Top Banner
1 BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi Tulisan ini menemukan bahwa historis pergerakan kaum intelektual muda Papua mengalami dinamika dalam usahanya memerjuangkan keadilan, dan melepaskan dirinya dari praktik-praktik penindasan. Untuk memahaminya lebih mendalam, saya mencoba untuk memaparkan dan menelisik data historis tentang gerekan mereka. Penelitian terdahulu menarasikan bahwa sebelum tahun 1961 terdapat kelompok intelektual muda. Namun yang membedakannya, kelompok intelektual sebelum tahun 1961 hanya berfokus untuk menginisiasi sebuah negara, sehingga merka tidak melakukan aksi protes publik. Bagaimanapun juga, pergerakan protes di ruang publik yang melibatkan kaum intelektual muda Papua, dimulai setelah tahun 1961, pasca gagalnya membentuk sebuah negara. Setelah resmi berintegrasi di tahun 1969 dengan Indonesia, aksi massa tidak berhenti. Mereka semakin menampilkan perasaan berbeda dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Entitas ini secara transenden memiliki relasi sakral melalui narasi Cargo Cult (kepercayaan lokal). Sebagian dari mereka, salah satunya Jacob Prai memilih untuk bergabung dengan Organisasi Papua Merdeka di hutan. Bersamaan dengan itu, pemaknaan yang tinggi tentang relasi transenden, juga mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan berbeda. Melalui Grup Mambesak, mereka berhasil menggemakan sakralnya sprit gerakan kebudayaan, sekaligus mengangkat identitas orang Papua sempat terdestuksi di masa orde baru. Setelah kejatuhan Soeharto dan sampai saat ini, pergerakan massa di Papua maupun di luar Papua juga mengalami dinamikanya sendiri. Selama dua
22

BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

Oct 31, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

1

BAB 3

Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

Tulisan ini menemukan bahwa historis pergerakan kaum intelektual muda

Papua mengalami dinamika dalam usahanya memerjuangkan keadilan, dan

melepaskan dirinya dari praktik-praktik penindasan. Untuk memahaminya lebih

mendalam, saya mencoba untuk memaparkan dan menelisik data historis tentang

gerekan mereka. Penelitian terdahulu menarasikan bahwa sebelum tahun 1961

terdapat kelompok intelektual muda. Namun yang membedakannya, kelompok

intelektual sebelum tahun 1961 hanya berfokus untuk menginisiasi sebuah negara,

sehingga merka tidak melakukan aksi protes publik. Bagaimanapun juga,

pergerakan protes di ruang publik yang melibatkan kaum intelektual muda Papua,

dimulai setelah tahun 1961, pasca gagalnya membentuk sebuah negara.

Setelah resmi berintegrasi di tahun 1969 dengan Indonesia, aksi massa

tidak berhenti. Mereka semakin menampilkan perasaan berbeda dengan

mengibarkan bendera Bintang Kejora. Entitas ini secara transenden memiliki

relasi sakral melalui narasi Cargo Cult (kepercayaan lokal). Sebagian dari mereka,

salah satunya Jacob Prai memilih untuk bergabung dengan Organisasi Papua

Merdeka di hutan. Bersamaan dengan itu, pemaknaan yang tinggi tentang relasi

transenden, juga mendorong mereka untuk mengekspresikan perasaan berbeda.

Melalui Grup Mambesak, mereka berhasil menggemakan sakralnya sprit gerakan

kebudayaan, sekaligus mengangkat identitas orang Papua sempat terdestuksi di

masa orde baru.

Setelah kejatuhan Soeharto dan sampai saat ini, pergerakan massa di

Papua maupun di luar Papua juga mengalami dinamikanya sendiri. Selama dua

Page 2: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

2

dekade terakhir sejak era reformasi, pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua telah

mengalami suatu titik internalisasi dengan membentuk kesadaran baru. Kehadiran

Front Rakyat Indonesia for West Papua yang bersolidaritas dengan AMP telah

menghasilkan strategi kolaboratif dan menyemaikan kesadaran baru di dalam

organ gerakan.

3.1. Awal Pergerakan Kaum Intelektual Mahasiswa Papua

Pergerakan mahasiswa Papua di masa kini adalah bentuk akumulasi dan

dinamika gerakan mahasiswa Papua di masa lalu1. Bagaimanapun juga, terjadi

perubahan ideologi dan strategi dari gerakan kaum intelektual muda Papua dari

masa ke masa. Tidak dapat dipungkiri juga, pergerakan massa tentunya memiliki

tujuan dan perilaku kolektif, serta berkaitan erat dengan ideologinya, termasuk

Nasionalisme. Bagi Yason Ngelia2, awal penyemaian gerakan intelektual Papua

bermula dari pendidikan di sekolah peradaban dan transmisinya ke sekolah

Besteeur (pamong). Ruang ini menghasilkan kaum intelektual muda Papua.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa, proses persiapan kemerdekaan

memiliki visibel politis untuk mendirikan sebuah negara3. Namun bagi saya,

kesan politis teguh yang dikonstruksi pada fase awal penyemaiannya yang sakral,

1 Lihat Richo yapi Charly Corputty, Gerakan mahasiswa Papua : Studi organisasi Aliansi

Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta, Tesis . Yogyakarta: Perpustakaan Universitas Gadjah

Mada, 2007 ; Restu Pamuji, NASIONALISME PAPUA DALAM ORGANISASI ALIANSI

MAHASISWA PAPUA. Yogyakarta: Perpustakaan UMY , 2018 ; Hutubessy, Fred Keith.

"Pergerakan Sakralitas-Nasionalisme Papua; Pola Pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua dalam

Ruang Solidaritas di Yogyakarta." Mozaik Humaniora, 2019. 2 Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan

Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 3 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993.

Page 3: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

3

membentuk Sakralitas-Nasionalisme dan menyemai hingga kini ke dalam ideologi

gerakan.

Menelisik lebih mendalam terkait aksi massa dalam bentuk protes terbuka,

dimungkinkan untuk memerksa beberapa historis tentang gerakan setalah tahun

1961. Pasca gagalnya menginisasi sebuah negara yang merdeka di tahun itu 1961,

Jacob Prai, seorang mahasiswa dari Universitas Cenderawasih membentuk

Gerakan Pemuda Papua. Setelah ditelisik, kelompok yang dibentuknya merupakan

gerakan mahasiswa yang mula-mula melakukan aksi massa di masa menolak

proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Melalui tulisan Aditjondro, saya

menduga Arnold Ap4 juga terlibat di dalamnya ketika menjadi mahasiswa.

Menariknya, kecil peluang untuk lepas dari Indonesia menyebabkan Arnold lebih

memilih mengembangkan kreativitasnya di dalam seni, mempertahankan

eksistensi identitas ke-papua-an dalam bingkai Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kisah Arnold Ap akan di bahas pada bagian selanjutnya, juga berkaitan

dengan gerakan kebudayaannya.

Lebih lanjut tentang Prai, ia menjalin koalisi dengan kaum pemuda di

kampusnya yang juga bertentang dengan Indonesia, demi memperkuat basis

massa dalam aksi protes menentang proses Penentuan Pendapat Rakyat. Bob

Kubia salah seorang temannya mengatakan5 :

“Banyak mahasiswa yang anti dengan Indonesia, namun mereka sangat takut

sehingga tidak dapat berbuat banyak. Tetapi tidak bagi Jacob. Bahkan ia turut

serta berjuang untuk kelompok masyarakat lainnya, kadang-kadang mereka yang

keturunan cina sering pergi ke ruangannya untuk diskusi secara tertutup.

4 George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000. 5 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

Page 4: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

4

Menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat, ia sangat aktif dalam

mempublikasikan masalah pengambil alihan kekuasaan”.

Dampak dari aktivitasnya menentang rezim Indonesia di masa peralihan ke

UNTEA, ia sering ditangkap oleh petugas bersenjata. Pernah di suatu kesempatan,

Jacob Prai ditangkap seusai kuliah dan dimasukan ke dalam penjara. Seminggu

setelah itu, ia kabur dari situ dan memilih untuk bergerilya dengan Tentara

Pembebasan Nasional Papua di bawah pimpinan Seth Rumkorem.

Setelah integrasi ke Indonesia, aksi protes masih tetap dilakukan. Tepatnya

tahun 1977, sekitar 30 orang mahasiswa Universitas Cenderawasih melakukan

protes keras kepada pihak kampus akibat upaya “mengindonesiakan” mereka

melalui sistem pembelajaran pada matakuliah di kelas. Konsekuensinya, mereka

dikeluarkan oleh pihak kampus. Sumber yang sama oleh Osborne6 di tahun yang

sama, terjadi simultan serangan antara pihak yang pro dan kontra dengan

Indonesia. Kondisinya berkenaan dengan Pemilihan Umum yang akan

dilaksanakan. Beberapa anggota organisasi Papua pro kemerdekaan menyatakan

bahwa PEMILU merupakan tantangan besar bagi mereka. Mereka mengalami

kekecewaan akibat tidak diizinkan mendirikan partai politik. Bersamaan dengan

itu, mereka mengakumulasikan kebencian kepada Partai Golkar yang

mendominasi pemerintahan saat itu. Mereka berencana untuk memboikot

Pemilihan Umum di tahun itu. Singkatnya, rencana mereka menggagalkan

pemilihan umum tidak terealisasi7.

6 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 7 Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

Page 5: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

5

Menurut laporan Post-Courier, gagalnya rencana mereka akibat perintah

dari pemerintah untuk membubarkan kelompok Victoria di bawah pimpinan Seth

Rumkorem. Sementara itu juga, telah terjadi keterpecahan dalam organisasi

setelah Rumkorem mengangkat dirinya sebagai Presiden Papua Barat. Jacob Prai

yang saat itu bersamanya, marah dan berkoordinasi dengan Nicholaas Jouwe yang

berada di luar negeri, untuk membentuk kabinet baru. Namun pendelagasian yang

diberikan oleh Prai tidak dilaksanakan oleh Jouwe kerena alasan strategis, dan

menginginkan agar mereka berdamai.

Setahun setelah itu, tepatnya 15 Juli 1977, mereka bersepakat membentuk

“Program Aksi Nasional dari Pemerintahan Revolusioner Sementara Negara

Papua Barat”, bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Tujuannya untuk

menciptakan kesadaran kolektif masyarakat Papua, agar bersinergi kerangka

Organisasi Papua pro kemerdekaan. Intensi lainnya, untuk membebaskan diri dari

penjajahan, membangun relasi dengan dunia internasional, serta menentang segala

bentuk tindakan kolonialisme, neo-kolonialisme, imperialism, dan rasialis

apartheid. Upaya mereka menyemaikan ideologi pembebasan tampak berhasil,

sehingga menyebabkan beberapa pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia8.

Tanggal 3 Juli 1982, 9 mahasiswa Universitas Cenderawasih dan 1 orang

guru SD Gembala Baik bernama Karel Patiran melakukan di kantor DPRD Irian

Jaya. Mereka menurunkan bendera merah putih dan menggantinya dengan

bendera Bintang Kejora. Selanjutnya mereka menyanyikan lagu “Hai Tanahku

8 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993.

Page 6: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

6

Papua”, dan membacakan teks Proklamasi Papua Barat. Aparat keamanan

kemudian menangkap dan menghukum mereka dengan kurungan penjara9.

Enam tahun setelah itu, tanggal 14 Desember 1988, kurang lebih 60 orang

berkumpul di stadion Mandala, Jayapura. Mereka mendeklarasikan negara

Melanesia Barat dan mengibarkan bendara Bintang 14. Gerakan ini diinisasi oleh

Thomas Wanggai, seorang intelektual terdidik, lulusan Jepang dan Amerika. Aksi

ini cukup berbeda dengan aksi dan pengibaran bendera sebelumnya. Mereka

menggunakan bendera dengan simbol Bintang 14 yang di rancang Thomas

Wanggai dan istrinya Teruko Wanggai. Gerakan massa ini mendapat apresiasi dan

perhatian dari seluruh masyarakat, khususnya mahasiswa Universitas

Cenderawasih. Namun selepas deklarasi dilakukan, mereka ditangkap dan

dipenjara secara terpisah. Sebagian dari mereka berada di penjara Kalisosok, di

Surabaya10

.

3.2. Kita Bernyanyi Untuk Hidup dahulu, sekarang dan Nanti ; Arnold Ap dan

Spirit Gerakan Kebudayaan Mambesak

Jika menyimak berbagai aksi dalam gerakan massa yang melibatkan kaum

intelektual Papua, Grup Mambesak menjadi salah satu potret awal gerakan

mahasiswa Papua yang menampilkan eksistensinya melalui gerakan kebudayaan.

Tidak juga dipungkiri bahwa beberapa aksi di atas terjadi secara bersamaan

9 Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik

Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 10

Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000 ; Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua.

Yogyakarta: Library Universitas Gadjah Mada, 2016 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ;

Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.

Page 7: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

7

dengan Spirit kebangkitan Mambesak. Dari sini kita dapat menemukan bahwa

gerakan intelektual Papua mengalami dinamisasi menuju ke dalam gerakan

kebudayaan. Beberapa penelitian telah menarasikan mambesak, khususnya kisah

Arnold Ap seperti Aditjondro, Osborn, Suryawan dan Ngelia11

dari aspek historis

kehidupannya dan gerakan kebudayaannya. Namun yang membedakannya dengan

studi ini, narasi mambesak melalui Spirit of Mambesak perlu dipahami dari aspek

kesakralannya dan menyemai dalam pergerakan. Spirit ini berhubungan erat

dengan cargo cult (kepercayaan lokal). Fakta transenden ini membedakan peran

dan aksinya dari beberapa intelektual Papua yang bergerak di masanya.

Pada aksi sebelumnya potret gerakan kaum intelektual Papua cenderung

mengorganisir aksi masa, tetapi melalui pendekatan etnografi, Mambesak berhasil

menginisiasi gerakan kebudayaan Papua dengan menampilkan nyanyian, tarian,

Mop (cerita humor) yang secara nyata dihidupi dalam perilaku sehari-hari. Pada

akhirnya ia dianggap menjadi ancaman bagi pemerintah Indonesia dengan

tuduhan separatis yang disematkan padanya dan gerakannya. Awalnya grup ini

diinisiasi oleh Arnold Ap, seorang Antropolog Papua, dan Kepala Museum

Universitas Cenderawasih, ketika bermahasiswa kerap melakukan aksi protes

menjelang Penentuan Pendapat Rakyat12

.

11

Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000 ; Osborne, Robin. Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan

Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),

2001 ; I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi

Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa

Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 12

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

Page 8: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

8

Catatan Suryawan13

menceritakan sebelum Mambesak, ia pernah memiliki

grup band yang bernama Manyori atau dalam bahasa Biak disebut “Burung Nuri”,

yang beranggotakan Arnold Ap, Sam Kapisa, dan Jopie Jouwe. Di 1972, band ini

sering mengiringi pujian rohani di Gereja Harapan, Abepura. Kemudian, Band

Manyori tergerak untuk mengelaborasi lagu-lagu rohani ini ke dalam bahasa Biak.

Meskipun demikian, mereka mendapat tentangan dari para tetua adat oleh karena

indoktrinasi yang kuat oleh pekabar injil yang mengafirkan segala bentuk

kebudayaan di masa sebelumnya.

Melalui inisiasi Danielo Ajamiseba, seorang linguis Papua Barat pertama

dari Amerika, bersama Arnold Ap, mereka berhasil mempribumisasikan musik

liturgi budaya Papua. Mereka didukung oleh beberapa pendeta muda lulusan

STTh Jakarta, seperti M.Th. Mawene, Phil Erari, dan Tombi Ireeuw, seorang

sarjana lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Mereka menampilkan

kebudayaan Biak Numfor dalam nyanyian ini, karena sebagian besar dari mereka

berasal dari kawasan Teluk Sairera. Lama-kelamaan, masyarakat mulai

menerimanya sebagai bentuk kebudayaan Papua yang harus dilestarikan,

khususnya gereja14

.

Sadar akan kolektifitas dan kompleksitas budaya Papua menggerakan

Arnold untuk menggandeng beberapa orang muda dari suku lainnya, untuk

bersama-sama mengembangkan seni budaya Papua secara luas. Thony Wolas

Krenak yang berasal dari Sorong dan Marthiny Sawaki dari Waropen pun

bergabung. Selain itu, ia mulai terlibat aktif di beberapa penelitian Lembaga

13

I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi

Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019. 14

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

Page 9: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

9

Antropologi Uncen yang memungkinkannya untuk lebih mengembangkan

kebudayaan di beberapa wilayah seperti Asmat, Sentani dan berbagai kampung

lainnya. Di dalam mengembangkan pengetahuannya, ia dibimbing khusus oleh

Koentjaraningrat dan Ignatius Suharno. Pengetahuan luas dan mumpuni mengenai

keragaman budaya di Papua, membuatnya tidak sepaham dengan cara pemerintah

mempromosikan seni budaya suku-suku asli Papua. Promosi yang melibatkan

dominasi kaum pendatang ini, cenderung mengkreasikan kebudayaan Papua tidak

melandaskannya kepada pemahaman budaya Papua dengan tepat.

Kesalahpahaman memahami budaya menyebabkan Arnold untuk lebih lagi

menggemakan kebudayan Papua.

Tanggal 15 Agustus 1978, Arnold Ap, Sam Kapisa, Marthinny Sawaki,

dan Yoel Kafiar berlatih beberapa lagu dan tarian untuk pentas memeringati 17

Agustus. Saat berlatih pentas, banyak warga masyarakat yang menonton dan

menunjukan sikap antusias dengan penampilan mereka. Di hari itu, mereka

bersepakat untuk menandainya sebagai hari berdirinya Mambesak. Secara harfiah

dalam bahasa Biak, Mambesak berarti “burung cenderawasih / burung kuning”.

Sam Kapisa mengusulkan untuk tetap memertahankan nama band “Manyori”

sebagai nama grup ini. Namun bagi Arnold, burung kuning (Mambesak)

merupakan spesis yang sangat dihormati oleh seluruh suku di Papua sebagai

“mahkota”. Mereka akhirnya menyepakatinya dengan menggunakan nama

“Mambesak”15

.

Pada rapat pembentukan pengurus Mambesak, 23 Agustus 1978, mereka

memilih Arnold sebagai koordinator, Marthinny Sawaki sebagai sekretaris, Sam

15

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

Page 10: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

10

Kapisa sebagai penanggungjawab musik. Sementara itu, Thonny Krenak

bertanggungjawab mengurus tarian, dan Demianus Kurni sebagai

penanggungjawab teater. Sampai pada pementasan yang terakhir 29 November

1983 sebelum Arnold meninggal, hanya Arnold, Marthinny, dan Thonny yang

bertahan di grup ini16

.

Di “Istana Mambesak17

”, mereka mulai membentuk konten kreasi budaya

Papua melalui lantunan lagu, tarian dan cerita Mop (guyonan khas Papua).

Mereka sering diundang untuk mengisi acara di berbagai tempat. Selain itu,

mereka juga membuat rekaman lagu-lagu khas Papua berbentuk kaset sebanyak

lima Volume. Karya-karyanya sangat laku dipasaran, dan selalu dicetak ulang.

Lagu-lagu mereka sering diputar oleh siaran Radio Papua Nugini dan Australia18

.

Selain berpentas, mereka mengisi siaran radio setiap minggu siang dengan Tema

“Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra”. Siaran ini merupakan binaan Arnold Ap

atas usulan yang diberikan oleh Ignatius Suharno19

, untuk menyiarkannya di RRI

Jayapura20

.

Kehadiran Mambesak seakan menggemakan “spirit kebangkitan identitas”

Papua melalui musik dan tariannya kepada masyarakat Papua. Kebangkitannya

menyebabkan mereka dituduh telah menyemaikan paham separatisme kepada

16

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000. 17

Mereka melakukan uji coba pementasan lepas senja di Museum Antropologi

Universitas Cenderawasih, yang juga mereka sebut sebagai “Istana Mambesak” 18

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000. 19

Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih yang pertama. 20

I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah ; rakyat Papua, Sejarah Sunyi dan Antropologi

Reflektif. (Cetakan Kedua). Basabasi: Yogyakarta, 2019.

Page 11: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

11

rakyat Papua. Bagi Aditjondro21

, warna cultural yang diinisasi oleh grup

Mambesak, melalui tarian, nyanyian, pukulan tifa yang mengekspresikan

kebudayan Papua selalu dihubungkan dengan sesuatu yang politis. Berbeda

dengan warna gerakan di Jawa, yang memang cenderung politis. Padahal

menurutnya, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua saat itu, atas bantuan

beberapa dosen Universitas Cenderawasih, hanya memproduksi dan mengedarkan

kaset lagu-lagu Papua. Tetapi bagi Pemerintah, kegiatan ini merupakan politis

yang menghancurkan bangsa.

Sejauh yang diketahui, George Aditjondro dan Arnold Ap memiliki

kedekatan. Selama Aditjondro bekerja di Irja-DISC Jayapura, Arnold yang

menjadi penasehat lambaga yang dipimpinnya. Setelah meninggalnya Arnold,

George sempat dituduh sebagai penyebab kematian Arnold Ap oleh beberapa

senior Gereja Kristen Injili. Ia dianggap sebagai inisiator pemberitaan

penangkapan Arnold yang diekspos oleh koran Sinar Harapan. Meskipun baginya,

tanpa diekspos pun, Arnold sudah menjadi target incaran sejak awal. Perlu

diketahui, Arnold Ap dan Mambesak saat itu sangat populerr di masyarakat.

Kondisi ini membentuk stigma separatis kepada mereka. Sebelum penangkapanya

yang terakhir, beberapa kali Arnold harus berurusan dengan aparat keamanan,

namun ia tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan kepadanya,

sehingga dibebaskan22

.

21

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000. 22

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

Page 12: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

12

Tahun 1983, isu tentang jaringan separatisme di wilayah Kota Jayapura,

khususnya di kampus-kampus dan instansi pemerintahan. Demi membongkar

jaringan ini, Pemerintah menugaskan pasukan elite Kopassanda yang sebelumnya

bertugas di Dili untuk menyelidikinya. Mereka menduga Arnold Ap pemimpin

dari jaringan ini dan memiliki hubungan dengan Organisasi Papua pro

kemerdekaan di hutan. Pihak keamanan menuduhnya sebagai penghubung antara

Jantje Hembring (salah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka di hutan),

dengan peneliti asing. Arnold juga dituduh terlibat membiayai pelarian Fred

Athabu dan Seth Rumkorem dari uang penjualan kaset rekamannya23

.

Satu hari sebelum penangkapannya yang terakhir, Arnold bersama

Mambesak mementaskan tarian di depan istri Jendral L.B. Moerdani yang sedang

berkunjung ke Jayapura. Saat itu, ia menggunakan burung cenderawasih di

kepalanya. Wakil gubernur Irian Jaya, Sugiyono tertarik dengan burung

cenderawasih ini. Ia meminta kepada Arnold untuk memberikannya kepada ibu

Moerdani sebagai cenderamata. Ia tidak setuju karena burung tersebut merupakan

spesis yang langka, dan hanya ada di tempat kelahirannya, di Pulau Numfor.

Bagaimanapun juga, ia tetap harus memberikannya kepada istri Moerdani.

Anggota Mambesak yanhg lain protes kepada Arnold. Tetap ia menjawab24

:

Saya berharap suatu saat, hadiah ini bisa berguna bagi saya di Jakarta, bila saya

ditangkap

Sejatinya, perkataannya hanya merupakan candaan. Namun bagi Osborne,

pemberian hadiah bukan berarti apa-apa bagi Arnold untuk tetap hidup.

23

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

24

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

Page 13: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

13

Tepatnya 30 November 1983, sekitar 20 orang yang berasal dari

Universitas Cendrawasih dan kantor Gubernur ditangkap untuk diperiksa

dukungan politiknya kepada organisasi Papua pro kemerdekaan. Arnold Ap

ditangkap oleh Kopassanda berbaju preman dan bermobil tanpa nomor polisi.

Fakta yang telah dipaparkan sebelumnya, penangkapan Arnold hanya diberitakan

oleh satu media Indonesia yaitu Sinar Harapan. Surat kabar ini mendapat teguran

keras dari pemerintah dan mengharuskan editornya untuk pergi ke Jayapura untuk

meminta maaf, serta mendengankan kisah sebenarnya. Bagi Osborne, ini

merupakan usaha untuk memutarbalikkan fakta tentang kisah sebenarnya25

.

Sampai di awal 1984, proses hukum Arnold Ap tidak menemukan

kejelasan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan beberapa

koleganya di Jayapura, serta di Pulau Jawa melakukan advokasi, dengan meminta

agar Arnold diperlakukan sesuai dengan KUHAP tahun 1981. Bersamaan dengan

itu, pihak keamanan juga menangkap Eddy Mofu, salah satu teman Arnold di

Grup Mambesak. Beruntung bagi Arnold, tanggal 20 Februari 1984, ia

dipindahkan dari tahanan Kopassanda ke tahan Polda yang menurutnya lebih baik

dari sebelumnya (Osborne 2001). Permasalahan lainnya, terjadi tekan psikis

kepada intelektual Papua di Jakarta. Di Ibukota Negara ini, Johannes Rumbiak,

Jopie Rumajau, Otis Simopiaref dan Loth Sarkanan yang mempertanyakan kasus

Arnold Ap di DPR RI, dicari oleh aparat di tempat tinggalnya. Mereka kemudian

meminta suaka kepada Kedutaan Belanda di Jakarta.

25

Lihat George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000 ; Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan

Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),

2001.

Page 14: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

14

Ketegangan yang berlanjut menyebabkan keluarga dan teman-teman

Arnold mengalami tekanan psikis. Akhirnya Istri Arnold, Corry Ap yang saat itu

sedang mengandung, bersama ketiga anaknya serta teman-temannya melakukan

pelarian politik ke Vanimo, Papua Nugini. Mereka menyeberang dengan

menggunakan perahu motor. Menurut Osborne, Pemerintah Papua Nugini tidak

mendukung pelarian politik mereka. Saat itu, Papua Nugini sedang membangun

diplomasi dengan Jakarta. Padahal, beberapa simpatisan kemanusian di sana

berharap pemerintahnya mengadvokasi masalah tersebut. Sementara itu,

Pemerintah Australia melalui desakan Alan Missen melalui rapat senat, meminta

duta besarnya untuk Indonesia Rawdon Dalyrmple, untuk mencari fakta tentang

status Arnold. Namun, Menteri Luar Negeri Australia, Hayden, berkali-kali

menyatakan intervensi kasus Arnold tidak akan memengaruhi apa-apa26

.

Sehari sebelum skenario pembunuhan Arnold, Pendeta Bonay dari Gereja

Kristen Injili mengunjunginya dan berdoa bersama. Bagi Pendeta Bonay,

kedatangannya merupakan bentuk tanggung-jawab iman sebagai pelayan, dan

untuk menyongsong Paskah di esok hari. Ia tidak menyadari kunjungannya itu

merupakan pertemuan terakhirnya dengan Arnold. Malam selepas perkunjungan

itu, pihak keamanan mulai melakukan skenario untuk menjebak Arnold.

Wartawan Peter Hastings melaporkan27

, Kopassanda menjanjikan sejumlah uang

kepada Pius Wanem, seorang sipir penjara untuk mengatur pelarian itu. Melalui

bantuan Pius, kelima orang tahanan melarikan diri dari penjara. Kisah yang terjadi

26

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

27

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

Page 15: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

15

setelah pelarian itu menurutnya hanya diketahui oleh Kopassanda yang sedang

mengawasi mereka.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arnold Ap ditemukan telah meninggal

dunia dan jasadnya telah berada di kamar mayat rumah sakit Aryoko, di Jayapura.

Seorang perawat di sana yang mengenalinya, melaporkan kepada salah seorang

teman Arnold. Menurutnya, terdapat bekas pukulan, bekas tali di tangan, dan luka

tusukan di perut. Sementara itu, berita kematian sang budayawan tersebar dengan

luas. Kabar yang telah beredar menyebabkan Pemerintah mengambil sikap untuk

memulangkan jenazah Arnold kepada keluarganya untuk dimakamkan.

Tepat 1 Mei 1984, pemakanan Arnold Ap dilakukan. Prosesi

pemakamannya dihadiri banyak pelayat dan turut mengantarkannya sampai ke

pekuburan Kristen, Abepura. Jenazahnya dimakamkan tepat di samping saudara

dan sahabat baiknya Eddy Mofu, salah seorang yang bersama-sama melarikan diri

dari tahanan. Kepergian Arnold Ap menyebabkan gelombang pengungsi

bertambah ke Papua Nugini. Mereka yang lebih dahulu di sana, turut meratapi

kepergian Arnold, sambil menghibur Corrie Ap. Lebih lanjut tentang keluarga

Arnold, melalui bantuan Pemerintah Papua Nugini, mereka memilih mengungsi

ke Belanda sampai saat ini mereka tinggal di sana. Peristiwa pembunuhan Arnold

Ap, semakin menebarkan kebencian kepada negara dan secara simultan

menebarkan benih-benih Nasionalisme Papua kepada mereka28

.

28

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000 ; Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan

Perang Rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM),

2001 ; Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan

Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.

Page 16: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

16

3.3. Dinamika Organisasi Gerakan Kaum Intelektual Papua

Saya menemukan di YouTube, satu video Aksi Nasional 1 Desember 2015,

oleh Aliansi mahasiswa Papua di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Tampak

visual dalam video, mereka menyatakan beberapa tuntutan yang berhubungan

dengan persoalan-persoalan, salah satunya terkait masalah kemanusian di Papua.

Selanjutnya, terdengar mereka menyanyikan lagu “Papua Bukan Merah-

Putihberkali-kali dalam aksi tersebut29

.

“Papua bukan merah putih, Papua bukan merah putih,

Papua..... Bintang kejora......, Bintang kejora...........

Baru-baru ko bilang, merah putih”

Narasi aksi seperti ini bukan pertama kali terjadi. Sampai dengan tulisan ini

dibuat, aksi-aksi serupa masih sering terjadi di Papua, maupun di luar Papua,

melibatkan kaum intelektual muda secara massif. Beragam cara memahami

Papua, baik oleh mahasiswa Papua sendiri, organisasi mengatasnamakan

nasionalis Indonesia, dan juga pihak kepolisian, menyebabkan aksi penyampaian

pendapat di muka umum cenderung berakhir ricuh. Semuanya itu berakhir dengan

penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada mereka.

Tidak dapat dipungkiri, pendekatan pergerakan di Indonesia tentunya

memiliki basis kekuatan mobilisasi gerakan melalui aksi massa, yang tentunya

selalu memiliki tujuan. Demikian juga dengan pergerakan mahasiswa Papua di

kota-kota studi yang semakin massif. Beberapa berita yang dilansir media cetak30

melaporkan bahwa aksi mahasiswa Papua menyuarakan pelanggaran Hak Asasi

29

Polisi Ultimatum Bubarkan Aksi Mahasiswa Papua 1 Desember. Directed by Honai

Center. 2015. 30

Lihat ,https://jejaknasionalis.com/2018/10/01/lbh-malang-pembubaran-massa-aksi-

mahasiswa-papua-penuh-dengan-kekerasan/ ; https://tirto.id/aliansi-mahasiswa-tuntut-papua-

bebas-dari-kolonialisme-indonesia-cNlm

Page 17: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

17

Manusia dan meminta Referendum sebagai solusi demokratis, memisahkan diri

dari Indonesia. Fakta lain di lapangan juga menampilkan pertentangan sebagian

kalangan yang menolak aksi ini dengan jargon “NKRI Harga Mati”.

Permasalahnnya kemudian, terletak pada cara memahami Papua dan cara

memahami historisnya, sehingga turut menghasilkan kecurigaan tentang

Nasionalisme mereka.

Secara praksis, labelisasi separatis dan rasialisme bermuara kepada potensi

kekerasan dari berbagai pihak, salah satunya pihak keamanan dan ormas

nasionalis lainnya. Kompleksitas inilah telah mengaburkan esensi dari demokrasi.

Perlu disadari, masa kekuasaan Soeharto cukup membungkam ruang demokrasi di

Indonesia. Situasinya berdampak kepada gerakan massa di masa itu. Namun,

sejak kejatuhannya, aksi massa seakan menyeruak di publik. Hal inilah yang

memungkinkan Aliansi Mahasiswa Papua terbentuk. Tercatat mahasiswa Papua

dari Jawa dan Bali berjumlah ratusan orang, menamakan diri Aliansi Mahasiswa

Papua berkumpul dan melakukan aksi terkait permasalahan hak politik dan

demokratis yang selama ini dieliminasi.

Penelitian Ngelia31

menjelaskan, saat itu, aksi mahasiswa Papua cenderung

melemah. Hal ini disebabkan minimnya organisir massa dengan baik, sehingga

gerakan tidak terdidik secara ideologi dan melakukan perjuangan secara bertahap

dalam organisasi legal di berbagai kota studi. Salah satunya jika kita

mengaitkannya dengan peristiwa meninggalnya Thomas Wanggai di Penjara

Cipinang 1996, peristiwa aksi “Biak Berdarah” oleh mahasiswa Universitas

31

Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan

Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.

Page 18: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

18

Cenderawasih di Jayapura 1998. Peristiwa-peristiwa ini merupakan potret dari

aksi-aksi spontanitas yang menurut Ngelia belum memiliki orientasi. Terlepas

belum berkembangnya basis ideologi dan strategi gerakannya, saya tidak

menampikan perasaan bersama cukup memunculkan sakralitas-Nasionalisme

yang menggerakan mereka untuk melakukan aksi-aksi ini.

Aliansi mahasiswa Papua terbentuk sebagai organ taktis dalam aksi massa

di awal reformasi, tanggal 20 Juli 1998 di Jakarta. Kemudian menjadi organ

strategis setelah aksi tersebut32

. Sumber lain menyebutkan, aliansi ini dibentuk 30

Mei 1998 di jalan Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan33

. Kesadaran

penindasan yang merebak menyebabkan berbagai organisasi tampil untuk

merespon berbagai aksi di Papua seperti, Front Nasional Mahasiswa Papua

(FNMP), Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR), Jaringan Independet

Untuk Aksi Kejora (JIAJORA), Sayap Cenderawasih di Manado, Solidaritas

Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (SONAMAPPA), dan Front Rakyat

Indonesia For West Papua (FRI-WP) yang masih menjadi perbincangan sampai

saat ini pasca beberapa aktivisnya ditangkap dan dikeluarkan dari kampus34

.

Fenomena kebangkitan dan pamor organisasi pergerakan sepertinya masih

direspon dengan pola yang sama oleh pihak keamanan. Saya membandingkan dua

organisasi yakni FNMP dan FRI-WP yang memiliki kebangkitan dan pamor yang

menanjak dalam fenomena gerakan sosial, dengan tidak menafikan gerakan-

32

Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan

Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019. 33

Restu Pamuji, NASIONALISME PAPUA DALAM ORGANISASI ALIANSI

MAHASISWA PAPUA. Yogyakarta: Perpustakaan UMY , 2018.

34

Lihat, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/polisi-tahan-surya-anta-ginting-

deklarator-referendum-papua ; https://metro.tempo.co/read/1242579/juru-bicara-fri-west-papua-

ditangkap-polda-metro-jaya ; https://www.lpmkultura.com/2019/12/4-mahasiswa-unkhair-di-drop-

out.html

Page 19: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

19

gerakan yang lain. FNMP melakukan aksi pertamanya tanggal 1 Desember 2000,

sejak pertama kali terbentuk35

. Buntutnya, beberapa aktivis mereka ditangkap oleh

pihak kepolisian. Mereka adalah Markus Rumbrapuk (Salatiga), Hans Gobay

(Solo), Laun Wenda (Bandung), dan Joseph Wenda (Jakarta). Sementara itu, 19

tahun berselang, beberapa aktivis ditangkap dalam aksi solidaritas untuk Papua.

Mereka menentang tindakan rasisme yang terjadi di Asrama Kamasan di

Surabaya, agustus 2019. Beberapa aktivis yang ditangkap salah satunya Juru

Bicara FRI-WP, Surya Anta Ginting. Sampai saat ini, proses persidangan mereka

masih berlangsung. Setelah penangkapan mereka, banyak pihak yang mengecam

penangkapan yang diduga tidak sesuai dengan prosedur dan berbagai tuduhan

yang disematkan kepada mereka tidak jelas fakta hukumnya 36

.

Bagi saya, kedua organisasi ini memiliki popularitas. Jika membandingkan

keduanya, tanpa memungkiri gerakan yang lain, kita dapat menemukan dua hal

penting berkaitan dengan dinamika pergerakan Aliansi Mahasiswa Papua.

Pertama, eksistensi kedua organisasi ini tidak terlepas dari dinamisnya gerakan

Aliansi Mahasiwa Papua. Saya membatasinya dengan tidak memandang kedua

organisasi ini dari sisi pro dan kontra di dalam tubuhnya masing-masing.

Mengapa demikian? Transisi demokrasi memberikan ruang kepada Aliansi

Mahasiswa Papua dan menyemaikannya kepada Front Nasional Mahasiswa Papua

pasca kejatuhan Orde Baru. Bagi saya, kesadaran bersama yang lama terpendam

35

Yason Ngelia, Gerakan Mahasiswa Papua ; Catatan Sejarah,Teori & Praktik Melawan

Penjajah. Solo: APRO Publisher, 2019.

36

Lihat, https://www.suara.com/news/2019/12/04/102009/tapol-papua-surya-anta-cs-

akan-ungkap-kesaksian-di-sidang-hari-ini ; https://news.detik.com/berita/d-4810097/praperadilan-

surya-anta-diwarnai-aksi-simpatisan-di-ruang-sidang/2 ;

Page 20: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

20

tentang permasalah Papua menemukan ruangnya dalam berekspresi, maskipun

mereka ditangkap37

.

Kedua, selama hampir dua dekade terakhir, banyaknya organisasi-

organisasi terbentuknya seperti, Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP),

Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR), Jaringan Independet Untuk Aksi

Kejora (JIAJORA), Sayap Cenderawasih di Manado, Solidaritas Nasional

Mahasiswa Pemuda Papua (SONAMAPPA), Front Rakyat Indonesia for West

Papua (FRI-WP) (Ngelia 2019), dan berbagai organisasi lainnya. Saya ingin

mengatakan bahwa dengan terbentuknya organisasi-organisasi ini, kesadaran

tentang Papua menyemai di dalam mereka, meskipun dalam taktis dan struktur

organisasi, mereka memiliki perbedaan. Saya memosisikan diri untuk

membatasinya kepada penyemaian gerakan yang akan di jelaskan pada bab

selanjutnya.

Singkatnya, Aliansi Mahasiswa Papua mendapatkan dukungan dari Front

Rakyat Indonesia For West Papua (FRI-WP). Kelompok yang menamakan

dirinya Front yang mewakili rakyat Indonesia, turut bersolidaritas dalam setiap

isu-isu penindasan di Papua dan mendukung Referendum untuk Papua. Saat

bersama-sama dengan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan aksi solidaritas di

sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Yogyakarta, mereka kerap dibubarkan,

dan bahkan diamankan oleh pihak keamanan38

. Fakta ini semakin menguatkan isu

penindasan masyarakat Papua terinternalisasi ke dalam gerakan kemanusiaan. Hal

37

Muridan S. Widjojo, Updating Papua Road Map, Proses Perdamaian, Politik Kaum

Muda, dan Diaspora Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017.

38

Lihat https://suarapapua.com/2016/12/20/polisi-kolonial-indonesia-tangkap-35-aktivis-

amp-dan-tiga-fri-west-papua-yogyakarta/

Page 21: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

21

ini juga menegaskan bahwa penindasan merupakan kepedulian universal yang

bersolidaritas, meskipun dinamika dalam pergerakan sosial selalu mengalami

perubahan dalam konteksnya masing-masing.

Sadar akan kehilangan hak asasi dan ruang demokrasi yang dibatasi,

menyebabkan mereka bergerak dalam pokok perjuangannya. Corputty39

dalam

penelitian sebelumnya menemukan bahwa pola perjuangan lama yang bersifat

primodialisme mengakibatkan keterpecahan dalam komunitas tidak ditemukan

dalam penelitian ini. Pada kenyataannya, pergerakan mereka semakin massif dan

telah melakukan koalisi dan kepedulian bersama dengan komunitas lainnya.

Mereka semakin menghidupkan Sakralitas-Nasionalisme dalam pokok

perjuanganya.

Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa pokok penting dari dinamika

pergerakan kaum intelektual Papua bersumber dari kisah di masa lalu, tentang

pengalaman-pengalaman mereka bagaimana melepaskan diri dari penindasan.

Perlu dipahami pergerakan mereka selalu menampilkan dinamika secara ideologi

organisasi, maupun strategi gerakan massa. Perilaku organisasi yang seperti ini

rentan menimbulkan keterpecahan yang berelasi dengan eksistensi gerakan untuk

memerjuangkan keadilan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa rasa

bersama yang terbentuk dari Sakralitas-Nasionalisme, menyemai dalam

pergerakan mereka. Salah satunya dengan mengkreasikan gema identitas

kebudayaan Papua sebagai simbol perlawanan secara kolektif, dan menegaskan

39

Richo yapi Charly Corputty, Gerakan mahasiswa Papua : Studi organisasi Aliansi

Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta, Tesis . Yogyakarta: Perpustakaan Universitas Gadjah

Mada, 2007.

Page 22: BAB 3 Pergerakan Kaum Intelektual Muda Papua ; Sebuah Narasi

22

perbedaanya dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, salah satunya melalui

“Spirit of Mambesak”.

Sementara itu, strategi yang ditampilkan mereka dalam aksi masa menjadi

dinamis di masa kini. Berbeda dengan dinamika pergerakan mereka di masa lalu.

Saat ini, Aliansi Mahasiswa Papua berhasil berafiliasi dengan Front Rakyat

Indonesia for West Papua, salah satu front yang bersolidaritas tentang

permasalahan penindasan. Oleh karenanya, dengan berafiliasi Aliansi Mahasiswa

Papua dengan beberapa organ lain, telah mentransformasikan kesadaran bersama,

dan memperkuat isu kemanusiaan, khususnya di Papua.