BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Merokok Perilaku merokok merupakan perilaku yang membakar salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotina tabacum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes, 2013). 2.1.1 Pembentukan Perilaku Merokok Menurut Leventhal & Clearly (1979) terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok yaitu: A. Tahap Preparatory. Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenang kan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbukan minat untuk merokok. B. Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok. C. Tahap becoming a smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok. D. Tahap maintenance of smoking.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Merokok
Perilaku merokok merupakan perilaku yang membakar salah satu produk
tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap dan/atau dihirup termasuk rokok
kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotina
tabacum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya
mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes, 2013).
2.1.1 Pembentukan Perilaku Merokok
Menurut Leventhal & Clearly (1979) terdapat 4 tahap dalam perilaku
merokok sehingga menjadi perokok yaitu:
A. Tahap Preparatory.
Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenang kan mengenai merokok
dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbukan
minat untuk merokok.
B. Tahap Initiation.
Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan
ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
C. Tahap becoming a smoker.
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari
maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
D. Tahap maintenance of smoking.
Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengarturan diri
(selfregulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang
menyenangkan.
2.1.2 Indikator Perokok
Ada tiga indikator yang biasanya muncul pada perokok :
A. Aktivitas Fisik, merupakan perilaku yang ditampakkan individu saat merokok.
Perilaku ini berupa keadaan individu berada pada kondisi memegang rokok,
menghisap rokok, dan menghembuskan asap rokok.
B. Aktivitas Psikologis, merupakan aktivitas yang muncul bersamaan dengan
aktivitas fisik. Aktivitas psikologis berupa asosiasi individu terhadap rokok yang
dihisap yang dianggap mampu meningkatkan :
a. Daya konsentrasi
b. Memperlancar kemampuan pemecahan masalah,
c. Meredakan ketegangan
d. Meningkatkan kepercayaan diri
e. Penghalau kesepian .
C. Intensitas merokok cukup tinggi, yaitu seberapa sering atau seberapa banyak
rokok yang dihisap dalam sehari. Tiga aktivitas tersebut cenderung muncul secara
bersamaan walaupun hanya satu atau dua aktivitas psikologis yang menyertainya.
2.1.3 Faktor-faktor Perilaku Merokok
Menurut Ronald (dalam Hutapea, 2013), faktor-faktor perilaku merokok
dapat dibagi dalam beberapa golongan dan faktor-faktor itu saling berkaitan satu
sama lain
A. Faktor Genetik
Beberapa studi menyebutkan faktor genetik sebagai penentu dalam timbulnya
perilaku merokok dan bahwa kecenderungan menderita kanker, ekstraversi dan sosok
tubuh piknis serta tendensi untuk merokok adalah faktor yang diwarisi bersama-
sama. Studi menggunakan pasangan kembar membuktikan adanya pengaruh genetik,
karena kembar identik, walaupun dibesarkan terpisah, akan memiliki pola kebiasaan
merokok yang samabila dibandingkan dengan kembarnon-identik. Akan tetapi secara
umum, faktor turunan ini kurang berarti bila dibandingkan dengan faktor lingkungan
dalam menentukan perilaku merokok yang akan timbul.
B. Faktor Kepribadian (personality)
Banyak peneliti mencoba menetapkan tipe kepribadian perokok. Tetapi studi
statistik tak dapat memberi perbedaan yang cukup besar antara pribadi orang yang
merokok dan yang tidak. Oleh karena itu tes-tes kepribadian kurang bermanfaat
dalam memprediksi apakah seseorang akan menjadi perokok. Individu agaknya
bernafsu sekali untuk cepat berhak seperti orang dewasa.
Di perguruan tinggi individu biasanya memiliki prestasi akademik kurang,
tanpa minat belajar dan kurang patuh pada otoritas. Dibandingkan dengan yang tidak
merokok, individu lebih impulsif, haus sensasi, gemar menempuh bahaya dan risiko
dan berani melawan penguasa.
Individu lebih mudah bercerai, beralih pekerjaan, mendapat kecelakaan lalu
lintas, dan enggan mengenakan ikat pinggang keselamatan dalam mobil. Banyak dari
perilaku ini sesuai dengan sifat kepribadian extrovert dan antisosial yang sudah
terbukti berhubungan dengan kebiasaan merokok.
C. Faktor Sosial
Beberapa penelitian telah mengungkap adanya pola yang konsisten dalam
beberapa faktor sosial penting. Faktor ini terutama menjadi dominan dalam
memengaruhi keputusan untuk memulai merokok dan hanya menjadi faktor sekunder
dalam memelihara kelanjutan kebiasaan merokok. Kelas sosial, teladan dan izin
orangtua, jenis sekolah, dan usia meninggalkan sekolah semua menjadi faktor yang
kuat, tetapi yang paling berpengaruh adalah jumlah teman-teman yang merokok.
Diantaranya menyatakan “tidak ada” temannya yang merokok, dibandingkan
dengan jumlah 62 persen perokok dikalangan individu yang menjawab “semua” pada
jumlah teman yang merokok. Ilustrasi lain dari pengaruh sosial ini ditunjukkan oleh
perubahan dalam pola merokok dikalangan wanita berusia di atas 40 tahun.
Bukan saja jumlah perokok semakin banyak, tetapi perokok mulai merokok
pada usia lebih muda. Masa kini, terutama pada wanita muda, pola merokok wanita
sudah menyerupai pada laki-laki. Perubahan ini sejalan dengan perubahan peran
wanita dan sikap masyarakat terhadap wanita yang merokok.
D. Faktor Kejiwaan (psikodinamik)
Dua teori yang paling masuk akal adalah bahwa merokok itu adalah suatu
kegiatan kompensasi dari kehilangan kenikmatan oral yang dini atau adanya suatu
rasa rendah diri yang tidak nyata. Freud yang juga merupakan pecandu rokok berat,
menyebut bahwa sebagian anak-anak terdapat peningkatan pembangkit kenikmatan
di daerah bibir yang bila berkelanjutan dalam perkembangannya akan membuat
seseorang mau merokok.
Ahli lainnya berpendapat bahwa merokok adalah semacam pemuasan
kebutuhan oral yang tidak dipenuhi semasa bayi. Kegiatan ini biasanya dilakukan
sebagai pengganti merokok pada individu yang sedang mencoba berhenti merokok.
E. Faktor Sensorimotorik
Buat sebagian perokok, kegiatan merokok itu sendirilah yang membentuk
kebiasaan tersebut, bukan efek psikososial atau farmakologiknya. Sosok sebungkus
rokok, membukanya, mengambil dan memegang sebatang rokok, menyalakannya,
mengisap, mengeluarkan sambil mengamati asap rokok, aroma, rasa dan juga
bunyinya semua berperan dalam terciptanya kebiasaan ini. Faktor Farmakologis
Nikotin mencapai otak dalam waktu singkat, mungkin pada menit pertama sejak
dihisap.
Cara kerja bahan ini sangat kompleks. Pada dosis sama dengan yang di dalam
rokok, bahan ini dapat menimbulkan stimulasi dan rangsangan di satu sisi tetapi juga
relaksasi disisi lainnya. Efek ini tergantung bukan saja pada dosis dan kondisi tubuh
seseorang, tetapi juga pada suasana hati (mood) dan situasi.
Oleh karena itu bila kita sedang marah atau takut, efeknya adalah
menenangkan. Tetapi dalam keadaan lelah atau bosan, bahan itu akan merangsang
dan memacu semangat. Dalam pengertian ini nikotin berfungsi untuk menjaga
keseimbangan mood dalam situasi stres.
2.2 Rokok pada Remaja
Pubertas adalah suatu masa kehidupan ketika seseorang mengalami
kematangan secara seksual dan organ-organ reproduksi telah siap untuk menjalankan
fungsi reproduksinya (Schickedanz, 2011). Hasil penelitian Santrock (2008)
menyebutkan bahwa perubahan fisik pubertas yang cepat selalu disertai dengan
perubahan kognitif, moral, psikologis, dan sosial. Perubahan pubertas apabila tidak
diikuti kemampuan remaja untuk beradaptasi menyebabkan kemunculan beragam
masalah salah satunya merokok (dalam Triyanto dkk, 2011).
Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja atau produktif akan
menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan
ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi, usia produktif yang dimaksud adalah remaja.
Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keselu-ruhan.
Namun, kondisi tersebut bisa saja terjadi sebaliknya. Hal itu bsa terjadi jika angka
merokok pada remaja terus meningkat, dimana angka kesakitan remaja juga otomatis
meningkat yang nantinya malah akan menjadi beban untuk negara (Diah dkk, 2016).
Perilaku merokok remaja merupakan fenomena yang memba-hayakan,
dimana dalam hal kuantitas jumlah perokok semakin meningkat, bahkan pada usia
muda dan produktif. Sedangakan hal kualitas usia pertamakali merokok juga semakin
muda. Banyak faktor yang mempengaruhi semakin banyaknya remaja yang
merokok. Pengetahuan dan sikap yang buruk akan bahaya rokok, disamping
pengaruh teman dan adanya contoh dari orang dewasa dapat menyebabkan
meningkatnya kejadian merokok pada remaja (Diah dkk, 2016).
Merokok ditujukan untuk mengikuti kebiasaan kelompok, identifikasi
dengan perokok lain, dan untuk menentukan image diri seseorang. Merokok pada
anak-anak juga dapat disebabkan adanya paksaan dari teman-temannya.masa remaja
disebut juga sebagai periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah,
periode pencarian identitas, dan periode tidak realistic (Diah dkk, 2016).
2.3 Peran Keluarga terhadap Remaja Mengenai Bahaya Merokok
Penelitian Triyanto (2011) menemukan bahwa banyak keluarga yang
overprotective, kurang perhatian, dan merasa bingung menghadapi emosi remaja.
Remaja dengan emosi yang bergejolak disertai kehausan sosial seringkali menjadi
penyebab utama kebingungan orang tua dalam menghadapinya. Kebingungan orang
tua dalam menghadapi remaja pubertas mengakibatkan timbulnya perilaku kenakalan
remaja. Kenakalan remaja yang banyak dilakukan dapat berupa membolos sekolah,
sering keluar main pada malam hari, dan sikap menentang aturan orang tua Santrok
(2008), Optimalisasi dukungan keluarga dalam menghadapi remaja pubertas dapat
dilakukan dengan menggunakan modul praktis yang mudah dimengerti oleh
keluarga. Optimalisasi peran keluarga tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan,
pendampingan dan konseling dalam menghadapi anak remaja pubertas. Aktivitas ini
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap orang tua
dalam menghadapi dan memberikan dukungan keluarga kepada anak remaja,
sehingga remaja mampu berperilaku adaptif secara positif (Triyanto dkk, 2014).
2.4 Metode Peer Counseling
Peer counseling merupakan salah satu pemberian layanan konseling yang
diberikan oleh teman yang usianya sebaya dibawah supervisi konselor professional,
beberapa unsur penting dalam pengertian peer counseling yaitu (1) sebagai usaha
pemberian bantuan interpersonal, (2) dilakukan oleh nonprofessional atau
paraprofessional, (3) pemberi dan penerima bantuan usianya relatif sama, (4)
pelaksanaannya di bawah konselor yang berkualifikasi (Muslikah dkk, 2016),
Gladding (dalam Wardani dkk, 2015) mendefinisikan konseling adalah suatu
aktivitas profesional berjangka waktu pendek, bercirikan komunikasi antarpribadi,
berlandaskan pandangan teoritis dan berpedoman pada norma etika dan hukum
tertentu, yang memusatkan usaha pada bantuan psikologis kepada seseorang yang
pada dasarnya bermental sehat agar dapat mengatasi beraneka ragam masalah
berkaitan dengan proses perkembangannya dan situasi kehidupannya. Selanjutnya
Santrock (dalam Wardani dkk, 2015) mengemukakan teman sebaya adalah anak-
anak atau remaja dengan tingkat usia /tingkat kedewasaan yang sama.
Keuntungan dari model peer counseling adalah bagaimana keterlibatan
remaja dalam kelompok teman sebaya memberikan masukan secara khusus bagi
perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial remaja. (Muslikah dkk, 2016)
2.4.1 Langkah - Langkah Peer Counseling
Konseling teman sebaya menurut Suwarjo (2008) dibangun melalui langkah-
langkah sebagai berikut:
A. Pemilihan calon ”konselor” teman sebaya.
Meskipun keterampilan pemberian bantuan dapat dikuasai oleh siapa saja,
faktor kesukarelaan dan faktor kepribadian pemberi bantuan (“konselor” sebaya)
ternyata sangat menentukan keberhasilan pemberian bantuan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemilihan calon “konselor” sebaya. Pemilihan didasarkan pada
karakteristik-karakteristik hangat, memiliki minat untuk membantu, dapat diterima
orang lain, toleran terhadap perbedaan sistem nilai, energik, secara sukarela bersedia
membantu orang lain, memiliki emosi yang stabil, dan memiliki prestasi belajar yang
cukup baik atau minimal rerata, serta mampu menjaga rahasia, yang memenuhi
kriteria tersebut untuk dilatih selama beberapa minggu.
B. Pelatihan calon “konselor” teman sebaya.
Pelatihan ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan personal yang
menggantikan fungsi dan peran konselor. Materi-materi pelatihan yang meliputi
keterampilan konseling dan keterampilan resiliensi dikemas dalam modul-modul
yang disajikan secara berurutan.
Calon ”konselor” teman sebaya dibekali kemampuan untuk membangun
komunikasi interpersonal secara baik. Sikap dan keterampilan dasar konseling yang
meliputi kemampuan berempati, kemampuan melakukan attending, keterampilan