BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas Uji toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam memperbandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Secara umum uji toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji toksisitas kronis. 2.1.1 Toksisitas akut Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam (Harmita dan Hadji, 2006). Loomis (1978) menambahkan, uji toksisitas akut juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi. Harga LD50 adalah besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu. 2.1.2 Toksisitas Subkronis Uji toksisitas jangka pendek (subkronik) adalah suatu uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia yang ingin diujikan berulang- ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali dalam satu minggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 7
17
Embed
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Toksisitas
Uji toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam
memperbandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Secara umum uji
toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas
akut dan uji toksisitas kronis.
2.1.1 Toksisitas akut
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang
sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24
jam (Harmita dan Hadji, 2006). Loomis (1978) menambahkan, uji toksisitas
akut juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya
efek toksik yang khas dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan
uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan
senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk
memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi. Harga LD50 adalah
besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50%
jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu.
2.1.2 Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas jangka pendek (subkronik) adalah suatu uji yang
dilakukan dengan memberikan zat kimia yang ingin diujikan berulang-
ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali dalam satu minggu, selama jangka
waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1
7
8
atau 2 tahun untuk anjing. Namun, beberapa penelitian menggunakan jangka
waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14-18 hari
(Harmita dan Hadji, 2006).
Toksisitas subkronik menyediakan informasi mengenai bahaya
kesehatan yang dapat muncul dari sebuah paparan terus menerus dalam
jangka waktu tertentu. Studi ini dapat memberikan informasi mengenai
organ target, kemungkinan terjadinya akumulasi, dan estimasi dari level
yang tidak menimbulkan efek dari suatu paparan yang dapat digunakan
untuk menentukan level dosis untuk studi kronik (Barille, 2005). Dosis pada
uji toksisitas subkronik biasanya dipilih berdasarkan informasi yang
diperoleh dari uji toksisitas akut. Semua informasi tentang zat kimia yang
berkaitan dan tentang metabolismenya, terutama ada atau tidaknya
bioakumulasi juga ikut dipertimbangkan (Lu, 1995).
2.1.3 Toksisitas Kronis
Uji toksisitas jangka panjang (kronis) adalah suatu percobaan yang
mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau
seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk
tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Harmita dan Hadji, 2006).
Uji toksisitas kronis sedikitnya menggunakan tiga tingkatan dosis, satu
diantaranya untuk menentukan level (tingkatan) dosis terkecil yang
memberikan efek toksik. Binatang yang digunakan untuk uji ini ialah
binatang dalam masa pertumbuhan, yaitu untuk melihat perubahan berat
badan yang dapat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua
perubahan yang terjadi pada binatang diobservasi dan dicatat, termasuk
9
perubahan tingkah laku. Secara periodik, binatang percobaan dimatikan
untuk melihat perubahan-perubahan yang mungkin tersaji pada organ-organ
tubuh dengan pemeriksaan histopatologik (Staf Pengajar Depertemen
Farmakologi, 2004).
2.2 Rhodamin B
Secara fisik rhodamin B merupakan padatan berupa kristal hijau atau
serbuk ungu kemerahan yang memiliki berat molekul 479.02 g/mol dan rumus
molekul C28H31N2O3Cl. Nama lain dari rhodamin B adalah Rhodamin 123 Basic
Violet 10 dan (9-(o-carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanthen-3-ylidene)
diethylamonium chloride (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
Gambar 2.1 Struktur kimia rhodamin B (Praja, 2015)
Rhodamin B bersifat larut dalam air. Warna yang dihasilkan adalah merah
kebiruan dan berflourensi kuat. Rhodamin B bukanlah pewarna untuk makanan
sehingga lebih banyak digunakan untuk mewarnai kertas atau sebagai pereaksi
untuk identifikasi timbal, bismut, kobal, emas, magnesium, dan torium. Rhodamin
B juga dapat digunakan sebagai pewarna kulit, kapas, wool, serat kulit kayu,
nilon, serat asetat, kertas, tinta dan vernis, sabun dan bulu. Oleh sebab itu,
pemerintah melarang penggunaan rhodamin B sebagai pewarna makanan
(Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
10
Zat warna rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata
masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B untuk
produknya. Rhodamin B biasanya sering digunakan untuk mewarnai makanan
seperti kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis,
makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, gipang, dan ikan asap.
Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang dan
memiliki rasa agak pahit (Saridkk., 2008). Praja (2015) menambahkan
toksisitasnya termasuk bahan kimia berbahaya (harmfull). Berbahaya bila tertelan,
terhisap pernafasan dan terkena kulit. Tanda- tanda dan gejala sakit bila terpapar
rhodamin B anatra lain adalah apabila terhirup dapat menimbulkan iritasi pada
saluran pernafasan, jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi pada kulit, jika
terkena mata dapat menimbulkan iritasi pada mata kemerahan oedema pada
kelopak mata, jika tertelan dapat menimbulkan gejala keracunan dan air seni
berwarna merah atau merah muda. Berdasarkan data MSDS, LD50 rhodamin B
yang diberikan pada tikus secara per-oral sebesar 1.497 mg/kgBB (Lampiran 6).
Pemberian rhodamin B dengan dosis yang bertingkat dapat meningkatkan
presentase kerusakan glomerulus ginjal mencit. Hal ini dikarenakan rhodamin B
yang bersifat toksik dan dapat memberikan efek yang semakin tinggi seiring
meningkatnya dosis yang diberikan. Presentase kerusakan glomerulus ginjal
mencit dipengaruhi faktor dosis, lama pemberian dan interaksi antara kedua faktor
tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase kerusakan
glomerulus (Mayoridkk., 2013).
11
Paparan dosis rhodamin B bersifat toksik dalam jangka waktu lama dapat
mempengaruhi fungsi glomerulus (Guyton, 1994). Bahan toksik dalam hal ini
rhodamin B akan mempengaruhi daya filtrasi glomerulus, sehingga daya saring
menjadi berkurang. Salah satu bentuk kerusakan pada ginjal terlihat dengan
adanya penyempitan pada ruang bowman, nekrosis serta hemoragi. Penyempitan
ruang bowman disebabkan oleh pembengkakan glomerulus ataupun proliferasi
dari epitel kapsul Bowman (Price, 1992). Beveder dan Ramely (1998)
menambahkan, perubahan yang terjadi pada glomerulus akan mengakibatkan
terganggunya fungsi produksi filtrat dan kontrol komposisi filtrat sendiri,
sementara perubahan pada tubula mengakibatkan terganggunya proses reabsorbsi
daripada filtrat.
2.3 Sakarin
Dalam SNI 01-6993-2004 tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Buatan, disebutkan bahwa sakarin merupakan pemanis sintesis yang biasanya
terdapat dalam bentuk garam berupa kalsium, kalium, dan natrium sakarin dengan
rumus kimia (C14H8CaN2O6S2.3H2O), (C7H4KNO3S.2H2O) dan
(C7NaNO3S.2H2O). Sakarin memiliki berat molekul 183,18 g/mol (Alsuhendra
dan Ridawati, 2013).
Gambar 2.2 Struktur kimia sakarin (Praja, 2015)
12
Secara fisik garam sakarin berbentuk kristal putih, tidak berbau atau
berbau aromatik lemah, dan mudah larut dalam air, serta memiliki rasa manis.
Sakarin memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 300 sampai dengan 500 kali
tingkat kemanisan sukrosa serta tidak memiliki nilai kalori. Banyak produk
makanan dan minuman yang menggunakan sakarin sebagai pemanis, diantaranya
adalah minuman ringan (soft drinks), permen selai, bumbu salad, gelatin rendah
kalori, dan hasil olahan lain tanpa gula. Namun, selain memiliki rasa manis,
sakarin juga terasa pahit (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Sakarin yang
dikonsumsi, setelah tertelan akan melewati sistem pencernaan dengan proses
penyerapan usus yang lambat, kemudian akan diekskresikan oleh tubuh melalui
urin (BPOM, 2003).
Penggunaan sakarin untuk makanan sebagai pengganti gula cukup banyak
karena sakarin mempunyai sifat yang stabil, tidak mengandung energi, dan
harganya yang relatif murah (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Konsumsi sakarin
dalam dosis tinggi (500 mg/kgBB) menyebabkan perubahan fungsi hati dan ginjal
karena pembentukan radikal bebas superoxide (O2-). Radikal bebas superoxide
(O2-) yang dapat menginduksi penurunan secara signifikan terhadap SOD, GSH
dan katalase, serta peningkatan signifikan terhadap MDA (Malondialdehyde)
(Amin & Almuzafar, 2015). Natrium sakarin berpengaruh pada hati dan ginjal
serta menyebabkan hematopoiesis ekstramedular pada tikus (SinKerNas, 2012).
Berdasarkan data MSDS, LD50 sakarin yang diberikan secara per-oral pada tikus
sebesar 14.200 mg/kgBB (Lampiran 7).
13
2.4 Ginjal
1.4.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal pada mamalia berjumlah sepasang, yang terletak dalam
rongga abdomen retroperitoneal primer kiri dan kanan kolumna vertebralis.
Ukuran ginjal kiri lebih panjang dari pada ukuran ginjal kanan. Organ
tersebut berbentuk menyerupai kacang yang sisi cekungnya menghadap
medial. Sisi cekung pada bagian medial tersebut dinamakan hilum, yang
merupakan tempat masuknya pembuluh darah arteri renalis dan saraf, serta
tempat keluar pembuluh darah vena renalis dan ureter (Setiadi, 2007) . Ginjal
terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal), pada dinding
abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta abdominal dan
vena cava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah sehingga ginjal
kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Setiap ginjal dikelilingi lemak
perinefrik (lemak disekitar ginjal) yang dapat melindungi ginjal dari trauma.
Dibagian atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal. Renal fasia dan organ
sekitar membantu mempertahankan ginjal di tempatnya.
Gambar 2.3 Anatomi ginjal tikus (Treuting&Dintzis, 2012)
14
Potongan melintang melalui ginjal menunjukkan bahwa bagian
dalam ginjal tersusun dari dua lapisan, lapisan luar disebut korteks dan
lapisan dalam disebut dengan medula. Lapisan tersebut dibentuk oleh
susunan teratur saluran mikroskopis yang disebut nefron. Sekitar 80%
nefron di ginjal hampir seluruhnya terdapat dalam korteks nefron kortikal,
dan sisanya 20% nefron terdapat pada medula. Nefron merupakan unit
fungsional ginjal yang terkecil. Setiap satu juta nefron dalam ginjal dibagi
menjadi bagian-bagian, dan setiap bagian tersebut berhubungan erat dengan
pembuluh darah khusus (Silverthorn, 2014).
Gambar 2.4 Potongan frontal ginjal (Khurana, 2012)
Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan zat sisa metabolisme dan zat-
zat yang lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan
konstituen darah yang masih berguna. Selain itu ginjal juga memiliki fungsi
endokrin yang penting (Patrick, 2005).
1.4.2 Struktur Ginjal
Setiap nefron dalam ginjal memiliki sebuah glomerulus yang
terletak terutama dalam korteks ginjal dan hasil penyaringannya akan menuju
tubulus ginjal. Tubulus ginjal terdiri dari tubulus proksimal, tubulus distal,
15
serta lengkung Henle dimana reabsorbsi air, elektrolit dan zat-zat penting yang