BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Persediaan Menurut Tersine (1994, p3), persediaan mempunyai banyak perngertian terhadap beberapa hal yang berbeda, diantaranya adalah : 1. Stock on hand pada seuatu waktu tertentu (aset dapat dilihat, dihitung, dan diukur). 2. Daftar per item dari semua aset fisik. 3. Untuk menentukan jumlah item yang harus ada di tangan. 4. Nilai stok barang yang dimiliki perusahaan pada waktu tertentu (dalam konteks dokumen bagian keuangan dan akuntansi). Menurut Sipper et al (1997, p206), persediaan adalah suatu kuantitas dari komoditas yang dikontrol oleh perusahaan dan disimpan agar sewaktu-waktu dapat digunakan untuk dapat memenuhi permintaan di masa mendatang. Menurut Smith (1989, p108), persediaan didefinisikan sebagai stock of goods (persediaan barang), dimana secara umum dianggap sebagai suatu sumber yang memiliki nilai ekonomi. Persediaan terbuat oleh satu atau lebih item, dimana masing- masing item tersebut merupakan supply item, bahan baku, part yang dibeli atau dimanufaktur, assembly (perakitan), ataupun produk akhir yang unik. Menurut Elsayed (1994, p63), persediaan didefinisikan sebagai bahan baku, barang setengah jadi dan barang perakitan, dan finished goods atau barang jadi yang berada di dalam sistem produksi pada titik waktu yang tepat. Persediaan menjadi buffer
55
Embed
BAB 2 Landasan Teori - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2008-1-00456-TISI-Bab 2.pdf · Meningkatkan inventory visibility. ... Jenis permintaan dapat berupa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Persediaan
Menurut Tersine (1994, p3), persediaan mempunyai banyak perngertian
terhadap beberapa hal yang berbeda, diantaranya adalah :
1. Stock on hand pada seuatu waktu tertentu (aset dapat dilihat, dihitung,
dan diukur).
2. Daftar per item dari semua aset fisik.
3. Untuk menentukan jumlah item yang harus ada di tangan.
4. Nilai stok barang yang dimiliki perusahaan pada waktu tertentu (dalam
konteks dokumen bagian keuangan dan akuntansi).
Menurut Sipper et al (1997, p206), persediaan adalah suatu kuantitas dari
komoditas yang dikontrol oleh perusahaan dan disimpan agar sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk dapat memenuhi permintaan di masa mendatang.
Menurut Smith (1989, p108), persediaan didefinisikan sebagai stock of goods
(persediaan barang), dimana secara umum dianggap sebagai suatu sumber yang
memiliki nilai ekonomi. Persediaan terbuat oleh satu atau lebih item, dimana masing-
masing item tersebut merupakan supply item, bahan baku, part yang dibeli atau
dimanufaktur, assembly (perakitan), ataupun produk akhir yang unik.
Menurut Elsayed (1994, p63), persediaan didefinisikan sebagai bahan baku,
barang setengah jadi dan barang perakitan, dan finished goods atau barang jadi yang
berada di dalam sistem produksi pada titik waktu yang tepat. Persediaan menjadi buffer
21
antara tahapan-tahapan dalam sistem produksi, dan diantara sistem produksi dan
pelanggan.
Jadi persediaan adalah kuantitas dari barang (raw material, work in process,
dan finished goods) yang memiliki nilai ekonomi dan dimiliki oleh perusahaan untuk
dapat memenuhi permintaan di masa mendatang.
2.2 Tujuan Persediaan
Menurut Frazelle (2002, p91), goal dari manajemen persediaan adalah
meningkatkan financial return pada persediaan, sementara customer service level juga
ditingkatkan. Untuk dapat meningkatnya kedua hal tersebut dan begitu juga ketersediaan
persediaan, terdapat lima langkah untuk mengawalinya :
1. Meningkatkan ketepatan dari peramalan.
2. Mengurangi cycle times (waktu siklus).
3. Menurunkan biaya pemesanan/setup.
4. Meningkatkan inventory visibility.
5. Menurunkan biaya penyimpanan persediaan.
Persediaan terjadi karena penyediaan dan permintaan sulit diselaraskan dengan
tepat dan diperlukan waktu untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal-hal berikut ini
merupakan faktor-faktor yang mendukung fungsi persediaan (Tersine, 1994, p6), antara
lain :
1. Faktor waktu, yang berhubungan dengan lamanya proses produksi dan
distribusi yang terjadi sebelum barang sampai ke konsumen.
2. Faktor diskontinuitas, yang dimaksudkan agar menjaga barang tersedia
terus menerus sehingga diperlukan persediaan sehingga tidak terjadi .
22
3. Faktor ketidakpastian, yang merupakan hal-hal yang tidak diduga yang
dapat terjadi seperti saat mesin mengalami breakdown, bencana, dan
sebagaianya. Karena itu, persediaan dibutuhkan sebagai antisipasi
kemungkinan terjadinya kejadian tersebut.
4. Faktor ekonomi, yang memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam
mengurangi biaya yang terdiri dari pemesanan barang, pembelian dengan
discount, pengiriman, man power, dan sebagainya.
Cara lain untuk dapat menjelaskan tujuan pengadaan persediaan adalah dengan
menjelaskan klasifikasi fungsi dari persediaan itu sendiri. Berdasarkan utilitasnya,
semua persediaan dapat tergolong dalam satu atau lebih kategori berikut.
1. Working Stock (Lot Size Stock)
Merupakan persediaan yang dibutuhkan dan diadakan dalam mendukung
kebutuhan terhadap barang sehingga pemesanan dapat dilakukan dalam
bentuk lot size dibandingkan dengan ukuran dasar yang dibutuhkan. Lot
size mempunya manfaat untuk mengurangi atau meminimalisasikan biaya
pemesanan dan penyimpanan, mendapatkan discount pemesanan
kuantitas, dan biaya pengiriman.
2. Safety Stock
Merupakan persediaan yang diadakan dalam mengantisipasi
ketidakpastian persediaan dan permintaan. Safety Stock atau dapat juga
disebut sebagai stok pengaman ini pada umumnya dipakai selama waktu
kedatangan barang yang telah dipesan sehingga tidak terjadi kekurangan
barang.
23
3. Anticipation Stock
Merupakan persediaan yang diadakan sehubungan dengan penyelarasan
permintaan yang bersifat musiman, tidak menentu, atau kurangnya
kapasitas produksi.
4. Pipeline Stock (Work In Process)
Merupakan persediaan yang ada dalam perjalanan yang membutuhkan
waktu dari penerimaan barang pada saat masuk, pengiriman bahan dlam
proses produksi, pengiriman barang sampai ke outputnya. Secara
eksternal, pipeline stock dapat digambarkan sebagai persediaan dalam
perjalan di truk, ataupun kapal. Sedangkan secara internal digambarkan
sebagai sebuah proses dimana menunggu untuk dapat diproses dan
dipindahkan.
5. Decoupling Stock
Merupakan persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi
permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier.
6. Psychic Stock
Merupakan persediaan barang yang digunakan untuk dapat
menstimulasikan permintaan dan bertindak seperti seorang penjual yang
diam. Kategori ini meningkatkan kesempatan sebuah item untuk dapat
terlihat dan dipertimbangkan untuk dapat dibeli oleh pelanggan. Seperti
halnya rak yang penuh di supermarket dapat meningkatkan penjualan
dengan memperlihatkan pelanggan terhadap banyaknya persediaan yang
ada, dan menciptakan visibility yang lebih tinggi terhadap suatu produk.
24
2.3 Biaya Persediaan
Tujuan dari persediaan adalah untuk mendapatkan jumlah yang tepat untuk
barang pada tempat dan waktu yang tepat, serta mempunyai biaya yang rendah. Ada
beberapa parameter ekonomi dasar untuk model persediaan yang relevan untuk sebagian
besar sistem, yaitu : (Tersine, 1994, p13)
1. Purchase Cost (Biaya Pembelian)
Biaya pembelian dair suatu barang adalah biaya untuk membeli satu
satuan barang jika diperoleh dari sumber eksternal atau memproduksi
satu satuan barang jika barang tersebut diproduksi secara internal. Biaya
per unit ini harus selalu dibebankan ketika barang tersebut ditempatkan
sebagai persediaan. Untuk barang yang dibeli, pembelian ini termasuk
biaya transportasi, sedangkan untuk barang yang diproduksi, biaya
pembelian ini upah karyawan, biaya bahan baku dan overhead pabrik.
2. Order / Setup Cost (Biaya Pemesanan)
Biaya pemesanan ini berasal dair biaya yang timbul pada saat dilakukan
pemesanan untuk pemenuhan kembali persediaan yang dimiliki. Pada
saat pemesanan yang dilakukan, sejumlah biaya tertentu yang berkaitan
yaitu pemrosesan, persiapan, pendistribusian, penanganan, dan pembelian
sejumlah barang yang dipesan.
3. Holding Cost (Biaya Penyimpanan)
Biaya penyimpanan adalah biaya yang diasosiasikan dengan investasi
dalam persediaan dan untuk mempertahankan investasi fisik dalam
gudang. Menurut Elsayed (1994, p64), komponen-komponen pembentuk
biaya simpan adalah :
25
a. Opportunity cost atau biaya kesempatan atas modal yang
diinvestasikan dalam persediaan, storage and space costs atau biaya
pergudangan yang meliputi biaya penyewaan gudang, biaya
penanganan (biaya penyimpanan) dan biaya maintenance atau biaya
pemeliharaan bahan baku di gudang, dan biaya administrasi gudang.
b. Storage and space costs atau biaya pergudangan yang meliputi
dan biaya maintenance atau biaya pemeliharaan bahan baku di
gudang, dan biaya administrasi gudang.
c. Taxes and insurances atau pajak dan asuransi, dan biaya
penyusutan, serta pencegahannya, seperti contoh penyimpanan
sayuran, produk-produk yang terbuat dari susu, dan beberapa
produk keramik dan produk elektronika.
d. Cost of obsolescene atau biaya keusangan yang termasuk
didalamnya biaya yang harus dikeluarkan perusahaan bila ada
pergantian teknologi seperti penggantian komputer, alat
komunikasi, dan lainnya.
4. Stockout Cost (Biaya kekurangan persediaan)
Biaya ini juga dikenal sebagai shortage cost. Merupakan biaya yang
dikenakan jika tidak terdapat persediaan yang cukup untuk memenuhi
permintaan berlebih yang datang pada suatu saat tertentu. Ada dua jenis
yakni backorder cost dan lost sales cost. Keduanya sulit diukur secara
akurat.
26
a. Backorder cost merupakan biaya yang dikenakan ketika terjadi
pemesanan yang baru dapat dipenuhi pada saat mendatang. Biaya
ini dapat menyebabkan tambahan biaya seperti dalam hal
transportasi dan pemesanan. Biaya backorder lebih mudah
diprediksi dibandingkan dengan lost sales cost atau biaya karena
kehilangan penjualan.
b. Lost sales cost atau biaya yang terjadi ketika kita tidak dapat
memenuhi pesanan konsumen, sehingga mereka membatalkan
pesanan tersebut. Biaya ini biasanya termasuk keuntungan yang
akan diterima dan kemungkinan negatif dalam hal penjualan di
masa yang akan datang.
2.4 Terminologi Sistem Persediaan
Di dalam terminologi sistem persediaan ini, Elsayed (1994, p64)
mengungkapkan definisi dari beberapa hal yang berhubungan dengan persediaan.
1. Demand. Keputusan penentuan persediaan (kebijakan, jumlah yang akan
dipesan, dan sebagainya) ditentukan berdasarkan permintaan di masa
mendatang. Jenis permintaan dapat berupa deterministic dan statis
ataupun dinamis secara alamiah.
2. Lead Time and Replenishment Rate. Lead time merupakan waktu jeda
antara saat dimana dilakukan pemesanan dan saat dimana pemesanan itu
diterima sebagai persediaan. Waktu lead time dapat bervariasi
(deterministic atau probabilistic dan konstan atau waktu yang
bervariasi). Replenishment rate merupakan rate dimana persediaan
diselesasaikan (build up).
27
3. Reorder Level, yang merupakan level ataupun titik dimana dilakukan
pemesanan untuk pemenuhan persediaan.
4. Safety Stock, yang merupakan persediaan yang dipersiapkan untuk
menghindari terjadinya stockout atau kehabisan barang yang dapat
terjadi karena ketidakpastian terhadap proses pemenuhan barang atau
terhadap permintaan yang tinggi.
Menurut Sipper (1998, p207), Lingkungan persediaan diklasifikasikan menjadi
dua kategori utama, yaitu :
1. Deterministic atau stochastic. Deterministic berarti permintaan masa
mendatang diketahui secara pasti, sedangkan stochastic berarti memiliki
persediaan di masa mendatang yang tidak menentu. Di dalam kategori
ini, masing-masing memiliki analisis yang cukup berbeda. Stochastic
umumnya lebih realistis tetapi sulit untuk ditangani.
2. Permintaan independent atau permintaan dependent. Permintaan
independent tidak bergantung ataupun dipengaruhi oleh barang lainnya.
Contohnya seperti penjualan ritel atau produk jadi dalam industri
manufaktur. Sedangkan permintaan dependent bergantung terhadap
barang lainnya. Umumnya permintaan ini terdapat dalam industri
manufaktur dimana jumlah komponen ataupun bahan baku tergantung
dari jumlah produk yang ingin dihasilkan.
2.5 Aliran Biaya Persediaan
Persediaan memiliki 2 karakteristik, yaitu karakteristik fisik (aliran barang) dan
karakteristik finansial (aliran biaya). Metode aliran persediaan terkait dengan caranya
barang-barang ditambah dan diambil dari persediaan. Perkiraan persediaan barang untuk
28
keperluan accounting tidak selalu sama dengan persediaan fisik barang yang aktual.
Pemilihan metode perkiraan aliran barang di dalam satu perusahaan akan menentukan
aliran biaya. Menurut Werner et al (2004, p314) terdapat tiga metode yang umum
digunakan, antara lain :
1. FIFO (First In First Out)
Di dalam metode ini, diperkirakan bahwa barang yang pertama kali
ditempatkan sebagai persediaan akan menjadi barang yang pertama kali
akan dijual. Ketika harga pembelian satu barang berubah, maka hal yang
terjadi adalah pendapatan penjualan akan dipasangkan dengan biaya yang
tercatat pada awalnya, bukan dengan biaya yang tercatat pada saat terjual.
FIFO dapat menjadi satu informasi yang baik untuk menentukan kondisi
perusahaan yang sekarang, karena FIFO menghitung nilai persediaan
dengan biaya yang paling terbaru.
Tabel 2.1 Contoh Rincian Pembelian Barang dalam Perhitungan Metode FIFO
Sumber: Yamit (1999, p201)
Tanggal Transaksi Unit Harga/unit Total Biaya
1 Januari Persediaan awal 200 Rp 1.000,00 Rp 200.000,00 31 Januari Pembelian 300 Rp 1.100,00 Rp 330.000,00 28 Februari Pembelian 400 Rp 1.160,00 Rp 464.000,00 31 Maret Pembelian 100 Rp 1.260,00 Rp 126.000,00 Jumlah 1000 Rp 1.120.000,00
29
Tabel 2.2 Contoh Rincian Penjualan Barang dalam Perhitungan Metode FIFO
Sumber: Yamit (1999, p201)
Unit Penjualan Harga/unit Total Biaya
200 Rp 1.000,00 Rp 200.000,00 300 Rp 1.100,00 Rp 330.000,00 200 Rp 1.160,00 Rp 232.000,00 700 Rp 762.000,00
Tabel 2.3 Contoh Rincian Persediaan Akhir dalam Perhitungan Metode FIFO
Sumber: Yamit (1999, p201)
Persediaan Akhir Unit Harga/unit Total Biaya Pembelian Februari 200 Rp 1.160,00 Rp 232.000,00 Pembelian Maret 100 Rp 1.260,00 Rp 126.000,00 Jumlah 300 Rp 358.000,00
Harga pokok barang yang dijual dengan metode FIFO adalah Rp.
762.000,00, dan nilai persediaan akhir adalah Rp.1.120.000,00 –
Rp762.000,00 = Rp.358.000,00 untuk 300 unit.
2. LIFO (Last In First Out)
Di dalam metode ini, diperkirakan bahwa barang yang terakhir kali
ditempatkan sebagai persediaan akan menjadi barang yang pertama kali
akan dijual. Metode ini memasangkan harga pembelian satu barang
sekarang ini dengan pendapatan penjualan, sehingga kemungkinan
informasi terbaik bagi pembuat keputusan di bidang finansial untuk
menentukan potensi pendapatan perusahaan di masa mendatang. Namun
hal ini berakibat biaya persediaan akhir dianggap terlalu kuno.
30
Tabel 2.4 Contoh Rincian Pembelian Barang dalam Perhitungan Metode LIFO
Sumber: Yamit (1999, p203)
Tanggal Transaksi Unit Harga/unit Total Biaya 1 Januari Persediaan awal 200 Rp 1.000,00 Rp 200.000,00 31 Januari Pembelian 300 Rp 1.100,00 Rp 330.000,00 28 Februari Pembelian 400 Rp 1.160,00 Rp 464.000,00 31 Maret Pembelian 100 Rp 1.260,00 Rp 126.000,00 Jumlah 1000 Rp 1.120.000,00
Tabel 2.5 Contoh Rincian Penjualan Barang dalam Perhitungan Metode LIFO
Sumber: Yamit (1999, p203)
Unit Penjualan Harga/unit Total Biaya 100 Rp 1.260,00 Rp 126.000,00 400 Rp 1.160,00 Rp 464.000,00 200 Rp 1.100,00 Rp 220.000,00 700 Rp 810.000,00
Tabel 2.6 Contoh Rincian Persediaan Akhir dalam Perhitungan Metode LIFO
Sumber: Yamit (1999, p203)
Persediaan Akhir Unit Harga/unit Total Biaya Pembelian 1 Januari 200 Rp 1.000,00 Rp 200.000,00 Pembelian Januari 100 Rp 1.100,00 Rp 110.000,00 Jumlah 300 Rp 310.000,00
Harga pokok barang yang dijual dengan metode LIFO adalah Rp.
810.000,00, dan nilai persediaan akhir adalah Rp.1.120.000,00 –
Rp810.000,00 = Rp.310.000,00 untuk 300 unit.
3. Average Cost Method
Di dalam metode ini, biaya yang digunakan adalah biaya rata-rata per unit
untuk menentukan harga pokok penjualan, dan harga barang-barang dalam
persediaan akhir. Menurut Yamit, metode ini terbagi menjadi 3, yaitu:
31
(contoh soal yang digunakan dalam metode ini adalah sama dengan metode
FIFO maupun LIFO)
a. Rata-rata Sederhana
Perhitungan biaya per unit
= 4
1260116011001000 +++ = Rp.1.130,00 per unit.
Nilai persedian akhir
= (persediaan akhir*biaya per unit) = (300*1130) = Rp.339.000,00
Harga pokok penjualan
= (unit dikeluarkan*biaya per unit) = (700*1130) = Rp.791.000,00
b. Rata-rata Tertimbang
Perhitungan biaya per unit
= 1000
)100(1260)400(1160)300(1100)200(1000 +++=∑
NQP
ii
= Rp.1.120,00 per unit.
Nilai persedian akhir
= (persediaan akhir*biaya per unit) = (300*1120) = Rp.336.000,00
Harga pokok penjualan
= (unit dikeluarkan*biaya per unit) = (700*1120) = Rp.784.000,00
32
c. Rata-rata Bergerak
Tabel 2.7 Contoh Catatan Persediaan dengan Perhitungan Metode Rata-rata Bergerak
Sumber: Yamit (1999, p205)
Tanggal Unit Harga/unit Total Biaya Rata-rata bergerak 1 Januari 200 Rp 1.000,00 Rp 200.000,00 Rp 1.000,00 31 Januari 300 Rp 1.100,00 Rp 330.000,00 Rp 1.060,00 28 Februari 400 Rp 1.160,00 Rp 464.000,00 Rp 1.104,44 31 Maret 100 Rp 1.260,00 Rp 126.000,00 Rp 1.120,00
Nilai persediaan akhir
= (persediaan akhir*biaya per unit) = (300*1120) = Rp.336.000,00
Harga pokok penjualan
= (unit dikeluarkan*biaya per unit) = (700*1120) = Rp.784.000,00
2.6 Kebijakan Persediaan
Kebijakan persediaan dikaitkan dengan waktu pemeriksaan dan kedisiplinan
pemesanan yang digunakan untuk pengontrolan persediaan (kapan dilakukan pemesanan
dan berapa banyak jumlah pemesanan tersebut). Kebijakan persediaan yang umum
digunakan antara lain (Elsayed, 1994, p67)
1. Periodic Review Policy
Pada kebijakan ini, tingkat persediaan diperhatikan (diperiksa) dalam
jangka waktu tertentu. Jika pada ketetapan waktu yang sudah ditentukan,
tingkat persediaan berada di atas titik reorder level, maka tidak ada
tindakan yang dilakukan, namun jika tingkat persediaan berada atau di
bawah titik reorder level maka akan dilakukan pemesanan hingga pada
tingkat target (maksimum).
33
2. Order Up to R Policy
Kebijakan ini dapat dikatakan sebagai kebijakan khusus periodic review
dengan penggunaan reorder level, target stock level, dan review time
period. Titik reorder level adalah sama dengan target stock level.
Pemesanan akan dilakukan pada akhir waktu pemeriksaan yang telah
ditentukan sejumlah dari selisih antara target stock level dengan persediaan
pada akhir waktu pemeriksaan tersebut.
3. Continuous Review Policy
Kebijakan ini adalah sama dengan kebijakan Order Up to R, hanya saja
pemeriksaan persediaan dilakukan setiap hari. Hal yang membedakan
dengan kebijakan tersebut adalah ketidak harusan melakukan pemesanan di
akhir periode, tergantung dari jumlah persediaan pada saat tersebut.
4. Fixed Reorder Quantity Policy
Kebijakan ini tidak begitu berbeda dengan kebijakan continuous review,
kecuali pada jumlah pemesanan yang tetap setiap dilakukan pemesanan
pada saat jumlah persediaan berada di / di bawah titik pemesanan kembali.
5. Base Stock Policy
Pada kebijakan ini, reorder level adalah sama dengan target stock level,
dan pemesanan dilakukan ketika terjadi penarikan barang dari persediaan.
Jumlah persediaan di tangan, dan jumlah yang dipesan adalah sama dengan
target stock level di setiap waktu.
2.7 Klasifikasi ABC
Analisa ABC yang dikenal sebagai “Always Better Control” ini merupakan
pendekatan yang sangat berguna dalam manajemen material yang berbasiskan hukum
34
Pareto, “Vital few and trivial many”, yang digunakan pada investasi terhadap suatu
barang. (Gupta et al, 2007, p325). Jika mengikuti hukum Pareto, maka secara ideal
klasifikasi ABC adalah sebagai berikut (Frazelle, 2002, p74) :
1. Produk kelas A berjumlah 5 % dan menghasilkan 80% penjualan.
2. Produk kelas B berjumlah 15% dan menghasilkan 15% penjualan.
3. Produk kelas C berjumlah 80% dan menghasilkan 5% penjualan.
2.8 Pengujian Distribusi Normal
Sebaran peluang kontinu yang paling penting dalam statistika adalah
sebaran/distribusi normal dengan kurvanya yang berbentuk genta. Untuk mengetahui
apakah suatu populasi mengikuti sebaran normal atau tidak, dapat digunakan goodness
of fit (uji kebaikan suai). Uji kebaikan suai merupakan uji yang digunakan untuk
menentukan apakah populasi memiliki suatu distribusi teoritik tertentu. Uji ini
didasarkan pada seberapa baik kesesuaian antara frekuensi yang teramati dalam data
sampel dengan frekuensi harapan pada distribusi yang dihipotesakan.
Langkah-langkah uji kebaikan suai distribusi normal
1. Tentukan H0 dan H1
H0: populasi data mengikuti distribusi normal
H1: populasi data tidak mengikuti distribusi normal
2. Tentukan taraf nyata (α)
3. Menentukan daerah kritis
Tolak H0 jika tabelhitung22 χχ >
35
4. Perhitungan:
a. Membuat selang kelas dengan langkah-langkah yang telah diajarkan
pada statistik modul pertama
b. Masukkan data-data yang ada pada tabel perhitungan
5. Kemudian hitung jumlah 2χ
Rumus:
( )∑ −=
eieioi 2
2χ
dimana:
oi: Frekuensi observasi (pengamatan)
ei: frekuensi harapan
6. Membuat kesimpulan
Terima atau tolak H0 dan simpulkan bahwa populasi mengikuti atau tidak
mengikuti distribusi normal.
Catatan:
a. Nilai ei pada setiap kelas harus>=5, jika ada kelas yang memiliki ei<5 ,
maka kelas tersebut harus digabung dengan kelas lainnya sedemikian rupa
sehingga ei μ 5.
b. tabel2χ dicari dengan menggunakan tabel distribusi Khi-kuadrat dengan v
(derajat kebebasan) v=k-1-m dimana :
k = jumlah kelas terakhir setelah tidak ada lagi sel yang berjumlah kurang
dari 5.
36
m = jumlah parameter yang digunakan (untuk binomial = 1 , untuk poisson
= 1 , untuk normal = 2).
Goodness of Fit (Uji Kebaikan Suai) terdiri dari banyak metode, misalnya chi-
square test, Kolgomorov-Smirnov Test dan Anderson-Darling Test . Namun White et al
(1975, p338) mengutarakan bahwa uji yang disarankan untuk digunakan adalah
Kolmogorov-Smirnov Test karena secara statistik terbukti lebih baik dibandingkan
dengan Chi-Square Test.
Uji 1 sampel Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menentukan seberapa baik
sebuah sampel random data menjajagi distribusi teoritis tertentu (normal, uniform,
poisson, eksponensial). Uji ini didasarkan pada perbandingan fungsi distribusi kumulatif
sampel dengan fungsi distribusi kumulatif hipotesis.
1 Hipotesis:
H0: Sampel ditarik dari populasi dengan distribusi tertentu
H1: Sampel ditarik bukan dari populasi dengan distribusi tertentu
2 Kaidah pengambilan keputusan:
Asymp. Sig < taraf signifikansi atau taraf nyata Tolak H0
Asymp. Sig > taraf signifikansi atau taraf nyata Terima H0
Pengujian Uji 1 sampel Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan menggunakan
aplikasi SPSS dengan langkah-langkah berikut ini.
1. Mendefinisikan data pada kolom pertama.
2. Memasukkan data pada kolom pertama.
3. Pada menu utama, pilih : Analyze Nonparametric Test 1 Sample KS
a. Pada Test Variable List masukkan variabel yang akan diuji
b. Pada Test Distribution pilihlah normal.
37
4. Klik OK.
Gambar 2.1 Kotak Dialog One Sample Kolmogorov-Smirnov
Usable Kemampuan sistem beradaptasi dengan context organisasional dan teknikal
Secure Pencegahan akses ilegal terhadap data dan fasilitas Efficient Eksploitasi ekonomis dari fasilitas technical platform Correct Kesesuaian dengan kebutuhan Reliable Fungsi yang dijalankan secara tepat
Maintainable Biaya untuk mencari dan memperbaiki kerusakan sistem
Testable Biaya untuk menjamin bahwa sistem melakukan fungsinya
Flexible Biaya memodifikasi sistem Comprehensible Usaha yang diperlukan untuk memahami sistem
Reusable Penggunaan bagian dari sistem ke dalam sistem lain yang berkaitan
Portable Biaya memindahkan sistem ke technical platform lain Interoperable Biaya pemasangan sistem dengan sistem lain
Mathiassen et al. (2000, pp179-182) menyebutkan bahwa kriteria usable,
flexible, dan comprehensible tergolong sebagai kriteria umum yang harus
dimiliki oleh sebuah sistem dan menentukan baik tidaknya suatu rancangan
sistem.
Component architecture adalah struktur sistem dari komponen-komponen
yang berkaitan. Dalam aktivitas ini, perlu ditentukan pola arsitektural yang
paling sesuai dengan model sistem. Pola-pola arsitektural tersebut antara lain:
• Layered Architecture Pattern
• Generic Architecture Pattern
• Client-Server Architecture Pattern
Hasil dari aktivitas ini adalah sebuah component diagram yang merupakan
class diagram yang dilengkapi dengan spesifikasi komponen yang kompleks.
63
Process architecture adalah sebuah struktur eksekusi sistem yang terdiri dari
proses-proses yang saling tergantung satu sama lain. Dalam aktivitas ini juga
perlu menentukan pola distribusi yang sesuai dengan model sistem. Pola-pola
distribusi yang ada antara lain:
• Centralized Pattern
• Distributed Pattern
• Decentralized Pattern
Hasil dari aktivitas ini adalah sebuah deployment diagram yang menunjukkan
processor dengan komponen program dan active objects.
4. Component Design
Menurut Mathiassen, et al. (2000, p231) Component design bertujuan untuk
menentukan implementasi kebutuhan di dalam kerangka kerja arsitektural.
Kegiatan component design bermula dari spesifikasi arsitektural dan
kebutuhan sistem. Hasilnya adalah deskripsi mengenai komponen-
komponen yang saling berhubungan dengan sistem. Component design terdiri
dari tiga aktivitas, yaitu:
a. Model component
Menurut Mathiassen, et al (2000, p235) Model component adalah
bagian dari sistem yang mengimplementasikan model problem
domain. Konsep utama dalam desain komponen model adalah
struktur. Dalam aktivitas ini dihasilkan sebuah class diagram yang
telah direvisi.
64
b. Function component
Menurut Mathiassen, et al (2000, p251) komponen function adalah
bagian dari sistem yang mengimplementasikan kebutuhan fungsional.
Tujuan dari function komponen adalah memberikan akses bagi usr
interface dan komponen sistem lainnya ke model.
c. Connecting component
Merupakan desain hubungan antar komponen untuk memperoleh
rancangan yang fleksibel dan mudah dimengerti. Hasilnya adalah
class diagram yang berhubungan dengan komponen-komponen
sistem. Gambar 2.10 berikut ini menggambarkan aktivitas-aktivitas
yang terdapat dalam component design.
Sumber: Mathiassen (2000, p232)
Gambar 2.11 Aktivitas Component Design
2.15 Unified Modeling Language (UML)
2.15.1 Sejarah UML
Pada akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an, sudah banyak terdapat metode
pemodelan berorientasi objek yang digunakan pada industri-industri, diantaranya Booch
65
Method, Object Modeling Technique (OMT) yang diperkenalkan oleh James Rumbaugh,
dan Object-Oriented Software Engineering (OOSE) yang diperkenalkan oleh Ivar
Jacobson. Keberadaan berbagai metode tersebut justru menjadi masalah utama dalam
pengembangan sistem berorientasi objek, karena dengan banyaknya metode pemodelan
objek yang digunakan akan membatasi kemampuan untuk berbagi model antar proyek
dan antar tim pengembang. Hal tersebut disebabkan oleh berbedanya konsep masing-
masing metode pemodelan objek sehingga menghambat komunikasi antara anggota tim
dengan user yang berujung pada banyaknya kesalahan atau error pada proyek.
Dikarenakan masalah-masalah tersebut, maka diperlukanlah suatu standarisasi
penggunaan bahasa pemodelan.
Pada tahun 1994, Grady Booch dan James Rumbaugh bekerja sama dan
menyatukan metode pengembangan berorientasi objek mereka dengan tujuan untuk
menciptakan sebuah sistem pengembangan berorientasi objek yang standar. Pada tahun
1995 Ivar Jacobson ikut bergabung dengan mereka dan ketiganya memusatkan perhatian
untuk menciptakan sebuah bahasa pemodelan objek yang standar, bukan lagi
berkonsentrasi pada metode atau pendekatan berorientasi objek. Berdasarkan pemikiran
ketiga tokoh tersebut, maka akhirnya pada tahun 1997 bahasa pemodelan objek standar
Unified Modeling Language (UML) versi 1.0 mulai diperkenalkan kepada masyarakat
luas.
UML bukan merupakan metode untuk mengembangkan sistem, melainkan
hanya berupa notasi yang kemudian pada saat ini diterima dengan luas sebagai bahasa
pemodelan objek yang standar. Object Management Group (OMG) mengadopsi UML
pada bulan November 1997 dan sejak saat itu terus mengembangkannya berdasarkan
66
pada kebutuhan dunia industri. Pada tahun 2004, telah diluncurkan UML versi 1.4 dan
pada saat itu juga OMG telah mulai merencanakan pengembangan UML versi 2.0.
2.15.2 Notasi UML
Notasi (Mathiassen et al, 2000, p237) adalah bahasa textual dan graphical
untuk menggambarkan sebuah sistem dan konteksnya yang diformalisasikan secara
terpisah. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan komunikasi dan dokumentasi.
2.15.2.1 Class Diagram
Class Diagram menggambarkan struktur objek dari sistem. Class diagram
menunjukkan class objek yang membentuk sistem dan hubungan struktural diantara
class objek tersebut (Mathiassen et al., 2000, p336). Terdapat tiga jenis hubungan antar
class yang biasa digunakan dalam class diagram (Whitten et al., 2004, p455-459).
Ketiga jenis hubungan tersebut antara lain:
1. Asosiasi
Asosiasi merupakan hubungan statis antar dua objek atau class. Hubungan ini
menggambarkan apa yang perlu diketahui oleh sebuah class mengenai class
lainnya. Hubungan ini memungkinkan sebuah objek atau class mereferensikan
objek atau class lain dan saling mengirimkan pesan.
Gambar 2.12 Contoh Hubungan Asosiasi
2. Generalisasi (atau Spesialisasi)
Dalam hubungan generalisasi, terdapat dua jenis class, yaitu class supertype
dan class subtype. Class supertype atau class induk memiliki atribut dan
behavior yang umum dari hirarki tersebut. Class subtype atau class anak
67
memiliki atribut dan behavior yang unik dan juga memiliki atribut dan
behavior milik class induknya. Class induk merupakan generalisasi dari class
anaknya, sedangkan class anak merupakan spesialisai dari class induknya.
Gambar 2.13 Contoh Hubungan Generalisasi
3. Agregasi
Agregasi merupakan hubungan yang unik dimana sebuah objek merupakan
bagian dari objek lain. Hubungan agregasi tidak simetris dimana jika objek B
merupakan bagian dari objek A, namun objek A bukan merupakan bagian dari
objek B. Pada hubungan ini, objek yang menjadi bagian dari objek tertentu
tidak akan memiliki atribut atau behavior dari objek tersebut.
Gambar 2.14 Contoh Hubungan Agregasi
2.15.2.2 Statechart Diagram
Statechart Diagram digunakan untuk memodelkan perilaku dinamis dari
sebuah objek dalam sebuah class yang spesifik dan berisi state dan transition
(Mathiassen et al., 2000, p341). Statechart diagram mengilustrasikan siklus objek hidup
68
yaitu berbagai status yang dapat dimiliki objek dan event yang menyebabkan status
objek berubah menjadi status lain (Whitten et al., 2004, p700).
Statechart diagram dibuat dengan langkah-langkah sebagai berikut (Whitten et
al., 2004, p700):
1. Mengidentifikasi initial dan final state.
2. Mengidentifikasi status objek selama masa hidup objek tersebut.
3. Mengidentifikasi event pemicu perubahan status objek.
4. Mengidentifikasi jalur perubahan status.
Sumber: Mathiassen et al. (2000, p425)
Gambar 2.15 Contoh Statechart Diagram
2.15.2.3 Use Case Diagram
Use Case Diagram menggambarkan interaksi antara sistem dan user (Whitten
et al., 2004, p441). Use case diagram mendeskripsikan secara grafis hubungan antara
actors dan use case (Mathiassen et al., 2000, p343). Penjelasan use case biasa
ditambahkan untuk menjelaskan langkah-langkah interaksi.
69
Library System
Visitor
Patron
Apply formembership
Search libraryinventory
Check out books
Sumber: Whitten et al. (2004, p282)
Gambar 2.16 Contoh Use Case Diagram
2.15.2.4 Sequence Diagram
Bennet et al. (2006, p253) mengemukakan bahwa sequence diagram
menunjukkan interaksi antar objek yang diatur berdasarkan urutan waktu. Sequence
diagram dapat digambarkan dalam berbagai level of detail yang berbeda untuk
memenuhi tujuan yang berbeda-beda pula dalam daur hidup pengembangan sistem.
Aplikasi sequence diagram yang paling umum adalah untuk menggambarkan interaksi
antar objek yang terjadi pada sebuah use case atau sebuah operation.
Bennet et al. (2006, pp253-254) menyatakan bahwa setiap sequence diagram
harus diberikan frame yang memiliki heading dengan menggunakan notasi sd yang
merupakan kependekan dari sequence diagram. Bennet et al. (2006, p270) juga
menyatakan bahwa terdapat beberapa notasi penulisan heading pada setiap frame yang
terdapat dalam sequence diagram, antara lain:
70
a. alt
Notasi alt merupakan kependekan dari alternatives yang menyatakan
bahwa terdapat beberapa buah alternatif jalur eksekusi untuk dijalankan.
b. opt
Notasi opt merupakan kependekan dari optional dimana frame yang
memiliki heading ini memiliki status pilihan yang akan dijalankan jika
syarat tertentu dipenuhi.
c. loop
Notasi loop menyatakan bahwa operation yang terdapat dalam frame
tersebut dijalankan secara berulang selama kondisi tertentu.
d. break
Notasi break mengindikasikan bahwa semua operation yang berada setelah
frame tersebut tidak dijalankan.
e. par
Merupakan kependekan dari parallel yang mengindikasikan bahwa
operation dalam frame tersebut dijalankan secara bersamaan.
f. seq
Notasi seq merupakan kependekan dari weak sequencing yang berarti
operation yang berasal dari lifeline yang berbeda dapat terjadi pada urutan
manapun.
g. strict
Notasi strict merupakan kependekan dari strict sequencing yang
menyatakan bahwa operation harus dilakukan secara berurutan.
71
h. neg
Notasi neg merupakan kependekan dari negative yang mendeskripsikan
operasi yang tidak valid.
i. critical
Frame yang memiliki heading critical menyatakan bahwa operasi-operasi
yang terdapat di dalamnya tidak memiliki sela yang kosong.
j. ignore
Notasi ini mengindikasikan bahwa tipe pesan atau parameter yang
dikirimkan dapat diabaikan dalam interaksi.
k. consider
Consider menyatakan pesan mana yang harus dipertimbangkan dalam
interaksi.
l. assert
Merupakan kependekan dari assertion yang menyatakan urutan pesan yang
valid.
m. ref
Notasi ref merupakan kependekan dari refer yang menyatakan bahwa
frame mereferensikan operation yang terdapat di dalamnya pada sebuah
sequence diagram tertentu.
72
Campaign Manager :Client
getName()
listCampaigns()
:Campaign
getCampaignDetails()
:Advert
loop [for all client’s campaigns]
listAdverts()
getAdvertDetails()loop [for all campaign’s adverts]
addNewAdverts()
AdvertnewAd:Advert
Sumber: Bennet et al. (2006, p254)
Gambar 2.17 Contoh Sequence Diagram
2.15.2.5 Navigation Diagram
Navigation Diagram merupakan statechart diagram khusus yang berfokus
pada user interface (Mathiassen et al., 2000, p344). Diagram ini menunjukkan window-
window dan transisi diantara window-window tersebut.
Sebuah window dapat digambarkan sebagai sebuah state. State ini memiliki
nama dan berisi gambar miniatur window. Transisi antar state dipicu oleh ditekannya
sebuah tombol yang menghubungkan dua window.
73
2.15.2.6 Component Diagram
Component Diagram merupakan diagram implementasi yang digunakan untuk
menggambarkan arsitektur fisik dari software sistem. Diagram ini dapat menunjukkan
bagaimana coding pemrograman terbagi menjadi komponen-komponen dan juga
menunjukkan ketergantungan antar komponen tersebut (Whitten et al., 2004, p442).
Sebuah komponen digambarkan dalam UML sebagai sebuah kotak dengan dua
kotak kecil di sebelah kirinya. Ketergantungan antar dua komponen menunjukkan
bagaimana kedua komponen tersebut saling berkomunikasi.
Sumber: Mathiassen et al. (2000, p201)
Gambar 2.18 Contoh Component Diagram
2.15.2.7 Deployment Diagram
Deployment Diagram, sama seperti component diagram, juga merupakan
diagram implementasi yang menggambarkan arsitektur fisik sistem. Perbedaannya,
deployment diagram tidak hanya menggambarkan arsitektur fisik software saja,
74
melainkan software dan hardware. Diagram ini menggambarkan komponen software,
processor, dan peralatan lain yang melengkapi arsitektur sistem (Whitten et al., 2004,
p442). Menurut Mathiassen et al. (2000, p340), deployment diagram menunjukkan
konfigurasi sistem dalam bentuk processor dan objek yang terhubung dengan processor
tersebut.
Setiap kotak dalam deployment diagram menggambarkan sebuah node yang
menunjukkan sebuah hardware. Hardware dapat berupa PC, mainframe, printer, atau
bahkan sensor. Software yang terdapat di dalam node digambarkan dengan simbol
komponen. Garis yang menghubungkan node menunjukkan jalur komunikasi antar
device. Gambar 2.18 berikut ini menunjukkan sebuah contoh deployment diagram.