BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri penyamakan kulit Industri penyamakan kulit merupakan industri yang mengolah kulit mentah menjadi kulit samak. Kulit samak adalah kulit yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga bersifat lebih permanen, dengan kadar air tertentu yang tidak memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. Bahan mentah dari industri penyamakan kulit adalah kulit hewan, terutama kulit dari hewan-hewan mamalia seperti kambing, sapi dan domba. Kulit dari hewan-hewan mamalia tersebut memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Kulit samak banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan jaket, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya. Kulit samak terbentuk dari reaksi serat kolagen di dalam kulit hewan dengan zat penyamak yang diberikan. Pengawetan kulit perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air dalam kulit. Secara garis besar, proses produksi pada industri penyamakan kulit terdiri atas proses pra penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan. Industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia biasanya memproses dua jenis bahan baku, yaitu kulit sapi atau kulit kambing. Namun, biasanya industri ini tidak melakukan proses pengawetan sendiri karena bahan baku yang datang sudah dalam keadaan diawetkan. Untuk satu lembar kulit kambing biasanya digunakan 1 kg garam
21
Embed
Bab 2 Tinjauan Pustaka - Kirstie Imelda - 110605154
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri penyamakan kulit
Industri penyamakan kulit merupakan industri yang mengolah kulit mentah
menjadi kulit samak. Kulit samak adalah kulit yang dikerjakan sedemikian rupa
sehingga bersifat lebih permanen, dengan kadar air tertentu yang tidak
memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. Bahan mentah dari industri
penyamakan kulit adalah kulit hewan, terutama kulit dari hewan-hewan mamalia
seperti kambing, sapi dan domba. Kulit dari hewan-hewan mamalia tersebut
memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Kulit samak banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan jaket, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya.
Kulit samak terbentuk dari reaksi serat kolagen di dalam kulit hewan dengan
zat penyamak yang diberikan. Pengawetan kulit perlu dilakukan untuk menciptakan
kondisi yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan
mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air
dalam kulit. Secara garis besar, proses produksi pada industri penyamakan kulit
terdiri atas proses pra penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan.
Industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia biasanya memproses dua
jenis bahan baku, yaitu kulit sapi atau kulit kambing. Namun, biasanya industri ini
tidak melakukan proses pengawetan sendiri karena bahan baku yang datang sudah
dalam keadaan diawetkan. Untuk satu lembar kulit kambing biasanya digunakan 1
kg garam giling (garam halus) untuk mengawetkannya, sedangkan untuk satu
lembar kulit sapi biasanya menghabiskan 5 kg garam giling.
Proses yang dilakukan setelah pengawetan adalah perendaman (soaking) yang
terdiri atas pre-soaking dan main soaking. Proses pre-soaking dikerjakan dalam
sebuah mesin yang dinamakan molen. Mesin ini berupa tong besar dengan kapasitas
1,5 ton dan berputar dengan kecepatan yang rendah (sekitar 4 rpm). Kulit yang
sudah diawetkan dan ditimbang beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam molen
yang secara kontinyu diisi dengan air hingga jumlahnya mencapai 300% dari berat
kulit yang masuk. Kemudian antibakteri dimasukkan sebanyak 0.1% dan degreaser
0.1% lalu diputar selama 2.5 jam. Setelah diputar, air dalam molen tersebut dibuang
sampai habis.
Setelah proses pre-soaking, molen diisi dengan air sebanyak 200%,
magnesium 0.75%, sabun degreasing 0.1% dan antibakteri 0.1% secara bersamaan,
kemudian diputar selama 18 jam atau semalam. Molen tidak secara terus menerus
berputar, tetapi setiap 1 jam hanya diputar selama 5 menit. Setelah semalam
direndam, air rendaman dibuang lalu dilakukan proses pencucian dengan
memasukkan air sebesar 200%. Tujuan dari perendaman ini adalah mengembalikan
kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya
kembali seperti sebelum diawetkan (mendekati kadar air kulit segar). Proses ini
dinamakan main soaking.
Proses selanjutnya adalah pengapuran (liming). Kapur yang diberikan akan
membuka tenunan kulit sehingga bahan penyamak akan mudah meresap ke dalam
kulit. Kapur juga menyebabkan kulit menjadi bengkak sehingga memudahkan
proses pembuangan daging (fleshing). Pada proses ini kulit dalam molen diberi
input air sebanyak 70% dan anti ringkel 1% lalu diputar selama 20-30 menit.
Setelah itu, dimasukkan natrium sulfida 3% dan kapur 4% dari jumlah kulit.
Natrium sulfida berfungsi merontokan bulu. Kapur dimasukkan dengan dua kali
pemasukkan secara bertahap (masing-masing 2%) dengan selang waktu 30 menit.
Setelah kapur yang kedua dimasukkan dan molen diputar selama 30 menit, air baru
sebanyak 30% dimasukkan ke dalam molen lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu,
molen diputar selama 18 jam atau semalam dengan putaran setiap 1 jam hanya 5
menit. Setelah diputar semalam, air dibuang dan dimasukkan kembali air baru
sebesar 200% untuk mencuci ulang.
Gambar 1. Molen tempat proses soaking dan liming (Sumber: Alihniar, 2011)
Selanjutnya dilakukan proses pembuangan daging (fleshing). Proses ini
bertujuan menghilangkan daging yang masih menempel pada kulit. Pada proses ini
digunakan sejumlah air mengalir untuk membantu pembuangan daging. Air masuk
secara kontinyu dengan volume yang kecil selama kulit diselipkan diantara roller.
Proses pembuangan daging ini dilakukan satu per satu secara manual. Bersihnya
kulit dari sisa daging akan memudahkan masuknya bahan penyamak ke dalam kulit.
Gambar 2. Mesin pembuang daging (Sumber: Alihniar, 2011)
Kulit tanpa daging ini kemudian masuk ke dalam proses selanjutnya yaitu
pembuangan kapur (deliming). Untuk menghilangkan kulit dari sisa-sisa kapur
digunakan air 100%, ZA 2%, sodium metabisulfit 0.3%, oropon 2% , dan degreaser
0.1% dari berat kulit yang masuk. Oropon berfungsi membuka pori-pori kulit agar
kapur yang terikat didalamnya dapat keluar. Dengan terbukanya pori-pori tersebut,
kulit akan menjadi lemas/lentur. Setelah diputar, kulit kembali dicuci dengan air
sebanyak 200%.
Agar kulit siap menerima bahan penyamak krom, maka kulit harus
dikondisikan menjadi asam. Ini untuk menyesuaikan dengan kondisi bahan
penyamak krom yang mempunyai pH 3. Kondisi kulit yang asam akan
memperlambat reaktifitas bahan penyamak krom terhadap protein kulit, sehingga
proses penyamakan dapat berlangsung dengan baik. Proses pengasaman (pickling)
dilakukan dengan menambahkan air 100%, asam (asam semut 0.5% dan asam sulfat
1%) dan garam 10% dari berat kulit yang masuk. Fungsi garam pada pengasaman
ini sebagai buffer bagi kulit agar tidak bengkak akibat pengaruh asam. Pengasaman
memerlukan waktu perendaman 2 jam sampai pH kulit 2-2,5.
Tahap selanjutnya adalah penyamakan (tanning). Proses ini bertujuan
mengubah sifat kulit mentah yang tidak stabil menjadi kulit samak yang stabil.
Bahan penyamak yang digunakan adalah krom. Kelebihan bahan penyamak ini
dibandingkan bahan penyamak nabati antara lain memiliki daya tarik tinggi, lebih
tahan terhadap perlakuan panas atau suhu tinggi. Pada proses ini ditambahkan air
90%, krom 6% - 8% dan natrium bikarbonat 1.5%. Pemasukkan krom dilakukan
secara bertahap sebanyak 3 kali dengan selang waktu pemasukkan 30 menit sekali.
Natrium bikarbonat diberikan untuk menaikan pH dari 3 menjadi 4. Kulit yang
sudah disamak dinamakan wet blue. Kulit ini masih mengandung banyak air
sehingga perlu proses pengurangan kadar air.
Setelah kulit sudah berkurang kadar airnya, dilakukan perataan dan
penyerutan sesuai dengan permintaan konsumen. Penyerutan dilakukan secara
manual. Proses selanjutnya adalah penyamakan ulang (retanning). Pada proses ini
digunakan air 400% yang dimasukkan secara bertahap, krom syntan 3%, sodium
format 1%, dan natrium bikarbonat 2%. Krom syntan pada penyamakan ulang
bertujuan mengisi bagian kulit yang kosong sehingga memperbaiki sifat fisik kulit
samak.
Gambar 3. Mesin perataan dan penyerutan (Sumber: Alihniar, 2011)
Tahap berikutnya adalah pewarnaan dasar. Warna yang ditambahkan
tergantung pada permintaan konsumen. Pada proses pewarnaan dasar, kulit
ditambahkan cat dasar, air, akrilik, mimosa, dan amonia. Masing-masing sebesar
3%, 150%, 2%, 2%, dan 2%. Semua bahan tersebut dimasukkan secara bersamaan,
kemudian molen diputar selama 1 jam atau sampai warnanya sudah tembus ke kulit.
Kulit yang disamak krom pada umumnya memiliki serat-serat yang lebih
rapat sehingga keadaannya menjadi kering dan kaku. Oleh karena itu, perlu
dilakukan peminyakan (fat liquoring) dengan menambahkan minyak 8% dan air
50% lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu dilakukan proses fiksasi yang bertujuan
memecahkan emulsi minyak dan air sehingga airnya mudah menguap pada saat
dikeringkan dan bahan lain terikat kuat dalam kulit. Pada proses fiksasi ini
digunakan air 150% dan asam semut 3%.
Kulit yang sudah difiksasi kemudian disimpan pada hot plate untuk divakum.
Setelah itu, kulit digantung selama 24 jam. Penggantungan dilakukan dengan kering
angin. Keesokannya kulit dijemur dibawah panas matahari sampai kering. Setelah
pengeringan dilakukan proses perenggangan. Setelah direnggangkan, kulit
mengalami proses spraying untuk memberi warna akhir pada kulit. Pemberian
warna menggunakan cat kulit sesuai permintaan konsumen. Setelah itu, kulit
mengalami proses penyetrikaan.
Gambar 4. Proses spraying (Sumber: Alihniar, 2011)
Gambar 5. Proses penyetrikaan (Sumber: Alihniar, 2011)
Tahap terakhir adalah proses pengukuran dan penyortiran sesuai standar
permintaan konsumen. Apabila ada kulit yang tidak sesuai dengan standar
permintaaan konsumen maka produk akan dijual ke konsumen dengan standar kulit
yang lebih rendah atau dinyatakan sebagai produk gagal (reject). Pengukuran
bertujuan menentukan luas kulit dalam satuan kaki karena harga jual kulit dihitung
per satuan kaki.
2.1.1 Kulit
Komoditas kulit digolongkan menjadi dua golongan yaitu : (1) kulit yang
berasal dari binatang besar (hide) seperti kulit sapi, kulit kerbau, kulit kuda,
kulit banteng, kulit badak, kulit harimau, dan lain-lain, (2) kulit yang berasal
dari binatang kecil (skin) seperti kulit domba, kulit kambing, kulit rusa, kulit
babi dan kulit reptil (biawak, buaya, ular, komodo, dan lain-lain) (Purnomo,
1987).
Menurut Judoamidjojo (1981), secara topografis kulit dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-kira 55%
dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta merata dan
padat.
b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit. Ukurannya
lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat longgar serta sangat
kuat.
c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit. Bagian
tersebut paling tipis dan longgar.
Gambar 6. Topografi kulit hewan secara umum (Sumber: Fahidin dan Muslich, 1999)
Kulit yang baru lepas dari tubuh hewan disebut dengan kulit mentah
segar. Kulit ini mudah rusak bila terkena bahan-bahan kimia seperti asam kuat,
basa kuat, atau mikroorganisme. Kulit mentah segar sebagian besar tersusun
dari air (65%), lemak (1.5%), mineral (0.5%), dan protein (33%) (Purnomo,
1987).
Kandungan air pada tiap bagian kulit tidaklah sama. Bagian yang paling
sedikit mengandung air adalah krupon (bagian punggung), selanjutnya berturut-
turut adalah bagian leher dan perut (Purnomo, 1985). Kadar air berbanding
terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar lemaknya tinggi maka kadar airnya
rendah (Purnomo, 1985). Tabel dibawah akan menunjukkan komposisi kimia
kulit mentah segar pada domba. Oleh karena keadaan kulit mentah segar yang
mudah rusak, maka kulit harus mengalami proses pengawetan terlebih dahulu.
Komponen Presentase (%)
Air 64
Protein 33
Protein fibrous
- Elastin 0,3
- Kolagen 29
- Keratin 2
Protein globular
- Albumin 1
- Globulin 0,7
- Mucin, Mucoid
Lemak 2
Garam mineral 0,5
Zat lain 0,5
Tabel 1. Komposisi substansi kimia kulit domba mentah segar (Sumber: Sharphouse, 1978)
Pengawetan sebenarnya bukanlah termasuk dalam proses penyamakan
kulit, namun memegang peranan penting karena bertujuan mencegah serta
membatasi pertumbuhan bakteri pembusuk yang secara langsung akan
mempengaruhi mutu kulit. Pengawetan yang tidak benar menyebabkan kulit
berbau busuk dan warnanya tidak merata. Pengawetan kulit dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya : (1) pengawetan dengan racun/obat
antiseptik, (2) pengawetan dengan garam basah, (3) pengawetan dengan garam
kering, dan (4) pengawetan dengan asam (Purnomo, 1987).
Penggaraman merupakan metode pengawetan yang paling mudah dan
efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat
kondisi yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri.
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.
Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan
tertentu (bahan penyamak) kedalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga
terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo,
1987).
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit
dikelompokan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan,
dan pasca penyamakan.
1. Pra penyamakan: Proses pra penyamakan (Beam House Operation) meliputi