BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengukuran Kerja Pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan manusia atau sumber daya dan effort yang dikonntibusikan dalam melakukan aktivitasnya dengan unit output yang dihasilkan. 2.1.1 Definisi Pengukuran Kerja Menurut Wignjosoebroto (2003, p169) pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan manusia yang dikontribusikan dengan nilai output yang dihasilkan. Sehingga dari pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang dibutuhkan guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut. Menurut Wignjosoebroto (2003, p170) Waktu baku ini sangat diperlukan terutama sekali untuk : • Man power planning (perencanaan kebutuhan tenaga kerja), • Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja, • Penjadwalan produksi dan penganggaran, • Perencanaan system pemberian bonus dan insentif bagi karyawan/pekerja yang berprestasi, • Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan seorang pekerja.
57
Embed
BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2008-1-00452-TISI-Bab 2.pdf · dan bila pengukuran belum mencukupi maka dilanjutkan dengan pengukuran pendahuluan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengukuran Kerja
Pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan
manusia atau sumber daya dan effort yang dikonntibusikan dalam melakukan
aktivitasnya dengan unit output yang dihasilkan.
2.1.1 Definisi Pengukuran Kerja
Menurut Wignjosoebroto (2003, p169) pengukuran kerja adalah metode
penetapan keseimbangan antara kegiatan manusia yang dikontribusikan dengan nilai
output yang dihasilkan. Sehingga dari pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan
dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang dibutuhkan guna
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Waktu baku ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan dengan memperhatikan
situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut. Menurut Wignjosoebroto
(2003, p170) Waktu baku ini sangat diperlukan terutama sekali untuk :
• Man power planning (perencanaan kebutuhan tenaga kerja),
• Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan/pekerja,
• Penjadwalan produksi dan penganggaran,
• Perencanaan system pemberian bonus dan insentif bagi karyawan/pekerja
yang berprestasi,
• Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan seorang pekerja.
13
2.1.2 Teknik dan Metode Yang Digunakan Dalam Pengukuran Kerja
Ada 2 buah teknik yang digunakan dalam pengukuran kerja, yaitu :
1. Teknik pengukuran kerja langsung
Pengukuran kerja langsung merupakan pengukuran keja yang dilakukan secara
langsung di area pekerjaan yang akan diukur dengan menggunakan alat bantu,
seperti; stopwatch, work sampling, alat perekam (handycam), dan lainnya.
• Menggunakan jam henti
Metode ini diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung
singkat dan berulang-ulang. Dari hasil pengukuran akan diperoleh suatu
waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, dimana waktu ini
akan dipergunakan sebagai standard penyelesaian pekerjaan bagi semua
pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti itu.
• Menggunakan metode sampling pekerjaan
Suatu teknik untuk mengadakan sejumlah besar pengamatan terhadap
aktivitas kerja dari mesin, proses atau pekerja/operator.
2. Teknik pengukuran kerja tidak langsung
Pengukuran dimana perhitungan dilakukan tanpa si pengamat harus berada di
tempat pekerjaan yang diukur.
• Metode standard data
Penelitian dengan waktu baku mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan penelitian langsung, terutama dari segi ongkos dan kecepatan.
14
• Data waktu gerakan
Analisa yang dilakukan terhadap beberapa gerakan bagian badan pekerja
dalam menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan erat dengan elemen-
elemen gerakan (17 therbligh yang dilakukan pekerjaan).
• Analisa regresi
Menggunakan rumus-rumus perhitungan untuk kasus-kasus dimana elemen-
elemen kerja tidak berupa variabel-variabel yang sama dengan yang telah
didefenisikan dalam formulasi/rumus-rumus baku yang telah ada.
2.1.3 Pengukuran Waktu Baku
Pengukuran waktu adalah waktu yang pantas diberikan kepada pekerja untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
2.1.3.1 Pengukuran Pendahuluan
Pengukuran pendahuluan merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Tujuan
melakukan pengukuran waktu adalah untuk mengetahui berapa kali pengukuran harus
dilakukan untuk tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan. Tahap-tahapnya
adalah sebagai berikut (Sutalaksana, 1979, p132) :
1. Melakukan beberapa buah pengukuran yang banyaknya ditentukan oleh
pengukur.
2. Menguji keseragaman data, menghitung jumlah pengukuran yang diperlukan,
dan bila pengukuran belum mencukupi maka dilanjutkan dengan pengukuran
pendahuluan kedua.
15
2.1.3.2 Pengujian Keseragaman Data
Uji keseragaman data perlu untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum
menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu baku. Uji keseragaman data
bisa dilaksanakan dengan cara visual dan/atau mengaplikasikan peta kontrol (control
chart). Peta kontrol (control chart) adalah suatu alat yang tepat guna dalam menguji
keseragaman data dan/atau keajegan data yang diperoleh dari hasil pengamatan.
Uji keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat.
Disini kita hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya
mengedentifikasikan data yang terlalu ekstrim. Yang dimaksud dengan data yang terlalu
“ekstrim” adalah data yang terlalu besar atau yang terlalu kecil dan jauh menyimpang
dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sebaiknya dibuang jauh-jauh dan
tidak dimasukkan ke dalam perhitungan selanjutnya (Wignjosoebroto, 2000, p194-195).
Langkah – langkah yang dilakukan untuk menguji keseragaman data sebagai
berikut :
1. Hasil pengukuran dikelompokkan ke dalam subgrup-subgrup dan hitung rata-rata
dari tiap subgrup :
nXi
kX ∑=
dimana : n = ukuran subgrup, yaitu banyaknya data dalam satu subgrup
k = jumlah subgrup yang terbentuk
Xi = data pengamatan
2. Hitung rata-rata keseluruhan, yaitu rata-rata dari rata-rata subgrup :
kX
X k∑=
16
3. Hitung standar deviasi dari waktu penyelesaian :
1N
XXiσ
2
−
⎟⎠⎞⎜
⎝⎛ −
=∑
dimana: N = jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan
4. Hitung standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup :
nXσσ =
5. Tentukan Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) :
BKA = x + ( ZX
σ )
BKB = x – ( ZX
σ )
Dimana : Z = koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat
kepercayaan, rumusnya :
6. Jika seluruh rata-rata data waktu subgrup berada di daerah antara BKA dan BKB,
maka data waktu dikatakan seragam.
2.1.3.3 Uji Kecukupan Data
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan elemen kerja pada umumnya akan
sedikit berbeda dari siklus ke siklus kerja sekalipun operator bekerja pada kecepatan
normal dan uniform, tiap elemen dalam siklus yang berbeda tidak selalu akan bisa
diselesaikan dalam waktu yang persis sama. Aktivitas pengukuran kerja pada dasarnya
adalah merupakan proses sampling. Konsekuensi yang diperoleh adalah bahwa semakin
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ −
−=2
11 βZ
17
besar jumlah siklus kerja yang diamati atau diukur maka akan semakin mendekati
kebenaran akan data waktu yang diperoleh. Konsistensi dari hasil pengukuran dan
pembacaan waktu oleh stop-watch akan merupakan hal yang diinginkan dalam proses
pengukuran kerja. Semakin kecil variasi atau perbedaan data waktu yang ada, maka
jumlah pengukuran atau pengamatan yang harus dilakukan juga akan cukup kecil.
Sebaliknya, semakin besar variabilitas dari data waktu pengukuran, akan menyebabkan
jumlah siklus kerja yang diamati juga akan semakin besar agar bisa diperoleh ketelitian
yang dikehendaki (Wignjosoebroto, 2000, p183).
Perhitungan uji kecukupan data dapat dilakukan setelah semua harga rata-rata
subgrup berada dalam batas kendali. Rumus dari kecukupan data adalah:
( )2
iX
2Xi2XiNsZ
N'⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
∑
∑ ∑−=
dimana:
N’ = jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan
N = jumlah pengukuran pendahuluan yang telah dilakukan setelah
dikurangi data pengukuran di luar BKA atau BKB
Z = bilangan konversi pada distribusi normal sesuai dengan tingkat
kepercayaan
s = tingkat ketelitian
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari
waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan,
tingkat kepercayaan menunjukkan besarnya kepercayaan pengukur bahwa hasil yang
18
diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun dinyatakan dalam persen (Sutalaksana,
1979, p135).
Pengukuran yang ideal adalah pengukuran dengan data yang sangat banyak
karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tingkat ketelitian dan tingkat
keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan pengukur setelah
memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian
menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian
sebenarnya, biasanya dinyatakan dalam persen dari waktu penyelesaian sebenarnya yang
harus dicari. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur
bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi.
Jumlah pengukuran waktu dapat dikatakan cukup apabila jumlah pengukuran
data minimum yang dibutuhkan secara teoritis lebih kecil atau sama dengan jumlah
pengukuran pendahuluan yang sudah dilakukan (N’≤ N). Jika jumlah pengukuran masih
belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran lagi sampai jumlah pengukuran
tersebut cukup.
2.1.4 Pengukuran Jam Henti (Stop Watch)
Sesuai dengan namanya, maka pengukuran ini menggunakan jam henti (stop
watch) sebagai alat utamanya. Menurut Sutalaksana (1979, p119) pengukuran waktu
dengan menggunakan jam henti merupakan cara yang paling banyak dikenal karena
kesederhanaan aturan-aturan yang dipakai.
Menurut Wignjosoebroto (2003, p169) suatu pekerjaan akan dikatakan
diselesaikan secara efisien apabila waktu penyelesaiannya berlangsung paling singkat.
19
Secara garis besar langkah-langkah untuk pelaksanaan pengukuran waktu kerja dengan
jam henti ini dapat secara sistematis, seperti berikut ini :
Gambar 2.1 Langkah-langkah Pengukuran Kerja Pada Jam Henti
20
Yang diuraikan sebagai berikut :
• Definisikan pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan
diberitahukan maksud dan tujuan pengukuran ini kepada pekerja yang dipilih
untuk diamati dan supervisor yang ada.
• Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan seperti
lay-out, karakteristik/spesifikasi mesin atau peralatan kerja lain yang digunakan
dan lain-lain.
• Bagi operasi kerja dalam elemen-elemen kerja sedetail-detailnya tapi masih
dalam batas-batas kemudahan untuk pengukuran waktunya.
• Amati, ukur, dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk
menyelesaikan elemen-elemen kerja tersebut.
• Tetapkan jumlah siklus kerja yang diukur dan dicatat. Teliti apakah jumlah siklus
kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak? Tes pula
keseragaman data yang diperoleh.
• Tetapkan rate of performances dari operator saat melaksanakan aktivitas kerja
yang diukur dan dicatat waktunya tersebut. Rate of performance ini ditetapkan
untuk setiap elemen kerja yang ada dan hanya ditujukan untuk performance
operator. Untuk elemen kerja yang secara penuh dilakukan oleh mesin maka
performance dianggap normal (100%).
• Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performance yang ditujukan oleh
operator tersebut sehingga akhirnya akan diperoleh waktu kerja normal.
• Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan fleksibilitas. Waktu
longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi kondisi-kondisi seperti
21
kebutuhan personil yang bersifat pribadi, faktor kelelahan, keterlambatan
material, dan lainnya.
• Tetapkan waktu kerja baku (standard time) yaitu jumlah total antara waktu
normal dan waktu longgar.
Berdasarkan langkah-langkah diatas terlihat bahwa pengukuran kerja dengan jam
henti ini merupakan cara pengukuran yang objektif karena disini waktu diterapkan
berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak hanya sekedar diestimasi secara subjektif.
Tetapi untuk mendapatkan waktu kerja baku yang baik menurut Wignjosoebroto
(2003,p173) ada asumsi-asumsi dasar yang berlaku, yaitu :
o Metode dan fasilitas untuk menyelesaikan pekerjaan harus sama dan dibakukan
terlebih dahulu sebelum kita mengaplikasikan waktu baku ini untuk pekerjaan
serupa.
o Operator harus memahami benar prosedur dan metode pelaksanaan kerja
sebelum dilakukan pengukuran kerja. Operator-operator yang akan dibebani
dengan waktu baku ini diasumsikan memiliki tingkat ketrampilan dan
kemampuan yang sama dan sesuai untuk pekerjaan tersebut. Untuk ini
persyaratan mutlak pada waktu memilih operator yang akan dianalisa waktu
kerjanya benar-benar memiliki tingkat kemampuan yang rata-rata.
o Kondisi lingkungan fisik pekerjaan juga relative tidak jauh berbeda dengan
kondisi fisik pada saat pengukuran kerja dilakukan.
o Performance kerja mampu dikendalikan pada tingkat yang sesuai untuk seluruh
periode kerja yang ada.
22
2.2 Perhitungan Waktu Baku
Kegiatan pengukuran waktu dinyatakan selesai bila semua data yang diperoleh
telah seragam, dan jumlahnya telah memenuhi tingkat ketelitian dan keyakinan yang
diinginkan. Selanjutnya adalah mengolah data untuk menghitung waktu baku yang
diperoleh dengan langkah-langkah:
o Waktu Siklus
Waktu Siklus adalah waktu yang didapatkan berdasarkan hasil pengukuran baik
langsung atau tidak langsung ke suatu stasiun kerja. Rumus waktu siklus rata-
rata adalah :
NX
W ir∑=
o Waktu Normal
Waktu Normal adalah waktu siklus yang sudah memperhitungkan faktor
penyesuaian dari kecepatan setiap stasiun kerja. Rumus untuk menghitung waktu
normal adalah :
rn WW = x p ; p = faktor penyelesaian
o Waktu Baku
Waktu Baku adalah waktu normal yang sudah memperhitungan faktor
kelonggaran untuk operator yang bekerja di stasiun kerja tersebut untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Rumus Waktu Baku adalah :
k%%100%100xWW nb −
= ; k adalah faktor kelonggaran
2.2.1 Penyesuaian
Penyesuaian bertujuan untuk menormalkan waktu proses operasi jika pengukur
berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, agar waktu
penyelesaian proses operasi tidak terlalu singkat atau tidak terlalu panjang.
23
Terdapat tiga batasan dalam penyesuaian (Sutalaksana, 1979, p138) yaitu:
• p > 1 ; jika pengukur menganggap bahwa pekerja bekerja terlalu cepat
(di atas snormal)
• p = 1 ; jika pengukur menganggap bahwa pekerja bekerja normal
• p < 1 ; jika pengukur menganggap bahwa pekerja bekerja terlalu
lambat (di bawah normal)
Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan faktor penyesuaian adalah
metode Westinghouse (Sutalaksana, 1979, pp140-146). Cara Westinghouse mengarahkan
penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran dan ketidakwajaran dalam
bekerja yaitu Keterampilan, Usaha, Kondisi Kerja dan Konsistensi. Setiap faktor terbagi
kedalam kelas-kelas dengan nilainya masing-masing.
Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja
yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi hanya sampai
ketingkat tertentu saja, tingkat mana merupakan kemampuan maksimal yang dapat
diberikan pekerja yang bersangkutan. Secara psikologis keterampilan merupakan
aptitude untuk pekerjaan yang bersangkutan. Untuk keperluan penyesuaian keterampilan
dibagi menjadi enam kelas yaitu Super Skill, Excellent Skill, Good Skill, Average Skill,
Fair Skill dan Poor Skill. Yang membedakan kelas keterampilan seseorang adalah
Average D 0,00E1 - 0,04E2 - 0,08F1 - 0,12F2 - 0,17
Ideal A + 0,06Excellent B + 0,04
Good C + 0,02Average D 0,00
Fair E - 0,03Poor F - 0,07
Perfect A + 0,04Excellent B + 0,03
Good C + 0,01Average D 0,00
Fair E - 0,02Poor F - 0,04
Keterampilan
Usaha Good
Fair
Poor
Kondisi Kerja
Konsistensi
Super
Excellent
Good
Fair
Poor
Excessive
Excellent
26
2.2.2 Kelonggaran (Sutalaksana, 1979, pp149-154)
Kelonggaran adalah waktu yang dibutuhkan pekerja yang terlatih, agar dapat
mencapai performance kerja sesungguhnya, jika ia bekerja secara normal. Seorang
pekerja tidak mungkin bekerja sepanjang waktu tanpa adanya beberapa interupsi untuk
kebutuhan tertentu yang sifatnya manusiawi, seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan
rasa fatique, dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan
oleh pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam persen dari waktu normal.
Persentase kelonggaran berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
27
Tabel 2.2 Kelonggaran Berdasarkan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Faktor
A. Tenaga yang dikeluarkan Ekivalen beban Pria Wanita1. Dapat diabaikan Bekerja dimeja, duduk tanpa beban 0,0 - 6,0 0,0 - 6,02. Sangat ringan Bekerja dimeja, berdiri 0,00 - 2,25 kg 6,0 - 7,5 6,0 - 7,53. Ringan Menyekop, ringan 2,25 - 9,00 7,5 - 12,0 7,5 - 16,04. Sedang Mencangkul 9,00 - 18,00 12,0 - 19,0 16,0 - 30,05. Berat Mengayun palu yang berat 19,00 - 27,00 19,0 - 30,06. Sangat berat Memanggul beban 27,00 - 50,00 30,0 - 50,07. Luar biasa berat Memanggul karung berat diatas 50 kg
B. Sikap kerja1. Duduk2. Berdiri diatas dua kaki3. Berdiri diatas satu kaki4. Berbaring5. Membungkuk
C. Gerakan Kerja1. Normal2. Agak terbatas3. Sulit4. Pada anggota-anggota badan terbatas5. Seluruh anggota badan terbatas
D. Kelelahan mata *) Pencahayaan baik Buruk1. Pandangan yang terputus-putus 0,0 - 6,0 0,0 - 6,02. Pandangan yang hampir terus menerus 6,0 - 7,5 6,0 - 7,53. Pandangan terus menerus dengan fokus 7,5 - 12,0 7,5 - 16,0 berubah-ubah 12,0 - 19,0 16,0 - 30,04. Pandangan terus menerus dengan fokus 19,0 - 30,0 tetap 30,0 - 50,0
E. Keadaan temperatur tempat kerja **) Kelemahan normal Berlebihan1. Beku diatas 10 diatas 122. Rendah 10 - 0 12 - 53. Sedang 5 - 0 8 - 04. Normal 0 - 5 0 - 85. Tinggi 5 - 40 8 - 1006. Sangat tinggi diatas 40 diatas 100
F. Keadaan atmosfer ***)1. Baik
2. Cukup
3. Kurang baik4. Buruk
G. Keadaan lingkungan yang baik
Contoh Pekerjaan Kelonggaran (%)
0,0 - 1,01,0 - 2,5
Bekerja duduk, ringanBadan tegak, ditumpu dua kaki
2,5 - 4,02,5 - 4,04,0 - 10
00 - 50 - 5
5 - 10
10 - 15
0
0 - 5
5 - 1010 - 20
1. Bersih, sehat, cerah, dengan kebisingan rendah2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5 -10 detik3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0 -5 detik4. Sangat bising5. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas6. Terasa adanya getaran lantai7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll.)
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan
0 - 55 - 105 - 15
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklimCatatan pelengkap : kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi : pria = 0 - 2,5 % wanita = 2 - 5,0 %
00 - 11 - 30 - 5
Satu kaki mengerjakan alat kontrolPada bagian sisi, belakang, atau depan badanBadan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki
Adanya debu beracun, atau tidak beracun tetapi banyak
udara segarRuang yang berventilasi baik,
Temperatur (°C)Dibawah 0
0 - 1313 - 22
Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskanmenggunakan alat-alat pernapasan
(tidak berbahaya)Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan
22 - 2828 -38
diatas 38
Membawa alat ukurPekerjaan-pekerjaan yang telitiMemeriksa cacat-cacat pada kain
Pemeriksaan yang sangat teliti
Ayunan bebas dari palu
Bekerja dilorong pertambangan yang sempit
Bekerja dengan tangan diatas kepala
Membawa beban berat dengan satu tanganAyunan terbatas dari palu
28
Kelonggaran dapat diberikan untuk tiga hal yaitu:
a. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi
Yang termasuk dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum untuk
menghilangkan dahaga, ke kamar kecil, bercakap-cakap untuk menghilangkan
ketegangan atau kejenuhan dalam bekerja. Kebutuhan ini jelas terlihat sebagai
sesuatu yang mutlak yang harus diberikan kepada pekerja karena merupakan
tuntutan fisiologis dan psikologis yang wajar.
b. Kelonggaran untuk rasa fatique
Rasa fatique tercermin dari menurunnya hasil produksi dari segi kualitas maupun
kuantitas. Cara menentukan kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan
sepanjang hari kerja dan mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun.
c. Kelonggaran untuk hambatan yang tak terhindarkan
Dalam melaksanakan pekerjaan, pekerja tidak akan lepas dari hambatan. Adapun
beberapa contoh yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah:
− menerima atau menerima petunjuk kepada pengawas.
− melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin.
− memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang
patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya.
− mengasah peralatan potong.
− mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.
29
2.3 Peta Proses Operasi
Peta Proses Operasi merupakan suatu diagram yang menggambarkan langkah-
langkah proses yang akan dialami bahan baku mengenai urut-urutan operasi dan
pemeriksaan. Sejak dari awal sampai menjadi produk jadi utuh maupun sebagai
komponen, dan juga memuat informasi-informasi yang diperlukan untuk analisa lebih
lanjut, seperti, waktu yang dihabiskan, material yang digunakan, dan tempat atau alat
mesin yang dipakai. Jadi dalam suatu Peta Proses Operasi, dicatat hanyalah kegiatan-
kegiatan operasi dan pemeriksaan saja, kadang-kadang pada akhir proses dicatat tentang
penyimpanan (Sutalaksana, 1979, p21).
Dalam peta proses operasi pekerjaan dibagi menjadi menjadi elemen-elemen
operasi secara detail. Di sini, tahapan proses operasi kerja harus diuraikan secara logis
dan sistematis. Dengan demikian, keseluruhan operasi kerja dapat digambarkan dari
awal (raw material) sampai menjadi produk akhir (finished good product) sehingga
analisa perbaikan dari masing-masing operasi kerja secara individual maupun urut-
urutannya secara keseluruhan akan dapat dilakukan (Wignjosoebroto, 2003 , p131).
Untuk bisa menggambarkan Peta Proses Operasi dengan baik, ada beberapa prinsip
yang perlu diikuti, sebagai berikut :
1. Pertama-tama, pada baris paling atas dinyatakan kepalanya “Peta Proses Operasi”
yang diikuti oleh identifikasi lain seperti nama objek, nama pembuat peta, tanggal
dipetakan cara lama atau cara sekarang, nomor peta dan nomor gambar.
2. Material yang akan diproses diletakkan di atas garis horisontal, yang menunjukkan
bahwa material tersebut masuk ke dalam proses.
30
3. Lambang-lambang ditempatkan dalam arah vertikal, yang menunjukkan terjadinya
perubahan proses.
4. Penomoran terhadap suatu kegiatan operasi diberikan secara berurutan sesuai dengan
urutan operasi yang dibutuhkan untuk pembuatan produk tersebut atau sesuai dengan
proses yang terjadi.
5. Penomoran terhadap suatu kegiatan pemeriksaan diberikan secara tersendiri dan
prinsipnya sama dengan penomoran untuk kegiatan operasi.
2.4 Riset Operasi
Istilah Riset Operasi digunakan pertama kali oleh Mc.Closky dan Trefthen disuatu
kota kecil di Browdsey, Inggris tahun 1940. Kini OR lebih banyak diterapkan dalam
menyelesaikan masalah manajemen untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Ditambah lagi dengan keberhasilan kelompok penelitian operasi dibidang militer,
menarik perhatian para industriawan yang sedang mencari penyelesaian terhadap
masalah-masalah yang rumit.
2.4.1 Definisi Riset Operasi
Secara harfiah kata operations dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang diterapkan pada beberapa masalah atau hipotesa. Sementara kata research adalah
suatu proses yang terorganisasi dalam mencari kebenaran akan masalah atau hipotesa
tadi (Sri Mulyono, 2004, p2).
Menurut Miller dan M.K Starr, OR adalah peralatan manajemen yang
menyatukan matematika dan logika dalam kerangka pemecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari sehingga permasalahan tersebut dapat dipecahkan secara optimal.
31
2.4.2 Model-model Dalam Riset Operasi
Model adalah abstraksi atau penyederhanaan realitas sistem yang kompleks di
mana hanya komponen-komponen yang relevan atau faktor-faktor yang dominan dari
masalah yang dianalisis diikutsertakan. Salah satu alasan pembentukan model adalah
untuk menemukan variabel-variabel apa yang penting atau menonjol. Penemuan
variabel-variabel yang penting itu berkaitan erat dengan penyelidikan hubungan yang
ada diantara variabel-variabel itu.
Model dapat diklasifikasikan dalam banyak cara, misalnya menurut jenisnya,
dimensinya, fungsinya, tujuannya, subjeknya, atau derajat abstraksinya. Kriteria yang
paling biasa adalah jenis model. Jenis dasar itu meliputi (Sri Mulyono, 2004, p4):
Iconic (Physical) Model
Model iconic adalah suatu penyajian fisik yang tampak seperti aslinya dari
suatu sistem nyata dengan skala yang berbeda. Contohnya adalah mainan
anak-anak, potret, histogram, maket, peta dll. Model iconic dikatakan
diperkecil atau diperbesar sesuai dengan ukuran model apakah lebih kecil atau
lebih besar dibanding sistem nyata. Biasanya model ini menunjukan peristiwa
statistik.
Analoque Model
Model analoque lebih abstrak disbanding model iconic, karena tak kelihatan
sama antara model dengan sistem nyata. Contohnya pada peta dengan
bermacam-macam warna yang menunjukkan perbedaan ciri, contohnya biru
yang menunjukkan air, hijau dataran rendah dan lainnya. Model analoque
lebih mudah untuk memanipulasi dan dapat menunjukkan situasi dinamis
32
model ini lebih banyak digunakan daripada model iconic karena kapasitasnya
yang besar untuk menunjukkan ciri-ciri sistem nyata yang dipelajari.
Mathematic (Symbolic) Model
Diantara model-model sebelumnya, model mathematic ini bersifat lebih
abstrak. Model ini menggunakan seperangkat simbol mathematic untuk
menunjukkan komponen-komponen (dan hubungan antar mereka) dari sistem
nyata. Namun, sistem nyata tidak selalu dapat diekspresikan dalam rumusan
matematik. Model mathematic yang paling banyak digunakan dalam
penelitian operasional adalah model mathematic yang berupa persamaan atau
ketidaksamaan.
Model mathematic dibedakan menjadi 2, yaitu :
Deterministik
Dibentuk dalam situasi kepastian (certainty). Keuntungan model ini
adalah dapat dimanipulasi dan diselesaikan lebih mudah.
Probabilistik
Model probabilistik meliputi kasus-kasus dimana diasumsikan
ketidakpastian (unceratinty). Model ini umumnya lebih sulit dianalisa.
Selain itu, ada 2 jenis model tambahan lagi (Zainal Mustafa dan Ali Parkhan,
2000, p3) yaitu :
Model Simulasi
Yaitu model yang meniru tingkah laku sistem dengan mempelajari interaksi
komponen-komponennya.
33
Model Heuristic
Yaitu suatu metode pencarian yang didasarkan atas intuisi atau aturan-aturan
empiris untuk memperoleh solusi yang lebih baik daripada solusi yang telah
dicapai sebelumnya.
2.4.3 Tahap-tahap Dalam Riset Operasi
Pembentukkan model yang cocok hanyalah salah satu tahap dari aplikasi OR.
Pola penerapan OR terhadap suatu masalah dapat dipisahkan menjadi beberapa tahap,
yaitu:
1. Merumuskan Masalah
Sebelum solusi terhadap suatu persoalan dipikirkan, pertama kali suatu definisi
persoalan yang tepat harus dirumuskan. Dalam perumusan masalah ini ada 3
pertanyaan penting yang harus dijawab :
a. Variabel Keputusan
Yaitu unsur-unsur dalam persoalan yang dapat dikendalikan oleh pengambil
keputusan. Variabel keputusan sering disebut sebagi instrumen
b. Tujuan (objective)
Penetapan tujuan membantu pengambilan keputusan memusatkan perhatian
pada persoalan dan pengaruhnya terhadap organisasi. Tujuan ini diekspresikan
dalam variabel keputusan.
c. Kendala (constraint)
Adalah pembatas-pembatas terhadap alternatif tindakan yang tersedia
34
2. Pembentukan Model
Sesuai dengan definisi persoalannya, pengambil keputusan menentukan model
yang paling cocok untuk mewakili sistem. Model merupakan ekspresi kuantitatif
dari tujuan dan kendala-kendala persoalan dalam variabel keputusan. Jika model
yang dihasilkan cocok dengan salah satu model matematik yang biasa (misalnya
linear), maka solusinya dapat dengan mudah diperoleh dengan programa linear.
3. Mencari Penyelesaian Masalah
Pada tahap ini bermacam-macam teknik dan metode solusi kuantitatif yang
merupakan bagian utama dari OR memasuki proses. Penyelesaian masalah
sesungguhnya merupakan aplikasi satu atau lebih teknik-teknik ini terhadap
model. Seringkali, solusi terhadap model berarti nilai-nilai variabel keputusan
yang mengoptimumkan salah satu fungsi tujuan dengan nilai fungsi tujuan lain
yang dapat diterima. Disamping itu perlu juga mendapat informasi tambahan
mengenai tingkah laku solusi yang disebabkan karena perubahan parameter sistem.
Ini biasanya dinamakan sebagai Analisa Sensitivitas. Analisis ini terutama
diperlukan jika parameter sistem tidak dapat diduga secara tepat.
4. Validasi Model
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pembentukan model harus absah. Dengan
kata lain, model harus diperiksa apakah ia mencerminkan berjalannya sistem yang
diwakili. Suatu metode yang biasa digunakan untuk menguji validitas model
adalah membandingkan performancenya dengan data masa lalu yang tersedia.
Model dikatakan valid jika dengan kondisi input yang serupa dapat menghasilkan
kembali performance seperti masa lampau. Masalahnya adalah bahwa tak ada
yang menjamin performance masa depan akan berlanjut meniru cerita lama.
35
5. Penerapan Hasil Akhir
Tahap terakhir adalah menerapkan hasil model yang telah diuji. Hal ini
membutuhkan suatu penjelasan yang hati-hati tentang solusi yang digunakan dan
hubungannya dengan realitas. Suatu tahap kritis pada tahap ini adalah
mempertemukan ahli OR (pembentuk model) dengan mereka yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan sistem.
2.4.4 Keterbatasan Riset Operasi
OR berbeda dengan optimasi klasik, karena dalam metode optimasi non klasik
(OR) dapat menangani kendala pertidaksamaan maupun persamaan. Dengan kendala
yang lebih bebas ini, metode optimasi non klasik menjadi lebih menarik dan lebih
realitas. Tetapi ini membutuhkan metode solusi yang baru, karena kendala
pertidaksamaan tak dapat ditangani dengan teknik kalkulus klasik.
Namun demikian, seperti metode yang lain, teknik-teknik OR tetap mempunyai
kelemahan, yaitu sebagai berikut :
1. Perumusan masalah dalam suatu program OR adalah suatu tugas yang sulit
2. Jika suatu organisasi mempunyai beberapa tujuan yang bertentangan, maka akan
mengakibatkan terjadinya sub-optimum yaitu kondisi yang tak dapat menolong
seluruh organisasi mencapai yang terbaik secara serentak.
3. Suatu hubungan non-linear yang diubah menjadi linear untuk disesuaikan dengan
programa linear dapat mengganggu solusi yang disarankan.
36
2.5 Linear Programming
Programa Linear (Linier Programming) yang disingkat LP mungkin merupakan
salah satu teknik OR yang digunakan paling luas dan diketahui dengan baik. Ia
merupakan metode matematik dalam mengalokasikan sumber daya yang langka untuk
mencapai tujuan tunggal seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan
biaya (Sri Mulyono, 2004, p13).
Linear Programming merupakan suatu cara yang lazim digunakan dalam
pemecahan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara optimal.
Persoalan pengalokasian akan muncul apabila seseorang diharuskan untuk memilih atau
menentukan tingkat aktivitas yang akan dilakukannya, simana masing-masing aktivitas
membutuhkan sumber yang sama sedangkan jumlahnya terbatas (Zainal Mustafa dan Ali
Parkhan, 2000, p5).
2.5.1 Formulasi Model LP
Masalah keputusan yang sering dihadapi analisis adalah alokasi optimum sumber
daya yang langka. Sumber daya dapat berupa uang, tenaga kerja, bahan mentah,
kapasitas mesin, waktu, ruangan atau teknologi. Tugas analisis adalah mencapai hasil
terbaik yang mungkin dengan keterbatasan sumber daya itu. Hasil yang diinginkan
mungkin ditujukan sebagai maksimasi dari beberapa ukuran seperti profit, penjualan dan
kesejahteraan, atau minimisi seperti pada biaya, waktu dan jarak.
Setelah masalah diidentifikasikan, tujuan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah
formulasi model matematik yang meliputi 3 tahap seperti berikut:
a. Tentukan variabel yang tidak diketahui (variabel keputusan) dan nyatakan dalam
simbol matematik.
37
b. Membentuk fungsi tujuan yang ditunjukkan sebagai suatu hubungan linear (bukan
perkalian) dari variabel keputusan.
c. Menentukan semua kendala masalah tersebut dan mengekspresikan dalam persamaan
atau pertidaksamaan yang juga merupakan hubungan linear dari variabel keputusan
yang mencerminkan keterbatasan sumber daya masalah itu.
2.5.2 Bentuk Umum Model LP
Pada setiap masalah, ditentukan variabel keputusan, fungsi tujuan, dan sistem
kendala, yang bersamaan membentuk suatu model matematik dari dunia nyata. Bentuk
umum model LP itu adalah:
Maksimumkan (minimumkan) ∑−
=n
ijjj X.cZ
Dengan syarat: aijXj (≤, =, ≥) bi, untuk semua i (i = 1, 2, ..., m), semua Xj ≥ 0
Keterangan:
Xj : Banyaknya kegiatan j, dimana j = 1, 2, ..., n.
Z : Nilai fungsi tujuan (Maksimalisasi / Minimasi)
Cj : Sumbangan per unit kegiatan j,
Untuk masalah maksimasi cj menunjukkan keuntungan atau penerimaan per unit
sementara dalam masalah minimasi cj menunjukkan biaya per unit
bi : Jumlah sumber daya i (i = 1, 2, ..., m)
Berarti terdapat m jenis sumber daya
Aij : Banyaknya sumber daya i yang dikonsumsi sumber daya j.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini,
38
Tabel 2.3 Data Untuk Model Programa Linear
Kegiatan Banyaknya sumber daya
Sumber Daya 1 2 … n yang digunakan
1 a11 a12 … a1n b1
2 a21 a22 … a2n b2
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
m am1 am2 … amn bm
ΔZ / unit c1 c2 … cn
Variabel X1 X2 … Xn
Penggunaan sumber daya / unit
Dengan demikian formulasi model matematik dari data diatas sebagai berikut :
Maksimasi / minimasi :
nn2211 Xc...XcXcZ +++=
Berdasarkan pembatas :
1nn1212111 bXc...XaXa ≤+++
2nn2222121 bXc...XaXa ≤+++
.
. .
mnmn22m11m bXc...XaXa ≤+++
Dan
0X j ≥ , j = 1, 2, ..., n
39
2.5.3 Asumsi Model LP
Dalam menggunakan programa linear, diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Kesebandingan (proportionality)
Proporsionalitas merupakan asumsi mengenai kegiatan individual yang
dipertimbangkan secara independen dari yang lainnya. Asumsi ini
menyatakan bahwa naik turunnya nilai Z dan penggunaan sumber atau
fasilitas, akan berubah secara proposional dengan perubahan tingkat
kegiatan.
2. Penambahan (additivity)
Asumsi ini menyatakan bahwa nilai fungsi tujuan setiap kegiatan tidak saling
mempengaruhi, atau dalam LP dianggap bahwa kenaikkan nilai fungsi tujuan
(Z) yang diakibatkan oleh kenaikan suatu kegiatan dapat ditambahkan tanpa
mempengaruhi bagian nilai Z yang diperoleh dari kegiatan lain atau dapat
dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara satu kegiatan dengan kegiatan lain.
3. Pembagian (divisibility)
Dalam persoalan programa linear, variabel keputusan boleh diasumsikan
berupa bilangan pecahan. Jika nilai-nilai mutlak diperlukan, suatu model LP
alternatif harus digunakan yakni Integer Programming.
4. Kepastian (deterministic atau certainty)
Setiap parameter, yaitu koefisien fungsi tujuan, ruas kanan, dan koefisien
teknologis diasumsikan dapat diketahui secara pasti. Asumsi mengenai
kepastian adalah bahwa semua parameter model nilai-nilai (, aij, bi , dan Cj)
merupakan konstanta-konstanta yang diketahui. Dalam praktek, asumsi ini
jarang dipenuhi secara tepat. Model-model pemrograman linier biasanya
40
dirumuskan untuk memilih suatu tindakan di waktu yang akan datang. Oleh
karena itu, parameter-parameter yang dipakai akan didasarkan pada suatu
prediksi mengenai kondisi-kondisi di masa mendatang, yang dengan
sendirinya akan membawa suatu tingkat ketidakpastian.
2.6 Metode Simpleks
Karena kesulitan menggambarkan grafik berdimensi banyak, maka penyelesaian
masalah LP yang melibatkan lebih dari dua variabel menjadi tak praktis atau tidak
mungkin. Dalam keadaan ini kebutuhan metode solusi yang lebih umum menjadi nyata.
Metode umum itu dikenal dengan nama algoritma Simpleks yang dirancang untuk
menyelesaikan seluruh masalah LP, baik yang melibatkan dua variabel atau lebih dari
dua variabel.
Metode Simpleks merupakan prosedur aljabar yang bersifat iteratif, yang bergerak
selangkah demi selangkah, dimulai dari suatu titik ekstrim pada daerah fisibel (ruang
solusi) menuju ke titik ekstrim yang optimum.
2.6.1 Bentuk Baku Model Simpleks
Dalam menggunakan metode simpleks untuk menyelesaikan masalah-masalah
LP, model LP harus diubah kedalam suatu bentuk umum yang dinamakan “bentuk
baku”. Beberapa aturan bentuk programa linear baku/standar:
1. Semua batasan/kendala adalah persamaan (dengan sisi kanan yang non-
negatif).
2. Semua variabel keputusan adalah non-negatif.
3. Fungsi tujuan dapat berupa maksimasi maupun minimasi.
41
Bentuk standar program linear dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bentuk normal pertama (first normal form-1NF): yaitu dengan menghapuskan
semua elemen yang berulang dalam suatu entitas.
2. Bentuk normal kedua (second normal form-2NF): yaitu dengan memastikan
bahwa atribut descriptor bergantung pada seluruh composite key untuk
identifikasi.
66
3. Bentuk normal ketiga (third normal form-3NF): yaitu dengan memastikan bahwa
nilai atribut tidak bergantung pada nilai atribut lain dalam entitas yang sama.
2.12 Kamus Data
Menurut McLeod (2004, p424), kamus data atau data dictionary adalah suatu
penjelasan tertulis mengenai data yang berada di dalam database. Kamus data pertama
berbasiskan dokumen–kamus data itu tersimpan dalam bentuk hard copy dengan
mencatat semua penjelasan data dalam bentuk tercetak. Walaupun sejumlah kamus
berbasiskan dokumen masih ada, prakteknya yang umum sekarang adalah menggunakan
kamus data berbasiskan komputer. Pada kamus data berbasiskan komputer, penjelasan
data dimasukkan ke dalam komputer dengan menggunakan data description languagei
(DDL) dari sistem manajemen database, sistem kamus atau peralatan CASE.
Kamus data meurut Jogiyanto (2003, p461) adalah katalog fakta tentang data yang
mengalir di sistem.
Tabel 2.6 Notasi Kamus Data
Notasi Arti Notasi = Terdiri dari + Dan ( ) Opsional (bisa dipakai bisa tidak) { } Iterasi (pengulangan) [ ] Pilih salah satu dari beberapa pilihan * * Komentar @ Indentifikasi filed kunci dari data store | Pemisah pilihan dair bentuk [ ]
67
2.13 Spesifikasi Proses
Spesifikasi proses menjelaskan transformasi aliran data yang masuk (input)
menjadi aliran data yang keluar (output). Isi spesifikasi proses harus menjelaskan
tentang bagaimana mentransformasikan input agar menghasilkan output.
Banyak cara yang dapat dipergunakan untuk menggambarkan spesifikasi proses.
Untuk praktisnya diperkenalkan 3 bentuk yaitu tabel keputusan, pohon keputusan, dan
bahasa Indonesia tersusun.
Dalam praktek, sebaiknya dipergunakan satu alat saja untuk satu perusahaan guna
memudahkan standardisasi pengertian. Untuk menyatakan sesuatu yang sama tidak
boleh memakai 2 atau lebih alat.
2.14 State Transition diagram
State Transition Diagram adalah suatu alat modeling untuk menggambarkan
perilaku real-time dari sistem, seperti halnya alat penghubung interface manusia dengan