BAB 2 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SELULOSA KULIT ROTAN DENGAN METODA FERMENTASI Pendahuluan Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya alam terbarukan yang melimpah yaitu tanaman yang mengandung serat yang sangat besar beserta limbah biomassa pertanian. Tanaman serat menghasilkan serat alami yang tersusun atas selulosa dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersil yaitu sebagai bahan baku industri. Pemanfaatan tanaman serat dibeberapa negara telah lama dilakukan dan merupakan salah satu perintis industri pengolahan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia untuk memanfaatkan serat sintetis dari polimer rantai panjang sehingga pemanfaatan serat sintetis tersebut telah mengurangi penggunaan tanaman serat. Hal ini dikarenakan serat sintetis yang dihasilkan memiliki sifat seperti serat alami sedangkan penggunaan serat alami dalam jumlah besar menemukan kendala dalam budidaya serta kualitas yang tidak seragam. Salah satu tanaman yang memiliki potensi menghasilkan selulosa adalah tanaman rotan. Batang rotan adalah hasil utama dari pertanian rotan sedangkan kulit rotan merupakan limbah padat yang banyak mengandung selulosa (Sisworo 2009). Serat yang berasal dari kulit rotan merupakan sumber penghasil serat alami baru yang dapat dimanfaatkan selain tanaman penghasil serat lain seperti kapas, kenaf, rami dan lainnya. Selain berharga murah dan belum banyak dimanfaatkan, kulit rotan mengandung selulosa yang dapat diekstrak dengan menghilangkan jaringan non selulosa melalui proses fermentasi. Sampai saat ini pemanfaatan kulit rotan masih relatif terbatas yaitu dibakar, digunakan sebagai tali yang dijual di pasar, dan dimanfaatkan sebagai atap rumah petani rotan. Pembakaran kulit rotan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan pemanfaatan kulit rotan ini masih dapat dioptimalkan sebagai serat alam pengganti serat sintetis. Serat digunakan secara luas dalam berbagai macam industri diantaranya industri tekstil, material konstruksi, peralatan olah raga, dan komponen eksterior dan interior alat transportasi. Konsumsi serat sintetik dunia mencapai 150 juta ton per tahun (Lampiran 14). Selama lima tahun terakhir, kebutuhan akan polimer di
29
Embed
BAB 2 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SELULOSA KULIT … · Senyawa yang mengikat satu serat dengan serat lainnya disebut . ... Lamela tengah Membran plasma Dinding sekunder Dinding primer
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB 2 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SELULOSA KULIT
ROTAN DENGAN METODA FERMENTASI
Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam terbarukan yang melimpah
yaitu tanaman yang mengandung serat yang sangat besar beserta limbah biomassa
pertanian. Tanaman serat menghasilkan serat alami yang tersusun atas selulosa
dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersil yaitu sebagai bahan baku industri.
Pemanfaatan tanaman serat dibeberapa negara telah lama dilakukan dan
merupakan salah satu perintis industri pengolahan. Kemajuan teknologi telah
memungkinkan manusia untuk memanfaatkan serat sintetis dari polimer rantai
panjang sehingga pemanfaatan serat sintetis tersebut telah mengurangi
penggunaan tanaman serat. Hal ini dikarenakan serat sintetis yang dihasilkan
memiliki sifat seperti serat alami sedangkan penggunaan serat alami dalam jumlah
besar menemukan kendala dalam budidaya serta kualitas yang tidak seragam.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi menghasilkan selulosa adalah
tanaman rotan. Batang rotan adalah hasil utama dari pertanian rotan sedangkan
kulit rotan merupakan limbah padat yang banyak mengandung selulosa (Sisworo
2009). Serat yang berasal dari kulit rotan merupakan sumber penghasil serat alami
baru yang dapat dimanfaatkan selain tanaman penghasil serat lain seperti kapas,
kenaf, rami dan lainnya. Selain berharga murah dan belum banyak dimanfaatkan,
kulit rotan mengandung selulosa yang dapat diekstrak dengan menghilangkan
jaringan non selulosa melalui proses fermentasi. Sampai saat ini pemanfaatan
kulit rotan masih relatif terbatas yaitu dibakar, digunakan sebagai tali yang dijual
di pasar, dan dimanfaatkan sebagai atap rumah petani rotan. Pembakaran kulit
rotan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan pemanfaatan kulit
rotan ini masih dapat dioptimalkan sebagai serat alam pengganti serat sintetis.
Serat digunakan secara luas dalam berbagai macam industri diantaranya
industri tekstil, material konstruksi, peralatan olah raga, dan komponen eksterior
dan interior alat transportasi. Konsumsi serat sintetik dunia mencapai 150 juta ton
per tahun (Lampiran 14). Selama lima tahun terakhir, kebutuhan akan polimer di
8
Indonesia mengalami peningkatan 10% salah satunya untuk industri otomotif
(Lampiran 14). Di Indonesia tiga industri manufaktur sepeda motor terbesar
tercatat tahun 2010 memproduksi 6.217.087 unit motor dan tahun 2011
memproduksi 9.319.516 unit (Lampiran 1) dengan eksterior komponen
penyusunnya adalah serat sintetis dan polimer. Seiring dengan naiknya harga serat
sintetik akibat persediaan bahan bakar yang terbatas dan naiknya harga minyak
mentah dunia menjadikan masyarakat menyadari untuk memilih material yang
ramah lingkungan. Material serat alam kembali dipilih untuk menggantikan serat
sintetis. sehingga bahaya dari pemanasan global dapat dikurangi.
Penelitian rotan yang merupakan serat alam non kayu sebagai bahan
penguat polimer telah banyak diteliti. Jasni (1999), menyatakan bahwa batang
rotan memiliki sifat mekanik MOE 10 kg cm-2 dan MOR 421 kg cm-2 dengan
berat jenis 0.5. Menurut Jasni (2006), ditinjau dari sifak morfologi dan komposisi
kimia batang rotan berjenis semambu memiliki kandungan serat mencapai 60%
dengan komposisi kimia yang meliputi selulosa 37.36%, lignin 22.19%,
holoselulosa 70.07%, dan bahan lainnya 21.35%. Sementara itu Sisworo (2009),
telah meneliti aplikasi biokomposit berserat kulit rotan dalam bentuk anyaman
sebagai penguat polimer pada bodi kapal laut dengan hasil kekuatan tekuk 3 kg
mm-2 dan kekuatan tarik 2.1 kg mm-2
Serat alam berukuran nano merupakan material baru yang dapat digunakan
sebagai bahan penguat polimer pada komposit sehingga kualitas komposit
meningkat. Untuk menghasilkan serat berukuran nano dengan karakterisik yang
optimal, diperlukan informasi data terkait karakteristik struktur mikro,
penggolongan fasa, komposisi unsur penyusun dan kristalografi dari selulosa kulit
rotan yang belum pernah diteliti sebelumnya. Untuk itu diperlukan suatu
teknologi dan metode yang dapat memisahkan jaringan nonselulosa tanpa
merusak selulosa itu sendiri yaitu ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda
fermentasi fungi Aspergillus niger. Penelitian sebelumnya menggunakan
fermentasi Aspergilus niger pada media cair serat kudzu telah dilakukan oleh
CREATA IPB (2008). Busairi (2009), menggunakan Aspergillus niger untuk
fermentasi padat limbah kulit umbi ubi kayu dan hasilnya adalah mendapatkan
yield protein maksimum 36.78% pada produksi pakan ternak. Syamsuriputra
.
9
(2006), menggunakan fermentasi Aspergillus niger untuk produksi asam sitrat dari
ampas tapioka.
Sementara itu penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah kulit rotan
dalam bentuk serat panjang, pendek dan nanopartikel sebagai penguat komposit
berbasis polimer belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian
limbah kulit rotan yang diekstrak menjadi selulosa dengan metoda fermentasi
dapat memberikan informasi karakteristik data dasar pada struktur mikro.
Karakterisasi ini memiliki peran yang penting terhadap proses selanjutnya yaitu
produksi nanopartikel serat kulit rotan metoda ultrasonikasi dan bionanokomposit
dengan metoda injeksi molding pada aplikasi industri komponen sepeda motor.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan selulosa kulit rotan dengan
rendemen optimum dalam bentuk serat pendek atau panjang dengan metoda
fermentasi padat kapang Aspergillus niger dengan mendapatkan suatu kondisi
proses yang optimum pada variasi waktu dan jumlah spora selama proses
fermentasi.
Selulosa yang dihasilkan dapat memberikan informasi data dasar
karakteristik struktur mikro, fasa, komposisi unsur penyusun, kristalografi, dan
kerapatan. Data karakterisasi yang didapatkan akan digunakan sebagai masukan
pada proses sintesa nanopartikel dan penerapan aplikasinya yaitu sebagai penguat
pada bionanokomposit.
Hipotesis
Proses fermentasi padat dengan Aspergillus niger pada variasi waktu dan
jumlah spora yang optimal, diharapkan dapat membentuk enzim yang dapat
menghancurkan atau memisahkan jaringan tanaman non selulosa dan kandungan
asli serat dapat dipertahankan. Selulosa kulit rotan yang dihasilkan melalui
bioproses ini juga diharapkan memiliki densitas yang kecil, berstruktur kristal,
dengan unsur penyusun utama C, H, O dan beberapa unsur pendukung yaitu
mikro dan makro nutrien sebagai penguat selulosa.
10
Tinjauan Pustaka
Rotan Rotan merupakan palem berduri dan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari
bahasa melayu "raut" yang berarti mengupas atau menguliti (Gambar 2.1). Tanaman ini
berjenis famili Palmae yang tumbuh memanjat (Lepidocaryodidae). Struktur anatomi
tanaman rotan yaitu tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dan memiliki sistem perakaran
serabut (Gambar 2.1). Penampang lintang rotan dapat dipisahkan menjadi tiga
bagian yaitu kulit, kortek dan bagian tengah batang. Bagian kulit terbagi atas dua
macam lapisan yaitu epidermis sebagai lapisan terluar dan endodermis di lapisan
dalam. Lapisan epidermis adalah lapisan yang sangat keras, sel-selnya tidak
berlignin dan lapisan dinding tangensialnya mengandung endapan silika yang
dilapisi oleh lilin dan tebalnya mencapai 70 mikron (Tellu 2008).
Gambar 2.1 Struktur monokotil.
Rotan yang akan dipanen adalah rotan yang masak tebang, dengan ciri-ciri
bagian bawah batang sudah tidak tertutup lagi oleh daun kelopak atau selundang,
sebagian daun dan duri sudah mengering (rontok) (Gambar 2.2). Pemanenan rotan
dilakukan dengan menebang pangkal rotan dengan pengkaitnya setinggi 10
sampai 50 cm. Rotan yang tumbuh soliter hanya dipanen sekali dan tidak
beregenerasi dari tunggul yang terpotong, sedangkan rotan yang tumbuh
berumpun dapat dipanen terus-menerus (Tellu 2008).
Phloem
Epidermis Vascular bundle
Ground tissue system
Pembuluh angkut
Epidermis
Xilem
Floem
Empulur
Serabut xilem
11
a b
Gambar 2.2 Tanaman rotan (a) dan batang rotan (b).
Struktur anatomi batang dan kulit rotan yang berhubungan erat dengan
keawetan dan kekuatan rotan antara lain adalah komponen kimia, besar pori dan
tebalnya dinding sel serabut (Tabel 2.1). Menurut Tellu (2005), sel serabut
diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan.
Demikian juga menurut Mudyantini (2008), bahwa tebal dinding sel serabut
merupakan parameter anatomi yang paling penting dalam menentukan kekuatan
selulosa, dinding sel-sel serabut yang lebih tebal membuat selulosa manjadi lebih
keras dan menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis (Tabel 2.2).
Tabel 2.1 Kandungan kimia beberapa jenis batang rotan
Nama Holoselulosa (%)
Selulosa (%)
Lignin (%)
Tanin (%)
Pati (%)
Sampang (K. junghunii Miq) Bubuay (P. elongata Becc) Seuti (C. ornathus Bl) Semambu (C. scipionum B) Tretes (D. heteroides Bl) Balubuk (C. burchianus B) Batang (C. zolineri Becc) Galaka (C. Spp) Tohiti (C. inops Becc) Manau (C. manan Miq)
Selulosa memiliki 3 fasa yaitu α-Cellulose, β-Cellulose dan γ-Cellulose. α-
Cellulose adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam NaOH, larutan basa
kuat dengan DP 600 – 1500, dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat
kemurnian selulosa. β-Cellulose merupakan selulosa berantai pendek, larut dalam
NaOH atau basa kuat dan dapat mengendap bila dinetralkan sedangkan γ-
Cellulose adalah selulosa dengan derajat polimerisasi lebih kecil dari β selulosa.
Selulosa α adalah kualitas selulosa yang paling tinggi (murni) dan memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan bahan
peledak. Sedangkan selulosa β dan γ digunakan sebagai bahan baku industri
kertas, industri tekstil dan komponen alat olah raga (Pari 2011).
Gambar 2.3 Skema selulosa.
13
Lignin merupakan bagian dari lamela tengah dan dinding sel yang berfungsi
sebagai perekat antar sel, merupakan senyawa aromatik berbentuk amorf. Lignin
berwarna putih bersifat kaku dan rapuh. molekul kompleks yang tersusun dari unit
phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi (Gambar 2.4).
Material dengan kandungan karbon yang relatif tinggi serta memiliki energi tinggi
(dalam biomassa), namun sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi,
enzimatis, maupun kimia. Setiap materi kayu dan bukan kayu bila dilihat di
mikroskop, terlihat serat-seratnya yang melekat satu dengan yang lainnya.
Senyawa yang mengikat satu serat dengan serat lainnya disebut lignin. Dari
penampang melintang serat mempunyai dinding dan lubang tengah yang disebut
lumen (Achyuthan 2010).
Gambar 2.4 Struktur lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada tanaman (Achyuthan
2010).
Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, terdiri dari monomer
gula berkarbon dan jika dihidrolisis akan menghasilkan D-manova, D-galaktosa,
D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat (Gambar 2.5). Holoselulosa adalah bagian
dari serat yang bebas dari lignin, terdiri dari campuran selulosa dan hemiselulosa.
Tanin merupakan nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri
dari senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500 - 3000, dapat bereaksi
dengan protein membentuk senyawa komplek dan dalam fermentasi dapat
menyebabkan atau meninggalkan pengendapan protein. Sementara itu pati adalah
Lignin Lignin
Ikatan pada dinding sel
peroxidase laccase (β glucosidase)
Lamela tengah
Dinding primer Dinding sekunder Membran plasma
Lignin Pektin Selulosa Hemiselulosa
14
cadangan karbohidrat utama pada tumbuhan tingkat tinggi, yaitu sekitar 70% dari
berat basah, berbentuk granula yang larut dalam air (Siqueira 2010).
Gambar 2.5 Skema dinding sel selulosa dan mikrofibril (Siqueira 2010).
Proses Pemisahan Serat
Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel dari
pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa merupakan bagian penyusun utama
jaringan tanaman berkayu. Selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk
tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling
sederhana sekalipun seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Menurut
Rachmaniah (2009), selulosa ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai
microfibril dengan diameter 2 - 20 nm dan panjang 100 - 40000 nm (Gambar 2.5).
Selulosa merupakan β-1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat besar. Unit
ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan
struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan
hidrogen secara intra dan inter molekul. Beberapa molekul selulosa akan
membentuk mikrofibril yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan
diselingi daerah amorf. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya
Dinding sel
Mikrofibril
Kristal selulosa Molekul selulosa
Lapisan dari mikrofibril di dalam dinding sel tanaman
Glukosa Selulosa
Hemiselulosa
Kristal selulosa
Struktur mikrofibril
15
menjadi serat selulosa (Gambar 2.6). Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi
dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Hal ini berkaitan dengan struktur
selulosa dan kuatnya ikatan hidrogen.
Gambar 2.6 Ilustrasi mikro dan makrofibril dalam selulosa (Rahmaniah 2009).
Pemisahan (ekstraksi) serat kulit rotan adalah salah satu tahap yang penting
dalam proses pembuatan bionanokomposit. Prinsip dasar dari pemisahan serat
adalah adanya mikroorganisme tertentu yang pada kelembapan tertentu dapat
membentuk enzim dan menghancurkan jaringan tanaman non selulosa.
Penghancuran bahan non selulosa dapat memisahkan bahan penyusun serat dari
jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis, sehingga memungkinkan serat
dapat diekstrak secara mekanik setelah dikeringkan (Muhiddin 2001).
Pada Gambar 2.1 terlihat penampang melintang batang monokotil, dimana
jaringan parenkim, kolenkima dan skerenkima merupakan daerah korteks.
Diantara jaringan pembuluh xylem dan floem terletak kambium. Serat terdapat
pada bagian skelenkima yang merupakan bagian daerah korteks sehingga untuk
mengambil serat dari bagian batang tanaman diperlukan 2 tahap pemisahan serat
yaitu memisahkan serat dari jaringan terluar tanaman yaitu epidermis dan jaringan
penyusun korteks lain. Tahap selanjutnya adalah memisahkan serat dari jaringan
terdalam yaitu jaringan pembuluh dan empulur.
Berdasarkan Syamsuriputra (2006), selulosa dapat diekstraksi oleh fungi,
Aspergillus niger (Gambar 2.7). Hal ini dikarenakan spesies ini termasuk fungi
berfilamen penghasil enzim lignoselulotik seperti enzim selulase, amylase dan
pektinase. Kapang Aspergilus niger mempunyai hifa berseptat dan spora yang
dihasilkan bersifat aseksual. Spora berbentuk globular dan kasar dengan
Selulosa
Lignoselulosa Hemiselulosa
lignin
Mikrofibril
Degradasi enzim
Makrofibril Serat selulosa
16
terdapatnya garis-garis pada permukaan yang berpigmen. Hifa terletak pada
bagian terendam dari substrat untuk menyerap unsur hara dan yang menghadap ke
permukaan berfungsi sebagai alat reproduksi. Mempunyai kepala pembawa
konidia yang besar dan bulat.
Dalam metabolismenya fungi ini dapat menghasilkan enzim yang dapat
menghancurkan jaringan tanaman non selulosa yang banyak mengandung pektin,
tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan, dapat tumbuh
dengan cepat dan dalam pertumbuhannya berhubungan langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana yang
terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang
lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan
menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler seperti amylase, pektinase, dan
selulase. Bahan organik dari substrat digunakan oleh fungi untuk
aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel, mobilitas sel, nutrien bagi
kultur, dan tempat penyimpanan air untuk mikroorganisme.
Gambar 2.7 Aspergillus niger pada perbesaran mikroskop optik.
Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan
fungi Aspergilus niger mempunyai beberapa fase, antara lain (Gambar 2.8) :
1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan pembentukan
enzim-enzim untuk mengurai substrat.
2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah
3. Fase eksponensial, merupakan fase yang penting bagi kehidupan fungi
karena aktivitas sel meningkat merupakan fase perbanyakan jumlah sel.
4. Fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah
Domain : Eukaryota Kerajaan : Fungi Filum : Ascomycota Upafilum : Pezizomycotina Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Aspergillus Spesies : A. Niger Nama binomial : Aspergillus niger
Gambar 2.11 Rendemen selulosa pada hari ke-4, 5, 6 (a), hari ke-8 (b), hari ke-10 dengan Σ spora 3 x 108 (c) dan hari ke-10 dengan Σ spora 4 x 108
Tabel 2.4 Rendemen selulosa kulit rotan dengan massa awal rotan 500 g
(d).
Cuplikan Waktu fermentasi
(hari)
Rendemen serat (g) 1 2 3
Σspora=10 Σspora = 1.5 x 108 Σspora= 2 x108 A
8 4 0 0 0
B 5 0 0 0 C 6 0 0 113 Pengulangan ke-2 Σ spora = 2 x 10 Σspora= 3 x 1016 Σspora = 4 x 108
D 8
8 220 257 282 E 10 246 304 291
Satu siklus fase pertumbuhan fungi (Gambar 2.8) belum mampu
menghancurkan jaringan non selulosa, karena kulit rotan memiliki karakteristik
yang lentur, ulet dan keras dimana jaringan dinding sel batang dan kulit
mengalami lignifikasi (pengerasan) dan akumulasi selulosa dalam lignin, sehingga
perlu dilakukan pengulangan atau penambahan fungi. Kemudian dilakukan
pengamatan kembali pada tF = 8 dan 10 hari (cuplikan D dan E). Terjadi
pertumbuhan dan pertambahan jumlah spora yang diinokulasi terhadap kulit rotan
yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama proses fermentasi. Hasil
yang diperoleh adalah terjadi kenaikan rendemen selulosa pada cuplikan D hingga
24
mencapai hasil optimum (cuplikan E2) pada tF
Sementara itu pada cuplikan E
= 10 hari dengan rendemen
selulosa 304 g (60.8%) (Gambar 2.12c).
3
Tabel 2.5 menunjukkan spektrum EDS cuplikan A dan B pada hari ke-5.
Pengamatan spektrum EDS memperlihatkan bahwa unsur dominan yang ada
dalam cuplikan adalah C dan O serta beberapa elemen makro, mikro nutrien pada
tumbuhan. Pada proses fermentasi sampai dengan hari ke-5, kandungan unsur
pada cuplikan meliputi C = 57.57% dan O = 40.45%, serta unsur makro dan
mikro dinding sel tanaman Si, Cl, K, dan Cu. Hari ke-5 merupakan pertumbuhan
fungi pada fase deselerasi dan stasioner. Fase deselerasi merupakan fase sel-sel
mulai kurang aktif membelah dan fase stasioner yaitu fase jumlah sel yang
bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini
merupakan garis lurus yang horizontal dan banyak senyawa metabolit sekunder
yang tumbuh pada fase ini. Si dan K merupakan unsur makro yang merupakan
komponen struktural bersumber dari salinitas tanah untuk memperkuat dinding sel
dan memperkuat terhadap proses pelapukan. Sementara itu Ca dan Cl adalah
unsur mikro yang merupakan komponen fungsional, dimana tanaman berserat
akan banyak mengandung unsur Cl dan unsur Ca yang dapat merangsang
pertumbuhan fungi dalam memproduksi enzim.
mengalami penurunan hasil dan kualitas
rendemen selulosa (58.2%). Selulosa yang dihasilkan rapuh, patah dan berjamur
(Gambar 2.11d). Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya jamur yang mengelilingi
serat karena kelembaban yang meningkat dan terjadinya penumpukan fungi
selama proses fermentasi sehingga terjadinya penurunan kualitas (faktor biologi),
yaitu adanya organisme lain yang tumbuh dan memakan karbohidrat yang
terkandung dalam selulosa, sehingga menimbulkan enzim khusus yang merusak
struktur dari selulosa.
Tabel 2.5 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-5)
Element Massa (%) Atom (%) C 49.46 57.75 O 46.19 40.45 Si 1.99 0.99 Cl 0.76 0.30 K 0.85 0.31 Cu 0.75 0.16
25
Tabel 2.6 menunjukkan spektrum EDS cuplikan C3, dimana proses
fermentasi serat kulit rotan sampai pada hari ke-6 yaitu fase kematian. Pada fase
ini jumlah sel-sel fungi yang mati lebih banyak daripada sel-sel fungi yang masih
hidup. Selama proses ekstraksi selulosa satu siklus, terjadi biokonversi dari kulit
rotan yang merupakan material organik menjadi selulosa dengan cara pemecahan
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim
dan meninggalkan residu. Fungi yang sudah mati banyak mengandung protein,
sehingga hasil EDS menunjukkan adanya penambahan elemen mineral pada
cuplikan. Kandungan unsur C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun
bahan organik yang diambil tanaman berupa C02
Tabel 2.6 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-6)
, serta unsur makro dan mikro
Na, Si, Cl, K, Ti, Cu, Zn, Nb dan Bi.
Unsur Massa (%) Atom (%) C 21.60 43.21 O 27.35 40.92 Na 3.25 3.30 Si 0.70 0.60 K 1.93 0.57 Ti 12.29 6.14 Cu 1.97 0.74 Zn 1.92 0.70 Nb 2.14 0.55 Bi 27.76 3.10
Gambar 2.11 A dan B menunjukkan bahwa kerja fungi Aspergilus niger
belum bekerja maksimal. Selulosa kulit rotan belum terlepas secara optimal dari
jaringan inti kulitnya, penghancuran bahan non selulosa yang dapat memisahkan
bahan penyusun serat dari jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis
belum secara keseluruhan terjadi sehingga diperlukan penambahan jumlah spora
fungi. Tabel 2.7 memperlihatkan spekteum EDS dan kandungan unsur selama
proses pengulangan (cuplikan D) pada hari ke-8. Kerja fermentasi Aspergilus
niger dalam menyerap zat organik dari substrat mulai lebih meningkat sehingga
rendemen serat meningkat. Komponen unsur C dan O juga meningkat dari hari
sebelumnya serta mulai muncul unsur S yang mencirikan adanya aktifitas protein.
C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun bahan organik yang diambil
tanaman berupa C02
, serta unsur makro dan mikro Si, Cl, K, Mg, Cu, Ca.
26
Tabel 2.7 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-8)
Element Massa (%) Atom (%) C 48.74 57.75 O 44.22 39.32
Mg 0.32 0,19 Si 2.77 1.40 S 0.21 0.09 Cl 0.63 0.35 K 1.35 0.49 Ca 0.52 0.15 Cu 1.04 0.23
Hasil karakterisasi kandungan komposisi unsur dengan menggunakan EDS
pada Tabel 2.8, cuplikan E2
Tabel 2.8 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-10)
(hari ke-10) menunjukkan komposisi persen massa
dan atom pada elemen cuplikan yang didominasi oleh kandungan atom C =
56.34% dan O = 40.95%, sisanya adalah mineral Mg, S, Si, Ca, Cl, K, dan Cu.
Kandungan C, H, dan O adalah komponen pembentuk utama serat alami ini.
Sementara itu kandungan unsur yang lain menunjukkan elemen mikro dan makro
yang bersumber pada nutrisi tanah dan hasil dari aktivitas fermentasi.
Makronutrien meliputi S, K, Ca, Mg, Si sedang mikronutrien meliputi Cu, Cl.
Element Massa (%) Atom (%)
C 47.50 56.34 O 46. 03 40.98
Mg 0.41 0.24 Si 2.10 1.06 S 0.27 0.12 Cl 0.82 0.33 K 1.39 0.51 Ca 0.69 0.25 Cu 0.79 0.18
Morfologi permukaan cuplikan dengan menggunakan alat uji SEM
perbesaran 500 dan 1000 X terlihat bahwa selulosa (C6H10O5
jaringan
) yang tersusun atas
unit-unit glukosa membentuk potongan-potongan serat yang memanjang,
kontinu, berpori, saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang kuat,
memiliki rantai monomer panjang dan banyak mengandung mineral-mineral alam
yang bersumber pada nutrisi tanah yang dapat mengalami proses pelapukan atau
degradasi karena faktor lingkungan. Tersusun atas lignin sebagai perekat antar sel
selulosa (Gambar 2.12) dan trakeida yang merupakan sekumpulan sel-sel
dengan dinding sel lateralnya mengalami penebalan oleh lignin sedangkan bagian
Busairi AM, Hersoelistyorini W. 2009. Pengkayaan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi menggunakan pesponse surface methodology. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009.
Jasni, Supriana. 1999. Rotan, Sifat fisis dan mekanis batang rotan. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Jasni, Rachman O. 2006. Rotan, sumberdaya, sifat dan pengelolaannya. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 26: 22-28.
Lee KY, Jonny J, Blaker, Bismarck A, 2009. Surface functionalisation of bacterial cellulose as the route to produce green polylactide nanocomposites with improved properties. J Composites Science and Technology 69:2724–2733.
Mudyantini W. 2008. Pertumbuhan, kandungan selulosa, dan lignin pada rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan pemberian asam giberelat (GA3). Biodiversitas 9:269-274.
Muhiddin NH, Juli N, Aryantha IN. 2001. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. J Matematika dan Sains 6:1-12.
Pari G. 2011. Pengaruh selulosa terhadap struktur karbon arang. J Penelitian Hasil Hutan 29:33-45.
Rachmaniah O, Febriyanti L, Lazuardi K. 2009. Pengaruh liquid hot water terhadap perubahan struktur sel bagas. Prosiding Seminar Nasional XIV, FTI-ITS; Surabaya, 22-23 Juli 2009. Hlm 30-40.
Rachmaniah O, Pahlevi R, Mendila CD. 2011. Structure features changes of galah grass (Saccharum spontaneum Linn) by liquid hot water pretreatment. J of Biobased Materials and Bioenergy 5:1–9.
Sisworo SJ. 2009. Pengaruh penggunaan serat kulit rotan sebagai penguat pada komposit polimer dengan matriks polyester yucalac 157 terhadap kekuatan tarik dan D tekuk. J TEKNIK 30: 3-10.
Syamsuriputra, Setiadi, Kushandayani, Yunus. 2006. Pengaruh kadar air substrat dan konsentrasi dedak padi pada Produksi asam sitrat dari ampas tapioka menggunakan Aspergillus niger ITBCCL74.
Tellu AT. 2008. Sifat kimia jenis-jenis rotan yang diperdagangkan di propinsi sulawesi tengah. Biodiversitas 9:108-111.
35
Taherzadeh, Karimi K, Keikhosro. 2008. Macrofibril and microfibril in the celulloce. J Mol. Sci. 9:1621-1630.
Tellu, AT. 2005. Kunci identifikasi rotan (Calamus spp.) asal Sulawesi Tengah berdasarkan struktur anatomi batang”. Biodiversitas 2: 113-117.
Tellu, AT 2006. Kladistik beberapa jenis rotan Calamus sp. asal Sulawesi Tengah berdasarkan sifat fisik dan mekanik batang. Biodiversitas 7: 221-225.
Tellu, AT 2007. Penentuan jenis dan kualitas rotan yang diperdagangkan di Sulawesi Tengah berdasarkan ciri morfologi batangnya. Eukariotik 5: 7-12.
Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. Polymers 2:728-765.
Wang Y, Chang C, Zhang L. 2010. Effects of freezing/thawing cycles and cellulose nanowhiskers on structure and properties of biocompatible starch/PVA sponges. J Macromolecular Materials and Engineering 295:137–145.