23 BAB 3 ANALISIS DATA 3.1 Arsitektur Rumah Tradisional Jepang Arsitektur rumah tradisioanl Jepang terutama dilihat sebagai tempat tinggal yang alami, sejak abad ke-16 elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Jepang meliputi sistem struktural, yang terdiri dari tatami dan bahan bangunan lainnya yang sepenuhnya didirikan untuk mempertemukan agama, filosofi, kesenian dan lainnya. Konsep dasar dalam arsitektur Jepang adalah Ma |間 (ditulis dengan huruf karakter Cina yang juga diucapkan ken atau aida). Tidak ada arti yang pasti di dalam Bahasa Inggris, beberapa mengartikan ma dengan: ruangan, hubungan, jarak, keberuntungan, jeda, atau tergantung pada pemakaian kalimatnya. Di dalam seni arsitektur istilah yang paling sesuai dengan ma adalah jarak diantara dua tiang penyanggah atau ruangan diantara dua dinding atau lebih, atau apapun yang dapat saling berhubungan. Menurut Atsusi Ueda (1990) dalam bukunya yang berjudul In Harmony of the Japanese House mengatakan: “ The History of Japanese architecture is the struggle with the pillar” (Dasar dari arsitektur bangunan rumah Jepang adalah pada kekohohan tiang kayunya). ( Yoshino : 2005 ). Ada dua hal yang terjadi di dalam proses pembentukan dan pembangunan. Pertama, suatu keserasian yang dibangun diantara penempatan tembok pembatas, sehingga membentuk suatu ruangan bagian (ruangan-ruangan). Kedua, dinding itu sendiri yang dapat merubah keserasian tiang-tiang penyanggah dengan bahan-bahan yang digunakan di dalam konstruksi bangunan itu sendiri. Hal ini sangatlah penting
26
Embed
BAB 3 ANALISIS DATA - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab3/LMM2006-63-Bab 3.pdf · Di dalam rumah modern, ... sebagai tempat untuk menggulungkan atau memajang hiasan dinding
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
23
BAB 3
ANALISIS DATA
3.1 Arsitektur Rumah Tradisional Jepang
Arsitektur rumah tradisioanl Jepang terutama dilihat sebagai tempat tinggal yang
alami, sejak abad ke-16 elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Jepang meliputi
sistem struktural, yang terdiri dari tatami dan bahan bangunan lainnya yang sepenuhnya
didirikan untuk mempertemukan agama, filosofi, kesenian dan lainnya.
Konsep dasar dalam arsitektur Jepang adalah Ma|間 (ditulis dengan huruf
karakter Cina yang juga diucapkan ken atau aida). Tidak ada arti yang pasti di dalam
Bahasa Inggris, beberapa mengartikan ma dengan: ruangan, hubungan, jarak,
keberuntungan, jeda, atau tergantung pada pemakaian kalimatnya. Di dalam seni
arsitektur istilah yang paling sesuai dengan ma adalah jarak diantara dua tiang
penyanggah atau ruangan diantara dua dinding atau lebih, atau apapun yang dapat saling
berhubungan. Menurut Atsusi Ueda (1990) dalam bukunya yang berjudul In Harmony of
the Japanese House mengatakan: “ The History of Japanese architecture is the struggle
with the pillar” (Dasar dari arsitektur bangunan rumah Jepang adalah pada kekohohan
tiang kayunya). ( Yoshino : 2005 ).
Ada dua hal yang terjadi di dalam proses pembentukan dan pembangunan.
Pertama, suatu keserasian yang dibangun diantara penempatan tembok pembatas,
sehingga membentuk suatu ruangan bagian (ruangan-ruangan). Kedua, dinding itu
sendiri yang dapat merubah keserasian tiang-tiang penyanggah dengan bahan-bahan
yang digunakan di dalam konstruksi bangunan itu sendiri. Hal ini sangatlah penting
24
untuk dijadikan sebagai tembok atau dinding pembatas ruangan. Pada kedua hal
tersebut, salah satunya mengatur ma atau suatu hubungan yang telah ada sebagai proses
pembangunan arsitektur yang dapat mencerminkan suasana hati dari suatu rancangan
arsitektur tradisional Jepang.
Interior rumah tradisional Jepang mempunyai kekhasan karakteristik terhadap
lingkungan tempat tinggal yang alami. Atap rumah yang menonjol berfungsi untuk
melindungi struktur bangunan dalam menghadapi iklim dan kondisi geografis di negara
Jepang seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu faktor luar seperti
pengaruh dari bangsa asing pun dapat mempengaruhi arsitektur rumah tradisional
Jepang.
Arsitektur rumah tradisional Jepang pada dasarnya memakai bahan dasar kayu,
karena balok kayu merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat berlimpah di
Jepang. Untuk manghadapi keadaan iklim seperti ini rumah tradisional Jepang sangat
memerlukan struktur kayu yang kokoh dan kuat untuk menjaga interiornya.
Yang terpenting dari konsep ken atau ma ini adalah bukan dari standarisasi pada
semua bangunan, tetapi pada standarisasi seluruh ukuran pada bangunan, tiang penguat
pada bangunan, balok penyokong atap rumah, langit-langit, shoji, fusuma, tokonoma,
serta keputusan di dalam meyeimbangkan keharmonisan proporsi bangunan.
Rumah tradisional Jepang dengan tinggi 1,68 meter meskipun di dalam istilah
estetika bukanlah standarisasi untuk manusia atau untuk seseorang yang bisa duduk
(karena tinggi orang yang sedang duduk adalah sekurang-kurangnya 36 inchi atau
sekitar 1 meter untuk orang yang tertinngi di Jepang pada masa lalu). Halaman dan
unsur-unsur yang menunjang keindahan yang lain seperti tokonoma sangatlah perlu
25
untuk dapat dilihat dari dalam ruangan atau ketika sedang duduk di dalam suatu ruangan,
dan penempatan pintu, jendela, tokonoma pun haruslah serasi. (Seike,1977:81-82).
3.2 Elemen-Elemen Rumah Tradisional Jepang
Selain pemilihan bahan bangunan dasar kayu seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, konstruksi bangunan interior rumah tradisional Jepang cenderung
terbuka, karena untuk membiarkan pergerakan keluar-masuknya sirkulasi udara yang
tidak terbatas di dalam ruangan rumah tradisioanl Jepang. Dengan keadaan yang terbuka
seperti ini maka rumah tradisional Jepang lebih mudah terkena berbagai macam
gangguan seperti; kotoran, debu, serangga, dan suara-suara yang dapat mengganggu
ketengan para penghuni rumah. Untuk menyikapi hal tersebut maka ruangan pada
rumah tradisional Jepang dibangun dengan komponen-komponen bangunan sebagai
berikut;
a) Fusuma (ふすま)
Pada zaman dahulu, rumah tradisional Jepang lebih terbuka dengan tidak
dibangunnya ruangan-ruangan atau tembok-tembok pembatas dan hanya dibatasi dengan
dinding pembatas yang disebut dengan fusuma. Fusuma adalah pintu geser yang
dibungkus dengan kertas tebal tembus pandang atau kain di atas bingkai petak-petak
kayu yang digunakan untuk memisah-misahkan ruangan-ruangan (sebagai penyekat atau
pembatas antar ruangan dalam rumah).
Tinggi pintu ruangan pada rumah tradisioanl Jepang ini biasanya berkisar 6 kaki.
Biasanya kertas-kertas atau kain-kain tersebut digambari dengan gambar pemandangan
alam pada satu atau kedua sisinya. Fusuma biasanya dapat dibongkar atau di pindahkan
26
untuk memperbesar ruangan atau membatasi ruangan. Dengan arti lain fusuma adalah
sebuah dinding yang dapat dipindah-pindahkan dan dapat digeser.
Gambar 1 Fusuma (Yoshino : 2004)
b) Shoji (障子)
Shoji adalah pintu geser yang di bungkus dengan kertas tipis yang di rekatkan
pada petak-petak kayu dan bingkai pintu. Kayu tersebut biasanya tidak diamplas. Shoji
berasal dari Cina. Tinggi shoji pada rumah tradisional Jepang biasanya berkisar enam
kaki, normalnya dibagi menjadi empat bingkai (frame). Yang paling utama dari fungsi
shoji ini adalah sebagai sekat atau untuk memisahkan ruangan dalam dengan ruangan
luar atau teras.
Di dalam rumah modern, shoji digunakan sebagai pemisah ruangan dimana
sandal rumah dipakai ataupun tidak dipakai. Shoji kadang-kadang dibelah menjadi dua,
bagian atas dapat berfungsi sebagai jendela dan bagian bawah dapat berfungsi sebagai
pintu.
27
gambar 2 Shoji (William : 2004)
c) Tatami (畳)
Tatami berasal dari kata kerja tatamu(畳む),yang berarti menumpuk.dengan
kata lain tatami adalah pelapis lantai rumah yang terbuat dari ikatan jerami yang
dijadikan satu dengan papan kayu, dan biasanya di dalam (interior) rumah tradisional
Jepang, tatami ini di jadikan sebagai lantai dan juga digunakan sebagai pembatas antara
ruangan dalam dengan ruangan luar
. Ukuran tatami biasanya sekitar 90x180 cm dan tebalnya sekitar 1 3/4 – 2 ½
inchi.Di daerah Kyoto berukuran 6,3 kaki X 3,1 kaki sedangkan di Tokyo tatami
berukuran 5,8 kaki X 2,9 kaki Untuk rumah tradisioanal Jepang ukuran ruangan di
dalam satu ruangan kurang lebih sekitar enam tikar tatami, atau lebih dikenal dengan
“rokojuma” (六じゅうま) (six-mat-room/ ruangan dengan enam tatami).
Pada saat tatami pertama kali dipasang, tatami ini berwarna hijau, tetapi ketika
lama-kelamaan akibat terkena sinar cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan,
tatami ini berubah warna menjadi kuning. Cara membersihkan tatami sangatlah mudah
28
hanya dilap dengan kain yang diberi sedikit air atau dengan penyedot debu (vacuum
cleaner).(Yoshino :2004)
Tatami sudah digunakan sejak Zaman Heian (794-1185. Memasuki zaman
Muromachi (1333-1568) lantai rumah pada rumah tradisional Jepang sudah dilapisi
semua dengan tatami. Tatami meliputi lantai, futon (kasur lipat yang disimpan didalam
oshiire/lemari didalam dinding). Sejak saat itu tanpa sesuatu yang besar atau furnitur
yang spesifik, maka fungsi ruangan menjadi berubah total.
gambar 3 Tatami (William : 2004)
d) Ranma (らんま)
Ranma atau jendela kecil di atas pintu yang memiliki ukiran yang berada di atas
dinding dan digunakan di antara shoji dan plafon untuk memberikan sirkulasi udara dan
cahaya. Ranma dibuat dalam berbagai macam variasi ukuran. Di daerah barat ranma
digunakan sebagai ventilasi dan dekorasi dinding. Ranma dapat ditempatkan sebagai
shoji, dalam dinding atau dengan cahaya dibelakang dekorasi tersebut. Cahaya dapat
29
ditempatkan di belakang ranma untuk menerangi sebuah desain bangunan. Ranma dapat
dikatakan sebagai kusen. (Japanese room interior design and material :2004)
gambar 4 Ranma ( Yoshino : 2004)
e) Tokonoma (床の間)
Tokonoma adalah suatu ruangan yang berukuran lebih kecil dari ruangan yang
ada di dalam rumah. Letaknya berada di dalam kamar dengan posisinya lebih tinggi
beberapa inchi dari lantai tatami (gaya ruangan masyarakat Jepang).
Alasan mengapa tokonoma dibuat satu tingkat lebih tinggi dari lantai sebuah
ruangan (tatami) adalah karena pada zaman dahulu sebelum pengaruh agama Budha
masuk ke Jepang, bangsa Jepang telah mengalami sistim kepercayaan dinamisme yaitu
percaya bahwa alam adalah segalanya dan dapat dikatakan sebagai dewa bagi mereka.
Mereka juga percaya bahwa kesucian orang Jepang berasal dari alam dan kemudian
menciptakan manusia sebagai bagian dari alam. Maka mereka sering melakukan
persembahan kepada dewa-dewa mereka di dalam sebuah ruangan yang dilengkapi
debgan segala yang berbau alam seperti: ikebana dan dupa. Lantai pada ruangan
persembahan ini sengaja dibuat satu tingkat lebih dari ruangan tatami dengan alasan
bahwa lantai atas pada ruangan pemujaan ini diilustrasikan sebaga dewa, sedangkan
lantai bawah (tatami) diilustrasikan sebagai manusia. Pada akhirnya setelah pengaruh
30
agama Budha mulai masuk ke Jepang maka ruangan persembahan ini pun telah berubah
menjadi sebuah bangunan yang dinamakan Butsudan (altar bagi agama Budha). Seiring
dengan berjalannya waktu maka Butsudan ini telah berubah menjadi sebuah bangunan
yang dinamakan tokonoma.
Ruangan ini sengaja dibuat sebagai cara untuk mempermudah atau membuat
nyaman seseorang ketika merenung atau berkhayal. Kebiasaan membuat ruangan seperti
ini ada sejak periode Muromachi (1573-1603).
Jika dilihat sepintas, ruangan tanpa pintu ini cukup luas, padahal yang
sebenarnya tidaklah demikian, sebab pada awalnya ruangan ini hanyalah berfungsi
sebagai tempat untuk menggulungkan atau memajang hiasan dinding berupa gulungan
dengan motif Budha dan dibawahnya diletakkan sebuah meja kecil dengan tempat
pembakaran dupa. Jadi secara otomatis ruangan ini akan penuh dengan harum dupa.
Tentunya perubahan zaman akan mempengaruhi pula pada fungsi dan tata
ruangan ini. Terbukti kini ruangan ini menjadi tempat untuk menghilangkan kepenatan.
Mereka bisa beristirahat dengan nyaman dan santai di ruangan ini dan hiasan-hiasan di
dindingpun berubah pula, berganti dengan kaligrafi-kaligrafi atau pemandangan alam
yang indah dan cantik dengan meja dan jambangan-jambangan bunga juga beberapa
hiasan benda seni lainnya.
Di dalam tokonoma ini tidak memajang sesuatu yang berbeda untuk menciptakan
sebuah suasana yang baru sesuai dengan kehendak si pemilik rumah ataupun sesuai
dengan musim yang sedang berlaku. (Gozali, 2004 : 24)
Menjelang Zaman Muromachi (1392-1573) tokonoma telah mengalami
peningkatan lantai dapat digunakan sebagai sebuah pangggung atau rak dan berfungsi
sebagai tempat untuk menggantungkan gambar sang Budha atau lukisan kaligrafi dari
31
pendeta Zen, bersamaan dengan vas bunga dan juga dupa. Tempat lilinpun kemudian
berangsur menghilang. ( Yoshino :2004).
Pada zaman Azuchi Momoyama (1573-1603), tokonoma telah menjadi suatu
bangunan standar permanen sebagai bagian dari tujuan untuk memperlihatkan benda-
benda seni yang dianggap sangat beharga dan untuk menghias atau memperindah
ruangan. (Jaanus : 2004).
Ada beberapa komponen yang biasanya terdapat pada tokonoma, yakni
tokobashira /床柱 , yaitu tiang atau pilar dari tokonoma. Tiang ini berguna untuk
menegaskan dimana panggung kecil dari tokonoma itu berdiri. Di dalam chashitsu/茶室
(ruangan minum teh), tokobashira biasanya dibuat dari batang kayu pohon cemara yang
belum jadi. Sedangkan lukisan biasanya digantung ditengah-tengah dinding tokonoma.
Rangkaian bunga ditempatkan di atas meja kecil di depan lukisan. Elemen
tokonoma selanjutnya adalah tokogamachi/床がまち, yaitu bingkai tokonoma bagian
bawah. Kemudian otoshigake/落し掛け、yaitu bingkai tokonoma bagian atas. Lantai
tokonoma harus dilapisi dengan tatami /畳. Tokonoma di dalam chashitsu 茶室 (ruang
untuk upacara minum the formal) dinamakan hondoko/ 本床.
gambar 5
Hondoko (Tea-ceremony : 2005)
32
Sedangkan untuk tokonoma pada ruang upacara minum teh semi formal
dinamakan ryakushiki-doko. Ryakushiki –doko ini terbagi menjadi:
a) Kabe-doko/ 壁床 , yaitu tokonoma yang meninggalkan seluruh elemen
tokonoma yang ada di hondoko, seperti: tokobashira, toko-gamachi, otoshi-
gake dan juga tidak menggunakan lantai tatami. Bagian dindingnya dibuat
untuk mengantungkan lukisan atau tulisan kaligrafi.
b) Oribe-doko/織部床, yaitu ryakushiki-doko yang pada bagian atas kabe-doko
terpasang kayu yang dinamakan oribe-ita. Oribe-ita ini berfungsi sebagai
pelindung gantungan lukisan atau tulisan kaligrafi.
c) Oki-doko/ 置き床 , yaitu ryakushiki-doko yang papan kayunya dapat
dipindah-pindahkan dan diletakan di depan kabe-doko.
d) Tsuri-doko 釣床, yaitu tokonoma yang papan kayunya tergantung.dan
terdiri dari kabe-doko/ 壁床 dan otoshi-gake/落し掛け.
gambar 6
Ryakushi-doko (Tea-ceremony : 2004)
33
Di dalam tokonoma bergaya shoin (書院), kita dapat menemukan meja kecil
yang dinamakn tsukeshoin. Tsukeshoin ini berfungsi untuk memajang alat-alat untuk
menulis. Kemudian elemen selanjutnya adalah rak-rak bersusun (chigaidana) yang
berfungsi untuk memajang benda-benda koleksi pribadi seperti; buku atau alat-alat
untuk jamuan minum teh. Sebagai penambahannya adalah pintu dekorasi (chogaidome)
yang digunakan sebagai elemen tambahan pada tokonoma. Chogaidome ini mempunyai
ciri khusus, dimana pintu geser ini dilukis dengan berbagai hiasan. Di tembok bagian
lain biasanya ada jendela yang berguna untuk membiarkan cahaya masuk kedalam
ruangan, dan setiap tokonoma memiliki karakteristik tersendiri. (Display-tokonoma:
2004)
Sebagai seorang tamu yang dihormati biasanya duduk di depan atau tepat di
sebelah tokonoma, Bagaimanapun ini dikarenakan dari penataan ruang tempat duduk
untuk tamu maka bagian belakang dari badan si tamu adalah tokonoma. Si tuan rumah
bertatapan langsung memandangi tokonoma ketika sedang berbicara dengan si tamu, hal
ini mungkin dikarenakan sejak si tuan rumah telah meluangkan waktu utuk memilih
dengan seksama lukisan yang tepat untuk dipajang sesuai dengan situasi dan kondisi.
Dan bersamaan dengan itu si tamu pada umunya melihat ke daerah taman yang secara
langsung berlawanan pandang dengan tokonoma. ( Yoshino : 2004).
Tokonoma juga dapat dikelompokan lagi sesuai dengan ukuran besar dan
lebarnya menjadi:
a) Masu-doko/升常, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sentengah ukuran
lantai tatami.
34
b) Daime-doko/台目床, yaitu tokonoma yang berukuran daime tatami.
c) Ikken-doko/一間床, yaitu tokonoma yang berukuran maru-tatami(丸畳).
d) Nana-shaku-doko/ 七尺床, yaitu tokonoma yang lebarnya sekitar 212—227
cm (satu shaku berukuran sekitar 30.3 cm).
e) Hasshaku-doko/八尺床, yaitu tokonoma yang berukuran delapan shaku atau
setara dengan 272cm.
f) Kyuushaku-doko/九尺床, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sembilan
shaku atau setara dengan 302cm.
Mempertimbangkan fakta bahwa ketika tokonoma menjadi sangat terkenal di
masa Meiji (1868-1912), kebanyakan orang-orang tidak memiliki lukisan atau
semacamnya yang seharusnya terpajang bersamaan dengan benda-benda seni yang lain,
yang seharusnya berada disana.
Pada saat itu banyak pemilik rumah di Jepang telah mencapai suatu kekayaan
tertentu, namun ingin kembali seperti dahulu karena merasa rindu dengan masa itu.
Setelah masa itu sebuah ruang tamu tidak dikatakan lengkap apabila ruangan tersebut
tidak ada tokonoma, dan memiliki tokonoma merupakan suatu kebanggan tersendiri.
Sampai dengan abad ke-19, hampir tidak ada tokonoma di setiap rumah-rumah baik di
desa maupun di kota. Untuk saat ini di perumahan-perumahan kota Kyoto,
kesempurnaan sebuah keluarga (rumah), bukan hanya terletak pada adanya sebuah
lukisan di dinding ataupun benda-benda seni lainnya di tokonoma, akan tetapi penutup
yang terpisah dari gudang.
Di dalam sebuah rumah, ruang tempat duduk atau semacam ruang tamu (座敷/
和室 ) untuk tempat bersantai saat ini yang lebih diperhitungkan adalah dengan
35
terdapatnya sebuah rak (chigaidana) pagar/bingkai tokonoma (tokogamachi), dan sebuah
meja baca dengan rak susun yang semuanya itu termasuk di dalam elemn-elemen
tokonoma. (Atsusi ,1990:91)
gambar 7.
Tokonoma (Yoshino : 2004)
3.3 Contoh-Contoh Tokonoma di Kota Tokyo dan Kyoto
Pada tahun 1868 pemerintahan Tokugawa runtuh, mengiringi masuknya era
pemerintahan modern. Kaisar Meiji meninggalkan Kyoto dan menempati tempat tinggal
di Edo, yang sekarang berubah nama menjadi Tokyo (“eastern capital”/Ibu kota
wilayah timur), dan menjadi pusat dari kekuasaan negara. Pada masa transisi seperti ini,
era ini disebut sebagai masa “Restorasi Meiji” (berhubungan dengan “restorasi” kaisar
sebagai penguasa yang syah menurut hukum dari negara tersebut termasuk Shogun).
Dan pemerintahan Kaisar Meiji ini sekarang lebih dikenal dengan masa pemerintahan
Meiji (Meiji Period).
Masa pemerintahan Meiji memiliki ciri-ciri yaitu melakukan penolakan terhadap
sistim dan budaya pada masa Edo dan mulai berkembangnya sistem modernisasi
36
pemerintahan, dan pada hakekatnya bersamaan dengan berlakunya budaya barat
(westernization). (Inaba, 2000: 93-94).
Sebelum runtuhnya pemerintahan Tokugawa Shogun, perumahan bergaya
kebarat-baratan telah dipergunakan untuk para diplomat asing dan para pedagang.
Budaya kebarat-baratan seperti ini tidak hanya pada penataan perumahan tetapi juga
pada gaya makanan, gaya pakaian dan sebagainya, yang semuanya ini telah sebagian
besar membaur pada akhir abad ke-19. Meskipun demikian bangsa Jepang mulai
membangunnya pertama kali untuk mereka gunakan sendiri.
Perumahan bergaya kebarat-baratan yang dibangun seperti ini tidak terlalu
banyak dibandingkan dengan perumahan paviliun yang dibangun sebagai hiburan atau
membedakan para masyarakat pendatang (tamu). Keluarga yang tinggal di rumah yang
bergaya Jepang memasang samping rumahnya dengan serambi yang biasa ada atau
dengan membuat lorong kecil. Intisari dari rumah bergaya Jepang adalah membuat lebih
sederhana bangunan yang bergaya Shoin (Shoin Style), kemudian memisahkan ke dalam
dua bagian yaitu bagian ruang formal dan ruang keluarga.
Bagian formal sebagian besar terdiri dari seperempat ruangan kepala rumah
tangga , atau sebuah ruangan yang digunakan untuk acara santai (acara tidak resmi),
yang dilengkapi dengan zashiki/ 座敷 (ruang duduk ala Jepang), yang termasuk
didalamnya adalah sebuah ruang dekoratif (tokonoma/床の間 ) lengkap dengan rak