61 BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Sistem Pemungutan Penerimaan Pabean & PDRI Bea masuk, cukai, dan PDRI merupakan elemen perpajakan yang termasuk ke dalam golongan pajak eksklusif. Tidak semua wajib pajak pribadi atau badan berkewajiban membayarkan bea masuk, cukai ataupun pajak dalam rangka impor, kecuali jika wajib pajak tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan impor barang. Bea masuk, Cukai, dan Pajak dalam rangka impor (PDRI) akan dipungut oleh instansi pemerintah yang secara khusus mengurusi kegiatan ekspor impor di Indonesia atau yang biasa disebut dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk memungut Bea masuk dan cukai, serta membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memungut dan menghitung PDRI. Tugas dan target utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah memungut bea masuk dan cukai atas barang-barang yang berasal dari luar daerah pabean (luar negeri). Besarnya tarif untuk setiap elemen dalam menghitung dan memungut bea masuk, cukai dan PDRI harus seusai dengan besarnya tarif yang telah ditentukan dalam perundang-undangan. Bea masuk merupakan sebuah elemen penting dalam proses penghitungan , karena besar/ kecilnya bea masuk, akan mempengaruhi besar kecilnya pajak impor yang dipungut, termasuk PPh 22 impor, PPN impor, maupun PPnBM impor. Semakin besar bea masuk yang dipungut, semakin besar PPh 22 impor, PPN & PPNBm impor yang diterima, begitu juga sebaliknya.
32
Embed
BAB 4 PEMBAHASAN - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2012-2-00740-AK Bab4001.pdfalur dari sistem pemungutan bea masuk, cukai, dan PDRI antar KPPBC adalah sama (Lampiran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
61
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Sistem Pemungutan Penerimaan Pabean & PDRI
Bea masuk, cukai, dan PDRI merupakan elemen perpajakan yang
termasuk ke dalam golongan pajak eksklusif. Tidak semua wajib pajak pribadi
atau badan berkewajiban membayarkan bea masuk, cukai ataupun pajak dalam
rangka impor, kecuali jika wajib pajak tersebut melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan impor barang. Bea masuk, Cukai, dan Pajak dalam rangka
impor (PDRI) akan dipungut oleh instansi pemerintah yang secara khusus
mengurusi kegiatan ekspor impor di Indonesia atau yang biasa disebut dengan
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk memungut Bea masuk dan
cukai, serta membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memungut dan
menghitung PDRI.
Tugas dan target utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah
memungut bea masuk dan cukai atas barang-barang yang berasal dari luar daerah
pabean (luar negeri). Besarnya tarif untuk setiap elemen dalam menghitung dan
memungut bea masuk, cukai dan PDRI harus seusai dengan besarnya tarif yang
telah ditentukan dalam perundang-undangan. Bea masuk merupakan sebuah
elemen penting dalam proses penghitungan , karena besar/ kecilnya bea masuk,
akan mempengaruhi besar kecilnya pajak impor yang dipungut, termasuk PPh 22
impor, PPN impor, maupun PPnBM impor. Semakin besar bea masuk yang
dipungut, semakin besar PPh 22 impor, PPN & PPNBm impor yang diterima,
begitu juga sebaliknya.
62
Terdapat dua jenis KPPBC di Indonesia, dan setiap jenis KPPBC
memiliki sistem pemungutan yang sedikit berbeda. Namun secara keseluruhan,
alur dari sistem pemungutan bea masuk, cukai, dan PDRI antar KPPBC adalah
sama (Lampiran 6). Pada kesempatan ini, Penulis akan membahas beberapa
perbandingan yang terjadi antara kedua KPPBC yang jika dilihat berdasarkan
wilayah pemungutannya, berbeda. Perbandingan akan dilakukan antara KPPBC
TMP A Bekasi yang terdapat di dalam kawasan berikat, dan KPPBC TMP
Soekarno-Hatta yang berlokasi di wilayah bebas berikat atau wilayah umum.
Penerapan sistem pemungutan bea masuk dan cukai tiap KPPBC akan
berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi kinerja pegawai serta penerimaan
pabean untuk mendapatkan hasil yang optimal.
4.1.1 KPPBC TMP A Bekasi
Seperti yang sudah Peneliti jelaskan pada bab sebelumnya, KPPBC TMP
A Bekasi adalah kantor bea cukai yang berlokasi di dalam kawasan berikat, yang
memiliki sistem pemungutan berbeda dengan kantor bea cukai lain seperti
KPPBC TMP Soekarno-Hatta. Pada hakikatnya, setiap importir yang memiliki
usaha dan izin wilayah berikat, berkewajiban membayarkan bea masuk
(penjualan lokal), cukai (jika ada), dan PDRI-nya kepada petugas bea cukai tidak
pada saat barang impor tersebut datang ke wilayah pabean, namun pada saat
terjadinya penjualan setelah barang tersebut diproduksi menjadi sebuah barang
jadi. Untuk pengimpor yang mendapatkan izin usaha di dalam kawasan berikat,
mereka mendapatkan fasilitas untuk dibebaskan dari pembayaran bea masuk. Bea
masuk yang seharusnya dibayarkan oleh importir akan ditangguhkan oleh negara,
sehingga yang mereka bayarkan adalah nominal pajak dalam rangka impor dan
cukai jika termasuk BKC. Sebagian besar barang impor yang masuk ke dalam
63
kawasan berikat adalah barang yang bersifat bahan baku atau bahan setengah
jadi, yang kemudian diolah menjadi sebuah barang jadi yang kemudian siap
untuk diekspor kembali.
Barang impor yang masuk melalui pelabuhan udara, laut atau darat,
langsung dikirimkan atau diteruskan ke pabrik dimana importir tersebut
menjalankan usahanya (kawasan berikat). Sebelum barang tersebut diteruskan ke
dalam pabrik, importir harus memenuhi beberapa dokumen yang menjadi
pelengkap kelayakan barang tersebut, seperti PIB BC 2.3 (Lampiran 1), L/C,
AWB, API, NIK. Dokumen PIB yang diserahkan oleh pengusaha yang memiliki
izin usaha di kawasan berikat ini, berupa PIB BC 2.3 yang berarti dokumen
tersebut hanya dipergunakan oleh importir yang memiliki izin usaha di dalam
kawasan berikat.
Setelah dokumen-dokumen penunjang sudah lengkap, barang impor
tersebut dapat dibawa dari TPS (Tempat Penimbunan Sementara) ke pabrik
importir. Namun dikarenakan banyakanya permasalahan seputar kegiatan
impor yang bersifat ilegal, maka dari itu setiap barang yang masuk ke dalam
parbik, akan diperiksa kembali oleh hanggar yang bertugas, kemudian importir
harus menyerahkan dokumen-dokumen penunjang impor yang dimilikinya,
sampai barang tersebut diizinkan masuk ke dalam pabrik mereka.
Sebelum proses pemotongan pajak impor terjadi, terdapat beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan oleh importir sampai barang tersebut dapat
diekspor kembali. Pertama. importir harus meminta izin kepada bea cukai yang
berwenang di wilayah kerjanya untuk melakukan impor atas bahan-bahan baku
atau setengah jadi. Setelah izin yang diajukan sudah diterima, importir harus
64
melengkapi dokumen-dokumen pelengkap untuk memenuhi izin yang sudah
diberikan, sehingga importir dapat melakukan impor sesuai dengan izin yang
diminta. Setelah barang yang diimpor tersebut datang ke pabrik, petugas bea
cukai akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen, serta
kebenaran barang tersebut secara menyeluruh. Jika barang yang datang tersebut
sudah benar dan sesuai dengan izin atau dokumen yang diserahkan, barang
tersebut diperbolehkan untuk masuk ke dalam pabrik/ gudang penyimpanan
untuk diolah menjadi barang jadi.
Ketika importir mengeluarkan barang yang sudah jadi/ masih dalam
proses pengerjaan dari pabrik, importir harus menyerahkan beberapa dokumen
khusus, menyesuaikan dari tindakan apa yang dilakukan perusahaan, seperti:
1. Dokumen BC 3.0
Dokumen ini diperuntukan untuk mereka yang memiliki izin usaha
wilayah/ kawasan berikat yang akan melakukan penjualan barang
secara ekspor ke luar negeri. Selain itu, dokumen ini juga dapat
digunakan untuk melakukan re-ekspor atas bahan baku yang rusak
atau tidak sesuai ke negara pengekspor bahan baku tersebut.
Dokumen BC 3.0 harus dicantumkan ketika melakukan kedua
kegiatan tersebut.
2. Dokumen BC 2.7
Dokumen ini digunakan untuk importir saat akan melakukan
pengeluaran barang dari pabriknya perihal: Subkontrak,
peminjaman, maupun pengembalian ke kawasan berikat/ gudang
berikat lainnya.
65
3. Dokumen BC 2.6.1 (Dengan jaminan) (Lampiran 2)
Dokumen ini digunakan oleh importir ketika akan melakukan
kegiatan seperti Subkontrak, peminjaman, dan reparasi. Biasanya,
dokumen BC 2.6.1 digunakan pada saat perusahaan memiliki
keterbatasan dalam perakitan atau perbaikan sebuah barang. Dengan
begitu, perusahaan akan memberikan barang tersebut untuk dirakit/
reparasi kepada perusahaan cabang di dalam negeri. Importir yang
menggunakan dokumen ini, harus membayarkan uang jaminan
sesuai dengan besarnya nominal yang ditentukan bea dan cukai.
Jaminan tersebut dapat diambil kembali ketika barang tersebut
sudah kembali ke pabrik asal.
4. Dokumen BC 4.1
Dokumen ini digunakan ketika importir akan melakukan kegiatan
seperti ex-subkontrak dan ex-reparasi. Kegiatan yang dilakukan
tidak berbeda dengan kegiatan menggunakan dokumen BC 2.6.1,
namun perbedaannya adalah barang tersebut dikirimkan ke
perusahaan cabang yang berada di luar negeri.
5. Dokumen BC 2.5 (Lampiran 5)
Dokumen ini digunakan ketika perusahaan mengeluarkan barang
jadi untuk diperjualkan di dalam negeri. Biasanya dokumen ini
digunakan bersamaan dengan dokumen BC 3.0. Jadi, perusahaan
akan melakukan penjualan sebesar 75% untuk ekspor menggunakan
BC 3.0, dan 25% untuk penjualan dalam negeri menggunakan BC
2.5.
66
Dikarenakan banyaknya importir yang berlokasi di dalam kawasan
berikat tidak sebanding dengan banyaknya petugas hanggar yang bertugas,
maka KPPBC TMP A Bekasi berinisiatif membuat wilayah kerja untuk setiap
hanggar. Terhadap satu hanggar yang terdiri dari Kasubsi Hanggar, Pemeriksa,
dan Administrasi ditugaskan untuk menjaga dan menangani satu blok wilayah
kerja, yang berarti satu Hanggar dapat menangani sekitar Sembilan perusahaan
pengimpor.
Pemeriksaan barang dilakukan secara menyeluruh dalam satu kontainer.
Jika barang yang diperiksa oleh hanggar sudah sesuai dengan surat bukti dan
izin barang impor, maka barang tersebut dapat diteruskan ke dalam pabrik
untuk diolah. Tidak ada suatu keharusan atau deadline untuk importir
menjualkan barang yang sudah diolah tersebut. Jika importir tidak melakukan
penjualan dari barang impor yang telah diolah menjadi barang jadi, maka
petugas bea cukai tidak mempunyai wewenang atau hak untuk menagih atau
memungut pajak impornya. Petugas bea cukai berkewajiban menagih atau
memungut pajak impor jika terjadi kegiatan penjualan yang dilakukan importir,
dan penghitungan pajak pun harus sesuai dengan barang yang dijual, bukan
berdasarkan bahan baku yang masuk pada waktu itu.
Di dalam kawasan berikat, bahan baku impor yang sudah diolah
menjadi barang jadi harus dijual kembali untuk diekspor. Sebagian besar,
pabrik yang berada di dalam kawasan berikat merupakan perusahaan vendor
yang bertugas mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi menjadi barang
jadi yang kemudian hasilnya dijual kembali dengan cara di ekspor. Persentase
penjualan barang jadi dari wilayah berikat untuk ekspor adalah 75% dan 25%
untuk penjualan lokal atau 100% penjualan untuk diekspor. Jika penjualan
67
lokal yang dilakukan melebihi batas yang ditentukan tersebut, importir harus
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, seperti sanksi
administrasi, pembekuan izin berikat, sampai pemblokiran, tergantung besar
kecil kesalahan yang dilakukan.
Indonesia adalah negara yang sistem perpajakannya menggunakan self
assessment system, begitu juga dalam kegiatan impor di Indonesia. Importir
menghitung sendiri jumlah pungutan yang harus dibayarkan atas barang yang
dijual kembali (ekspor + lokal). Dengan menggunakan dokumen PIB BC 3.0
dan PIB BC 2.5 (Lampiran 5) (jika ada penjualan dalam negeri), importir
berkewajiban melaporkannya pada petugas bea cukai. Setelah barang yang
diperiksa secara fisik sudah sesuai dengan dokumen yang dilampirkan, barang
tersebut sudah dapat diekspor kembali. Sebelum barang yang akan diekspor
tersebut dikeluarkan dari dalam pabrik, perusahaan harus menyerahkan
dokumen PIB BC 3.0 serta PIB BC 2.5 (jika ada penjualan dalam negeri).
Seperti dokumen PIB lainnya, dokumen ini berisikan penghitungan atas jumlah
barang yang akan dipungut pajak impor dan bea masuknya (penjualan lokal).
Setelah dokumen-dokumen selesai diserahkan kepada petugas hanggar, barang
akan diperiksa secara menyeluruh sampai petugas mengizinkannya untuk
dijual.
4.1.2 KPPBC TMP Soekarno-Hatta
Berbeda dari KPPBC TMP A Bekasi, KPPBC TMP Soekarno-Hatta
merupakan salah satu bea cukai yang berdiri dan berlokasi di dalam wilayah
umum. Tentunya sistem pemungutan yang dilakukan bea cukai Soekarno-Hatta
berbeda dengan bea cukai Bekasi. Secara teknis, bea cukai Soekarno-Hatta
68
merupakan salah satu bea cukai yang memiliki sistem pemungutan yang cukup
mudah jika dibandingkan dengan bea cukai di wilayah berikat, namun jenis
barang yang masuk ke wilayah pabean melalui bea cukai Soekarno-Hatta lebih
beragam jika dibandingkan dengan wilayah berikat yang sebagian besar
merupakan barang industri. Selain itu, bea cukai Soekarno-Hatta merupakan
fasilitator bagi bea cukai wilayah berikat yang barangnya masuk melalui
Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa di dalam
KPPBC Soekarno-Hatta terdapat berbagai macam jenis barang yang masuk ke
wilayah pabean. Cara yang digunakan importir untuk memasukan barangnya
pun berbeda-beda. Terdapat empat kategori cara/ jalur yang biasa digunakan
importir:
1. Bagasi Penumpang
Penumpang dapat membawa barang yang dibelinya dari luar
negeri dengan sendiri melalui bagasi penumpang. Tidak ada
persyaratan khusus importir yang harus dipenuhi penumpang.
Penumpang tidak harus memiliki API (Angka Pengenal Impor) atau
NIK (Nomor Induk Kepabeanan), selain itu penumpang tidak
diperbolehkan untuk membawa barang terlarang ke dalam negeri.
Pada umumnya, barang impor yang dibawa oleh penumpang
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bawaan tangan Hand Carry dan
melalui kurir atau kargo. Barang penumpang yang dikirim melalui
kurir atau kargo akan sampai ke dalam daerah pabean (Indonesia)
maksimal 15 hari setelah atau 30 hari sebelum kedatangan
penumpang. Barang yang dibawa penumpang tersebut akan
69
diberikan pembebasan bea masuk, jika harga barang tersebut tidak
melebihi $250,- untuk 1 orang atau tidak melebihi $1000,- untuk 1
keluarga yang terdiri dari 4 orang atau lebih. Jika melebihi,
penumpang akan dikenakan bea masuk dan pajak impor terkait
(PPN & PPh) yang dinilai oleh petugas.
Selain itu, bea cukai juga menetapkan kebijakan pembebasan
cukai untuk barang kena cukai yang dibawa dari luar daerah pabean
seperti tembakau (rokok, cerutu,dsb) atau minuman beralkohol.
Untuk tembakau, penumpang hanya boleh membawa maksimal 200
batang rokok atau 25 batang cerutu dan maksimal 1 liter minuman
beralkohol. Jika penumpang membawa barang kena cukai yang
melebihi kebijakan diatas, penumpang akan dikenakan pungutan
cukai sesuai tarif dan penilaian petugas.
Barang-barang yang dibawa dari luar dartah pabean tersebut
akan dibebaskan oleh petugas jika penumpang mendapat pernyataan
persetujuan petugas Hand Carry atau jika penumpang telah
melengkapi dokumen PIB-K, Fotocopy Paspor, dan Boarding pass
(Bagasi tanpa pendamping).
2. Layanan Surat
Barang kiriman juga dapat dikirim melalui jasa layanan surat.
Untuk menggunakan jasa layanan surat, importir tidak harus
memiliki API atau NIK sebagai syarat utama. Selain itu, importir
juga diberi persyaratan bahwa tidak boleh melakukan pengiriman/
pemesanan barang yang dilarang oleh negara. Jika peraturan
70
tersebut dilanggar, importir akan mendapatkan sanksi sesuai
ketetapan yang berlaku
Bea cukai memberi kebijakan atas pembebasan cukai untuk
setiap pengiriman, yaitu sebesar maksimal $50,- untuk FOB setiap
pengiriman. Selain itu, bea cukai juga memberikan tunjangan
barang atas barang kena cukai setiap pengiriman, seperti maksimal
40 batang rokok atau 10 batang cerutu dan maksimal 350 mL
minuman beralkohol.
Pengiriman melalui jalur layanan surat ini, dibagi menjadi 2
jenis, yaitu pengiriman melalui EMS atau pengiriman dengan paket
regular atau paket biasa. Untuk pengiriman melalui jasa EMS,
paket atau barang kiriman akan diperiksa dan diselesaikan oleh
pejabat bea cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sedangkan
kiriman yang dilakukan dengan menggunakan paket regular akan
diperiksa dan diselesaikan oleh pejabat bea cukai Kantor Pos Pasar
Baru.
3. Jasa Kurir (PJT = Perusahaan Jasa Titipan)
Tidak ada persyaratan khusus untuk melakukan impor melalui
jalur atau penggunaan PJT ini. importir memiliki persyaratan untuk
tidak mengirimkan barang yang dilarang oleh negara, jika importir
diketahui memesan dan menerima barang kiriman yang terlarang,
importir akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketetapan peraturan
yang berlaku. Selain itu, importir tidak berkewajiban memiliki API
dan NIK jika ingin menggunakan PJT untuk mengimpor barang.
71
Dalam melakukan kegiatan impor menggunakan PJT, importir
tidak boleh melebihi batas berat yang telah ditentukan untuk setiap
pengiriman, yaitu maksimal 100 kg. barang yang dikirim melalui
PJT yang beratnya dibawah 100 kg, dianggap sebagai barang
kiriman. Namun, jika barang yang dikirim melebihi batas yang
ditentukan, barang sudah dianggap sebagai barang impor. Dengan
begitu, importir yang belum memiliki API & NIK harus mengurus
kepemilikan API & NIK, dan kemudian menyelesaikan dokumen-
dokumen yang digunakan untuk melakukan impor barang.
Ada dua pilihan ketika importir mengimpor barang melalui PJT
dengan melebihi kapasitas untuk satu kali pengiriman. Importir
tersebut diminta untuk menyelesaikan dokumen impor hingga tuntas
ditambah dengan membayarkan sanksi/ denda sesuai perhitungan
pejabat bea cukai, atau melakukan ekspor kembali atas barang yang
salah kirim kepada pengekspor asal, dan biaya pengiriman
ditanggung oleh importir di Indonesia. Berikut adalah sebagian
daftar nama PJT yang digunakan di Bandara Internasional