BAB 41. Anestesi untuk Pasien Trauma KONSEP DASAR 1. Penilaian awal dari pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan tersier. Survei primer (primary survey) harus dilakukan dalam tempo 2-5 menit dan sudah mencakup pembagian ABCDE dari traumatologi : Airway ( Jalan napas), Breathing ( Pernapasan), Circulation (Sirkulasi), Disability (gangguan fungsi/ kecacatan), Exposure (eksposur/perlukaan). Resusitasi dan penilaian dilaksanakan bersamaan. Resusitasi pasien trauma termasuk dua fase tambahan yaitu kontrol perdarahan dan terapi luka secara definitif. Survei sekunder dan tersier lanjutan dilaksanakan secara komperhensif tergantung hasil survei primer. 2. Lima keadaan yang meningkatkan resiko adanya instabilitas pada ruas servikal: (1) nyeri pada leher, (2) nyeri alih (distracting) berat, (3) semua gejala dan tanda neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) gangguan kesadaran/ gaduh gelisah. Bila ada salah satu tanda di atas harus dicurigai adanya fraktur servikal. Walaupun dengan kriteria tersebut, insiden terjadinya trauma tulang servikal rata-rata 2%. Insiden instabilitas tulang servikal meningkat 10 % pada kasus-kasus cedara kepala berat.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 41. Anestesi untuk Pasien Trauma
KONSEP DASAR
1. Penilaian awal dari pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi survei primer,
sekunder, dan tersier. Survei primer (primary survey) harus dilakukan dalam tempo
2-5 menit dan sudah mencakup pembagian ABCDE dari traumatologi : Airway
( Jalan napas), Breathing ( Pernapasan), Circulation (Sirkulasi), Disability
(gangguan fungsi/ kecacatan), Exposure (eksposur/perlukaan). Resusitasi dan
penilaian dilaksanakan bersamaan. Resusitasi pasien trauma termasuk dua fase
tambahan yaitu kontrol perdarahan dan terapi luka secara definitif. Survei sekunder
dan tersier lanjutan dilaksanakan secara komperhensif tergantung hasil survei
primer.
2. Lima keadaan yang meningkatkan resiko adanya instabilitas pada ruas servikal: (1)
nyeri pada leher, (2) nyeri alih (distracting) berat, (3) semua gejala dan tanda
neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) gangguan kesadaran/ gaduh gelisah. Bila ada
salah satu tanda di atas harus dicurigai adanya fraktur servikal. Walaupun dengan
kriteria tersebut, insiden terjadinya trauma tulang servikal rata-rata 2%. Insiden
instabilitas tulang servikal meningkat 10 % pada kasus-kasus cedara kepala berat.
3. Hiperekstensi leher dan traksi tulang belakang yang berlebihan harus dihindari bila
adanya kecurigaan instabilitas tulang servikal. Imobilisasi kepala dan leher secara
manual dibantu seorang asisten dengan tujuan menjaga stabilitas tulang leher
selama tindakan laringoskopi ("manual in-line stabilization" or MILS).
4. Terapi utama dari syok hemoragis adalah resusitasi cairan intravena dan transfusi.
Menggunakan kateter berdiameter besar dan multipel di mana akses vena mudah.
5. Infus cepat menggunakan keteter diameter besar dengan cairan hangat sangat
berguna pada perdarahan masif. Temperatur tubuh dijaga dengan diselimuti kain
hangat sehingga hangat dan lembab. Hipotermia dapat memperburuk kondisi
keseimbangan asam basa, menimbulkan koagulopati dan disfungsi otot jantung.
6. Hipotensi pada pasien dengan syok hipovolemik harus dilakukan secara agresif
dengan cairan intravena dan transfusi produk darah, tidak dengan vasopresor
kecuali hipotensi berat yang tidak responsif dengan cairan disertai syok kardiogenik
atau henti jantung.
7. Umumnya obat yang digunakan untuk induksi pada pasien trauma adalah ketamin
dan etomidate. Meskipun telah dilakuan resusitasi cairan adekuat, dosis induksi
propofol yang dibutuhkan dapat diturunkan banyak (80-90%) pada pasien dengan
major trauma. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide biasanya
menstimulasi secara tidak langsung terhadap fungsi jantung, pada pasien syok dan
dengan stimulasi simpatis maksimal dapat bersifat kardiodepresi. Hipotensi juga
transfusi masif, dan keracunan oksigen. Nyatanya pasien trauma sering memiliki resiko
di atas. Walaupun pada rumah sakit modern, angka kematian akibat ARDS masih sekitar
50%. Pada beberapa kasus, ARDS baru timbul saat di ruang operasi. Mirip dengan
ARDS, pneumonia aspirasi yang terjadi sebelum tindakan intubasi di ruang operasi,
dapat membingungkan saat di ruang operasi. Ventilator mekanik dengan mesin anestesi
sering tidak mempu memberikan aliran udara yang cukup pada pasien dengan fungsi
paru jelek; maka dibutuhkan ventilator di intensif care unit, dengan tekanan positif bila
dibutuhkan.
TRAUMA ABDOMEN
Pasien dengan cedera berat harus dicurigai adanya luka abdominal sampai dapat
disingkirkan. Lebih dari 20 % pasien dengan luka intraabdominal tidak merasakan nyeri
atau adanya gejala iritasi peritoneum (defens muskuler, nyeri tekan atau ileus) pada
pemeriksaan pertama. Kehilangan darah banyak ( hemoperitonium akut) dapat timbul
pada luka abdomen ( cedera hepar atau limpa) namun dengan gejala minimal. Trauma
abdomen biasanya dibagi menjadi luka penetrasi (peluru atau tikam) dan luka
nonpenetrasi ( deselerasi, tabrakan atau luka kompresi).
Luka penetrasi biasanya ditandai adanya luka masuk di abdomen atau dada bagian
bawah. Hepar merupakan organ yang paling sering cedera. Pasien dapat dibagi menjadi
tiga grup : (1) tidak ada nadi, (2) hemodinamik tidak stabil (3) stabil. Pasien dengan
kondisi pertama dan kedua ( ditandai gagalnya mencapai tekanan darah sistolik 80-90
mm Hg walaupun diberikan resusitasi cairan 1-2 L) harus dilakukan laparotomy segera.
Baiasnya disertai luka pada pembuluh darah besar atau organ solid lainnya. Pasien stabil
dengan tanda-tanda peritonitis atau episerasi juga harus dilakukan laparatomi secepatnya.
Sebaliknya, pasien hemodinamik stabil dengan luka penetrasi namun tanpa tanda
peritonitis dibutuhkan evaluasi ketat untuk menghindari tindakan laparatomi tidak perlu.
Tanda-tanda cedera intraabdominal adalah : gambaran udara bebas di bawah diafragma
pada rongten thorak, darah pada nasogastrik tube, hematuria, dan darah pada rektal.
Evaluasi lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan fisik lengkap, ekpolrasi luka,
diagnostic peritoneal lavage (DPL), FAST scans,CT scan abdomen , dan laparoskopi
diagnostik. Pemeriksaan FAST dan CT scan abdomen mengurangi pemeriksaan DPL.
Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
trauma, dan merupakan penyebab utama cedera intaabdominal. Paling sering adalah
robekan atau ruptur limpa. Hasil pemeriksaan FAST positif pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dan trauma tumpul merupakan indikasi operasi secepatnya.
Bila pemeriksaan FAST negatif atau equivocal pada pasien yang tidak stabil, tanpa tanda
peritonitis, dicari penyebab perdarahan atau syok lainnya. Penatalaksanaan pasien dengan
hemodinamik stabil dengan trauma tumpul abdomen tergantung hasil pemeriksaan
FAST. Bila hasilnya positif, keputusan laparoskopi atau laparatomi ditentukan oleh
pemeriksaan CT abdomen. Bila hasilnya negatif, dilakukan observasi dengan
pemeriksaan lanjutan dan bila perlu pemeriksaan FAST diulangi.
Hipotensi berat dapat terjadi saat abdomen dibuka sebagai efek tamponade saat
penekanan akibat perdarahan dalam rongga abdomen ( dan distensi usus) mendadak
berkurang. Bila waktu mencukupi, persiapan resusitasi cairan dan darah dengan infus
cepat dilakukan sebelum laparotomi. Nitrous oxide dihindari karena dapat menyebabkan
distensi usus. Nasogastrik tube dapat membantu dilatasi gaster. Kemungkinan transfusi
darah masif ( lihat BAB 29) harus disiapkan, terutama pada kasus trauma abdomen
dengan cedera vaskuler, hepar, lien, ginjal, fraktur pelvis, dan perdarahan retroperitoneal.
Transfusi dapat menyebabkan hiperkalemia sehingga perlu ditangani secara khusus
( lihat BAB 28 dan 29).
Perdarahan abdominal masif membutuhkan tekanan pada daerah yang berdarah
atau klem pada aorta abdominal sampai sumber perdarahan ditemukan dan resusitasi
telah dilakukan. Klem aorta terlalu lama dapat menyebabkan cedera iskemik pada organ
hati, ginjal, intestinal, dan dalam beberapa kasus menyebabkan sindrom kompartemen
pada ekstremitas bawah, yang kemudian menyebabkan rhabdomiolisis dan gagal ginjal
akut. Penggunaan infus manitol dan loop diuretik ( sebelum klem aorta) selama resusitasi
cairan dapat mencegah gagal ginjal, namun masih kontroversial. Resusitasi cepat dengan
cairan dan darah, disertai kontrol perdarahan, mempercepat penggunaan klem aorta
sehingga mencegah komplikasi.
Edema usus secara progresif akibat cedera dan resusitasi cairan dapat menyulitkan
saat menutup abdomen. Bila tetap dipaksa akan meningkatkan tekanan intraabdominal,
menyebabkan sindrom kompartement pada abdomen yang akhirnya terjadi iskemik ginjal
dan limpa. Oksigenisasi dan ventilasi memperburuk keadaan, meskipun dengan paralisis
otot total. Akibatnya terjadi oliguria dan penurunan fungsi ginjal. Pada kasus ini,
abdomen dibiarkan terbuka ( ditutup plastic bag steril) selama 48-72 jam sampai edema
berkurang dan abdomen dapat ditutup kembali.
CEDERA EKSTREMITAS
Cedera ekstremitas dapat mengancam nyawa bila terjadi cedera pembuluh darah dan
komplikasi berupa infeksi sekunder. Cedera vaskuler dapat menyebabkan perdarahan
masif dan mengancam viabilitas ekstemitas. Sebagai contoh, fraktur femoral dapat
menyebabkan kehilangan 2-3 unit darah, dan fraktur pelvis tertutup dapat menyebabakan
kehilangan darah lebih banyak yang dapat menimbulkan syok hipovolemik. Penanganan
yang terlambat atau reposisi yang salah dapat memperburuk keadaan dislokasi dan
menyebabkan kerusakan neurovaskuler. Embolli lemak berhubungan dengan fraktur
pelvis dan fraktur tulang panjang yang menyebabkan insufisiensi pulmoner, disritmia,
petekie kulit, dan disorientasi mental yang terjadi 1-3 hari setelah kejadian ( lihat BAB
40). Diagnosis laboratorium untuk emboli lemak dilihat dari peningkatan lipase, lemak
dalam urin, dan trombositopenia.
Sindrom kompartemen dapat terjadi akibat hematom intramuskuler luas, crush
injury, fraktur, dan cedera amputasi. Peningkatan tekanan fasial interna disertai
penurunan tenanan arteri menyebabkan iskemia, hipoksia jaringan, dan pembengkakan
progresif. Pada pembahasan sebelumnya, rhabdomiolisis dan gagal ginjal dapat terjadi.
Reperfusi ketika tekanan darah sudah kembali normal justru menyebabkan cedera lebih
buruk dan edema lebih parah. Terutama pada lengan bawah dan kaki bawah. Penegakan
diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan tekanan di kompartemen
langsung : legih besar 45 mm Hg atau diantara 10-30 mm Hg dari tenakan darah
diastolik. Fasiotomi awal untuk menyelamatkan tungkai sangat dianjurkan.
Teknik bedah terkini telah dapat menyambungkan kembali anggota tubuh yang
teramputasi (lihat BAB 40). Bagian tubuh bila dibekukan dapat disambungkan dalam
waktu 20 jam; bagian tubuh yang tidak dibekukan dapat disambungkan dalam waktu
kurang dari 6 jam. Bila cedera bersifat lokal, teknik anestesi regional (seperti blok
brankial atau pleksus interscalene) direkomendasikan untuk meningkatkan aliran darah
tepi dengan intervensi simpatis. Bila menggunakan anestesi umum, pasien harus tetap
hangat, dan menghindari pasien menggigil untuk maksimalisasi perfusi.
DISKUSI KASUS : PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA
PASIEN LUKA BAKAR
Laki-laki, 43 tahun, dengan luka bakar luas 7 hari sebelumnya, direncanakan
untuk eksisi dan grafting dengan anestesi umum.
Bagaimana Klasifikasi dari Luka Bakar?
Luka bakar digambarkan berdasarkan luas/ persentase luka bakar dibandingkan
luas permukaan tubuh dan kedalaman luka bakar tersebut. Angka harapan hidup
dipengaruhi persentase permukaan tubuh yang tersisa dan umur pasien. (Gambar 41-1).
Aturan sembilan persen (The rule of nines) membagi permukaan tubuh menjadi area-area
dengan luas 9 % dari keseluruhan atau kelipatannya ( Gambar 41-2). Luas permukaan
juga dihitung dengan cara dibandingkan dengan luas telapak tangan pasien itu sendiri,
yang mewakili 1 % luas permukaan tubuhnya.
Gambar 41–1.
Burn size (percent TBSA)
Kurva Sigmoid menunjukkan angka ketahanan hidup dibandingkan persentase luas luka bakar dan usia. Kurva ini dibuat berdasarkan analisis menjadi tujuh kategori berdasarkan umur.
(Disadur dari Merrell SW et al: Increased survival after major thermal injury. Am J Surg 1987;154:623.)
Luka bakar derajat pertama terbatas pada epitel, luka bakar derajat kedua
mencapai dermis, dan luka bakar derajat ketiga merusak seluruh lapisan kulit. Luka bakar
derajat ketiga justru merusak ujung-ujung saraf sehinga tidak terasa nyeri seperti luka
derajat kedua. Bila terjadi luka bakar derajat kedua sampai 25 % dari luas total
permukaan tubuh atau luka bakar derajat ketiga sampai 10 % dari luas total permukaan
tubuh maka termasuk luka bakar luas. Luka bakar listrik merupakan kondisi yang lebih
serius daripada penampakkan luarnya karena biasanya terjadi kerusakan jaringan.
Keterlibatan pulmoner, terutama pneumonia, meingkatkan angka kematian.
Gambar 41–2.
Penilaian luas permukaan tubuh dari luka bakar.
(Disadur dari Tierney LM Jr et al: Current Medical Diagnosis & Treatment 2002. McGraw-Hill, 2002.)
Bagaimana Hubungan Antara Luka Bakar Luas dengan Patofisiologi Pulmoner?
Fungsi paru dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Luka bakar inhalasi
langsung dapat menyebabkan edema saluran nafas atas sehingga dapat meyebabkan
obstruksi yang mengancam jiwa. Selain itu, saluran nafas bawah juga dapat cedera akibat
uap panas atau cedera akibat paparan asap dan racun hasil pembakaran. Deaktivasi
surfaktan dapat menyebakan atelektasis dan perlengketan paru. Kecurigaan adanya luka
bakar inhalasi bila ditemukan stridor, suara serak, luka bakar pada wajah, rambut hidung
atau bulu mata terbakar, jelaga di sputum atau orofaring, respitaroy distress, dan riwayat
luka bakar terjadi di ruangan tertutup. Banyak pasien luka bakar inhalasi tidak
menunjukkan tande sampai beberapa jam setelah paparan.
Luka bakar luar dapat mempengaruhi fungsi paru meskipun tidak terdapat luka
langsung di paru akibat luka bakar. Misalnya, permeabilitas sistem mikrovaskuler
meningkat yang menyebabkan edema paru dan acute respiratory distress syndrome
(ADRS). Luka bakar yang terjadi sirkumferensial/sekeliling thorak menurunkan
komplain dinding dada dan menghambat gerakan inspirasi.
Inhalasi korbon dioksida menggeser kurva oxyhemoglobin ke kiri (berpengaruh
terhadap masukan oksigen di jaringan) dan menurunkan saturasi oksigen. PaO2 dan warna
kulit dapat normal, namun konsentrasi karboxyhemoglobin (COHb) meningkat (normal
COHb < 1.5% pada nonperokok dan < 10% pada perokok). Oksimeter dengan dua
panjang gelombang tidak dapat mendeteksi COHb (lihat BAB 6). Daya ikat korbon
monoksida dengan hemoglobin 200 lebih kuat dibandingkan oksigen. Pemberian 100 %
oksigen akan mempersingkat waktu paruh COHb dari 4 jam sampai tinggal 1 jam di
udara ruangan. Penggunaan oksigen hiperbarik masih kontroversial, namun dapat
dipikirkan bila tersedia. Pelepasan hidrogen sianida dari bahan-bahan sintetik yang
terbakar akan menyebabkan keterbatasan kemampuan oksigen ( kadar sianida normal <
0.2g/mL) dan menjadi salah satu indikasi terapi oksigen hiperbarik.
Peningkatan metabolisme tejadi pada proses penyembuhan luka bakar. Kondisi
hipermetabolik ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2.
Karena itu dibutuhkan peningkatan ventilasi alveolar dan pemberian oksigen.
Apa saja Efek Kardiovaskuler Akibat Luka Bakar Luas?
Peningkatan permeabilitas pada bagian yang terluka menyebabkan adanya
pergesaran cairan dari plasma ke ruang interstisial. Meskipun terjadi kerusakan sel darah
merah, hematokrit mungkin meningkat akibat peningkatan konsentrasi volume
intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler ini terutama terjadi pada 24 jam pertama
dan dapat digantikan oleh cairan kristaloid ( Ringer laktat 2-4 mL/kg dikali persen luas
luka bakar). Penurunan kardiak output akibat berkurangnya volume plasma dan faktor
depresi miokardium. Perfusi organ vital dimonitor dengan output urin. Bila reperfusi
cairan tidak dapat meningkatkan jumlah diuresis ( 1 mL/kg/jam), pemberian inotropik
seperti dopamin dapat berguna.
Setelah 24-48 jam, permeabilitas kapiler telah kembali normal, cairan koloid