BAB 4 KARAKTERISTIK SPEKTRUM KELISTRIKAN BUAH JERUK KEPROK GARUT Pendahuluan Setiap bahan memiliki sifat listrik yang khas dan besarnya sangat ditentukan oleh kondisi internal bahan tersebut seperti momen dipol listrik, komposisi bahan kimia, kandungan air, keasaman dan sifat internal lainnya (Hermawan 2005). Sifat listrik dari bahan yang diberikan arus listrik secara mikroskopik terkait dengan mobilitas listrik atau penyeragaman arah dipol listriknya akibat gangguan listrik eksternal (Kumar 2007). Kemampuan penyeragaman momen dipol merupakan ciri khas dari molekul-molekul yang berkorelasi terhadap sifat-sifat dielektrik, fisiko-kimia dan biologis (Harmen 2001). Karakteristik spektoskopi listrik pada bahan bisa dianalisa dengan pendekatan rangkaian elektronik antara resistor dan kapasitor secara paralel (Choi et al. 2001). Nilai dielektrikum dan kelistrikan bahan ada yang bersifat nonlinier (Zhou dan Boggs 2001). Pengukuran spektra impedansi listrik pada bahan-bahan biologi dikenal dengan istilah bioimpedance spectroscopy. Bahan biologi termasuk buah-buahan menunjukan suatu fenomenan kebergantungan sifat listrik terhadap frekuensi sinyal. Kebergantungan frekuensi ini terkelompokan dalam beberapa daerah jangkauan frekuensinya yang dikenal dengan frequency-dependent dispersion regions (Schwan 1957 ). Daerah frekuensi tersebut adalah daerah α-dispersion yang terjadi pada frekuensi rendah, daerah β-dispersion yang terjadi pada frekuensi pertengahan, dan daerah γ-dispersion pada frekuensi tinggi (Schwan 1994). Ilustrasi impedansi sebagai fungsi frekuensi untuk bahan biologi secara umum diperlihatkan pada Gambar 4.1. Berdasarkan literatur, meskipun tiga daerah frekuensi ini selalu terkait dengan fenomena biofisika partikel, namun dispersinya tidak hanya disebabkan oleh fenomena relaksasi (Pethig 1979; Pethig dan Kell 1987). Pada daerah γ- dispersion terjadi pada frekuensi tinggi (seperti di atas 100 MHz) secara mendasar tergantung pada relaksasi dipol permanen dari molekul yang kecil seperti molekul air. Daerah β-dispersion mencakup frekuensi pertengahan mulai dari orde kHz sampai orde MHz yang rendah. Fenomena relaksasi pada daerah tersebut tergantung jenis bahan dan fenomena efek Maxwell–Wagner. Fenomena ini terjadi pada bahan-bahan biologi yang tidak homogen seperti suspensi sel dalam larutan dan tergantung pada interface polarization (Hanai 1960). Pada daerah dan -dispersion cukup jelas terbedakan, namun fenomena relaksasi untuk molekul yang kecil memiliki karakter yang sama pada daerah γ-dispersion. Kasus- kasus ini tetap dapat dibandingkan dengan daerah γ-dispersion, tapi relaksasi yang terjadi bukan karena dipol permanen tetapi karena efek muatan listrik yang disebabkan oleh medan listrik. Penelitian teoritis pertama telah dilakukan oleh Pauly dan Schwan (Damez et al. 2007) dan kemudian dilengkapi oleh Asami, Hanai, dan Koizumi (1980). Schwan menunjukkan bahwa hasil pengukuran yang sangat ketat memperlihatkan adanya tumpang tindih parsial dari fenomena relaksasi di daerah -dispersion yang dapat sebagian dikaitkan dengan efek Maxwell-Wagner dari struktur intraseluler. Hal ini menyebabkan beberapa penulis untuk membagi daerah -dispersion menjadi dua daerah sub-dispersi, 1 dan 2 (Asami dan Yonezawa 1996). Seperti dilansir Pliquett, Altmann,
23
Embed
BAB 4 KARAKTERISTIK SPEKTRUM KELISTRIKAN BUAH … fileSetiap bahan memiliki sifat listrik yang khas dan besarnya sangat ditentukan oleh kondisi internal bahan tersebut seperti momen
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 4
KARAKTERISTIK SPEKTRUM KELISTRIKAN BUAH JERUK
KEPROK GARUT
Pendahuluan
Setiap bahan memiliki sifat listrik yang khas dan besarnya sangat ditentukan
oleh kondisi internal bahan tersebut seperti momen dipol listrik, komposisi bahan
kimia, kandungan air, keasaman dan sifat internal lainnya (Hermawan 2005). Sifat
listrik dari bahan yang diberikan arus listrik secara mikroskopik terkait dengan
mobilitas listrik atau penyeragaman arah dipol listriknya akibat gangguan listrik
eksternal (Kumar 2007). Kemampuan penyeragaman momen dipol merupakan
ciri khas dari molekul-molekul yang berkorelasi terhadap sifat-sifat dielektrik,
fisiko-kimia dan biologis (Harmen 2001). Karakteristik spektoskopi listrik pada
bahan bisa dianalisa dengan pendekatan rangkaian elektronik antara resistor dan
kapasitor secara paralel (Choi et al. 2001). Nilai dielektrikum dan kelistrikan
bahan ada yang bersifat nonlinier (Zhou dan Boggs 2001).
Pengukuran spektra impedansi listrik pada bahan-bahan biologi dikenal
dengan istilah bioimpedance spectroscopy. Bahan biologi termasuk buah-buahan
menunjukan suatu fenomenan kebergantungan sifat listrik terhadap frekuensi
sinyal. Kebergantungan frekuensi ini terkelompokan dalam beberapa daerah
jangkauan frekuensinya yang dikenal dengan frequency-dependent dispersion
regions (Schwan 1957 ). Daerah frekuensi tersebut adalah daerah α-dispersion
yang terjadi pada frekuensi rendah, daerah β-dispersion yang terjadi pada
frekuensi pertengahan, dan daerah γ-dispersion pada frekuensi tinggi (Schwan
1994). Ilustrasi impedansi sebagai fungsi frekuensi untuk bahan biologi secara
umum diperlihatkan pada Gambar 4.1.
Berdasarkan literatur, meskipun tiga daerah frekuensi ini selalu terkait
dengan fenomena biofisika partikel, namun dispersinya tidak hanya disebabkan
oleh fenomena relaksasi (Pethig 1979; Pethig dan Kell 1987). Pada daerah γ-
dispersion terjadi pada frekuensi tinggi (seperti di atas 100 MHz) secara mendasar
tergantung pada relaksasi dipol permanen dari molekul yang kecil seperti molekul
air. Daerah β-dispersion mencakup frekuensi pertengahan mulai dari orde kHz
sampai orde MHz yang rendah. Fenomena relaksasi pada daerah tersebut
tergantung jenis bahan dan fenomena efek Maxwell–Wagner. Fenomena ini
terjadi pada bahan-bahan biologi yang tidak homogen seperti suspensi sel dalam
larutan dan tergantung pada interface polarization (Hanai 1960).
Pada daerah dan -dispersion cukup jelas terbedakan, namun fenomena relaksasi
untuk molekul yang kecil memiliki karakter yang sama pada daerah γ-dispersion. Kasus-
kasus ini tetap dapat dibandingkan dengan daerah γ-dispersion, tapi relaksasi yang terjadi
bukan karena dipol permanen tetapi karena efek muatan listrik yang disebabkan oleh medan listrik. Penelitian teoritis pertama telah dilakukan oleh Pauly dan Schwan (Damez
et al. 2007) dan kemudian dilengkapi oleh Asami, Hanai, dan Koizumi (1980). Schwan menunjukkan bahwa hasil pengukuran yang sangat ketat memperlihatkan
adanya tumpang tindih parsial dari fenomena relaksasi di daerah -dispersion yang dapat
sebagian dikaitkan dengan efek Maxwell-Wagner dari struktur intraseluler. Hal ini
menyebabkan beberapa penulis untuk membagi daerah -dispersion menjadi dua daerah
sub-dispersi, 1 dan 2 (Asami dan Yonezawa 1996). Seperti dilansir Pliquett, Altmann,
50
dan Schoberlein (2003) bahwa daerah -dispersion adalah ukuran langsung dari perilaku
membran sel. Kesesuaian dari observasi pada kisaran 1-1500 kHz bisa menjelaskan studi
integritas membran sel selama penuaan daging yaitu membran myofiber bertindak
sebagai isolator dielektrik yang bersifat mengalami penurunan selama penuaan. Pada
daerah -dispersion, yang terjadi pada frekuensi rendah, menandakan relaksasi dipol non-permanen yang terbentuk selama aliran ion di permukaan sel atau molekul yang besar.
Fenomena ini dijelaskan oleh Pethig dan Kell (1987), dan model yang ideal untuk dan
-dispersion dikembangkan oleh Gheorghiu (1994).
Gambar 4.1 Diagram spektrum impedansi secara hipotesis pada bahan-bahan
biologi secara umum (Damez et al. 2007)
Sifat dielektrik bahan tergantung pada komposisi kimianya. Dalam
makanan, air umumnya komponen dominan. Selain itu, pengaruh air atau
kandungan garam dan mineral lainnya sebagian besar tergantung pada cara di
mana mereka terikat atau dibatasi dalam gerakan mereka dengan komponen
makanan lainnya (Sosa-morales et al. 2010). Hal ini mempersulit prediksi sifat
dielektrik dari campuran berdasarkan data untuk masing-masing bahan.
Komponen organik dari makanan bersifat dielectrically inert dan dapat dianggap
transparan untuk energi jika dibandingkan dengan cairan ionik atau air (Mudgett
1986). Secara umum, kadar air yang lebih tinggi pada makanan akan
menyebabkan tingginya konstanta dielektrik dan loss faktor (Komarov et al.
2005).
Komponen ionik memiliki efek yang signifikan dalam sifat dielektrik.
Peningkatan kadar garam pada kentang tumbuk mengakibatkan peningkatan untuk
loss faktor, sementara konstanta dielektrik tidak terpengaruh oleh kandungan
garam (Guan et al. 2004).
Struktur fisik juga mempengaruhi sifat dielektrik bahan (Ryynänen 1995).
Jumlah massa per satuan volume (densitas) memiliki efek tertentu pada interaksi
medan elektromagnetik dan massa yang terlibat (Nelson 1992). Misalnya,
kerapatan dan kadar air mempengaruhi sifat dielektrik dari biji-bijian kopi,
permitivitas rendah diamati pada kerapatan rendah, sedangkan nilai permitivitas
tinggi yang dicapai untuk densitas bulk yang lebih besar. Dengan pengecualian
dari beberapa bahan dengan loss faktor yang sangat rendah, sifat dielektrik dari
bahan adalah bervariasi dengan frekuensi medan listrik yang diberikan. Dengan
demikian, suatu fenomena penting yang berkontribusi terhadap ketergantungan
51
frekuensi terhadap sifat dielektrik adalah polarisasi molekul yang timbul dari
orientasi dengan medan listrik yang ditetapkan terutama yang memiliki momen
dipol permanen (Venkatesh dan Raghavan 2004).
Pada frekuensi rendah konduktivitas ionik memainkan peran utama,
sedangkan konduktivitas ionik dan rotasi dipol dari air bebas berperan penting
pada frekuensi gelombang mikro. Misalnya, konduksi ion adalah mekanisme yang
dominan untuk dispersi dielektrik dalam telur pada frekuensi yang lebih rendah
dari 200 MHz (Ragni et al. 2007), sedangkan konduksi ion berperan secara
dominan pada buah mangga untuk frekuensi sampai 300 MHz (Sosa-Morales et
al. 2009). Untuk cairan murni dengan molekul polar seperti alkohol atau air,
dispersi polar mendominasi karakteristik frekuensi - sifat dielektrik dan model
Debye dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku ketergantungannya pada
frekuensi (Decareau 1985).
Secara teoritis, untuk jaringan yang relatif seragam, jalur arus bolak-balik
utamanya terletak pada jalur dinding sel karena impedansi membran yang sangat
besar jika frekuensinya rendah. Reaktansi kapasitif dari membran secara bertahap
menurun dengan meningkatnya frekuensi, penurunan reaktansi secara signifikan
mempengaruhi impedansi total dan menyebabkan penurunan nilai impedansi dari
jaringan ketika frekuensi naik di atas tingkat tertentu. (Wu et al. 2008; Bauchot et
al. 2000; Harker dan Dunlop 1994).
Euring et al. (2011) dan pliquett (2010) menjelaskan bahwa daerah β-
dispersion cukup menarik dalam pertimbangan struktur sel. Jika frekuensi di
bagian atas dari wilayah dispersion yang dipilih, arus mengalir melalui sel. Jika
frekuensi yang lebih rendah dipilih pada wilayah β-dispersion, arus ini hanya
dapat mengalir melalui ruang ekstraseluler. Membran sel berperilaku seperti
resistor listrik pada wilayah frekuensi ini (Angersbach et al. 1999). Oleh karena
itu, pengukuran pada frekuensi AC rendah cocok untuk deskripsi kerusakan di
jaringan biologis (Varlan dan Sansen 1996). Beberapa studi di mana sel-sel
tumbuhan dihancurkan dengan metode pengobatan yang berbeda menunjukkan
bahwa tingkat kerusakan dapat diukur dengan menggunakan spektroskopi
impedansi (Angersbach et al. 1999; Angersbach et al. 2002). Investigasi ini
menunjukkan bahwa pengukuran induktif dan konduktif memberikan pernyataan
yang serupa. Parameter listrik menunjukkan ketergantungan terhadap massa.
Pengukuran impedansi listrik telah banyak digunakan untuk menyelidiki
beberapa sifat dari produk pertanian seperti tomat (Varlan dan Sansen 1996),
nectarine (Harker dan Dunlop 1994), dan daging (Damez et al. 2005; Damez et al.
2007). Salah satunya menunjukan bahwa nilai Q menjadi indikator yang cukup
baik dalam penentuan kesegaran daging (Ghatass et al. 2008). Sistem yang
dirancang untuk melakukan suatu pengukuran impedansi menyediakan suatu
metode non-destruktif, murah, dan cepat seperti yang telah dilakukan Karaskova
et al. (2011) pada produk ikan asap.
Pada bab ini akan membahas dan menganalisis perilaku sifat listrik dari
buah Jeruk Keprok Garut dengan menggunakan sinyal-sinyal listrik bertegangan
rendah yang bersifat non-destruktif. Sifat listrik dari buah Jeruk Keprok Garut
juga ditinjau ketergantungannya pada berbagai frekuensi sinyal listrik yang
dipakai.
52
Bahan dan Metode
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai Desember 2012 di
Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, FMIPA IPB. Buah diambil dari
perkebunan petani di Samarang dan Leuwigoong, Kabupaten Garut.
Sistem Pengukuran
Pengukuran dari semua parameter dilakukan ketika buah masih dalam kondisi
segar. Buah yang diukur dikelompokan ke dalam 7 tingkat kematangan yang
berdasarkan warna dan ukuran. Masing-masing kelompok diambil tiga buah
sampel. Sehingga secara total ada dua puluh satu sampel buah yang digunakan
untuk pengukuran spektroskopi impedansi. Berat buah jeruk diukur dengan
menggunakan timbangan elektronik (Sartorius ED 822, Goettingen, Jerman).
Berat buah ini dipakai untuk mengkonpensasi parameter pengukuran listrik seperti
yang dilakukan Zachariah dan Erickson (1965) pada penentuan kematangan buah
alpukat berdasarkan kelistrikan. Selain berat, volume dan diameter pula
digunakan.
Parameter listrik dari buah jeruk diukur dengan menggunakan LCR meter
(3532-50 LCR HiTESTER, Hioki, Tokyo, Jepang). Kajian sifat listriknya
berdasarkan pada hasil pengukuran kelistrikan untuk kondisi sinyal berupa arus
bolak-balik dan amplitudonya kecil. Frekuensi yang digunakan mulai dari 50 Hz
sampai 5 MHz. Setiap pengukuran parameter listrik digunakan teknik
penyimpanan data dengan intruksi average 4 times pada alat LCR, yang artinya
diulangi sebanyak 4 kali dan disimpan data rata-ratanya. Sistem sel pengukuran
terbangun atas bahan plastik akrilat yang dilengkapi dengan plat elektroda dari
tembaga. Buah ditempatkan di antara dua buah plat elektroda dan diperlakukan
sebagai bahan dielektrik. Parameter-parameter listrik ini adalah impedansi listrik,
resistansi, reaktansi, kapasitansi, dan induktansi. Jeruk berperan sebagai bahan
dielektrik dan ditempatkan di antara dua elektroda plat konduktif dari bahan
tembaga seperti pada Gambar 4.2 (Soltani et al. 2010) . Tegangan sinyal limit
sebesar 1 volt (rms) dengan sistem level arus (CC) 0,5 mA (Gambar 4.3). Skema
komunikasi sistem pengukuran diperlihatkan pula pada Gambar 4.4.
Pada sistem komunikasi antara LCR dengan komputer digunakan bantuan
sofware komunikasi hardware Program National Instrument Labview 7.1.
Program yang dipakai hasil modifikasi dari program demo dengan sistem
komunikasi program-respone message (Gambar 4.5). Data yang tersimpan berupa
text dengan tipe file LVM. Data tersebut diolah dengan program macro pada exel.
(a) (b)
Gambar 4.2 Skema sistem pengukuran sifat listrik buah jeruk berbasis capacitive
sensing (a) dan sampel buah jeruk yang diukur (b)
53
Gambar 4.3 Skema pengukuran dengan prinsip level arus tetap (Yamazaki 2001)
Gambar 4.4 Skema pengukuran dengan LCR meter dan sistem komunikasinya (Wu et
al. 2008) dengan komputer berbasis program lebview 7.1
Gambar 4.5 Sistem tranfer dan komunikasi data pengukuran antara LCR dengan
komputer (Hioki, Jepang)
Hasil dan Pembahasan
Spektrum Resistansi Listrik Buah Jeruk Keprok Garut
Pengukuran Resistansi listrik untuk tujuh kelompok tingkat kematang telah
dilakukan dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 4.6, 4.7, dan 4.8. Semua
parameter resistansi tersebut dibagi dengan parameter geometri yaitu volume,
jarak plat dan parameter massa buah jeruk. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi faktor ketidakseragaman dari sampel buah yang diukur. Buah
matang memiliki ukuran relatif lebih besar daripada yang kurang matang. Hal ini
seperti yang dilakukan oleh Zachariah dan Erickson (1965) pada buah alpukat.
54
Dari ketiga gambar tersebut dapat terlihat bahwa untuk semua kelompok
buah memiliki fenomena yang sama jika ditinjau dari ketergantungannya pada
frekuensi. Peningkatan frekuensi akan menurunkan nilai resistansinya. Penurunan
resistansinya tidak terjadi secara linier terhadap frekuensi. Dengan demikian
semakin besar frekuensi maka penghantaran arus semakin besar.
Jika kasusnya pada bahan resistor murni, maka secara teoritik untuk bahan
isolator tersebut nilai resistansi tidak dipengaruhi oleh frekuensi seperti
diperlihatkan pada bab 2 untuk bahan resistor standar. Namun dengan melihat
adanya fenomena seperti ini maka harus ada alasan lain yang memungkinkan
fenomena itu terjadi. Kemungkinan hal in terjadi sebagai akibat dari dua alasan.
Pertama dimungkinkan bahwa resistivity dari bahan ini memang terpengaruhi
oleh frekuensi. Resistivity menandakan karakteristik intrinsik dari material,
sementara resistansi merupakan parameter makroskopik yang dipengaruhi oleh
nilai resitivity dan geometri (luas permukaan dan panjang) bahan (Hayt dan Buck
2006). Alasan lain yang dimungkinkan adalah akibat adanya skin effect (Vorst et
al. 2006). Fenomena skin effect dapat dijelaskan bahawa resistansi yang
disebabkan arus dekat permukaan dan besarnya dipengaruhi oleh frekuensi arus
AC.
(a)
(b)
Gambar 4.6 Spektrum resitansi per massa buah Jeruk Keprok Garut pada beberapa