BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson 2000). Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen sampai kematian. Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007). 2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak & Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir Universitas Sumatera Utara
12
Embed
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Erupsi Obat Alergi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39903/4/Chapter II.pdf · Acharjya, 2008).Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Erupsi Obat Alergi
2.1.1. Definisi Erupsi Obat Alergi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson
2000).
Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada
tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga
memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,
pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen
sampai kematian.
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan
cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).
2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat Alergi
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat
alergi mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun.
Erupsi obat alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi
hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara
berkembang berkisar antara 1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai
2-5%. Erupsi obat alergi terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat. Hampir 45%
dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi.
Insidens erupsi obat alergi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Nayak &
Acharjya, 2008). Lebih dari 50% kasus Sindrom Steven Johnsons dan hampir
Universitas Sumatera Utara
90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan obat
(Adithan, 2006).
2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat Alergi
Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah (Patterson,
2009):
1. Jenis kelamin dan usia
Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang
tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat alergi yang memiliki
prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Pada anak –
anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan
gambaran klinis erupsi alergi obat akibat antimikroba yang
diberikan. Wanita lebih sering menderita erupsi obat alergi
dibandingkan pria.
2. Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan
lingkungan misalnya pada kasus nekrolisis epidermal toksik akibat
sulfonamida. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte
antigen. Diantara para remaja yang memiliki orang tua dengan
riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga memiliki
alergi obat yang sama.
3. Pajanan obat sebelumnya
Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat
yang sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat – obatan lain
yang memiliki struktur kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat
tidak bersifat persisten. Setelah pajanan, imunnoglobulin e dapat
bertahan dari 55 hongga 2000 hari.
4. Riwayat penyakit yang dimiliki
Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita
dermatitis atopi.
Universitas Sumatera Utara
5. Bentuk obat
Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan
sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.
6. Cara masuk obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih
menyebabkan erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan
sulfonamida jarang digunakan secara topikal karena alasan ini.
Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya
erupsi alergi obat.
2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergi
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya
erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang
disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan
dalam metabolisme (Riedl & Casillas, 2003).
Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.
Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang
paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah
imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan
pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai
antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti
histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang
paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II
(reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan
imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi
alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang
tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &
Thomson, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis Tipe Contoh Kasus
Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibat anti-thymocyte
globulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat sulfonamid