6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Stres Hidup yang berada dalam ketenangan dan kedamaian dalam waktu yang terlalu lama dapat menimbulkan rasa jemu. Rasa jemu yang berlebihan bisa menumbuhkan stres bagi seseorang (Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard, 1991). Stres bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Banyak penelitian telah membahas mengenai stres. Para peneliti juga mengartikan stres dengan berbagai definisi. Dari tahun ke tahun, penelitian yang membahas mengenai stres telah dilakukan. Pada awal abad ke-14, peneliti mengartikan stres sebagai suatu kesulitan, ketegangan dan penderitaan. Pada abad-17, Hooke menggunakan istilah stres dalam konteks ilmu fisik, dimana stres dapat mempengaruhi kondisi fisik karyawan (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tahun 1936, Hans Selye mengartikan stres sebagai suatu susunan pertahanan diri seseorang dalam menghadapi stimulus berbahaya (termasuk ancaman psikologis), reaksi pertahanan diri tersebut disebut dengan General Adaptation Syndrome (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres tidak hanya ada dalam konteks ilmu fisik. Pada tahun 1977, Hinkle melakukan evolusi konsep stres dan memasukkan istilah stres ke dalam konteks ilmu biologi (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres dalam ilmu biologi menjabarkan stres berupa reaksi seseorang akan situasi dinamis. Lebih lengkapnya,
24
Embed
BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-1-00012-PL BAB 2.pdf · sedangkan stres dalam ilmu biologi diartikan sebagai proses pertahanan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB 2
LANDASAN TEORI
2. 1. Stres
Hidup yang berada dalam ketenangan dan kedamaian dalam waktu yang
terlalu lama dapat menimbulkan rasa jemu. Rasa jemu yang berlebihan bisa
menumbuhkan stres bagi seseorang (Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest
R. Hilgard, 1991). Stres bisa menimpa siapa saja dan di mana saja.
Banyak penelitian telah membahas mengenai stres. Para peneliti juga
mengartikan stres dengan berbagai definisi. Dari tahun ke tahun, penelitian yang
membahas mengenai stres telah dilakukan.
Pada awal abad ke-14, peneliti mengartikan stres sebagai suatu kesulitan,
ketegangan dan penderitaan. Pada abad-17, Hooke menggunakan istilah stres
dalam konteks ilmu fisik, dimana stres dapat mempengaruhi kondisi fisik karyawan
(Lazarus dan Folkman, 1984).
Pada tahun 1936, Hans Selye mengartikan stres sebagai suatu susunan
pertahanan diri seseorang dalam menghadapi stimulus berbahaya (termasuk
ancaman psikologis), reaksi pertahanan diri tersebut disebut dengan General
Adaptation Syndrome (Lazarus dan Folkman, 1984).
Konsep stres tidak hanya ada dalam konteks ilmu fisik. Pada tahun 1977,
Hinkle melakukan evolusi konsep stres dan memasukkan istilah stres ke dalam
konteks ilmu biologi (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres dalam ilmu biologi
menjabarkan stres berupa reaksi seseorang akan situasi dinamis. Lebih lengkapnya,
7
Hinkle (1977) menggunakan kata stres untuk mengindikasi suatu posisi dimana
manusia mampu berinteraksi dengan keadaan atau stimulus berbahaya pada situasi
dinamis (Lazarus dan Folkman, 1984). Wolff (1953) menekankan bahwa situasi
dinamis melibatkan adaptasi pada tuntutan (Lazarus dan Folkman, 1984). Lazarus
dan Folkman (1984) menyimpulkan bahwa stres pada ilmu fisika diartikan sebagai
ketidakberdayaan tubuh seseorang dalam menghadapi beban dari lingkungannya,
sedangkan stres dalam ilmu biologi diartikan sebagai proses pertahanan diri, dimana
manusia berjuang untuk mengatur stres yang dialaminya. Konsep situasi dinamis
tidak digunakan oleh Lazarus dan Folkman dalam mengartikan stres. Hal ini
dikarenakan konsep tersebut tidak mencakup pembahasan mengenai coping stress,
penyakit dan kesulitan yang dialami akibat stres dirasakan individu tersebut (Lazarus
dan Folkman, 1984).
Di tahun 1984, Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres berupa
ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dan kemampuan seseorang. Seseorang
yang mengalami stres akan melakukan penilaian terhadap lingkungannya, melebihi
kemampuan yang dimilikinya atau bahkan mengancam kesejahteraannya (Lazarus
dan Folkman, 1984). Dengan adanya stres, manusia mampu memperlihatkan
keunikan dirinya dalam mengahadapi stres yang dirasakannya masing-masing
(Lazarus dan Folkman, 1984).
Peneliti lain juga beranggapan bahwa tuntutan lingkungan mempengaruhi
stres yang dirasakan seseorang. Pada konteks organisasi, Stephen P. Robbins dan
Timothy A. Judge (2007) menyebutkan stres dipengaruhi oleh lingkungan kerja.
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan stres sebagai kondisi dinamis dimana
8
seseorang berhadapan dengan kesempatan, demands, atau sumber yang
berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang, dimana hasilnya merupakan
sesuatu yang penting, namun tidak pasti. Stres berkaitan dengan demands dan
sumber-sumber yang berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang.
Sumber-sumber tersebut berupa segala sesuatu yang dapat dikontrol seseorang
dan bisa digunakan untuk menyelesaikan demands (Robbins dan Judge, 2007).
Menurut Robbins dan Judge (2007) demands dalam konteks organisasi dapat
berupa tanggungjawab, tekanan, obligasi, dan segala ketidakpastian yang dihadapi
seseorang di lingkungan pekerjaan.
Stres juga dapat dilihat melalui sudut pandang berbeda. Pandangan lain
menyebutkan tiga macam pendekatan mengenai stres. Penelitian Kessler, Price,
dan Wortman (1985) menemukan tiga pendekatan mengenai stres, yaitu : stressor
sebagai stimulus, stres sebagai suatu transaksi, dan stres sebagai respon (dalam
Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).
Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang
memandang stressor sebagai stimulus fokus pada bagaimana seseorang
mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya. Pada pendekatan
yang memandang stressor sebagai stimulus melihat sebuah peristiwa dinilai
menyebabkan mereka sangat stres atau tidak (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan
Woolf, 2009).
Pendekatan kedua yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai suatu
transaksi. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang
menganggap stres sebagai suatu transaksi fokus pada bagaimana seseorang
9
melakukan interpretasi dan menghadapi peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya
(dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). .
Pendekatan terakhir yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai
respon. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang
menganggap stres sebagai respon fokus pada penilaian psikologis dan reaksi fisik
seseorang terhadap stres (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Ketiga
pendekatan tersebut memandang stres secara berbeda, namun penelitian ini melihat
sudut pandang stres sebagai suatu transaksi.
Pada stres sebagai suatu transaksi, individu melakukan penilaian ketika
dihadapkan pada situasi tertentu (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).
Lazarus dan Folkman (1984) menemukan bahwa seseorang melakukan dua tahap
penilaian terhadap suatu peristiwa (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).
Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa pada penilaian primer (primary
appraisal), terdapat empat jenis penilaian yang dapat dilakukan individu terhadap
peristiwa yang dihadapinya, yaitu : situasi berbahaya (harm), situasi kehilangan
(loss), situasi menantang (challenge), dan situasi yang tidak berbahaya (benign)
bagi dirinya. Selanjutnya, pada tahap kedua, Lazarus dan Folkman (1984)
mengemukakan bahwa penilaian sekunder (secondary appraisal) terjadi bila
seseorang mulai memikirkan mengenai apa yang dapat diperbuatnya untuk
menghadapi situasi yang telah ia nilai pada penilaian pertama. Setelah melakukan
penilaian terhadap suatu peristiwa, individu menentukan tindakan selanjutnya.
Proses kognitif pada individu, berperan dalam menentukan tindakan selanjutnya
yaitu, penilaian situasi yang dianggap mengancam atau berbahaya dan proses
10
penilaian ini berpengaruh pada pemilihan strategi coping stress (Lazarus dan
Folkman, 1984).
Penelitian ini menggunakan pendekatan stres sebagai suatu transaksi
karena sejalan dengan teori utama yang digunakan dalam penelitian, yaitu teori
stres yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Selanjutnya akan dibahas lebih
lanjut teori mengenai salah satu macam stres, yaitu stres kerja.
2. 1. 1. Stres Kerja
Manusia selaku karyawan dalam suatu perusahaan melakukan proses kerja
(Munandar, 2001). Menurut Munandar (2001), proses kerja tersebut berupa
mengolah materi/bahan baku dengan mesin dan metode yang dimiliki perusahan.
Karyawan berkemungkinan mengalami stres yang merupakan akibat atau hasil dari
proses bekerja dalam perusahaan (Munandar, 2001).
Munandar (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar stressor berasal
dari pekerjaan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ross dan Altimer (1994)
mendefinisikan stres kerja berupa stres yang timbul akibat tekanan di tempat kerja.
Menurut Ross dan Altimer (1994), stres tersebut sebagai hasil interaksi kondisi
karyawan dengan karakteristik masing-masing karyawan, dimana terdapat tuntutan
karyawan yang berlebihan.
Definisi lain mengenai stres kerja, juga mengkaitkan individu dengan
lingkungannya. Brousseau dan Prince (1981) mengartikan stres kerja sebagai suatu
keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena
karyawan merasa terancam di lingkungan kerjanya (dalam Purwono, 2006). Begitu
11
pula dengan pendapat Arsenault dan Dolan (1983) bahwa stres kerja merupakan
kondisi psikologis yang. tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena karyawan
merasa terancam, hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dengan
tuntutan pekerjaan (dalam Purwono, 2006). Shin (1984) juga mengartikan stres kerja
sebagai kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif seperti konflik peran dan
kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (dalam
Purwono, 2006).
Sejalan dengan pernyataan diatas, masalah pekerjaan menjadi salah satu
peristiwa yang membuat seseorang merasa stres. Holmes dan Rahe (1967)
menyusun skala stres (Social Readjustment Rating Scale) dari peristiwa yang
membuat seseorang merasa stres. Stres di tempat kerja menjadi bagian dalam
SRRS (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009).
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan menjadi
bagian dari peristiwa yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Peneliti
ingin melihat tingkat stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira
Insurance. Peneliti berasumsi bahwa kantor pusat Adira Insurance merupakan
perusahaan dengan tekanan kerja yang tinggi, dimana menurut Bass dan Gerald
(1981), persaingan bisnis merupakan salah satu stressor. Peneliti juga berasumsi
bahwa tekanan kerja yang tinggi dikarenakan kantor pusat Adira Insurance
bertanggung jawab mengontrol kegiatan kantor-kantor cabanng yang tersebar di
beberapa wilayah Indonesia dan memiliki divisi usaha lebih dari satu. Untuk
memastikan bahwa karyawan yang bekerja di kantor pusat Adira Insurance
12
mengalami stres, peneliti akan mengukur tingkat stres kerja yang dialami karyawan
di kantor pusat Adira Insurance.
2. 1. 2. Sumber Stres Kerja
Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa stres dipengaruhi oleh
faktor tuntutan lingkungan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stephen dan Timothy
(2007) menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab stres seseorang. Semua
faktor tersebut terdiri dari faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Stephen dan
Timothy (2007) menyebutkan bahwa sumber-sumber pada stres kerja bisa terjadi
karena faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Sumber-sumber stres kerja
menurut Stephen dan Timothy (2007), yaitu:
1. Faktor lingkungan
Faktor Lingkungan merupakan faktor-faktor ketidakpastian yang terjadi
diluar lingkungan organisasi, namun mempengaruhi struktur organisasi
dan tingkat stres kerja yang karyawan didalamnya. Terdapat tiga macam
yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu :
a. Ketidakpastian politik suatu negara,
b. Perubahan siklus bisnis yang menciptakan ketidakpastian
ekonomi,
c. Inovasi teknologi yang pesat menyebabkan keterampilan dan
pengalaman karyawan tidak digunakan lagi.
13
2. Faktor organisasi
Faktor organisasi merupakan faktor-faktor di dalam suatu organisasi
yang dapat mempengaruhi stres kerja karyawan. Terdapat tiga macam
bentuk tuntutan yang termasuk dalam faktor organisasi, yaitu :
a. Tuntutan tugas, misalnya otonomi, kondisi kerja, tata letak
karyawan.
b. Tuntutan peran yang menempatkan karyawan pada peran tertentu
di perusahaan dapat menyebabkan konflik peran yang sulit
diselesaikan. Konflik peran tersebut, seperti ketidakcocokkan
dengan harapan karyawan yang menjalankan peran, kebingungan
peran atau tidak diberitahu dengan pasti peran yang dijalaninya
dalam perusahaan tersebut.
c. Tuntutan interpersonal yang terjadi dengan rekan kerja (hubungan
sosial yang buruk dengan rekan kerja).
3. Faktor pribadi
Faktor pribadi merupakan faktor-faktor di dalam diri karyawan atau
masalah yang dihadapi karyawan diluar masalah pada pekerjaan. Faktor
pribadi, yaitu :
a. Masalah keluarga (perceraian, masalah kedisipilinan dengan
anak, dan lainnya),
b. Masalah ekonomi (mengatur pengeluaran dan tabungan)
14
c. Kepribadian karyawan dapat menjadi asal dari gejala stres yang
timbul.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja yang
dialami karyawan dapat disebabkan masalah di luar bahkan di dalam organisasi.
Sumber stres kerja yang dikarenakan faktor organisasi juga dikemukakan oleh