5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uterus 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8 cm, lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus uteri, Fundus uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda transisi antara corpus dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang merupakan penghubung antara corpus uteri dan ovarium disebut Tuba uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas uteri di dalam Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis atau miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium (Paulsen dan Waschke, 2013). (Encyclopaedia Britannica, 2010) Gambar 2.1 Anatomi Uterus Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina dan Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut
23
Embed
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41369/3/jiptummpp-gdl-arifatulja-46886-3-bab2.pdf · yang disebabkan oleh potensial aksi tersebut dan sangat bergantung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uterus
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Uterus adalah organ genitalia femina interna yang memiliki panjang 8
cm, lebar 5 cm dan tebal 2-3 cm. Bagian-bagian uterus antara lain Corpus
uteri, Fundus uteri, Cervix uteri, serta Isthmus uteri yang menjadi penanda
transisi antara corpus dan cervix. Bagian memanjang di kedua sisi yang
merupakan penghubung antara corpus uteri dan ovarium disebut Tuba
uterina. Terdapat dua ruang dalam uterus, yaitu Cavitas uteri di dalam
Corpus uteri dan Canalis cervicis di dalam Cervix uteri. Dinding uterus
terdiri dari 3 lapisan. Dimulai dari yang terdalam yaitu Tunica mukosa atau
endometrium, kemudian lapisan otot yang kuat disebut Tunica muscularis
atau miometrium, dan lapisan terluar adalah Tunica serosa atau perimetrium
(Paulsen dan Waschke, 2013).
(Encyclopaedia Britannica, 2010)
Gambar 2.1 Anatomi Uterus
Posisi uterus normal memiliki sudut di bagian ventral terhadap vagina
dan Corpus uteri melekuk ke anterior Portio vaginalis cervicis atau disebut
6
posisi antefleksi. Hal ini mencegah adanya prolaps Uterus melalui Vagina
selama peningkatan tekanan intraabdominal saat batuk dan bersin (Paulsen
dan Waschke, 2013).
Otot polos uterus terdiri dari 2 sel penting, yaitu sel-sel otot polos dan
sel intersisial yang disebut telocyte. Sel-sel ini dapat ditemukan di organ lain
seperti jantung, trakea, placenta, pembuluh darah, dan lain-lain (Cretoiu, et
al., 2013).
Perkembangan uterus dipengaruhi oleh hormon maternal dan
plasental. Pada saat lahir, besarnya Corpus uteri lebih kecil atau sama
dengan besar Cervix uteri. Saat dewasa, ukuran corpus uteri dua atau tiga
kali lebih besar dari cervix. Uterus divaskularisasi oleh 2 arteri uterina,
cabang dari arteri illiaca interna yang masuk mulai dari kedua sisi lateral
bawah uterus. Target steroid seks ovarium adalah endometrium. Seiring
dengan pertumbuhan folikel, terjadi perubahan histologik pada
endometrium. Ada 2 lapisan pada endometrium, yaitu lapisan basalis atau
nonfungsional dan lapisan fungsional. Lapisan basalis menempel pada
miometrium dan tidak banyak berubah selama siklus menstruasi. Disebut
nonfungsional karena tidak memberikan respon terhadap stimulus steroid
seks. Lapisan di atasnya adalah lapisan fungsional yang memberikan respon
terhadap stimulus sterois seks dan nantinya akan terlepas pada saat
menstruasi. Pada hari ke-7 pascaovulasi terjadi peningkatan kadar estrogen
dan progesteron yang memicu sintesis prostaglandin sehingga permeabilitas
pembuluh darah kapiler meningkat dan terjadi edema stroma. Dengan
meningkatnya kadar estrogen, progesteron, dan prostaglandin, menyebabkan
7
proliferasi pembuluh darah spiralis yang berlangsung sampai hari 22. Sel
desidua mulai terbentuk pada hari 22-23 siklus (Noerpramana, 2011;
Samsulhadi, 2011).
Jika terjadi fertilisasi, uterus mengalami perubahan yang nantinya
mempengaruhi fisiologi hampir seluruh sistem dalam tubuh seperti
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Volume uterus bisa membesar
hingga 1000 kali, dan beratnya lebih dari 20 kali pada masa kehamilan.
Pertumbuhan ukuran volume dan berat ini merupakan hasil dari hiperplasia
dan hipertropi (Maruyama, et al., 2012).
Regulasi aktivitas uterus selama masa kehamilan terbagi menjadi 4
fase :
a. Fase 0, yaitu masa dimana terjadi aktivitas inhibitor yang
menyebabkan uterus tidak berkontraksi. Inhibitor yang bekerja di
antaranya progesteron, prostacyclin, relaxin, parathyroid hormone-
related peptide Nitric Oxide, kalsitonin, adrenomedullin, dan
peptida intestinal vasoaktif.
b. Fase 1 atau masa aktivasi myometrium dimana uterus mulai aktif
berkontraksi karena pengaruh dari uterotropin seperti estrogen.
Fase ini ditandai dengan menigkatnya ekspresi dari serangkaian
reseptor kontraksi seperti reseptor oksitosin dan prostaglandin,
aktivasi beberapa ion tertentu, dan peningkatan gap junction.
Adanya peningkatan gap junction adalah untuk pembentukan
kontraksi yang terkoordinasi.
8
c. Fase 2 atau fase stimulatorik, yaitu kelanjutan dari fase 1.
Kontraksi secara ritmis terjadi hingga menjelang partus. Hal ini
diperantarai oleh agonis uterotonik seperti prostaglandin dan
oksitosin.
d. Fase 3 atau fase involusi. Pada fase ini terjadi involusi uterus
setelah terjadi partus. Mekanisme ini paling dipengaruhi oleh
oksitosin (Safdar, et al., 2013).
2.1.2 Mekanisme Kontraksi
Kontraksi uterus memiliki fungsi penting dalam sistem reproduksi
wanita meliputi transport sperma dan embrio, menstruasi, kehamilan, dan
kelahiran. Kontraksi abnormal dan irreguler dapat menyebabkan masalah
infertilitas, kesalahan implantasi, dan kelahiran prematur. Sebaliknya, jika
kontraksi uterus tidak adekuat dan terkoordinasi, bayi akan sulit dilahirkan.
Lapisan yang paling berperan dalam kontraksi uterus adalah miometrium.
Pada dasarnya, uterus berkontraksi secara spontan dan reguler walaupun
tidak ada rangsangan hormonal. Selama masa kehamilan awal, uterus
cenderung dalam keadaan relaksasi. Kontraksi kuat akan muncul pada masa
menjelang partus di bawah pengaruh hormon oksitosin dan prostaglandin
(Rahbek, et al., 2014).
Sebagai sel eksitabel, proses kontraksi miometrium pada wanita yang
hamil dan tidak hamil melalui mekanisme yang sama, yaitu difasilitasi oleh
influks kalsium. Aktivitas listrik pada sel-sel miosit uterus terjadi karena
siklus depolarisasi dan repolarisasi yang terjadi pada membran plasma
uterus dan ini disebut dengan potensial aksi. Potensial aksi diperantarai oleh
9
beberapa jenis jalur, seperti VGCC (Voltage Gated Calcium Channel),
SOCE (store-operated calcium entry), ROCE (receptor- operated calcium
entry), dan atau melalui penyimpanan kalsium di ruang intrasel. Kontraksi
uterus dapat terjadi karena adanya aktivitas spontan pada otot polos uterus
yang disebabkan oleh potensial aksi tersebut dan sangat bergantung pada
peningkatan ion kalsium intraseluler, elemen kontraksi, serta sistem
konduksi antara sel-sel uterus (Chin-Smith, et al., 2014).
Rangsangan otot polos uterus sangat ditentukan oleh pergerakan ion
natrium (Na+), kalsium (Ca
2+) dan klorida (Cl
-) ke dalam sitoplasma dan
gerakan ion kalium (K+) ke dalam ruang ekstraseluler. Sebelumnya, ketiga
ion ini terkonsentrasi di luar miometrium. Membran plasma biasanya lebih
permeabel terhadap K+ yang nantinya mengubah gradien elektrokimia
hingga terjadi potensial aksi pada miosit. Selanjutnya, depolarisasi membran
plasma membuka VGCC (Voltage Gated Calcium Channel) atau L-type
Ca²⁺ Channel yang mengakibatkan masuknya Ca²⁺ ke dalam sel. Ion
Kalsium kemudian membentuk ikatan kompleks dengan protein kalmodulin
dan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase (MLCK). MLCK harus
memfosforilasi rantai ringan 20-kDa dari myosin, memungkinkan interaksi
molekul myosin dengan aktin. Energi yang dilepaskan dari ATP oleh
myosin ATPase menghasilkan siklus cross-bridge antara aktin dan myosin
untuk menghasilkan kontraksi (Otaibi, 2014; Cretoiu, et al., 2014).
Oksitosin dan stimulan rahim lainnya (seperti prostaglandin)
meningkatkan kontraksi dengan mengikat reseptor spesifik mereka pada
membran sel dan menyebabkan monomer kecil G-protein berikatan dengan
10
Guanosin-5-Trifosfat (GTP) dan mengaktifkan Phospholipase C (PLC). Hal
ini kemudian akan membelah phosphatidylinositol bifosfat (PIP2) di
membran sel dan menghasilkan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol
(DAG) second messenger. IP3 kemudian mengikat reseptor spesifik pada
permukaan Retikulum Sarkoplasma dan dengan demikian meningkatkan ion
kalsium intrasel. DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang juga
akan meningkatkan kontraksi (Otaibi, 2014). Gambar 2.2 menunjukkan
mekanisme influks kalsium hingga terjadi kontraksi.
(Otaibi, 2014)
Gambar 2.2 Mekanisme Influks Kalsium Hingga Terjadi Kontraksi
2.2 Kelahiran Prematur
2.2.1 Definisi
Kelahiran prematur didefinisikan sebagai kelahiran sebelum
terpenuhinya masa gestasi 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari
pertama haid terakhir (HPHT). Dilihat dari usia gestasi, dibagi menjadi 3
subdivisi yaitu Extremely Preterm (<28 minggu), Very Preterm (28 - <32
minggu), dan Moderate Preterm (32 - <37 minggu). Moderate preterm
11
kemudian dibagi lebih fokus lagi menjadi Late Preterm (34 - <37 minggu)
(WHO, 2012).
Kelahiran prematur adalah kontributor terbesar dalam kematian bayi,
terutama yang tergolong Very Preterm (<32 minggu). Selama kehamilan,
bayi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penting pada sistem organ
di antaranya otak, paru, dan liver. Perkembangan ini akan tercapai sempurna
selama minggu-minggu terakhir masa gestasi. Jika bayi lahir sebelum
mencapai masa ini, maka akan didapatkan gangguan pada pernapasan,
perilaku, penglihatan, pendengaran, juga beresiko terjadi cerebral palsy.
Pada kebanyakan kasus, kelahiran prematur terjadi tanpa diduga, tetapi ada
beberapa gejala yang menjadi tanda, di antaranya :
a. Kontraksi kuat setiap 10 menit atau lebih
b. Perubahan pada sekret vagina (bisa berupa jumlah yang meningkat
atau berdarah)
c. Peningkatan tekanan pelvis (terasa bayi terdorong ke bawah)
d. Nyeri punggung
e. Gejala seperti dismenore
f. Nyeri abdomen dengan atau tanpa diare (CDC, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Kelahiran prematur saat ini menjadi prioritas utama dalam mencapai
Millenium Development Goal 4 yaitu mengurangi angka kematian bayi dan
anak 2015. Dalam laporan WHO tahun 2009, diperkirakan ada 12,9 juta
kelahiran prematur. Jumlah terbanyak ditemukan di Asia dan Afrika yaitu
sekitar 85% atau 10,9 juta kelahiran (Beck, 2010).
12
Angka ini meningkat pada tahun 2012 menjadi 15 juta kelahiran
prematur setiap tahun. Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan
bayi prematur terbanyak serta peringkat ke-8 angka kematian akibat
prematuritas. Hal ini sangat mengancam generasi masa depan karena
banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Lebih dari satu juta bayi dapat
meninggal karena komplikasi akibat lahir prematur, sedangkan bayi yang
hidup dapat mengalami gangguan konduksi, pendengaran, dan penglihatan
(WHO, 2012).
Prediksi kelahiran prematur masih belum bisa dilakukan dengan tepat,
tetapi berbagai karakteristik maternal dan obstetri diketahui meningkatkan
resiko. Faktor resiko untuk kelahiran prematur meliputi karakteristik
demografi, faktor perilaku, dan riwayat obstetri seperti kelahiran prematur
sebelumnya. Faktor demografi untuk persalinan prematur berdasarkan usia
ibu adalah kurang dari 17 tahun atau lebih dari 35 tahun. Faktor lain yang
berpengaruh yaitu status sosial ekonomi rendah, berat badan sebelum hamil
rendah, stres (misalnya kekerasan dalam rumah tangga, kematian keluarga
dekat, kerawanan atas makanan, rumah, atau pasangan, kerja dan
lingkungan rumah). Pengaruh dari faktor-faktor tersebut masih belum
diketahui mekanismenya, apakah mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung (Ross, 2014).
2.2.3 Patofisiologi
Pada prinsipnya, kelahiran normal dan kelahiran prematur memiliki
mekanisme klinis yang sama, yaitu kontraksi uterus, dilatasi cervix, dan
rupturnya chorioamniotic membrane. Perbedaan utamanya terletak pada
13
onset. Proses kelahiran prematur dimulai dengan adanya perubahan pada
myometrium, yaitu dari keadaan diam menjadi berkontraksi kuat yang
diikuti oleh pergerakan sinyal antara jalur anti-inflamasi dan pro-inflamasi
meliputi kemokin (IL-8), sitokin (IL-1 dan IL-6), juga protein yang
berhubungan dengan kontraksi yaitu reseptor oksitosin, connexin 43, dan
reseptor prostaglandin) (Romero, et al., 2014).
Adanya kontraksi yang bertambah kuat secara progresif menyebabkan
cervix meregang sehingga bayi terdorong ke jalan lahir. Hal ini
menimbulkan umpan balik positif dimana regangan cervix akibat
terdorongnya bayi merangsang uterus untuk berkontraksi lebih kuat pada
siklus berikutnya. Dengan meningkatnya kontraksi, maka cervix terus
meregang menyebabkan pengeluaran bayi. Frekuensi kontraksi semakin
meningkat seiring majunya persalinan disertai peningkatan intensitas dan
dapat menyebabkan spasme uterus jika tidak diimbangi dengan relaksasi
secara ritmis. Spasme uterus akan berakibat pada penghentian aliran darah
melalui plasenta sehingga dapat menyebabkan kematian fetus (Guyton dan
Hall, 2012).
Pematangan cervix dalam persiapan dilatasi didukung oleh perubahan
pada protein matrix ekstraselular, yang meliputi hilangnya crosslink kolagen
dan meningkatnya glikosaminoglikan, setara dengan perubahan pada barrier
epitelial dan immune surveillance properties. Hal ini menurunkan kekuatan
regang cervix sehingga terjadi dilatasi. Aktivasi desidua atau membran
secara anatomi dan biokimia mengacu pada aktivitas desidua selama
kehamilan, pemisahan membran chorioamniotic dari desidua, hingga
14
pecahnya ketuban. Peningkatan ekspresi sitokin inflamasi (TNF-α dan IL-1)
dan kemokin, meningkatkan aktivitas protease (MMP-8 dan MMP-9),
pelepasan molekul angiogenesis seperti fibronektin, serta apoptosis telah
terlibat dalam proses ini (Romero, et al., 2014).
Adapun penyebab terjadinya kelahiran prematur adalah sebagai
berikut :
1. Inflamasi
Satu dari tiga bayi prematur lahir dari ibu dengan infeksi intra-
amnion yang kebanyakan subklinis. Ada 2 jalur infeksi, yaitu
transplacental dan jalur ascenden dari traktus genitalia bawah.
Infeksi ekstrauterine juga dapat memicu terjadinya kelahiran
prematur, salah satunya adalah malaria.
2. Perdarahan Desidua dan Penyakit Vascular
Pasien yang melahirkan prematur dengan membran intak dan
pecahnya ketuban dini mengalami perdarahan per-vaginam yang
menandakan adanya defek hemostasis desidua. Pembentukan
trombin selama terjadinya perdarahan desidua menstimulasi
kontraksi uterus dan menurunkan matrix ekstraselular pada
membran chorioamniotic, sehingga ketuban pecah. Perdarahan
uterus telah diamati memiliki hubungan dengan lesi vascular pada
plasenta. Pada kehamilan normal, invasi sitotropoblas secara
fisiologis mengubah arteri spiralis uterus yang mulanya
berdiameter kecil dan memiliki tahanan tinggi menjadi berdiameter
besar dan bertahanan rendah yang menyebabkan perfusi villi
15
korionik plasenta. Pada kasus kelahiran prematur, transformasi ini
gagal terjadi sehingga lumen pembuluh darah tidak bisa diperluas
dan mengakibatkan terjadi perdarahan.
3. Penuaan Desidua
Selama masa implantasi, endometrium mengalami perubahan
anatomi dan fisiologi menjadi desidua yang sangat penting dalam
proses implantasi, maintenance kehamilan, serta partus.
Desidualisasi ditandai dengan terjadinya proliferasi dan diferensiasi
sel stroma uterus menjadi tipe sel khusus yang disebut sel desidua.
Protein supresor tumor p53 memegang peranan penting dalam
pertumbuhan desidua dan jika protein ini tidak ada maka akan
terjadi kegagalan pada kehamilan atau jika kehamilan tetap terjadi,
adanya desidualisasi yang tidak adekuat. Oleh karena itu, jika
terjadi penuaan sel desidua yang lebih cepat dari waktu normal,
desidualisasi tidak berjalan sempurna dan memicu kelahiran
prematur.
4. Gangguan Toleransi Maternal-Fetal
Fetus dan plasenta memiliki antigen maternal dan paternal
sehingga keduanya merupakan semi-allograft. Toleransi imun
sangat penting untuk berhasilnya kehamilan. Jika terjadi gangguan
toleransi maka akan terjadi allograft rejection. Chorioamnionitis
kronis, lesi plasenta yang paling sering terjadi pada kelahiran
prematur spontan yang ditandai dengan infiltrasi sel T pada chorion