Universitas Indonesia 25 BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM SERAT WULANGREH 3.1 Pengantar Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan); yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi. Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb) (2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis. 25 Aspek-aspek religiusitas..., Dhanang Pramudito, FIB UI, 2009
37
Embed
BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM … Serta dapat mempunyai rasa yang sejati untuk mencapai kesempurnaan dalam kehidupan. Kata weruh menurut Kamus Bausastra Jawa Poerwadaminta
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Universitas Indonesia
25
BAB 3
ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS
DALAM SERAT WULANGREH
3.1 Pengantar
Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah
satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam
penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas
yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam
buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan);
yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan
orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain
pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi.
Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif
terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis
dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan
dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di
dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb)
(2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti
penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah
penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang
dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu
di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan
interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis
terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud
adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis.
(rila) dengan mengandalikan emosi (sabar) karena manusia sadar bahwa yang
dijalani itu sebagai jalan keutamaan/ ketuhanan untuk menggapai anugerah Tuhan
yang telah dijanjikannya.
Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian dari
Sasmita, kemudian di bawah ini akan diberikan contoh Sasmita .
Mrih padanging sasmita (Wulangreh;Dhandhanggula:1), pada bait ini
mempunyai arti tanda yaitu ajaran yang disebarluaskan oleh para pujangga dengan
cara pelan-pelan dan lembut agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti/dipahami
oleh manusia. Tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan disampaikan lewat para
pujangga melalui karyanya dalam hal ini yaitu Serat Wulangreh yang diciptakan
oleh Pakubuwana IV. Dalam proses memberikan pemahaman mengenai tanda-
tanda tersebut, pujangga (Pakubuwana IV) melakukan dengan penuh rasa
kehatian-hatian agar tidak timbul rasa akan mendahului kehendak Tuhan (Bendul/
azab yang akan dikenakan bagi orang yang mendahului kehendak Tuhan)11 .
Seseorang yang telah menjalani perintahNya sesuai dengan sasmita (dalam
hal ini di serat wulangerh) yang diberikan biasanya akan mendapatkan anugerah
Tuhan berupa wahyu/pulung (Ibid..7). Wahyu menurut Kamus almunawir Arab-
Indonesia berarti:1. syariat, petunjuk; 2. tulisan, risala; 3. ilham; 4. sesuatu yang
disampaikan oleh Allah kepada nabinya; 5. perkataan yang samar (A.W Munawar,
1984:1649). Sunoto (1987:29) mengatakan bahwa wahyu dapat diperoleh/dicapai
melalui perjuangan yang ulet dan tekun. Selanjutnya, Sunoto juga membagi
wahyu/pulung menjadi dua yaitu pulung berupa cahaya, dan pulung berupa
manusia12. Sasmita yang diterima oleh manusia dalam bentuk wahyu dilakukan
11 Darmoko.2007. Dalam Buku Ajar mata kuliah Religi Jawa. FIB. 12 a. Pulung berupa cahaya, yaitu dikisahkan tentang bayi lahir dan mengandung cahaya, bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai kekeuasaan atau setidak0tidaknya mempunyai keturunan yang dapat menguasai kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok. b. Pulung berupa manusia, dikisahkan melalui lakon wayang yang terkenal yaitu wahyu Cakraningrat. Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu putra raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, putra raja Dwarawati yaitu Samba dan putra R.Harjuna yaitu Angkawijaya. Dan akhirnya yang mendapatkan wahyu Cakraningrat yaitu Angkawijaya setelah melalui serangkaian berbagai macam ujian yang dihadapi.
memahami mengenai petunjuk tersebutt dan juga mengerti mengenai rasa yang
sejati maka kehidupan manusia akan dapat menjadi sempurna seperti yang telah
diuraikan pada Serat Wulangreh.
Sama seperti penjelasan di atas, pada bait ini juga akan menjelaskan arti
dari sasmita yaitu sebagai tanda. Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih
lantip(Wulangreh; Kinanthi:1) , dalam bait ini kata sasmita juga sama diartikan
sebagai tanda. Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk melatih dengan cara
mengasah kalbu/hati, agar mampu dan pandai untuk memahami tanda-tanda yang
diberikan oleh Tuhan. Kalbu diperlukan sebagai wadah untuk pencapaian
pengetahuan tentang kehidupan13. Hal itu dapat berjalan dengan baik, apabila
manusia dapat mengendalikan makan dan tidur.
Dalam bentuk sasmita yang terdiri dari tiga bagian tersebut, dicontohkan
melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam lakon pewayangan misalnya sebagai satu
contoh yaitu Ki Ageng Giring yang mendapatkan sasmita berupa weca dari Tuhan
melalui suara gaib dibalik suatu benda, benda yang dimaksud yaitu suara gaib
yang muncul dibalik pohon kelapa. Dalam Babad Tanah Jawi (1980:88)
diceritakan sebagai berikut:
Bahwa selain tekun dalam bertapa, ia juga mempunyai pekerjaan sebagai penyadap aren. Pada waktu pagi Ki Ageng sedang memanjat pohon, di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi sebelumnya belum pernah berbuah. Pada saat itu buahnya hanya satu masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bamboo di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Arah suara itu dari sebuah kelapa muda. Suara tersebut berbunyi “Ki Ageng Giring, wroehanamoe, sapa kang ngombe banyu dawegan iki, jen kongsi entek, iku saturun-turune bakal dadi Ratu Gedhe, mengko ing tanah Djawa kabeh”, arti dalam bahasa Indonesianya yaitu “Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang meminum air degan ini habis seketika, kelak seanak turunnya semua akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa”. Singkat cerita, degan tersebut tidak sempat diminum oleh Ki Ageng Giring karena dia merasa belum haus, dan akhirnya degan itu dimunum oleh Ki Ageng Mataram kemudian dialah yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Jadi dengan demikian, dari ketiga pengertian mengenai sasmita dapat
diberikan kesimpulan bahwa mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda.
Tanda tentang kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untuk dapat dipahami dan
merasa, merasa cocok, perasaan. II. a. Rahasia, gaib, ilmu rasa: ilmu yang
membicarakan hal-hal yang gaib (Poerwadaminta, 1939:521 b). Dari beberapa
pengertian mengenai rasa yang ditemukan, bahwa konsep rasa orang Jawa
berkaitan dengan hal-hal/keadaan yang bersifat jasmani/lahiriah dan yang bersifat
rohani/batiniah (Wahyono, 2003:1). Rasa lahiriah meliputi indera yang terdapat
pada manusia (perasa, peraba, penglihatan, pembau), sedangkan rasa batiniah
berhubungan dengan rasa religius (spiritual), rasa Ketuhanan, maupun rasa
kerohaniawan, yang dalam budaya Jawa disebut sebagai rasa jati/rasa sejati14.
Wahyono mengatakan, seperti yang disunting oleh Gonda bahwa:
Dalam naskah-naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan juga disebut rasa, tetapi bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami pada tubuh, melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang jernih dan bersih bisa menerima rasa tertinggi yang suci dan tanpa cacad. Di satu sisi suksma dan rasa dianggap berkaitan, tetapi bukan prinsip yang identik. Di sisi lain keduanya dapat saling dipertukarkan atau suksma bisa disebut rasa sejati (Gonda, 1952,158).
14 Laporan Penelitian Darmoko.1996.Rasa Dalam Budaya Jawa.hal 23.
“Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin ia bersatu dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya” (Franz Magnis Suseno, 1993:197).
Dengan kata lain kepekaan batin seseorang, diperlukan untuk mengukur tingkat
pemahaman diri manusia mengenai rasa.
Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa,
Sunoto Wahyu Keraton akan dapat dicapai melalui perjuangan yang ulet dan
tekun, sehingga apabila manusia telah mendapatkan wahyu Keraton maka akan
dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi (1987:29).
Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah,
wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore
ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada
20; halaman 23).
Laku utama, maksud yang tercantum pada kata tersebut ialah manusia
dalam menjalankan lakunya tidak menunjukkan kesombongannya, rahasia yang
dimiliki tidak diberitahukan kepada orang lain, serta dalam hidupnya selalu
mengalah dan tidak mau menang sendiri. Hal itu dapat dipergunakan sebagai
teladan hidup manusia dalam menjalani segala macam bentuk kehidupan.
Pakubuwana IV juga meberikan nasihat yang terdapat pada bait ini, untuk tidak
meninggalkan ajaran laku tersebut.
Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk
nugraha/, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing
ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25).
Maksud dari aspek laku yang dimaksudkan pada bait ini ialah lebih
ditekankan pada perjuangan yang dilakukan oleh para wali-wali dan para satria
demi untuk mencapai yang menjadi dari tujuan masing-masing. Dijelaskan bahwa
para wali berjuangan dalam menyebarkan agama islam ke seluruh umatnya
dengan tujuan untuk mendapatkan pahala20. Kemudian para satria yang
berjuangan dengan tangguh di dalam peperangan21. Dengan demikian, bait ini
menegaskan kepada para generasi penerus untuk mengikuti perjuangan seperti
yang telah dijelaskan di atas,dan supaya dapat menjadi tauladan bagi kehidupan
manusia (generasi penerus). Dalam hal ini laku yang dimaksud lebih pada
perjuangan untuk mencapai kesempurnaan.
20 Pahala menurut KBBI ialah buah, hasil, dalam hal ini ganjaran bagi yang berbuat amal kebaikan di jalan Tuhan (1996:976). 21 Peperangan ialah pertempuran, perkelahian antara dua kelompok dengan mempergunakan senjata (Ibid.,1038).
petuntuk yang datang dari Tuhan dan diberikan kepada manusia yang telah
terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu/pulung tersebut dapat
diterima oleh seseorang jika telah melakukan tapa brata dengan oerjuangan yang
hebat. Dalam buku Kebudayaan Jawa koentjaraningrat (1994:372) memaparkan
tentang berbagai cara dalam menjalankan tapa yaitu sebagai berikut :
1. Tapa ngalong22, yaitu melakukan tapa dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa ngluwat, yaitu bertapa di samping makam (makam nenek moyang atau orang keramat) untuk suatu jangka waktu tertentu.
3. Tapa bisu, yaitu bertapa dengan cara menahan diri untuk tidak berbicara. Cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu bertapa dengan tidak mandi dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
5. Tapa ngramban, yaitu bertapa dengan cara menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.
6. Tapa ngidang, bertapa dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan. 7. Tapa ngambang, bertapa dengan cara merendam diri di tengah sungai
selama beberapa waktu yang sudah ditentukan. 8. Tapa ngeli, yaitu cara bertapa dengan cara membiarkan diri dihanyutkan
arus air di atas sebuah rakit. 9. Tapa tilem, bertapa dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu
tanpa makan apa-apa. 10. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk-pauk dan 11. Tapa mangan, dilakukan dengan cara tidak tidur , tetapi boleh makan.
Menurut Sunoto (1987: 36) seseorang akan mendapatkan wahyu/ pulung
setelah melakukan tapa brata dan melalui perjuanagan yang hebat. Diceritakan
dalam lakon wahyu cakraningrat bahwa:
Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu kraton itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu Putra Raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, Putra Raja Dwarawati yaitu Samba dan Putra R. Harjuna yaitu Angkawijaya. Mereka semua bertapa dan meminta karunia Dewa menurut cara masing-masing dan semuanya itu dilakukan dengan penuh ketekunan. Wahyu Cakraningrat mula-mula memasuki tubuh Leksmana Mandra Kumara. Kemudian ia lupa karena harus mampu menahan dalam mengatasi godaan serta ujian. Atas kelengahannya itu ia tidak mampu mengatasi godaan, sehingga Wahyu Cakraningrat keluar dati dalam tubuhnya dan hilanglah untuk menurunkan raja yang dapat memerintah Tanah Jawa. Selanjutnya Wahyu Cakraningrat mendatangi R. Samba dan masuk ke dalam tubuhnya. Sama halnya dengan Leksmana Mandra Kumara juga tidak mampu mengatasi ujian berupa godaan yang dilakukan oleh wanita. Ia lupa pesan akan dapat mengatasi godaan tersebut. Kemudian Wahyu Cakraningrat itu, jatuh
22 Istilah ngalong berasal dari kata kalong. Jadi ngalong berarti bergantung seperti hewan kalong (=kelelawar).
kepada R. Angkawijaya seorang satria yang memang tekun bertapa dan membersihkan dirinya dari segala godaan dan cobaan. Wahyu Cakraningrat kemudian memasuki tubuh R. Angkawijaya dan sesaat kemudian godaan dating berupa seorang wanita yang sangat cantik. Dengan penuh cara wanita tersebut menggodan satria dan dengan tenang dan tabah pula sang satria menolak godaan tersebut. Akhirnya luluslah R. Angkawijaya dari ujian-ujian itu dan berhasil memperoleh wahyu Cakraningrat atau wahyu kraton yang mempnyai arti bahwa kelak ia akan mampu menurunkan raja-raja di atanah jawa.
Selanjutnya terdapat cerita dalam babad mengenai tapa, Babad Tanah Jawi
yaitu Jaka Tingkir yang bertapa atas rakit (dijaga oleh bajul 40 ekor) ketika
mengadakan perjalanan ke Banyubiri tiba-tiba wahyu/pulung kraton berupa caha
yang memancar (tidak menyilaukan) berada tepat di atas Jaka Tingkir dan masuk
ke dalam tubuhnya. Ki Ageng Banyubiru mengatakan bahwa wahyu/pulung krton
telah berpindah dari Sultan Trenggana kepada Jaka Tingkir. Selain itu, terdapat
juga dalam lakon wayang yaitu lakon wahyu Pncadarma, dikisahkan ketika
Yudhistira bertapa ke hutan Kandhawawakstra (hutan Kamiaka) kemudian
mendapat wahyu darma/pancadarma yang berisi tentang ajaran keutamaan sikap
dan perilaku dalam kehidupan di dunia dari Batara Darma. Terdapat juga lakon
Wahyu Makutharama yang berisi ajaran tentang keutamaan kepemimpinan
Dalam simpulan peneliti memberikan tabel dengan tujuan, agar mudah
dalam memahami hasil dari proses analisis data. Tabel tersebut yaitu sebagai
berikut:
No Klasifikasi data Deskripsi data Analisis data
I
1
Sasmita
Pamedharing wasitaning ati, cumanthaka aniru pujangga, dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, paksa ngrum-rum pustaka, basa kang kalantur, tutur kang katular-tular, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita. (Pupuh Dhandhanggula; pada 1; halaman 3)
2 Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)
Bait ini menceritakan tentang tanda atau gejala dalam kehidupan ini akan terasa sulit dan membingungkan jika tidak diterapkan dalam kehidupan. Tanda tersebut diterapkan untuk dapat mengetahui rasa yang sejati yang berada dalam batin atau kalbu, dan selalu mengupayakan kesempurnaan dalam kehidupan kita masing-masing.
Sasmita bait ini berarti
tanda, yaitu tanda
yang datang dari
Tuhan agar untuk
dapat dimengerti dan
dipahami dan
berkaitan dengan rasa
sejati dalam
mengupayakan
kesempurnaan diri.
3 Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesti, pesunen sariranira, sudanen dahar lan guling. (Pupuh Kinanthi; pada
Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)
Kata Rasa pada bait
ini menunjuk arti
kata rasa yang
sejati, yaitu suatu
perasaan yang telah
mencapai suatu
tahap keutamaan
dengan cara
memahami tanda-
tanda yang terdapat
dalam kehidupan
ini dan agar
mencapai
kesempurnaan.
Rasa yang dimaksud
bait ini yaitu rasa
sejati yang terdapat
dalam diri manusia
apabila telah mencapai
tingkatan makrifat
(sembah rasa) agar
tercapai kesempurnaan
diri.
2 Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa, anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah
sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)
sejati. Dijelaskan
bahwa “rasa sejati”
terdapat dalam al-
quran yaitu untuk
mengertahuinya
dan mengerti ajaran
di dalamnya, perlu
dipilih orang yang
benar-benar
mengerti
pengetahuan lahir
dan batin. Agar
tidak terjerumus
serta bingung.
pedoman bagi
manusia.
3 Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)
Kata Rasa ini
menceritakan
mengenai rasa diri,
yaitu rasa dimana
manusia tidak
boleh diungguli
atau direndahkan
dan tidak ada yang
dapat mampu
menandinginya.
Rasa yang dimaksud
yaitu rasa
kesombongan yang
terdapat dalam diri
manusia, merasa
dirinya pling unggul
diantara yang lain.
4 Saking ibu rama margane udhani, miwah maratuwa, lanang wadon den bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8)
5 Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9)
Kata Rasa bait ini
menceritakan
mengenai rasa yang
memancarkan
benih, yaitu dengan
maksud
menghormati dan
menaati saudara-
saudara tua atau
sesepuh, karena
nantinya saudara
tua akan manjadi
pengganti orang tua
kita
Rasa yang terkandung
dalam bait ini
mempunyai makna
yaitu rasa sejati
didapatkan dengan
cara menghormati
saudara tua , karena
sebagai pengganti
orang tua.
6 Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20)
7 Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur, pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21)
Rasa dapat
diartikan sebagai
rasa yang sombong,
karena diceritakan
khususnya pada
anak muda
sekarang ini jika
dinasihati tidak
mau ada yang
mendengarkan dan
berlaku semaunya
bahkan merasa
dirinya sudah
pandai dan mampu.
Rasa mempunyai
makna sebagai rasa
sombong khusunya
kepada generasi muda
karena merasa sudah
mampu dan pandai
menghadapi
kehidupan ini.
8 Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih carita. (Sinom; pada 2; halaman 21)
Rasa mengandung
pengertian yaitu
menganggap
dirinya pandai dan
banyak bercerita,
sesungguhnya hal
seperti itu memang
bodoh karena
hanya ingin dirinya
dihargai.
Rasa yang dimaksud
yaitu rasa yang ingin
dirinya disanjung oleh
orang lain.
9 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)
3 Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis. (Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4)
Walaupun
seseorang tidak
mengikuti jejak
maling, akan tetapi
pasti mengetahui
tindakan apa yang
dilakukannya.
Perbuatan buruk itu
akan menggiring
seseorang untuk
dekat dengan
tingkah laku
iblis/setan.
Laku disini berarti
tindakan untuk
menjauhi perbuatan
buruk yang akan
berdampak buruk bagi
siapa saja yang
melakukannya.
4 Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki. (Pupuh Kinanthi; pada
5 Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5)
Manusia diberi akal
oleh Tuhan untuk
dapat memilih yang
bermanfaat bagi
dirinya. Seperti
yang dijelaskan
pada bait ini untuk
menyaring segala
nasihat baik yang
buruk maupun yang
bagus, dan agar
senantiasa selalu
berhati-hati dalam
bertindak di
kehidupan ini.
Laku berarti
kemampuan seseorang
untuk dapat memilah-
milah mana yang
terbaik dan bermanfaat
bagi dirinya di dalam
kehidupan.
6 Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong. (Pupuh Gambuh; pada
7 Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5; halaman 7)
Sudah menjadi
watak dari manusia,
apabila ingin
mengetahui sikap
dan perilaku yang
terdapat pada diri
seseorang yaitu
dapat diketahui dari
cara bicaranya
maupun jalannya
karena hal itu sudah
menjadi tolok ukur
bagi setiap
manusia.
Laku berarti sikap dan
cara berjalan manusia
dalam melakukan
aktivitasnya, untuk
dapat mengetahui
watak dari setiap
manusia. Apakah baik
atau buruk.
8. Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7)
9 Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)
Orang dalam
menjalani laku
pada awalnya ada
yang berakhir
dengan kebaikan,
tetapi ada pula yang
berakhir dengan
keburukan.
Laku berarti usaha
seseorang dalam
menjalani/melakukan
aktivitas pendekatan
diri kepada Tuhan ada
yang berakhir dengan
kebaikan dan
keburukan.
10 Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendu, mula padha estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20)
Dalam kehidupan
ini, manusia
diperintahkan
untuk melakukan
rukun (islam) yang
berjumlah lima.
Dijelaskan bahwa
siapa yang tidak
melaksanakan,
maka akan
menrima
ganjarannya yaitu
siksa.
Laku di sini berarti
usaha seseorang dalam
melakukan perintah
Tuhan, dalam
melaksanakan rukun
(islam) yang lima itu.
11 Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20)
12 Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun, wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21)
Dalam menjalani
kehidupan ini,
manusia
diperintahkan
untuk tidak
melakukan
perbuatan yang
buruk karena akan
membuat malu
dirinya sendiri, dan
agar melakukan
perbuatan yang
baik.
Laku berarti perintah
manusia untuk
meninggalkan dan
tidak melakukan
perbuatan yang buruk
di dalam kehidupanya.
13 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)
14 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada 20; halaman 23)
Seseorang dalam
menjalani
kehidupannya
senantiasa untuk
berprilaku yang
baik, salah satunya
dengan cara rendah
hati, dan hal ini
dapat dijadikan
sebagai pedoman
dalam berprilaku.
Laku di sini
mempunyai makna
ialah laku yang utama,
yaitu bertindak dengan
kehati-hatian dan
waspada.
15 Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk nugraha, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25)
16 Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana, kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26)
Sikap para satria
yang menunjukkan
keberanian dalam
berperang, untuk
dapat diketahui dan
dipahami agar
dapat berimbas
dalam kehidupan
manusia yaitu
usaha untuk meraih
sesuatu perlu
dengan
pengorbanan dan
perjuangan yang
tidak ringan.
Laku berarti
perjuangan para satria
yang pemberani dalam
berperang (dalam
perjalanan negeri)
melawan keangkara
murkaan demi untuk
menegakkan
kebenaran.
IV
1
Tapa
Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4; halaman 3)
2 Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula. (Sinom; pada 19; halaman 23)
Tapa yang dengan pura-pura, maksudnya yaitu tidak diketahui oleh orang lain. Hal ini dilakukan untuk agar mendapatkan wahyu kerajaan Jawa (keraton). Sikap sombong dan angkuh, serta congkak dihindari dalam bertindak di kehidupan ini.