8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Green Information and Communication Technology (ICT) 2.1.1 Pengertian Green ICT Menurut International Livestock Research Institute (ILRI) (2009, p1) dalam jurnal berjudul Green ICT: ICT Awareness, Teknologi Informasi (TI) telah memungkinkan dalam produktivitas, efisiensi, dan komunikasi, tetapi memiliki konsekuensi lingkungan. Dibutuhkan solusi untuk mengurangi gas karbon yang akan berdampak bagi lingkungan, solusi tersebut yaitu Green ICT. Green ICT adalah pendekatan baru untuk mengurangi konsumsi energi dari sistem ICT, pengurangan limbah elektronik dan bertujuan untuk meningkatkan kelestarian lingkungan organisasi. Menurut Philipson (2010, p4) dalam paper berjudul A Green ICT Framework: Undertanding and Measuring Green ICT, Green ICT lebih dari sekedar mengurangi emisi karbon ataupun mengurangi konsumsi energi ICT perusahaan. Green ICT adalah pusat teknologi keberlanjutan. Green IT menyediakan: alat pengukuran, tempat penyimpanan data, mekanisme pelaporan, dan teknik mitigasi yang memungkinkan keberlanjutan. Menurut Aquaforest Limited (2010, p2) dalam jurnal berjudul Green Computing: Searchable PDF for Document Storage and The Concept of Green Computing, Green IT atau komputasi hijau adalah TI ramah lingkungan yang memungkinkan proses untuk menjalankan efisiensi dan efektivitas dengan tidak adanya dampak atau dampak seminimal mungkin bagi lingkungan.
49
Embed
BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00051-SI Bab2001.pdf · meningkatkan efisiensi sumber daya komputasi sedemikian rupa untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Green Information and Communication Technology (ICT)
2.1.1 Pengertian Green ICT
Menurut International Livestock Research Institute (ILRI) (2009, p1) dalam
jurnal berjudul Green ICT: ICT Awareness, Teknologi Informasi (TI) telah
memungkinkan dalam produktivitas, efisiensi, dan komunikasi, tetapi memiliki
konsekuensi lingkungan. Dibutuhkan solusi untuk mengurangi gas karbon yang akan
berdampak bagi lingkungan, solusi tersebut yaitu Green ICT. Green ICT adalah
pendekatan baru untuk mengurangi konsumsi energi dari sistem ICT, pengurangan
limbah elektronik dan bertujuan untuk meningkatkan kelestarian lingkungan
organisasi.
Menurut Philipson (2010, p4) dalam paper berjudul A Green ICT
Framework: Undertanding and Measuring Green ICT, Green ICT lebih dari sekedar
mengurangi emisi karbon ataupun mengurangi konsumsi energi ICT perusahaan.
Green ICT adalah pusat teknologi keberlanjutan. Green IT menyediakan: alat
pengukuran, tempat penyimpanan data, mekanisme pelaporan, dan teknik mitigasi
yang memungkinkan keberlanjutan.
Menurut Aquaforest Limited (2010, p2) dalam jurnal berjudul Green
Computing: Searchable PDF for Document Storage and The Concept of Green
Computing, Green IT atau komputasi hijau adalah TI ramah lingkungan yang
memungkinkan proses untuk menjalankan efisiensi dan efektivitas dengan tidak
adanya dampak atau dampak seminimal mungkin bagi lingkungan.
9
Menurut Aquaforest Limited (2010, p2) dalam jurnal berjudul Green
Computing: Searchable PDF for Document Storage and The Concept of Green
Computing, Green IT berusaha untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi perusahaan.
Pandangan ini diperkuat oleh Global Warming Initiatives Inc, suatu organisasi di
North Carolina yang misi utamanya adalah untuk membantu usaha dalam mengubah
efisiensi energi dan kinerja lingkungan menjadi aset perusahaan sekaligus
mengurangi pemanasan global. Singkatnya, mengatasi masalah lingkungan telah
menjadi tanggung jawab perusahaan dan sosial serta keharusan ekonomi dan
lingkungan.
Menurut Enterprise Management Associates (EMA) (2008, p1) dalam paper
berjudul Green Computing: Using IT Automation to Achieve Energy Effiency, green
computing atau Green IT adalah praktik menerapkan kebijakan dan prosedur yang
meningkatkan efisiensi sumber daya komputasi sedemikian rupa untuk mengurangi
dampak lingkungan dari pemanfaatannya. Green computing didirikan pada prinsip
"triple bottom line" yang mendefinisikan keberhasilan suatu perusahaan berdasarkan
kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial.
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p2) Green IT atau dikenal
sebagai green computing adalah studi dan praktik merancang, manufacturing, dan
menggunakan komputer, server, monitor, printer, storage device, sistem efisiensi
dan efektifitas komunikasi dan jaringan, dengan dampak nol atau minimal terhadap
lingkungan. Green IT juga tentang penggunaan TI untuk mendukung, membantu,
menaikkan level inisiatif lingkungan dan membantu menciptakan green awareness.
Green IT meliputi perangkat keras (hardware), piranti lunak (software), alat, strategi,
dan praktik untuk meningkatkan dan memelihara keberlanjutan lingkungan.
10
2.1.2 Taksonomi Green ICT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) taksonomi adalah klasifikasi
bidang ilmu; kaidah dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian objek; cabang
biologi yang menelaah penamaan, perincian, dan pengelompokan makhluk hidup
berdasarkan persamaan dan pembedaan sifatnya; klasifikasi unsur bahasa menurut
hubungan hierarkis; urutan satuan fonologis atau gramatikal yang dimungkinkan
dalam satuan bahasa.
Gambar 2.1: Taksonomi Green ICT
Sumber: Visser (2011, p9)
Menurut Visser (2011, p9) Green ICT dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
menghijaukan dengan TI dan menghijaukan TI itu sendiri. Menurut Visser (2011, p9)
menghijaukan dengan TI adalah TI sebagai sarana. Contohnya yaitu menghijaukan
suatu lingkungan seperti di dalam perusahan dengan menggunakan peralatan TI yang
mendukung. Mengirimkan data ke seluruh staff di dalam perusahaan dengan tidak
11
mencetak tetapi hanya dengan men-transfer data lewat jaringan perusahaan dapat
disebut sebagai menghijaukan dengan TI.
Menurut Visser (2011, p9) menghijaukan TI adalah TI sebagai tujuan atau
target. Contohnya yaitu merancang atau membuat suatu peralatan TI yang
mendukung dalam penghijauan lingkungan seperti di dalam perusahaan.
Menghijaukan TI dapat dilakukan dengan merancang TI yang ramah lingkungan
seperti supplier TI yang merancang data grid, data center, hardware serta software
ramah lingkungan untuk mendukung pekerjaan dalam suatu perusahaan.
2.1.3 Manfaat Green ICT
Menurut Stollenmayer (2011, p8) manfaat Green ICT adalah sebagai berikut:
pengurangan konsumsi energi, pengurangan penggunaan bahan baku, pengurangan
penggunaan air, pengurangan jumlah sampah, peningkatan jumlah daur ulang
(recycle) dan pengurangan polusi.
Tabel 2.1: Manfaat Green ICT
Environment/Society + Lower CO2 emissions
+ Reduced resource consumption
+ Compliance with legal requirements (in the future)
Companies + Reduced energy costs
+ Reduced operating costs of data centers
+ Less hardware needed
Employees + Increased
employee satisfaction
Capital Market + Improved
ratings
+ Higher share
Customers + Greater
customer loyalty
Public + Improved
image
+ Rounded-
12
Sumber: Hanle (2009, p6)
Menurut Hanle (2009, p6) Green ICT memiliki beberapa manfaat untuk
stakeholder perusahaan. Manfaat untuk lingkungan: mengurangi emisi
karbondioksida, mengurangi konsumsi sumber daya, dan menaati peraturan (di masa
depan). Manfaat untuk perusahaan: hemat beban listrik, mengurangi beban operasi
data center, dan membutuhkan lebih sedikit hardware.
Menurut Aquaforest Limited (2010, p2) dalam jurnal berjudul Green
Computing: Searchable PDF for Document Storage and The Concept of Green
Computing, manfaat Green ICT meliputi:
• Biaya.
• Efisiensi dan Peningkatan kerja.
• Keberlanjutan lingkungan di seluruh siklus hidup TI secara keseluruhan,
sehingga lebih ramah lingkungan dengan menangani dan mengatasi bidang utama
termasuk:
� Green Use.
� Green Disposal.
� Green Design.
� Green Manufacturing.
+ Greater loyalty
+ Easier recruitment
price
+ Greater company value
+ Appeal to new customer groups
+ Greater customer satisfaction
out CSR strategy
+ Greater brand value
13
2.2 Pendekatan Holistik Green IT
Gambar 2.2: Pendekatan Holistik Green IT
Sumber: Murugesan dan Gangadharan (2012, p8)
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p7) untuk efisiensi dampak
lingkungan pada TI diharuskan mengadopsi sebuah pendekatan holistik yang terdiri
dari:
• Green Design.
Merancang energi dan lingkungan efisien yang terdiri dari komponen komputer,
server, dan cooling equipment.
• Green Manufacturing.
Manufaktur komponen elektronik, komputer, dan subsistem lainnya dengan
minimal atau tidak adanya dampak terhadap lingkungan.
• Green Use.
Mengurangi pengurangan energi pada komputer dan sistem informasi lain serta
menggunakannya sesuai dengan keberlanjutan lingkungan.
14
• Green Disposal.
Memperbarui dan menggunakan kembali komputer lama atau tua serta mendaur
ulang komputer dan peralatan elektronik lainnya.
• Green Standards and Metrics.
Kebutuhan untuk mempromosikan, membandingkan, dan benchmarking inisatif
keberlanjutan, produk, servis, serta praktiknya.
• Green IT Strategies and Policies.
Efektifitas dan strategi serta kebijakan-kebijakan (policies) menambah nilai dan
fokus pada manfaat jangka pendek serta jangka panjang. Ini merupakan strategis
dan praktik bisnis yang selaras juga sebagai komponen kunci Green IT.
2.2.1 Green Computer’s Entire Life Cycle.
Gambar 2.3: Green Computer’s Entire Life Cycle
Sumber: Murugesan dan Gangadharan (2012, p8)
15
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p8) seluruh siklus hidup dari
komputer, server, storage system dapat dibuat lebih hijau, mengurangi emisi gas
rumah kaca dan jejak karbon serta meminimalkan atau menghilangkan bahan
beracun yang digunakan dan/atau dilepaskan ke lingkungan.
2.2.2 The Three Rs of Green IT
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p9) komputer yang tidak
diinginkan, monitor, dan hardware lainnya tidak boleh dibuang sebagai sampah
karena akan berakhir di tempat pembuangan sampah dan menyebabkan masalah
lingkungan serius. Sebaliknya, masyarakat diharuskan untuk memperbarui
(refurbish) dan menggunakan kembali (reuse), atau membuang (dispose) dengan
cara ramah lingkungan. Reuse, refurbish, dan recycle adalah 3 ‘Rs’ Green IT.
Berikut merupakan penjelasan lengkap tentang 3 ‘Rs’ Green IT menurut
Murugesan dan Gangadharan (2012, p9):
• Reuse.
Banyak organisasi dan individu membeli komputer baru untuk setiap proyek atau
setiap 2-3 tahun sekali. Sebaliknya, masyarakat diharuskan menggunakan
komputer yang lebih tua jika memenuhi persyaratan. Jika tidak, harus
memberikan kepada seseorang yang dapat menggunakannya dalam proyek atau
unit lain. Dengan menggunakan hardware untuk jangka waktu lama, dapat
mengurangi jumlah jejak lingkungan yang disebabkan oleh manufaktur komputer
dan pembuangan (disposal).
• Refurbish.
Masyarakat dapat memperbarui dan meng-upgrade komputer lama serta server
untuk memenuhi persyaratan baru. Masyarakat dapat membuat komputer lama
16
dan hardware TI lainnya menjadi hampir baru lagi dengan rekondisi serta
mengganti beberapa bagian. Dibandingkan membeli komputer baru dengan
spesifikasi yang ada, masyarakat juga dapat membeli hardware TI yang sudah
diperbarui menjadi peralatan berkembang. Jika pilihan ini tidak cocok,
masyarakat dapat menyumbangkan peralatan untuk amal, sekolah, seseorang
yang membutuhkan, atau dapat menjualnya.
• Recycle.
Ketika masyarakat tidak dapat refurbish atau reuse komputer, diharuskan untuk
membuangnya dengan cara ramah lingkungan dengan mendepositokan sampah
dengan recycle elektronik atau kolektor limbah elektronik (e-waste). E-waste
komputer dan barang elektronik adalah salah satu jenis limbah yang tumbuh
tercepat dan menimbulkan masalah lingkungan serius.
The United Nations Environmental Program memperkirakan bahwa 20-50 juta
ton e-waste dihasilkan di seluruh dunia setiap tahun dan terus meningkat.
Hardware TI mengandung bahan beracun seperti timbal (lead), chromium,
cadmium dan mercury. Jika hardware TI dikubur di tempat pembuangan sampah,
bahan beracun dapat meluluhkan kimia berbahaya ke dalam air dan lingkungan.
Jika dibakar, hardware TI tersebut membawa bahan beracun ke udara yang
dihirup manusia.
Jadi, jika e-waste tidak dibuang dengan benar dapat merusak lingkungan dan
manusia. Regulasi limbah peralatan listrik dan elektronik (Waste electrical and
electronic equipment/WEEE) bertujuan untuk mengurangi jumlah e-waste yang
akan menuju ke tempat pembuangan sampah dan meningkatkan pemulihan serta
tingkat recycle.
17
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p9) e-waste disposal jika tidak
dilakukan dengan benar menyebabkan kerusakan lingkungan serius dan masalah
kesehatan khususnya bagi yang terlibat langsung dalam disposal atau recycle.
Meskipun larangan ekspor dan impor e-waste, e-waste masuk ke negara-negara
berkembang (seperti India, Cina dan Filipina) untuk ‘recycling’ karena biaya recycle
yang lebih rendah di negara-negara tersebut. Sayangnya, seperti peraturan
lingkungan dan sarana yang tepat dari e-waste disposal dan recycle tidak ditegakkan
dalam praktik di negara-negara, e-waste ditangani ‘informal’ di pasar recyling resmi
secara manual, kasar, dan berbahaya untuk mengekstrak logam dan barang berharga
lainnya.
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p9) manufaktur komputer harus
bertanggung-jawab dan mengambil tindakan untuk mengurangi polusi yang
disebabkan oleh produk akhir masing-masing. Misalnya, perusahaan harus
mengadopsi banyak pilihan mengambil dari konsumen komputer yang tidak
diperlukan lagi dan mengatur pembuangan dengan cara ramah lingkungan melalui e-
waste recycling. Perusahaan harus mendidik pelanggan tentang yang harus dilakukan
dengan komputer lama. Perusahaan juga harus secara bertahap menghilangkan atau
meminimalkan penggunaan bahan beracun pada komputer yang beberapa
manufaktur komputer lakukan.
2.3 Green IT Policy
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p204) organisasi harus
mengembangkan Green IT Policy selaras dengan kebijakan lingkungan secara
keseluruhan dan inisiatif. Green IT Policy meliputi kerangka organisasi yang
ditempatkan untuk menerapkan kriteria lingkungan dalam kegiatan TI yang
18
berhubungan. Hal ini mendefinisikan sejauh mana green issues yang dikemas dalam
prosedur organisasi membimbing penggunaan, sumber dan pembuangan infrastruktur
teknis TI, kegiatan infrastruktur TI, dan penggunaan TI di perusahaan yang lebih luas
(Gartner, 2008; Olson, 2008).
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p204) jatuh tempo Green IT
Policy mencerminkan pertimbangan lingkungan secara sistematik menyerap value
chain aktivitas TI dan secara berulang atau tidak teratur dan didasarkan pada upaya
yang tidak terkoordinasi. Kebijakan (policy) membuat organisasi untuk melakukan
Green IT. Namun, tidak semua policy diharapkan dapat dilaksanakan dengan lancar
dan tidak semua praktik diharapkan menjadi policy.
Menurut Murugesan dan Gangadharan (2012, p204) Green IT Policy tidak
hanya mengenai penggunaan TI di perusahaan tetapi juga dapat mencakup kebijakan
mengenai pengelolaan setelah TI tidak dapat digunakan. Hal ini termasuk kebijakan
mengenai pengelolaan e-waste salah satunya yaitu proses recycling. Proses recycling
adalah proses daur ulang TI yang sudah tidak dapat digunakan. Green IT Policy
proses recycling dapat menjadi panduan kebijakan recycling TI yang tidak dapat
digunakan lagi di dalam suatu perusahaan dan melibatkan pihak-pihak yang
bersangkutan dalam melakukan recycling tersebut.
2.4 Green Technologies
Menurut Webber dan Wallace (2009, p1) green technologies adalah
pengurangan dampak lingkungan departemen TI. Kuncinya adalah menemukan
peralatan tepat yang mudah dioperasikan serta mudah diolah sewaktu tidak dapat
digunakan lagi. Green hanya istilah lain untuk efisiensi penggunaan teknologi (dalam
19
hal ini, mengacu terutama untuk peralatan elektronik). Efisien bertepatan dengan
biaya terendah dan paling ramah lingkungan.
Menurut Webber dan Wallace (2009, p2) ada 3 karakteristik utama dari green
technologies. Satu atau lebih dari karakteristik ini dapat berlaku untuk perangkat TI
(komputer, printer, monitor, keyboard, scanner, dan lain-lain) yaitu:
• Harus menggunakan energi secara efisien. Sebuah peralatan diberikan tingkat
kemampuan dapat dirancang dan dirakit dengan harga beli yang rendah,
pembuangan mudah, atau operasi hemat energi. Sayangnya, banyak perusahaan
menekankan harga pembelian awal dan tidak menjalankan biaya peralatan selama
masa 3 atau 5 tahun. Oleh karena itu, sebagian besar produsen fokus pada
penyediaan harga unit terendah.
• Menggunakan peralatan ukuran yang tepat untuk pekerjaan. Kebanyakan orang
akan menggunakan sebuah truk bukan mobil kelas ekonomi untuk mendorong
kembali dan balik ke sebuah toko kelontong yang jauh. Hal tersebut akan
mengkonsumsi secara signifikan lebih banyak bahan bakar untuk mencapai
jumlah yang sama dalam bekerja. Berlaku pula untuk sistem TI, seringkali server
besar dibeli untuk mendukung aplikasi baik karena itu adalah standar perusahaan
atau tersedia bila server dibutuhkan. Perangkat yang lebih besar mengkonsumsi
energi lebih dari satu unit, namun menyediakan jumlah imbalan sama kepada
perusahaan.
• Mencakup biaya untuk pembuangan tepat dari peralatan yang tidak diinginkan.
Pembuangan adalah sesuatu yang jarang dipertimbangkan dalam pembelian.
Namun biaya untuk membuang perangkat adalah bagian dari biaya total
kepemilikan unit. Perusahaan mungkin akan bertanggung jawab untuk biaya
20
pembersihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk pembuangan yang tidak
tepat dari peralatan.
2.5 Solusi Green Computing
Menurut Enterprise Management Associates (EMA) (2008, p1) dalam paper
berjudul Green Computing: Using IT Automation to Achieve Energy Effiency, solusi
green computing mengatasi serangkaian luas isu-isu lingkungan ditargetkan
mencapai keberlanjutan. Solusi ini meliputi:
• Efisiensi Energi.
Memaksimalkan pemanfaatan kekuatan sistem komputasi dengan mengurangi
penggunaan sistem selama periode waktu non-puncak.
• Mengurangi Limbah Elektronik.
Komponen teknologi fisik (keyboard, monitor, CPU, dan lain-lain) sering tidak
biodegradable dan sangat beracun. Beberapa bisnis dan arahan pemerintah telah
diberlakukan untuk mempromosikan recycle komponen elektronik dan produsen
hardware telah mengembangkan beberapa bagian biodegradable.
• Virtualisasi.
Dengan memanfaatkan server tunggal untuk memberikan layanan virtual yang
seharusnya perlu disediakan oleh beberapa sistem, makan konsumsi daya
keseluruhan akan berkurang.
• Mempekerjakan Thin Clients.
Sistem ini hanya memanfaatkan fungsi komputasi dasar. Dan terkadang bahkan
diskless, memanfaatkan sistem remote untuk melakukan kegiatan pengolahan
utamanya. Karena sistem kuno dapat digunakan untuk melakukan fungsi ini,
sehingga limbah elektronik akan berkurang. Atau perangkat thin clients baru
sekarang tersedia yang dirancang dengan konsumsi daya rendah.
21
• Telecommuting.
Menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk memungkinkan kemampuan
karyawan bekerja dari rumah sehingga mengurangi emisi transportasi.
• Remote Administration.
Memungkinkan kemampuan administrator untuk akses jarak jauh, memantau dan
sistem perbaikan secara signifikan mengurangi kebutuhan untuk perjalanan fisik
ke kantor dan lokasi pelanggan yang jauh. Seperti telecommuting, pekerjaan ini
menghilangkan emisi karbon yang tidak perlu.
• Generasi Green Power.
Banyak perusahaan telah memilih untuk menerapkan pembersihan, sumber
energi terbaru seperti matahari dan angin untuk sebagian atau keseluruhan
kekuatan bisnis.
Dari semua ini, “efisiensi energi” menyediakan potensi terbesar untuk cepat
kembali atas investasi, kemudahan implementasi, dan pembenaran keuangan.
Beberapa solusi komersial untuk meningkatkan efisiensi komputasi energi baru-baru
ini menjadi tersedia dan EMA sangat menganjurkan penerapan solusi tersebut tidak
hanya untuk implikasi lingkungan, tetapi juga untuk pengurangan pada biaya
infrastruktur TI.
2.6 Hardware
Menurut Noersasongko dan Andono (2010, p2) hardware adalah istilah
mengenai sekelompok mesin, ataupun istilah mengenai jutaan komponen kemudian
dikenal sebagai hardware atau perangkat keras. Hardware komputer juga dapat
diartikan sebagai peralatan fisik komputer itu sendiri yang dapat dilihat, dipegang,
ataupun dipindahkan.
22
2.6.1 Komponen Hardware
Menurut Noersasongko dan Andono (2010, p2) adapun komponen hardware
tersebut antara lain:
• Monitor (CRT dan LCD).
• CPU:
� RAM.
� Motherboard.
� Power Supply.
� Processor.
� VGA.
� CD dan DVD ROM.
• Keyboard.
• Mouse.
• Printer/scanner.
• Speaker.
2.7 Standard Operating Procedure (SOP)
2.7.1 Pengertian Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Ekotama (2010, p19) Standard Operating Procedure (SOP) adalah
sistem yang disusun untuk memudahkan, merapikan, dan mentertibkan suatu
pekerjaan. Sistem ini berisi urutan proses melakukan pekerjaan dari awal sampai
akhir. Hampir semua bisnis yang dijalankan secara modern memiliki SOP. Bahkan
SOP juga diberikan kepada para konsumen yang membeli produk tertentu agar tidak
salah mengolah. Jadi, SOP memang dibuat untuk menyederhanakan proses kerja agar
hasilnya optimal tetapi tetap efisien.
23
Menurut Tambunan (2011, p14) SOP pada dasarnya adalah pedoman berisi
prosedur-prosedur operasional standar di dalam suatu organisasi yang digunakan
untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-
fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang di dalam organisasi berjalan secara
efektif, efisien, konsisten, standar, dan sistematis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa SOP adalah pedoman berisi prosedur-prosedur
operasional untuk memudahkan, merapikan, dan mentertibkan pekerjaan dalam suatu
organisasi agar berjalan secara efektif, efisien, konsisten, standar, dan sistematis dari
awal hingga akhir.
2.7.2 Tujuan Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Ekotama (2010, p20) tujuan membuat SOP adalah
menyederhanakan suatu pekerjaan agar hanya berfokus pada intinya, tetapi cepat dan
tepat. Dengan cara ini, keuntungan mudah diraih, pemborosan diminimalisasi, dan
kebocoran keuangan dapat dicegah. Perusahaan yang ramping tetapi semua
pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu adalah perusahaan yang kompetitif.
Menurut Ekotama (2010, p21) SOP lahir dari pengelolaan usaha sehari-hari.
Pengelolaan usaha sehari-hari yang belum tentu profesional lalu distandarisasi agar
profesional atau mendekati profesional. Oleh karena itu, SOP disusun untuk
mempersingkat proses kerja, meningkatkan kapasitas kerja, dan mentertibkan kinerja
agar tetap dalam bingkai visi serta misi perusahaan. SOP adalah sarana agar
perusahaan mencapai sasaran (goal) yang ditetapkan oleh pemilik.
2.7.3 Peran Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2008, p97) peran SOP sebagai pedoman di dalam suatu
organisasi adalah:
24
• Menjadi pedoman kebijakan yang menjadi dasar dari semua kegiatan organisasi,
operasional, dan administratif.
• Menjadi pedoman pelaksanaan kegiatan organisasi, baik operasional maupun
administratif.
• Menjadi pedoman validasi langkah-langkah kegiatan dalam organisasi.
• Menjadi pedoman penggunaan formulir, dokumen, blanko, dan laporan yang
terkait dengan kegiatan organisasi.
• Menjadi pedoman penilaian efektifitas kegiatan organisasi.
• Menjadi pedoman pengintegrasian kegiatan dalam organisasi yaitu dalam
konteks mencapai tujuan organisasi.
2.7.4 Manfaat Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2011, p30) manfaat SOP untuk organisasi merupakan
manfaat teknis yang menjadi standar dan sangat penting karena dapat digunakan
sebagai acuan dalam pengendalian atas pelaksanaan penerapan SOP di dalam
organisasi. Manfaat-manfaat teknis tersebut adalah:
• Menjamin adanya standarisasi kebijakan, peraturan, baik yang dibuat di dalam
organisasi maupun berasal dari luar, misalnya Undang-Undang, Keputusan
Presiden atau Menteri, maupun berupa aturan lainnya dari institusi seperti
Bapepam, dan lain-lain.
• Menjamin adanya standarisasi pelaksanaan setiap prosedur operasional standar
yang telah ditetapkan menjadi pedoman baku organisasi.
• Menjamin adanya standarisasi untuk penggunaan dan distribusi formulir, blanko,
dan dokumen dalam prosedur operasional standar. Alur formulir, blanko, dan
dokumen pada dasarnya merupakan alur dari birokrasi di dalam organisasi,
25
sehingga efektifitas dan efisiensi dari alur formulir, blanko, dan dokumen
merupakan efektifitas dan efisiensi birokrasi.
• Menjamin adanya standarisasi sistem administrasi (termasuk kegiatan
penyimpanan arsip dan sistem dokumentasi). Sistem administrasi menjadi
jaminan adanya upaya untuk menghargai tiap transaksi dan peristiwa yang terjadi
di dalam organisasi.
• Menjamin adanya standarisasi validasi. Salah satu tindak atau aksi yang
memastikan bahwa kontrol di dalam suatu alur kegiatan telah diterapkan adalah
dengan melihat validasi dalam alur tersebut (control activities). Validasi harus
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam SOP. Dalam penyajian dengan
teknik bagian arus, titik-titik kontrol (control points) dapat dijelaskan melalui
simbol-simbol bagan arus yang beragam antara lain: simbol kegiatan manual
maupun terkomputerisasi, simbol pilihan alternatif, dan simbol penyimpanan.
• Menjamin adanya standarisasi pelaporan. Laporan adalah yang dibutuhkan oleh
pengguna sistem termasuk SOP. Salah satu indikator menentukan keberhasilan
atau efektifitas sistem adalah laporan-laporan yang dihasilkan sistem bermanfaat
atau tidak bagi penggunanya sebagai dasar untuk mengambil keputusan dan
melakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan tujuan, target, dan program-
program yang telah ditetapkan secara periodik.
• Menjamin adanya standarisasi kontrol. Penerapan kontrol sesungguhnya bukan
hanya berupa validasi, tetapi mengimplementasikan komponen-komponen
pengendalian lainnya yang mempengaruhi kualitas pengendalian organisasi
secara keseluruhan, yaitu: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, informasi
dan komunikasi, dan pemantauan (monitoring).
26
• Menjamin adanya standarisasi untuk pelaksanaan evaluasi dan penilaian kegiatan
organisasi. Penting untuk memastikan bahwa semua keputusan serta tindakan
dalam alur kegiatan organisasi mendapat evaluasi yang memadai. SOP yang
efektif memuat mekanisme evaluasi yang standar.
• Menjamin adanya standarisasi untuk pelayanan dan tanggapan kepada pihak luar
organisasi. Standar ini adalah refleksi dari dampak SOP suatu organisasi terhadap
pihak luar organisasi. SOP yang efektif memastikan bahwa semua kegiatan
organisasi dapat berjalan pada pola paling ekonomis, efektif, dan efisien (3E).
• Menjamin adanya standarisasi untuk keterpaduan dan keterkaitan di antara
prosedur dengan prosedur operasional lainnya di dalam konteks dan kerangka
tujuan organisasi. Penyajian yang terintegrasi dalam konsep, konteks, dan terapan
sangat penting untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam keputusan mapun
tindakan yang pada akhirnya menghasilkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan
organisasi.
• Menjamin adanya acuan formal bagi anggota organisasi untuk menjalankan
kewajiban di dalam prosedur operasional standar. SOP pada dasarnya disusun
untuk menjadi pedoman baku bagi anggota organisasi dalam menjalankan
kegiatan, baik dalam mengambil keputusan maupun tindakan. Karena itu, SOP
harus ditetapkan sebagai satu-satunya acuan berkegiatan dalam suatu organisasi.
Dalam SOP yang disajikan secara efektif, maka kaitan (linkage) antara SOP
dengan peraturan-peraturan lain terlihat secara jelas dan terintegrasi karena SOP
disusun dengan mempertimbangkan semua peraturan yang mengikat organisasi.
• Menjamin adanya acuan formal untuk setiap perbaikan serta pengembangan
prosedur-prosedur operasional standar di masa datang. SOP bukanlah pedoman
yang dibuat sekali sepanjang umur hidup suatu organisasi. SOP berubah serta
27
berkembang sesuai perubahan dan perkembangan organisasi. SOP yang
penyajiannya efektif akan memudahkan saat dilakukan perubahan atau perbaikan.
2.7.5 Macam-Macam Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Ekotama (2010, p39) SOP dapat dikelompokkan menjadi 7 bidang
kerja dalam suatu perusahaan. Pengelompokkan ini sifatnya umum, yaitu dapat
berlaku untuk semua jenis usaha. Berbagai macam pengelompokkan SOP tersebut
antara lain:
• Produksi dan Distribusi.
• Pemasaran: Promosi dan Penjualan.
• Akuntansi, Keuangan, dan Pajak.
• Sumber Daya Manusia (SDM) dan Pengembangannya.
• Pelayanan dan Pengelolaan Pelanggan.
• Operasional Usaha.
• Pembukaan dan Penutupan Usaha.
2.7.6 Tujuh Kriteria Manual Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2008, p108) pada dasar setiap organisasi memiliki
kebutuhan yang khas. Karena itu, secara teknis SOP sebagai manual prosedur
operasional standar di dalam organisasi harus disusun agar memenuhi 7 kriteria yang
disebut “The Seven Criterias of Manual”. 7 kriteria inilah yang menyebabkan SOP
suatu organisasi berbeda dengan SOP organisasi lain. “The Seven Criterias of
Manual” tersebut antara lain:
• Khas atau Spesifik (Specific).
• Prosedur Lengkap (Complete).
• Jelas dan Mudah Dipahami (Understandable).
• Layak-Terap (Applicable).
28
• Layak-Kontrol (Controllable).
• Layak-Audit (Auditable).
• Layak-Ubah (Changeable).
2.7.7 Unsur-Unsur Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2008, p121) unsur-unsur SOP tidak saja bermanfaaat
untuk menjadi rujukan penyusunan, tetapi juga pengendali pelaksanaan SOP, yaitu
untuk melihat SOP disusun lengkap atau tidak. Unsur-unsur ini digunakan sebagai
acuan dalam melakukan observasi, menyusun dan mengimplementasikan SOP.
Unsur-unsur SOP tersebut antara lain:
• Tujuan.
• Kebijakan.
• Petunjuk Operasional.
• Pihak yang Terlibat.
• Formulir.
• Masukan.
• Proses.
• Laporan.
• Validasi.
• Kontrol.
2.7.8 Tahap-Tahap Teknis Penyusunan Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2011, p34) terdapat 8 tahap teknis yang tidak hanya
mencakup penyusunan, tetapi juga implementasi serta pengendalian dan
pemeliharaan.
29
Gambar 2.4: Tahap-Tahap Teknis Penyusunan SOP
Sumber: Tambunan (2011, P35)
Menurut Tambunan (2011, p35) tahap-tahap teknis penyusunan SOP tersebut
adalah:
• Tahap Persiapan.
Tahapan ini bertujuan untuk memahami kebutuhan penyusunan atau
pengembangan SOP serta menyusun alternatif tindakan yang harus dilakukan
oleh organisasi yang terdiri dari 4 langkah, yaitu:
(i) Mengetahui kebutuhan.
30
(ii) Mengevaluasi dan menilai kebutuhan.
(iii) Menetapkan kebutuhan.
(iv) Menetapkan alternatif tindakan.
Produk dari tahapan ini adalah keputusan mengenai alternatif tindakan yang akan
dilakukan.
• Tahap Pembentukan Organisasi Tim.
Tahapan ini bertujuan untuk menetapkan tim atau organisasi tim yang
bertanggung-jawab untuk melaksanakan alternatif tindakan yang telah dibuat
dalam tahap persiapan. Tahapan ini mencakup 5 langkah, yaitu:
(i) Menetapkan organisasi tim penanggung-jawab pelaksanaan.
(ii) Menyusun pembagian tugas pelaksanaan.
(iii) Menetapkan orang yang diberi tanggung-jawab atas pelaksanaan secara garis
besar.
(iv) Menetapkan mekanisme kontrol pekerjaan.
(v) Membuat pedoman pembagian pekerjaan dan kontrol pelaksanaan pekerjaan.
Produk dari tahap ini adalah pedoman pembagian tugas dan kontrol pekerjaan.
• Tahap Perencanaan.
Tahapan ini bertujuan menyusun serta menetapkan strategi, metodologi, rencana,
dan program kerja yang akan digunakan oleh tim pelaksana penyusunan. Tahap
ini terdiri dari 4 langkah, yaitu:
(i) Menyusun strategi dan metodologi kerja.
(ii) Menyusun perencanaan kerja.
(iii) Menyusun program-program kerja rinci.
(iv) Menyusun pedoman perencanaan dan program kerja rinci.
Produk dari tahap ini adalah pedoman perencanaan dan program kerja rinci.
31
• Tahap Penyusunan.
Tahapan ini bertujuan untuk melaksanakan penyusunan SOP sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan. Tahap ini terdiri dari 5 langkah, yaitu:
(i) Mengumpulkan informasi terkait dengan metode pendekatan pengumpulan
yaitu dengan metode pendekatan sistem atau risiko kegiatan.
(ii) Mengumpulkan informasi pelengkap, yaitu alur otorisasi, kebijakan, pihak
yang terlihat, formulir, kaitan dengan prosedur lain.
(iii) Menetapkan metode dan teknik penulisan SOP yang dipilih, naratif atau
bukan, bagian arus, tabular, atau paduan di antara ketiganya.
(iv) Melaksanakan penulisan SOP.
(v) Membuat draft pedoman SOP.
Produk dari tahapan ini adalah draft pedoman SOP.
• Tahap Uji Coba.
Tahapan ini bertujuan menerapkan SOP dalam bentuk uji coba draft pedoman
SOP yang telah dibuat dalam tahap penyusunan. Tahap ini terdiri dari 6 langkah,
yaitu:
(i) Merancang metodologi uji coba.
(ii) Mempersiapkan materi uji coba.
(iii) Menetapkan tim pelaksana uji coba.
(iv) Mempersiapkan sarana uji coba.
(v) Melaksanakan uji coba.
(vi) Menyusun laporan hasil uji coba.
Produk dari tahap ini adalah laporan hasil uji coba yang digunakan untuk
melakukan penyempurnaan draft pedoman SOP.
• Tahap Penyempurnaan.
32
Tahapan ini bertujuan menyempurnakan pedoman SOP berdasarkan laporan hasil
uji coba yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tahap ini terdiri dari 6
langkah, yaitu:
(i) Mendiskusikan laporan hasil uji coba.
(ii) Merancang dan merencanakan langkah-langkah penyempurnaan pedoman
SOP.
(iii) Menyusun pembagian tugas penyempurnaan.
(iv) Melaksanakan penyempurnaan.
(v) Melakukan uji coba terbatas dengan tim atau tim penyeimbang (counterpart)
atau kelompok fokus (focus group) yang dibentuk secara khusus.
(vi) Menyusun pedoman SOP akhir (final manual).
Produk dari tahap ini adalah pedoman SOP akhir (final manual atau final
guidance) yang digunakan sebagai pedoman standar dalam organisasi.
• Tahap Implementasi.
Tahapan ini bertujuan untuk mengimplementasikan pedoman SOP akhir secara
menyeluruh dan standar dalam organisasi. Tahap ini terdiri dari 6 langkah, yaitu:
(i) Merancang metodologi implementasi.
(ii) Mempersiapkan materi implementasi.
(iii) Menetapkan tim pelaksana implementasi.
(iv) Mempersiapkan sarana implementasi.
(v) Melaksanakan implementasi.
(vi) Menyusun laporan implementasi.
Produk dari tahap ini adalah laporan implementasi yang akan menjadi dasar
dalam melakukan tahapan pemeliharaan dan audit.
• Tahap Pemeliharaan dan Audit.
33
Tahapan ini merupakan tahap akhir dari seluruh tahap-tahap teknis penyusunan
SOP dan bertujuan untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan audit atas
pelaksanaan penerapan SOP dalam organisasi selama periode tertentu. Tahapan
ini terdiri dari 7 langkah, yaitu:
(i) Merencanakan kegiatan pemeliharaan dan audit atas pedoman SOP yang
diterapkan.
(ii) Mempersiapkan tim pemeliharaan dan audit.
(iii) Melaksanakan pemeliharaan dan audit.
(iv) Membuat laporan setiap kegiatan pemeliharaan dan audit.
(v) Menyimpulkan temuan-temuan di dalam laporan kegiatan pemeliharaan dan
audit dan menyusun perencanaan perbaikan yang diperlukan.
(vi) (Bila perbaikan adalah kecil dan bersifat rutin, maka): Melaksanakan
perbaikan segera.
(vii) (Bila perbaikan adalah besar dan bersifat tidak rutin, maka): Melaksanakan
tahap-tahap teknis penyusunan SOP dari awal.
Produk dari tahap ini adalah laporan perbaikan rutin dan laporan kebutuhan
perbaikan besar atas SOP.
2.7.9 Teknik Dasar Penulisan Standard Operating Procedure (SOP)
Menurut Tambunan (2011, p180) terdapat 3 teknik dasar menuliskan SOP,
yaitu:
• Teknik Naratif.
• Teknik Bagan Arus (Flowchart).
• Teknik Tabular.
Pada praktiknya, biasanya tidak digunakan hanya salah satu teknik saja, tetapi
gabungan atau campuran dari 3 teknik dasar tersebut.
34
Berikut merupakan penjelasan tentang ketiga teknik dasar penulisan SOP
menurut Tambunan (2011, p180):
• Teknik Naratif.
Teknik ini menggunakan kekuatan kata dan kalimat dalam menyusun SOP. Oleh
karena itu, karakter teknik naratif ini sangat khas, semakin baik cara
penyampaian, semakin baik pula potensi kemudahan pemahaman oleh pelaksana
prosedur. Karena sifat ini, maka penyusunan dengan teknik naratif harus
dilakukan oleh tim yang tidak hanya mampu melakukan analisis kebutuhan SOP
organisasi, tetapi juga mampu menuangkan dalam narasi sistematis, jelas, dan
mudah dipahami.
Keunggulan teknik naratif adalah:
� Lebih fleksibel, dalam arti dapat dilakukan sesuai dengan yang menulis SOP,
sepanjang dilakukan secara sistematis, standar, dan mudah dipahami.
� Tidak terikat simbol-simbol tertentu, seperti teknik bagian arus (flowchart),
sehingga potensi kesalahan bukan pada pemakaian simbol, tetapi penggunaan
kata atau kalimat.
� Untuk SOP yang instruktif dan singkat, lebih mudah untuk dimodifikasi.
� Lebih mudah dipahami oleh lebih banyak pemakai, sebab tidak perlu
memahami simbol atau kode-kode tertentu, sepanjang SOP ditulis secara
sistematis, standar, dan mudah dipahami.
Kelemahan teknik naratif antara lain:
� Sulit disajikan secara standar, karena cara setiap orang menuliskan sesuatu
dapat berbeda. Ada yang singkat dan ada yang berpanjang-panjang.
� Untuk prosedur yang rumit dan tidak instruktif, dapat menjebak penulis SOP
pada situasi penyajian yang berbelit-belit.
35
� Untuk orang yang paham teknik bagan arus, kecuali untuk kebijakan dan
SOP instruktif, maka cara ini tidak praktis.
� “Sometimes word has two meanings”. Ungkapan ini menunjukkan potensi
sebuah kalimat disalahartikan oleh orang-orang yang membacanya.
� Untuk prosedur yang rumit dan tidak instruktif, sulit untuk
diimplementasikan dan disosialisasikan.
Walaupun terdapat keunggulan dan kelemahan dari teknik naratif, namun teknik
ini sangat bermanfaat pada kebutuhan tertentu, yaitu:
� Untuk menulis kebijakan dan peraturan-peraturan.
� Untuk menulis SOP instruktif.
� Untuk menulis SOP yang sederhana yang tidak melibatkan banyak pihak,
tidak banyak alur birokrasi dan tidak banyak menggunakan variasi formulir
dan laporan.
Tabel 2.2: Contoh Penggunaan Teknik Naratif
Prosedur Penerimaan Piutang Usaha - Kas
1. Bagian Penagihan mengirim Faktur Tagih ke Bagian Keuangan
sebanyak dua rangkap.
2. Bagian Keuangan menyerahkan rangkapan Faktur Tagih yang telah
diterima dari Bagian Penagihan dan telah divalidasi dan dicatat
kepada Bagian Kasir satu rangkap. Satu rangkap untuk arsip Bagian
Keuangan.
3. Bagian Kasir menerima uang pembayaran Piutang Usaha dari Pihak
Ketiga dan menyiapkan Kuitansi Penerimaan sebanyak tiga rangkap.
Satu rangkap untuk Pihak Ketiga (asli), satu rangkap untuk Bagian
Keuangan dan satu rangkap diarsip oleh Bagian Kasir.
36
Prosedur Penerimaan Piutang Usaha - Kas
4. Bagian kasir menyiapkan Bukti Penerimaan Kas sebagai dasar
administrasi pencatatan sebanyak dua rangkap. Satu rangkap untuk
Bagian Keuangan dan satu rangkap untuk diarsip.
5. Bagian Kasir mencatat penerimaan dalam Buku Harian Penerimaan
Kas.
6. Pada akhir hari, Bagian Kasir menghitung secara fisik semua
penerimaan pada hari yang bersangkutan dan membuat Laporan
Penerimaan Kas Harian.
7. Selesai.
Sumber: Tambunan (2011, p183)
• Teknik Bagan Arus (Flowchart).
Teknik bagan arus ini menggunakan simbol-simbol standar yang memiliki makna
atau mempresentasikan makna yang berbeda satu dengan yang lainnya. Teknik
bagan arus adalah teknik sangat spesifik yang banyak digunakan dalam
pengembangan sistem informasi dan penyusunan prosedur operasional standar.
Keunggulan dari teknik bagan arus adalah:
� Dapat disajikan lebih ringkas dibandingkan dengan menggunakan kata dan
kalimat (teknik naratif).
� Dapat disajikan lebih konsisten apabila teknik bagan arus dikuasai dan
diterapkan secara tepat.
� Lebih praktis serta lebih mudah dipahami apabila pengguna mengerti makna
simbol-simbol bagan arus.
� Lebih mudah dikontrol dan dipelihara, karena sifat penyajian yang jauh lebih
ringkas dan sistematis.
37
Kelemahan teknik bagan arus, yaitu:
� Menyajikan SOP dengan bagan arus membutuhkan kemampuan pemahaman
simbol dan teknik bagan arus yang baik sehingga keunggulan standarisasi
dapat dicapai. Tanpa penguasaan simbol yang baik maka bagan arus SOP
membutuhkan tambahan penjelasan naratif untuk dipahami seperti banyak
dilakukan dalam praktik.
� Mengimplementasikan dan mensosialisasikan SOP dengan penyajian bagan
arus membutuhkan tingkat kemampuan pemahaman simbol yang sama antara
penyusun dan pengguna. Oleh karena itu, sebelum diimplementasikan dan
disosialisasikan diperlukan tambahan pelatihan tentang makna simbol-simbol
bagan arus.
Teknik bagan arus akan memberikan hasil optimal apabila dimanfaatkan:
� Untuk SOP dengan alur birokrasi dan kontrol yang kompleks dan melibatkan
banyak departemen atau pihak yang terlibat.
� Untuk SOP yang melibatkan banyak dokumen dan laporan dan variasi
distribusi yang rumit.
� Untuk SOP yang memiliki kaitan dengan SOP atau kebijakan atau peraturan
lain yang kompleks.
Dapat disimpulkan bahwa teknik ini sangat bermanfaat untuk menggambarkan
SOP yang rumit. Serumit atau sekompleks apapun SOP, apabila digunakan
teknik bagan arus secara tepat, maka dapat digambarkan dengan sederhana dan
sistematis. Simbol-simbol yang ada dalam bagan arus mewakili banyak hal yang
jika diuraikan dalam kalimat akan membutuhkan banyak penjelasan dan uraian.
Berikut merupakan contoh kasus penggabungan teknik bagan arus dengan
penjelasan menggunakan teknik naratif.
38
Dengan Teknik Bagan Arus:
Dengan Teknik Naratif:
(X) Berdasarkan dokumen PQR (Rangkapan 3) dan dokumen XYZ
(Rangkapan 1) yang divalidasi Kepala Bagian Pemasaran, Bagian
Laboratorium Produksi harus menilai kualitas Produk I dan II yang
akan diproduksi.
Dengan Teknik Naratif:
(A) Jika kualitas Baik, maka produk I dan II dikirim ke Bagian
Produksi untuk dilanjutkan ke Proses Produksi 4 dan 5.
(B) Jika kualitas Buruk , maka produk I dan II dikirim kembali ke
Bagian Produksi 1 untuk ditingkatkan kualitasnya sesuai spesifikasi
yang diwajibkan.
Gambar 2.5: Contoh Perbandingan Teknik Bagan Arus Dengan Teknik Naratif
Sumber: Tambunan (2011, p192)
39
• Teknik Tabular.
Teknik tabular menggunakan bentuk tabel untuk membuat SOP tertentu. Teknik
ini sangat spesifik karena tidak semua SOP dapat disajikan dalam bentuk tabel.
Teknik ini dalam beberapa kondisi tidak dapat berdiri sendiri, karena digunakan
sebagai alat bantu untuk teknik penyajian yang lain. Teknik tabular pada
umumnya efektif untuk SOP sebagai berikut:
� Kegiatan yang bersifat analisis.
Tabel 2.3: Contoh Langkah-Langkah Proses Utuh
No. Urutan Langkah Kaitan Langkah Hubungan
1. Langkah 1 2 Awal
2. Langkah 2 1, 3 Awal, Akhir
3. Langkah 3 2, 4 Awal, Akhir
4. Langkah 4 3, 5A, 5B, 5C Awal, Akhir (3)
5. Langkah 5A 4, 5B, 6 Awal, Akhir (2)
6. Langkah 5B 4, 5C, 7, 8 Awal, Akhir (3)
7. Langkah 5C 4, 6 Awal, Akhir
8. Langkah 6 5A, 7 Awal, Akhir
9. Langkah 7 5C, 8 Awal, Akhir
10. Langkah 8 5C, 7 Awal, Akhir (2)
Sumber: Tambunan (2011, p194)
Tabel di atas merupakan contoh urutan langkah sangat spesifik yang biasanya ada
di proses produksi di pabrik atau di laboratorium atau dapat juga dibuat untuk
langkah-langkah lain yang membutuhkan keakuratan, apabila dilanggar akan
menyebabkan kegagalan keseluruhan proses.
40
Tabel 2.4: Proses Utuh (Tabel 2.3) Dalam SOP Dengan Teknik Bagan Arus
Pabrik Penjelasan Kegiatan
Dokumen P (Rkp 1 dan 5):
adalah dokumen kualitas produk
yang telah divalidasi Kepala
Produksi
Kegiatan F:
adalah pengiriman bahan baku dari
Gudang ke Pabrik.
Proses Utuh XX:
adalah proses utuh langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam proses
produksi sesuai pedoman dalam tabel
2.2.
Sumber: Tambunan (2011, p195)
Simbol proses utuh XX tersebut (bidang arsir abu-abu) adalah SOP dengan
teknik tabular dan merupakan bagian dari sebuah SOP yang lebih besar yang
disajikan dengan teknik bagan arus.
� Kegiatan yang sangat standar.
Teknik tabular ini juga lazim digunakan untuk SOP jurnal standar dalam
kegiatan akuntansi perusahaan. Tabel jurnal standar disusun sesuai dengan
kebutuhan masing-masing perusahaan dan sangat bermanfaat bagi pelaksana
akuntansi untuk menghindari kesalahan entri transaksi. Dalam kegiatan
1
5.
Dokumen P
F
XX
41
standar lain yang sejenis yaitu seperti kegiatan pemasaran, penjualan, SDM,
dan lain-lain dapat juga dibuat SOP dalam bentuk tabel seperti jurnal standar.
Tabel 2.5: Contoh Tabel Jurnal Standar
No. Jenis
Transaksi
Jurnal Standar Jumlah
(Rp)
1. Pembelian Dr
Cr
Pembelian
Hutang Dagang
Rp xxx
Rp xxx
2. Penjualan Dr
Cr
Piutang Dagang
Penjualan
Rp xxx
Rp xxx
Sumber: Tambunan (2011, p196)
� Kegiatan yang berupa penjadwalan.
Tabel 2.6: Contoh Jadwal Pembayaran
Sumber: Tambunan (2011, p197)
Dalam tabel di atas disajikan aturan SOP pembayaran kepada pihak ketiga
menurut jumlah, mata uang, dan hari pelaksanaan pembayaran.
No. Nilai Pembayaran Mata Uang Hari Pembayaran
1. <=1,000 USD Senin
2. >1,000 USD Rabu
3. <=5,000 SGD Senin
4. >5000 SGD Rabu
5. <=1,000 EURO Senin
6. >1,000 EURO Rabu
7. <=10.000.000 IDR Selasa
8. >10.000.000 IDR Kamis
42
2.7.10 Simbol-Simbol Bagan Arus (Flowchart) Standard Operating Procedure
(SOP)
Menurut Tambunan (2011, p185) terdapat simbol-simbol bagan arus yang
umum digunakan dalam penyusunan SOP. Simbol-simbol ini terdiri atas:
• Simbol bagan arus dasar (basic flowchart symbols).
Gambar 2.6: Simbol Bagan Arus Dasar
Sumber: Tambunan (2011, p186)
• Simbol penyimpanan untuk penyimpanan (storage flowchart symbols).
Gambar 2.7: Simbol Bagan Arus Penyimpanan
Sumber: Tambunan (2011, p187)
43
• Simbol bagan arus penghubung kegiatan-kegiatan (activity connector flowchart
symbols).
Gambar 2.8: Simbol Bagan Arus Penghubung Kegiatan
Sumber: Tambunan (2011, p187)
• Simbol bagan arus kegiatan rinci di dalam proses (detail activity in process
flowchart symbols).
44
Gambar 2.9: Simbol Bagan Arus Kegiatan Rinci Dalam Proses
Sumber: Tambunan (2011, 188)
• Simbol bagan arus alur atau garis penghubung (flowlines flowchart symbols).
Gambar 2.10: Simbol Bagan Arus Alur Atau Garis Penghubung
Sumber: Tambunan (2011, p188)
• Simbol bagan arus untuk menunjukkan hardware yang digunakan di dalam
sistem dan prosedur (computer hardware symbols).
45
Gambar 2.11: Simbol Bagan Arus Hardware Komputer
Sumber: Tambunan (2011, p189)
2.8 E-Waste
2.8.1 Pengertian E-Waste
Menurut Himpalaunas Online (September 2011) e-waste adalah sampah atau
limbah berupa perangkat keras atau barang elektronik yang dibuang karena usang
atau rusak. Sampah ini harus mendapat perhatian lebih karena mengandung bahan
46
beracun dan berbahaya (B3). Limbah elektronik setiap tahunnya mengalami
peningkatan mengingat tumbuh pesatnya penggunaan barang elektronik seperti
ponsel, televisi atau komputer. Menurut data Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), setiap
tahunnya antara 20-50 juta ton e-waste dibuang tanpa diproses dengan cara ramah
lingkungan.
Menurut Himpalaunas Online (2011) e-waste dapat menjadi ancaman serius
bagi lingkungan dan manusia karena merupakan sumber toksik, termasuk zat
karsinogenik di dalamnya. Apabila dibuang secara langsung tanpa melalui
pengolahan, zat dari e-waste yang ada dapat meresap ke dalam tanah, ke air, dan
akhirnya dapat mencemari lingkungan sekitar.
Menurut Jehan (YLKI Online, 2012) e-waste adalah barang elektronik yang
dibuang karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste
perlu diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan
sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti logam berat (merkuri, timbal,
kromium, cadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga, dan lainnya).
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) (2007, p2) dalam
jurnal E-Waste Volume II: E-Waste Management Manual, Waste Electrical and
Electronic Equipment (WEEE) atau e-waste adalah salah satu aliran limbah yang
tercepat tumbuh di dunia. Di negara maju, sama dengan 1% dari total padatan limbah
pada rata-rata. Meningkatnya “market penetration” di negara berkembang,
“replacement market” di negara maju dan “high obsolescence rate” membuat
WEEE/e-waste menjadi salah satu aliran limbah tercepat. Ada kebutuhan mendesak
untuk mengatasi e-waste khususnya di negara berkembang. Kehadiran komponen
daur ulang menarik sektor informal dan tidak terorganisir. Praktik-praktik
47
lingkungan yang tidak aman dan berisiko menimbulkan risiko besar terhadap
kesehatan dan lingkungan.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) (2007, p12)
dalam jurnal E-Waste Volume II: E-Waste Management Manual, e-waste adalah
campuran kompleks dari limbah berbahaya dan tidak berbahaya yang terdiri dari item
nilai ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan khusus, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan dan pembuangan.
Menurut Chatterjee dan Kumar (2009, p893) dalam International Journal of
Physical Sciences yang berjudul Effective Electronic Waste Management and
Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors, e-waste adalah
limbah yang paling cepat berkembang di dunia industri dan urban. Dengan
pertumbuhan besar di sektor elektronik dan hardware, permintaan produk elektronik
telah ditingkatkan pula. Perubahan fitur lebih cepat dalam perangkat elektronik dan
ketersediaan produk ditingkatkan sehingga memaksa konsumen untuk membuang
elektronik produk tersebut dengan cepat. Generasi ini telah menyebabkan e-waste
yang mengkhawatirkan.
Menurut Chatterjee dan Kumar (2009, p894) dalam International Journal of
Physical Sciences yang berjudul Effective Electronic Waste Management and
Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors, sumber utama dari e-
waste adalah hardware disposal dan barang-barang elektronik dari kantor
pemerintah, sektor publik dan swasta, akademis serta lembaga penelitian. Konsumen
rumah tangga juga memberikan kontribusi volume yang signifikan dalam produk
elektronik.
48
Menurut Chatterjee dan Kumar (2009, p894) dalam International Journal of
Physical Sciences yang berjudul Effective Electronic Waste Management and
Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors menyatakan bahwa
beberapa tahun terakhir ekspor volume e-waste terbesar dari negara-negara barat ke
negara-negara Asia seperti Cina, India, dan lain-lain.
2.8.2 Pemodelan E-Waste
Menurut Chatterjee dan Kumar (2009, p899) dalam International Journal of
Physical Sciences yang berjudul Effective Electronic Waste Management and
Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors menyatakan bahwa e-
waste recycle dianggap bisnis yang menguntungkan di negara-negara barat.
Teknologi dan infrastruktur yang tepat serta memadai tersedia di negara-negara maju
tersedia di negara-negara maju untuk memproses sampai akhir produk elektronik
untuk mengekstrak logam mulia hingga hasil terbaik. Para konsumen mendukung
secara finansial untuk kegiatan recycle di negara-negara barat dengan bentuk EPR
(Extended Produsen Responsibility) yaitu produksi lanjutan atau tambahan secara
bertanggung jawab penuh.
Menurut The Swiss Federal Laboratories for Material Science and
Technology (EMPA) (2009, p6) dalam jurnal berjudul Model for E-waste
Management, EPR didefinisikan sebagai suatu strategi perlindungan lingkungan
sebagai produsen yang membuat produk bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup
produk terutama untuk recycle dan disposal akhir dari produk tersebut.
Menurut Chatterjee dan Kumar (2009, p900) dalam International Journal of
Physical Sciences yang berjudul Effective Electronic Waste Management and
49
Recycling Process Involving Formal and Non-Formal Sectors, mengusulkan model
untuk e-waste recycling yang memiliki berbagai tahap.
Gambar 2.12: Model E-Waste
Proses Flowchart Recovery of Saleable Materials E-Waste
Sumber: Chatterjee dan Kumar (2009, p900)
50
Gambar 2.13: Model E-Waste
Proses Flowchart Untuk E-Waste Management.
Sumber: Chatterjee dan Kumar (2009, p903)
Menurut The Swiss Federal Laboratories for Material Science and
Technology (EMPA) (2009, p10) dalam jurnal berjudul Model for E-waste
Management mengusulkan model Individu Producer Responsibility (IPR) untuk
Negara India.
51
Gambar 2.14: Model Individu Producer Responsibility (IPR)
Sumber: The Swiss Federal Laboratories for Material Science and
Technology (EMPA) (2009, p10)
2.8.3 Metode Pengolahan E-Waste
Menurut Phillips (eHow Online, 2012) banyak produk elektronik memiliki
komponen racun seperti lead, mercury, dan cadmium yang cenderung merusak
lingkungan. Kebanyakan e-waste dapat di-recycling dan di-reuse. Dengan
mengurangi (reduce), reusing, dan recycling produk-produk yang mengandung
bahan berbahaya, setiap konsumen dapat membantu berkontribusi untuk mengurangi
masalah lingkungan yang sudah tersebar luas karena racun yang timbul dari e-waste
disposal.
Menurut Phillips (eHow Online, 2012) terdapat 3 metode daur ulang e-waste
yang dapat diterapkan antara lain:
• Daur Ulang (Recycling).
52
Recycling adalah salah satu metode pengolahan dengan cara memisahkan setiap
komponen dari e-waste untuk dihancurkan dan diproduksi ulang menjadi barang
jadi.
• Pakai Ulang (Reuse).
Reuse adalah metode yang memanfaatkan e-waste dengan cara memakai
kembali e-waste. Dalam metode ini pemilihan e-waste harus diperhatikan
kelayakannya karena dapat menghasilkan zat kimia atau racun yang berbahaya
untuk tubuh manusia.
• Kesenian (E-Waste Art).
E-waste art adalah metode memanfaatkan e-waste untuk dibuat karya seni atau
mengubah benda yang bernilai tinggi. Dalam pembuatan karya seni
membutuhkan keahlian dan kepandaian dalam mengolah setiap e-waste agar
menghasilkan sebuah benda yang bernilai tinggi.
2.9 Reuse dan Recycle Cartridge
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
peningkatan jumlah kebutuhan masyarakat kalangan institusi, baik institusi
pendidikan (kampus, sekolah, akademisi) atau institusi pemerintah/swasta dalam hal
pencetakan (print out) hasil penelitian, tugas-tugas kantor dan administrasi
mengakibatkan peningkatan produksi tinta, khususnya tinta printer (cartridge).
Produksi dan penggunaan cartridge tinta printer setiap tahun selalu mengalami
peningkatan. Hal ini akan menyebabkan kesulitan dalam mengolah kembali
cartridge yang tidak terpakai lagi agar tidak mencemari lingkungan.
53
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p1) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
cartridge merupakan bagian dari komponen printer yang berfungsi sebagai wadah
tinta printer. Biasanya tinta printer yang dikemas dalam cartridge merupakan produk
sekali pakai.
Menurut Kumpulan Artikel Indonesia Online (2011) cartridge adalah sebuah
kemasan dapat dipindahkan yang memuat sejumlah magnetic disc atau optical disc
dan dapat disisipkan ke dalam slot komputer, printer, atau komponen hardware lain.
Cartridge dibedakan menjadi 2 yaitu:
• Ink Cartridge.
Ink cartridge atau inkjet cartridge adalah komponen sebuah printer inkjet berisi
tinta. Setiap ink cartridge berisi satu atau lebih wadah tinta dipartisi, produsen
tertentu juga menambahkan kontak elektronik dan chip yang berkomunikasi
dengan printer.
• Toner Cartridge.
Toner cartridge disebut juga laser toner adalah isi komponen dari printer laser.
Toner berisi bubuk toner, campuran partikel plastik, karbon, dan pewarna hitam
atau lainnya yang membuat gambar atau tulisan di atas kertas. Toner ditransfer ke
kertas melalui unit drum elektrostatis dan menyatu ke kertas oleh rol yang
dipanaskan selama proses pencetakan.
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p1) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
besarnya tingkat penggunaan printer sebagai media pencetak menyebabkan semakin
meningkat pula jumlah pencemar bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berupa
sisa tinta dalam cartridge.
54
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p1) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
sebagian besar komponen cartridge adalah plastik dan merupakan material yang sulit
terurai secara alami oleh alam. Dibutuhkan lebih dari 450 tahun untuk dapat terurai.
Sampah cartridge yang dibuang dapat berpotensi mencemari lingkungan air maupun
tanah. Diperlukan adanya usaha untuk meminimalisasi sampah cartridge, sehingga
volume sampah di tempat pembuangan akhir dapat berkurang. Minimalisasi sampah
cartridge dapat dilakukan dengan cara reduksi (reduce), reuse, dan recycle.
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
untuk membuat satu cartridge laser baru, dibutuhkan lebih dari 3,4 liter minyak.
Sebagian besar cartridge dapat dimanufaktur kembali atau rekondisi dan diisi ulang.
Sedangkan cartridge tinta yang habis dan belum diisi ulang (refill) biasanya masih
dapat dijual ke perusahaan untuk dilakukan recycle (cartridge re-manufactured),
atau dapat juga di-reuse dengan cara di-refill .
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
proses pengisian tinta kembali (refill) ini rawan terjadi kerusakan. Maksimal
pengisian tinta daur ulang biasanya hanya sampai 10 kali. Setelah itu cartridge akan
rusak dan pada akhirnya menjadi sampah yang dibuang oleh pemiliknya. Namun,
tidak semua jenis cartridge dapat diisi ulang. Perusahaan cartridge asli (original)
telah mengembangkan teknologinya agar cartridge sulit didaur ulang yaitu dengan
melekatkan data elektonik (chip) untuk pendeteksi printer.
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
55
recycle cartridge dilakukan dengan mengirimkan kembali cartridge ke perusahaan
cartridge tersebut. Pada kemasan cartridge biasanya terdapat instruksi perusahaan
mengenai recycle cartridge. Beberapa perusahaan menyediakan alamat untuk
mengirim kembali cartridge. Cartridge yang telah dikirim ke perusahaan akan
dilakukan recycle (cartridge re-manufactured). Pusat daur ulang lokal menerima
cartridge untuk recycle juga. Berbagai toko ritel juga mengumpulkan cartridge
untuk recycle.
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
cartridge yang dibuang biasanya masih mengandung sisa tinta di dalamnya.
Beberapa jenis tinta, seperti yang digunakan di printer-printer dapat berbahaya.
Tinta printer dan toner sering mengandung material toksik seperti cadmium. Meski
tidak menyebabkan kematian, kontak yang salah dapat menyebabkan efek seperti
sakit kepala luar biasa, iritasi kulit, dan kerusakan sistem syaraf. Efek-efek ini dapat
disebabkan oleh larutan atau pigmen utama seperti p-Anisidine, yang digunakan
dalam proses pembuatan warna dan cahaya tinta.
Menurut Rahmawati dan Damanhuri (2012, p2) dalam jurnal Pola
Penggunaan Cartridge Tinta Printer dan Potensi Daur Ulangnya Di Kota Bandung,
cartridge yang merupakan kemasan bekas tinta merupakan limbah B3, yaitu dari
sumber yang spesifik berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang
pengelolaan limbah B3. Sampah cartridge yang tidak terpakai tidak boleh dibuang
langsung ke lingkungan karena sisa tinta toksin yang masih ada dalam cartridge
dapat mencemari lingkungan tanah dan air. Pemanfaatan sampah cartridge dapat
dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.2 Tahun
2008 Tentang Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada Pasal 2
56
dikatakan bahwa, ”Pemanfaatan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara reuse,
recycle, dan atau recovery”. Skala prioritas pemanfaatan berturut-turut diantaranya