untuk menangani kegiatan agroindustri dan
perdagangan ikan dalam rumahtangga juragan. Ini dapat berarti bahwa nelayan
juragan semakin rasional dalam mempertimbangkan berbagai factor yang
mempengaruhi curahan kerja rumahtangga dalam menghadapi resiko usaha
306
penangkapan ikan di laut..Sifat komplementer antara perilaku CDJM dan CDJA,
disamping berkaitan dengan pengendalian resiko, juga terkait dengan factor
riwayat hidup juragan sebelumnya, apakah sebagai nelayan, pengolah ikan,
perdagangan umum dan profesi kegiatan produktif non-perikanan lainnya.
8. Respon Curahan Kerja Melaut dari Luar Rumahtangga Juragan.
Perilaku permintaan curahan kerja melaut dari luar rumahtangga juragan
(CLJM) berhubungan positif dan dipengaruhi oleh peubah jumlah ABK (JABK),
untuk kegiatan operasi penangkapan ikan dan asset kapal (ASKJ), juga
dipengaruhi oleh angkatan kerja laki-laki juragan (AKJL). Peningkatan jumlah
anak buah kapal (ABK) terkait dengan jenis alat tangkap yang digunakan.
Disamping itu perubahan jenis dan teknologi alat tangkap yang digunakan
semakin meningkat, bukan saja harus diikuti dengan peningkatan jumlah anak
buah kapal , tetapi juga jenis ketrampilannya, seperti kebutuhan adanya profesi
juru mesin, juru mudi, juru arus dan lainnya. Semua keahlian tersebut lebih
banyak tergantung pada suplai tenagakerja terampil dari luar rumahtangga
juragan.Sebagaimana telah diketahui, bahwa nelayan menghadapi resiko dan
ketidak pastian ketika menangkap ikan di laut.Untuk itu maka strategi yang
digunakan dalam meminimalisir resiko usahanya, dan sekaligus untuk
meningkatkan sumber pendapatan rumahtangga juragan adalah dengan
melibatkan anggota keluarga lakilaki untuk dapat membantu menangkap ikan di
laut.Sebagaimana pola kegiatan anak laki-laki nelayan di Riau, dimana anak laki-
laki nelayan yang sudah cukup dewasa untuk pergi melaut (Mulyadi.s, 2005).
9. Curahan Kerja Melaut Total Rumahtangga Juragan
Curahan kerja melaut total rumahtangga juragan merupakan
penjumlahan curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan melaut (CDJM) dan
307
curahan kerja melaut dari luar rumahtangga yang ditunjukkan pada persamaan
identitas (9).
CTJM = CDJM + CLJM ………………………………………….. (9)
Dengan memperhatikan respon curahan kerja luar rumahtangga juragan
terhadap jumlah ABK yang dibutuhkan dan angkatan kerja laki-laki dalam
rumahtangga juragan, berarti peningkatan curahan kerja untuk pengembangan
usaha penangkapan ikan sekaligus meningkatkan frekuensi melaut sangat
bergantung pada ketersediaan ABK dari luar rumahtangga juragan.
B. Rumahtangga Pendega
10. Respon Curahan Kerja Melaut Rumahtangga Pendega
Perilaku curahan kerja melaut rumahtangga pendega (CDPM)
dipengaruhi secara positif oleh peubah curahan kerja dalam rumahtangga
pendega untuk kegiatan agroindustri (CDPA), dan frekuensi melaut (FQM),serta
CDPL yang berinteraksi (CDPYL) dengan besarnya pendapatan pendega dari
non-perikanan (YPL). Adanya interaksi perilaku CDPL dengan factor besarnya
jumlah penerimaan dari non-perikanan (YPL), pada dasarnya adalah rasional,
mengingat ketidak pastian kegiatan melaut memotivasi pendega untuk
meningkatkan frekuensi melaut dalam upayanya untuk meningkatkan
pendapatannya sekaligus mengembangkan alternative kerja lainnya. Potensi
untuk mengembangkan alternative tersebut bergantung pada besarnya
penerimaan dari kerja non-perikanan untuk rumahtangga pendega.
Disamping itu, curahan kerja dalam rumahtangga pendega melaut
berhubungan negative dan dipengaruhi oleh peubah tingkat pendidikan dan
pengalaman pendega (PDPP). Hal ini sangat rasional karena pada umumnya
308
anggota keluarga laki-laki yang sudah cukup dewasa lebih banyak diikut
sertakan dalam melaut, sehingga untu keperluan pendidikan pendega
cenderung akan semakin menurun atau tidak melanjutkan sekolah karena
adanya desakan kebutuhan ekonomi tersebut. Sebagaimana telah diuraikan oleh
Wdiatmono, Vuichard dan Clignet (1998), bahwa seseorang menjadi nelayan
(termasuk menjadi pendega) di pantai utara Jawa Tengah, karena berbagai
sebab, seperti karena seseorang dilahirkan di desa pantai, berasal dari keluarga
nelayan, pedagang ikan, atau lainnya. Latar belakang yang bervariasi telah
menghantarkan seseorang untuk memasuki profesi perikanan.
Curahan kerja melaut rumahtangga pendega (CDPM) berhubungan
positif dan deipengaruhi oleh curahan kerja untuk agroindustri (CDPA),
mengindikasikan bahwa CDPM bersifat komplementer dengan CDPA.Hal
tersebut disebabkan karena adanya factor pengendalian resiko dan ketersediaan
angkatan kerja wanita untuk menangani kegiatan agroindustri dan perdagangan
ikan dalam rumahtangga pendega.Sifat komplementer perilaku CDPM dan
CDPA, disamping berkaitan dengan pengendalian resiko melaut, juga terkait
dengan riwayat hidup pendega sebelumnya, apakah sebagai nelayan, pengolah
ikan, perdagangan umum dan profesi kegiatan produktif non perikanan lainnya.
11. Curahan Kerja Total Rumahtangga Pendega
Curahan kerja total rumahtangga pendega merupakan penjumlahan
curahan kerja rumahtangga pendega melaut (CDPM), curahan kerja dalam
rumahtangga pendega untuk kegiatan agroindustri perikanan (CDPA) dan
curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan non-perikanan
(CDPL), sebagaimana ditunjukkan pada persmaan identitas (11)
CDPT = CDPM + CDPA + CDPL ………………………………..(11)
309
Peubah curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan
agroindustri dan kegiatan produktif non-perikanan dalam penelitian ini
merupakan peubah eksogen. Dengan memperhatikan respon curahan kerja
dalam rumahtangga pendega, dapat diinterpretasikan bahwa total curahan kerja
dalam rumahtangga pendega sangat bergantung pada kegiatan produktif melaut
dan agro-industri, sebagaimana ditunjukkan respon positif terhadap frekuensi
melaut dan curahan kerja rumahtangga pendega untuk kegiatan agro-industri.
Sebagaimana pada umumnya masyarakat nelayan .Menurut Mulyadi S (2005),
pola kegiatan istri dan anak nelayan di Riau , yaitu : untuk kegiatan mengolah/
menjual ikan, berkebun, sebagai pengrajin, berdagang komoditas non ikan dan
lainnya.
5.3.3. Respon Pendapatan
Untuk memilih persamaan-penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dalam
penelitian ini yang sesuai dengan fenomena, dievaluasi atas dasar dua
pendekatan, yaitu : (1) RJM sebagai persamaan identitas dan (2) RJM sebagai
dinyatakan dalam bentuk persamaan perilaku dengan pertimbangan sebagai
berikut :
a. Atas dasar fenomena hasil tangkapan ikan (QNM) multi species,
dimana peningkatan penerimaan juragan melaut dapat terjadi karena
perubahan komposisi jenis hasil tangkapan ikan.
b. Atas dasar fenomena ekonomi, bahwa perubahan komposisi jenis
ikan yang lebih bernilai ekonomi dan mahal akan diikuti oleh kenaikan
besarnya penerimaan juragan melaut, sekalipun jumlah hasil
tangkapan ikan tetap.
310
c. Atas dasar evaluasi statistic dan ekonometrik, sebagaimana berikut
bahwa penetapan RJM sebagai persamaan perilaku adalah
menghasilkan validasi model secara statistic lebih memuaskan, yaitu
dengan nilai Adj R 2 sebesar 75 % denga F hitung sebesar 155,81.
A.Rumahtangga Juragan
12. Respon Penerimaan Kotor Juragan Melaut
Analisis hasil estimasi persamaan perilaku dalam kelompok
Penerimaandan Pendapatan pada rumahtangga juragan dapat dilihat pada tabel
11. Penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dipengaruhi dan merespon positif
terhadap peubah penjelas QNM, dan PIK, Hal ini logis sebab nilai hasil tangkap
merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan harga ( QNM x PIK) ,
apalagi keduanya ditingkatkan, maka akan menghasilkan nilai RJM yang
semakin meningkat dengan lebih pasti. Fenomena tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa perubahan harga, misalnya akibat perubahan mutu ikan,
diikuti oleh perubahan penerimaan juragan melaut secara inelastic, karena sifat
ikan yang cepat busuk (perishable food).Ada dugaan monopoli oleh pedagang
dalam pembentukan harga ikan di pedesaan pantai, karena pelelangan ikan tidak
berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Dalam system pemasaran komoditi perikanan tangkap, secara umum
harga ikan ditentukan oleh pasar.Secara individual, para produsen hasil
perikanan tangkap bersifat price taker.Dengan kondisi pasar demikian, hampir
tidak ada nelayan yangbisa mengatur harga ikan hasil produksi penangkapannya
(Pranadji, 1993).
Adapun peubah SSDA tidak berpengaruh, sedangkan untuk peubah
kearifan lokal ANDUN berpengaruh dan merespon negative . Hal ini dapat
diinterpretasikan karena andun berkisar didaerah lain yang sama letaknya di
311
Selat Madura, dimana biaya yang dikeluarkan semakin besar dan jenis ikan yang
tertangkap tidak berbeda jauh sehingga kenaikan biaya tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh. Disamping itu andun juga merupakan pengalihan dari
tempat asal probolinggo yang sedang mengalami paceklik karena adanya angin
gending. Sebagaimana menurut Illo dan Pollo (1970) , bahwa para nelayan
ketika andun kedaerah lain mereka membawa perahunya masing-masing , dan
mereka melakukan andun tidak kedaerah lain yang lebih jauh karena risiko biaya
yang akan ditanggung cukup besar. Andun yaitu suatu proses perpindahan
sementara dalam usaha penangkapan ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa
kendala salah satunya yaitu pengaruh cuaca yang buruk. Misal seperti jika
menurut Key Informan : Dengan adanya angin gending, dimana angin gending ini
sangat kencang ditengah laut dan ombak sangat ganas, meskipun ikan
melimpah tetapi nelayan enggan untuk menukar resiko keselamatan mereka.
Andun sebagai upaya untuk mencari ikan ketempat lain ini tidak terlepas dari
keyakinan adanya perintah agama yang diyakininya , yaitu Islam, dimana para
ulama’ mengajaka para nelayan selat Madura untuk mengalkannya, yaitu : “
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi,
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung “. (Q.S. Al-Jumu’ah : 10). Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal
Andun itu, disamping untuk berpindah tempat dalam mencari sumberdaya ikan
baru, juga agar memberi kesempatan bagi ikan ditempat semula melakukan
restoking sehingga terjadi kelestarian sumberdaya ikan dalam upaya
pengelolaan secara sustainable (berkesinambungan).
Diantara dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan terdapat
musim pancaroba yang biasanya ditandai dengan tiupan angin kering yang
cukup kencang yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut biasa disebut
“Angin Gending”.Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat nelayan Selat
312
Madurauntuk melakukan penangkapan ikan. Untuk musim kemarau yang
berkisar pada bulan April hingga bulan Oktober dengan rata-rata curah hujan +
29,5 mm per hari hujan, sedangkan musim penghujan dari bulan Oktober hingga
bulan April dengan rata-rata curah hujan + 229 mm per hari hujan. Curah hujan
yang cukup tinggi terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret
dengan rata-rata curah hujan + 360 mm per hari hujan.
Pada umumnya nelayan Selat Madura melakukan andun ke daerah Paiton
(perbatasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo) serta ke wilayah
Kabupaten Pasuruan. Proses andun sendiri dilakukan dengan membawa kapal
dan seluruh ABK yang berkenan untuk ikut dalam andun kelokasi yang
ditentukan oleh Fishing master atau kapten kapal. Umumnya jika terjadi angin
gending, yaitu pada bulan-bulan Agustus hingga Oktober dan awal-awal
November.
313
Tabel 11.Hasil Estimasi Parameter Perilaku nelayan payang dalam Blok Penerimaan dan Pendapatan Dalam Rumahtangga Juragan.
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
12. Penerimaan Kotor Juragan Melaut (RJM) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Tingkat Produksi MSY (SSDA) ANDUN 13. Jumlah BBM Melaut (BBM) Intercept Teknologi (TEK) Prasarana Desa (DESA) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) 14. Jumlah Pengeluaran BBM Melaut PBBM = PBM * BBM 15.Jumlah Biaya Perbekalan Trip Melaut (BTM) Intercept Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) Jumlah ABK (JABK) Curahan Kerja Melaut Total RT Juragan (CUJM) 16.Jumlah Retribusi Hasil Penangkapan Ikan (BRPI) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Aset Kapal (ASKJ) Prasarana Desa (DESA) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) 17. Jumlah Lawuhan Hasil Penangkapan Ikan (LABK) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Tingkat Produksi MSY (SSDA) 18. Biaya Operasi Penangkapan Ikan (BOM). BOM = PBBM+ BTM+BRPI+LABK 19. Penerimaan Nelayan Melaut (PNM) PNM = RJM -BOM
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
314
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
20. Penerimaan Bagen Juragan (PJMK) PJMK = BGJ * PNM 21. Penerimaan Juragan Melaut (PJM) PJM = PJMK - BIPI 22. Penerimaan RT Juragan Melaut Lainnya (PJML) Intercept Jumlah Kapal Milik Juragan (JKJ) Curahan Kerja Melaut dari Dalam RT Juragan (CDJM) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Agroindustri (CDJA) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Non-Perikanan (CDJL) 23. Pendapatan RT Juragan Melaut (YJM) YJM = PJM + PJML 24. Pendapatan Total RT Juragan (YJT) YJT = YJM + YJA + YJL 25. Pendapatan RT Juragan yang Dapat Dibelanjakan (YJSPK) YJSPK + YJT – BPKJ
0 0 0 0 0 0
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 Para nelayan pada umumnya berusaha agar memperoleh hasil
tangkapan sebanyak mungkin. Semakin besar hasil tangkapan ikan, ada
harapan semakin besar pendapatan bersih yang akan bisa didapat.Sejalan
dengan hasil temuan Pranadji, maka hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh
perubahan harga ikan, sehingga nelayan berkecenderungan untuk lebih
menguras sumberdaya perikanan daripada memperbaiki status sumberdaya.
Fenomena tersebut mengandung implikasi bahwa tanpa pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang dikendalikan dengan penegakan hukum / aturan
secara kuat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, maka berlangsungnya
over fishing sangat sulit dihindari. Atau dengan perkataan lain, mekanisme pasar
315
melalui pembentukan harga tidak mudah untuk dijadikan instrument kebijakan
dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap secara
berkelanjutan (sustainable). Sebagaimana dalam kasus dampak kenaikan harga
ikan pada pengelolaan sumberdaya perikanan seperti gambar berikut :
RP
G B D TB
E TP
F A
Q
O U1 U2 U3 UF U
Gambar 35. Pengaruh Kenaikan Harga pada Produksi dan Penerimaan (Sumber Ian R. Smith, 1981) Pada kasus tersebut diatas. Model ini dapat membantu melukiskan akibat
dari kenaikan harga, misalnya penjaminan oleh suatu koperasi dengan
kemampuan tawar-menawar yang lebih baik, karena teknologi yang mengurangi
pembusukan sesudah penangkapan sebelum proses penjualan, atau karena
makin meningkatnya permintaan seperti terlihat pada gambar 19. Kenaikan
harga menghasilkan kenaikan keuntungan yang pada gilirannya menarik lebih
banyak nelayan, sehingga dapat meningkatkan jumlah pembiayaan sampai
tercapainya keseimbangan baru antara jumlah biaya kebali dan jumlah
penerimaan. Meskipun kurva jumlahpenerimaan meningkat karena
meningkatnya harga, namum kurva hasil penangkapan lestari tidak meningkat.
Sekalipun lebih banyak jumlah nelayan yang dapat tertampung dalam perikanan,
produksi nelayan rata-rata menurun, karena hasil tangkapan lestari lebih rendah.
316
Oleh sebab itu turun tidaknya pendapatan tergantung pada sampai seberapa
jauh turunnya produktivitas itu diimbangi oleh kenaikan harga, yaitu pada
elastisitas permintaan dan penawaran.
13. Respon Jumlah BBM Melaut
Perilaku pengeluaran BBM untuk melaut (BBM) dipengaruhi secara positif
oleh pendidikan/pengalaman juragan. Hal ini disebabkan semakin tingginya SDM
juragan akan memacu untuk berperilaku produktif dengan akan meningkatkan
jarak daerah penangkapan, asset kapal, dimana memotivasi nelayan agar tidak
lagi berfikir untuk melaut sekedarnya saja dan Cuma 1 hari menangkap one day
fishing, tapi akan berlaku proaktif mencari ikan , sehingga tidak akan kembali
pulang sebelum mendapatkan hasil, sebagai akibat adanya peningkatan dari
SDM nelayan terhadap informasi dan sumberdaya ikan .
14. Jumlah Pengeluaran BBM Melaut
Jumlah pengeluaran BBM melaut merupakan perkalian antara jumlah
BBM yang digunakan dengan harganya, sebagaimana ditunjukkan pada
persamaan identitas (14), sebagai berikut :
PBBM = PBM * BBM ……………………………………………..(14)
Harga BBM dalam penelitian ini merupakan peubah kebijakan. Dengan
memperhatikan respon jumlah BBM yang digunakan terhadap pendidikan/
pengalaman juragan , dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi mutu
ketrampilan juragan, maka penggunaan BBM semakin meningkat, dengan
demikian peningkatan pendidikan/pengalaman dengan kata lain peningkatan
mutu SDM juragan dapat meningkatkan kegiatan produktif melaut lebih luas
jangkauan daerah penangkapannya. Hal ini diperkuat dengan keinginan nelayan
317
merubah statusnya dari nelayan tradisional kepada nelayan entrepreneurship
,yaitu berubah cara berfikir juragan dari one day fishing kepada akan kembali
kerumah apabila sudah mendapatkan hasil tangkapan yang berarti lebih lama
dalam operasi penangkapan dimana semakin banyak membutuhkan BBM.
Sebagaimana kasus perubahan kenaikan biaya termasuk BBM terhadap perilaku
nelayan seperti gambar dibawah ini :
RP
F B D TB
E TP
A
Q
O U1 U2 UF U3 U
Gambar 36. Pengaruh Kenaikan Biaya pada Produksi dan Penerimaan (Sumber Ian R. Smith, 1981)
Kita dapat melihat beberapa akibat dari bertambahnya pembiayaan
terhadap hasil tangkapan (produksi) dan penerimaan ( gambar20 ). Dengan
meningkatnya kurva jumlah biaya, yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan
bakar misalnya, nelayan kecil akan terdepak keluar dari industri sampai jumlah
penerimaan kembali sama dengan jumlah biaya pada suatu keseimbangan
bebas ikut serta baru. Produksi penangkapan lestari, jumlah penerimaan akan
meningkat, tetapi jumlah nelayan akan berkurang. Sesudah diadakan
penyesuaian jangka panjang ini, nelayan yang masih tinggal dalam industri
perikanan rata-rata hanya akan dapat menutup biayanya.
318
15. Respon Jumlah Biaya Perbekalan Trip Melaut
Pengeluaran biaya perbekalan trip melaut (BTM) terdiri dari perbekalan
untuk makan, atau bahan mentah berupa beras, rokok, minyak tanah dan lain-
lain untuk melaut, dipengaruhi dan berhubungan positif dengan jumlah frekuensi
melaut (FQM) dan curahan kerja total dalam kegiatan melaut rumahtangga
juragan (CUJM). Hal ini logis berlaku karena semakin banyak jumlah frekuensi
melaut dan curahan kerja total dalam kegiatan melaut rumahtangga juragan akan
semakin banyak perbekalan trip melaut yang akan dibawa. Sedangkan untuk
peubah jumlah anak buah kapal merespon negative, artinya semakin banyak
jumlah anak buah kapal akan semakin sedikit biaya perbekalan, ini menunjukkan
adanya efisiensi dalam pengeluaran biaya dalam operasional,sehingga akan
memaksimalkan keuntungan nelayan. Sedangkan untuk peubah jumlah anak
buah kapal (JABK), berpengaruh negative, hal ini dapat diinterpretasikan
semakin banyak jumlah anak buah kapal, maka semakin banyak pula biaya
perbekalan, maka dimasa mendatang nelayan akan berfikir lebih realistis untuk
mengusahakan operasional melautnya denga jumlah anak buah kapal seefisien
mungkin, agar mencapai keuntungan yang maksimal.
16. Respon Jumlah Retribusi Hasil Penangkapan Ikan
Perilaku pengeluaran untuk retribusi hasil penangkapan ikan (BRPI) tidak
dipengaruhi oleh semua peubah penjelas.Hal ini sejalan dengan program
pemerintah saat itu dalam hal penghapusan retribusi hasil penangkapan ikan,
agar pendapatan nelayan menjadi maksimal.Disamping itu nelayan yang
sebagian besar adalah nelayan dengan usaha skala kecil merupakan
permasalahan yang kompleks dan multidimensional, baik dari aspek cultural
maupun aspek structural. Ada empat masalah pokok yang menjadi kendala pada
nelayan skala kecil seperti nelayan payang di Selat Madura, seperti : (1)
319
kurangnya kesempatan (lack opportunity), rendahnya kemampuan (low of
capabilities), kurangnya jaminan (low level security dan keterbtasan hak-hak
social, ekonomo, dan politik, sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability),
keterpurukan (voicelessness), dan ketidak berdayaan (powerlessness) dalam
segala bidang. Menghadapi hal tersebut, perlu stakeholder mengupayakan suatu
lembaga masyarakat lokal dengan memberdayakan kearifan lokal yang ada,
dimana lembaga tersebut berfungsi untuk : (1) menutup utang nelayan kepada
tengkulak dan mengalihkan penjaman kepada lembaga sebagi penjamin (2)
meniadakan biaya-biaya yang membebani nelayan skal kecil, seperti retribusi,
pajak dan lainnya yang dirasa memberatkan nelayan, (3) memberikan kredit
lunak untuk memberikan peluang usaha dibidang perikanan dan non perikanan
sebagai alternative pendapatannya, dan (4) mengadakan pembelian hasil
tangkap ikan salah satunya dengan system pelelangan ikan serta (5)
mendistribusikan hasil tangkapanpada pasar yang lebih luas ataupun eksport.
17. Respon Jumlah Lawuhan Hasil Penangkapan Ikan
Perilaku jumlah lawuhan hasil penangkapan ikan (LABK) dipengaruhi
secara positif oleh peubah penjelas produksi nelayan melaut (QNM) dan harga
ikan (PIK).Hal ini sesuai degan hasil temuan Pranadji (1995), bahwa pengaruh
perubahan hasil tangkapan ikan lebih besar daripada pengaruh perubahan harga
ikan, sehingga nelayan anak buah kapal berkecenderunagn untuk berperilaku
lebih menguras sumberdaya perikanan daripada memperbaiki harga ikan dan
status sumberdaya. Fenomena tersebut mengandung implikasi bahwa tanpa
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dikendalikan secara serius dan kuat,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat stakeholder, maka berlangsungnya
over fishing akan sangat sulit dihindari. Sebagaimana satu kasus dalam
320
meningkatkan produksi hasil penangkapan (QNM) dengan penggunaan
teknologi, seperti gambar dibawah ini :
RP
B D TB
E TP
F A
Q
O U1 U2 UF U3 U
Gambar 37. Pengaruh Perubahan Teknologi pada Produksi dan Penerimaan(Sumber Ian R. Smith, 1981) Pada kasus ini sebagai akibat dari adanya perbahan teknologi, akan
dapat menghemat tenaga kerja pada suatu tingkat tertentu. Dengan mengacu
pada gambar 2 diatas dengan menganggap bahwa keseimbangan telah tercapai,
dimana jumlah biaya menyamai jumlah penerimaan. Pengenalan teknologi baru
awalnya akan meningkatkan taraf upaya perikanan sedemikian rupa, sehingga
jumlah biaya melampaui jumlah penerimaan. Menurut model ini para produsen
kecil akan tergeser keluar. Hasil tangkapan lestari akan dikurangi, dan jumlah
penerimaan akan menurun. Oleh karena sifat teknologi baru yang menghemat
tenaga kerja, jumlah nelayan pada keseimbangan ikut serta yang baru akan
berkurang. Bahkan bagi mereka yang masih tinggalpun penerimaannya hanya
akan cukup untuk menutup pembiayaan. Sehingga pendapatan penangkapan
ikan dalam jangka panjang tidak akan meningkat. Penting untuk diketahui bahwa
tujuan pembahasan ini adalah untuk menguraikan sarana demi memperbaiki
pendapatan masyarakat nelayan. Agaknya peningkatan mutu kapal dan alat
penangkapan tidak termasuk didalamnya.
321
Besarnya QNM secara langsung dipengaruhi oleh perubahan PRM dan
FQM. FQM merespon perubahan DPI , mengingat : (1) factor teknologi (TEK)
merupakan peubah sangat menentukan terhadap produktivitas melaut (PRM)
dan factor harga BBM sangat mempengaruhi perluasan daerah penangkapan
ikan dan frekuensi melaut (FQM). Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka
instrument kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi perubahan nilai lawuhan anak buah kapal (LABK) dan
pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan adalah kebijakan teknologi ramah
lingkungan, pengendalian harga BBM, disamping perluasan daerah
penangkapan (DPI) yang diarahkan pada perairan ZEE. Sedangkan untuk
perairan Selat Madura yang over fishing diupayakan untuk pengelolaan nelayan
skala kecil dengan lebih banyak menggunakan onjhem (rumpon) dan pembuatan
terumbu karang buatan dalam rangka restocking ikan. Juga dikembangkan
alternative mata pencaharian lain dengan jalan ekowisata dan pemberdayaan
kearifan lokal PETIK LAUT sebagai event tahunan.
18. Biaya Operasi Penangkapan Ikan
Biaya operasi penangkapan ikan melaut merupakan penjumlahan biaya
BBM, biaya perbekalan trip melaut, pengeluaran retribusi hasil penangkapan ikan
dan pengeluaran lawuhan ikan untuk semua anak buah kapal (ABK),
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (18) berikut :
BOM = BBM + BTM + BRPI + LABK …………………….…. (18)
Dengan memperhatikan respon jumlah BBM untuk operasi melaut dapat
diinterpretasikan bahwa peningkatan mutu SDM juragan berpengaruh positif
322
terhadap efisiensi kerja nelayan dalam pengaturan biaya operasional
penangkapan ikan.
19. Penerimaan Nelayan Melaut
Penerimaan nelayan melaut juragan dananak buah kapal melaut sebelum
dibagi menurut system bagi hasil yang berlaku (PNM) merupakan selisih antara
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
328
26. Jumlah Bagen Seluruh Anak Buah Kapal (ABK)
Penerimaan bagen seluruh anak buah kapal (BABK) merupakan selisih
antara besarnya penerimaan nelayan melaut (PNM), dikurangi bagian juragan
(PJMK), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (26) berikut :
BABK = PNM – PJMK ……………………………………………..(26)
Dengan dasar persamaan (26), perubahan besarnya pengaturan bagi
hasil akan berdampak langsung terhadap pendapatan anak buah kapal. Pada
umumnya pengaturan bagi hasil antara juragan dan anak buah kapal, setelah
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 AKRJD = interaksi antara AKRJ * PDPJ Dalam upaya mengatur pola pengeluaran untuk konsumsi pangan
rumahtangga juragan menunjukkan porsi dari jumlah pendapatan yang dapat
337
dibelanjakan cukup rendah.Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa
perekonomian rumahtangga juragan berada pada tingkat kesejahteraan yang
relative memadai, dan para juragan telah mengarah pada penetapan strategi
jangka panjang.Untuk meningkatkan mutu SDM dan perbaikan mutu pangan
rumahtangga. Pada umumnya rata-rata pendidikan dan pengalaman juragan
lebih tinggidaripada rata-rata pendidikan dan pengalaman pendega, sehingga
mutu SDM juragan cenderung lebih tinggi dari mutu SDM Pendega .
35. Respon Pengeluaran Konsumsi Kebutuhan Pokok Non-Pangan
Rumahtangga Juragan.
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
rumahtangga juragan (KKPNJ) dipengaruhi dan berhubungan positif dengan
jumlah angktan kerja rumahtangga juragan, Konsumsi Kebutuhan Non-Pokok RT
Juragan (KKNPJ), dan PANGAMBAK, serta berhubungan negative dengan
pendapatan RT juragan (YJSPK).
Dengan demikian, baik peubah konsumsi pokok pangan dan kebutuhan
pokok non-pangan berhubungan negative dengan tingkat pendapatan yang
dibelanjakan, sedangkan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan berhubungan
positif dengan konsumsi non-pokok (barang mewahatau superior).Hal ini dapat
diinterpretasikan, jika konsumsi kebutuhan non-pokok meningkat, maka
konsumsi kebutuhan pokok non pangan dalam rumahtangga nelayan payang di
Selat Madura meningkat. Dengan perkataan lain, perilaku konsumsi
rumahtangga juragan terhadap konsumsi kebutuhan non-pokok, seperti barang
mewah/perhaiasan cukup dominan.
Perubahan jumlah angkatan kerja terhadap konsumsi pokok non-pangan,
seperti pengeluaran untuk pakaian, perumahan dan pendidikan melebihi
pengaruh perubahan tingkat pendapatannya.Ini berarti pola konsumsi untuk
338
kebutuhan pokok non-pangan dalam rumahtangga juragan cukup diprioritaskan.
Dengan perkataan lain, perilaku konsumsi untuk meningkatkan kesejahteraan
rumahtangga juragan, termasuk peningkatan mutu SDM cukup memperoleh
perhatian rumahtangga juragan. Demikian pula pengeluaran untuk keperluan
PANGAMBAK cukup besar.Dalam banyak hal masyarakat nelayan diberbagai
tempat nelayan dan pedagang perantara terikat oleh hubungan kerjasama yang
kuat demi kepentinganbersama secara jangka panjang.Hubungan kerjasama
tersebut bertujuan mengatasi kesulitan nelayan dalam memasrkan hasil
tangkapan yang kualitasnya cepat menurun (perishable food) juga karena
keterbatasan modal usaha. Dissi lain nelayan selalu dirugikan dalam hubungan
kerjasama tersebut (Acheson, 1981). Sedangkan menurut Firth (1946) selain
menyediakan pinjaman modal usaha kepada para nelayan, tugas utama
pedagang perantara adalah menyelenggarakan kegiatan pasar secara terus
menerus agar ikan tetap tersedia untuk konsumen dan menyelamatkan harga
ikan ketika hasil tangkapan nelayan sedikit atau melimpah.
Pedagang perantara yang menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan
nelayan Selat Madura disebut pangambak (Jordaan dan Niehof,
1982).Pangambak di pesisir didominasi oleh perempuan.Pada umumnya baik
pemilik perahu (juragan) maupun pandhiga (pendega), memiliki pinjaman ikatan
dengan pangambak. Besarnya pinjaman ikatan yang diberikan kepada nelayan
antara juraga dan pendega berbeda-beda, sekalipun yang diharapkan dari
nelayan adalah sama yaitu hasil tangkapan ikan. Perkiraan besar kecilnya
pinjaman ikatan antara juragan dan pendega itu muncul karena pangambak
memperhitungkan sumberdaya ekonomi yang dimilki keduanya. (1) Juragan
adalah pemilik alat produksi untuk menangkap ikan (ASKJ), sehingga
sumberdaya ekonomi yang dimilki juga besar.
339
Berkaitan dengan hal itu, system bagi hasil yang berlaku di selat Madura
memberikan bagian yang lebih besar kepada juragan daripada pendega secara
perorangan. Jika bagian hasil yang diterima juragan cukup besar, berarti
keuntungan yang diterima pangambak juga akan cukup besar juga. (2) Pendega
adalah nelayan buruh yang hanya memilki sumberdaya jasa tenaga, dan
dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada juragan. Dalam system bagi
hasil yang berlaku seperti system paron (50%), maka secara keseluruhan
pendega memperoleh bagi hasil yang cukup besar. Tetapi jika bagian itu dibagi
lagi peorang, maka hasil yang didapatkan akan menjadi sedikit.
36. Pengeluaran Konsumsi Pokok Rumahtangga Juragan
Pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok rumahtangga juragan (KKPJ)
merupakan penjumlahan pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok pangan
juragan (KKPPJ) dan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan (KKPNJ),
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (36) berikut :
KKPJ = KKPPJ + KKPNJ ………………………………………..(36)
Kebutuhan pokok non-pangan terdiri dari pakaian, perumahan, kesehatan
dan pendidikan.Dengan memperhatikan respon konsumsi kebutuhan pokok
pangan terhadap pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ) dapat
diinterpretasikan bahwa SDM rumahtangga juragan (AKRJD) berdampak positif
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 AKRPD = interaksi antara AKRP * PDPP
345
41. Respon Pengeluaran Konsumsi Pokok Non-Pangan Rumahtangga
Pendega
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
rumahtangga pendega (KKPNP) dipengaruhi dan berhubungan positif dengan
tabungan rumahtangga pendega (TTABP), dan kearifan lokal
PANGAMBAK.Dipengaruhi dan berhubungan negative dengan tingkat
pendapatan rumahtangga pendega (YPSPK) juga dengan jumlah anggota
rumahtangga pendega (AKRP). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa jika
tabungan pendega ditingkatkan, maka konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
dalam rumahtangga nelayan pendega akan meningkat, yaitu untuk membeli
barang mewah (superior) seperti perhiasan, pakaian dan pendidikan meningkat
Kearifan lokal PANGAMBAK berpengaruh positif terhadap konsumsi
pokok non pangan. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa tanggungan hutang
nelayan kepada pangambak meningkat sejalan dengan pengeluarannya untuk
non-pangan , karena untuk meminjam kepada pangambak . Bentuk pinjaman
pangambak kepada pendega bisa berupa emas atau uang. Pinjaman yang
berupa emas diberikan dengan alas an sebagai berikut : (1) Pangambak memilki
simpanan emas yang cukup, bagi pedagang besar, jika ada kelebihan
penghasilan atau seluruhnya dibelikan emas. Emas adalah bentuk
investasi.Alasannya emas mudah dijual ketika membutuhkan uang dengan
tingkat penurunan harga yang sedikit, tidak mudah rusak dan kadang harganya
meningkat dengan menurunnya nilai rupiah (Kusnadi, 2000).
42. Pengeluaran Konsumsi Pokok Rumahtangga Pendega
Pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok rumahtangga pendega (KKPP)
merupakan penjumlahan pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok pangan
346
(KKPPP) dan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan (KKPNP), sebagaimana
pada persamaan identitas (42), berikut :
KKPP = KKPPP + KKPNP ………………………………………..(42)
Kebutuhan pokok non-pangan terdiri atas pakaian, perumahan,
kesehatan dan pendidikan. Dengan memperhatikan respon kebutuhan pokok
pangan terhadap pendidikan dan pengalaman pendega (AKRPD = interaksi
antara AKRP * PDPP), dimana jumlah anggota keluarga berinteraksi dengan
tingkat pendidikan pendega. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa tingkat
pendidikan pendega berdampak positif terhadap pola konsumsi dalam
rumahtangga pendega. Semakin tinggi mutu pendididkan dan pengalaman
pendega , maka semakin tinggi mutu konsumsi dalam rumahtangga pendega.