Top Banner
Bab 2 KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA Definisi Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah gabungan dari tiga suku kata yaitu kompilasi, hukum dan Islam, dari ketiga suku kata tersebut jika diartikan bisa memiliki arti yang berdiri sendiri-sendiri, atau dengan kata lain tanpa dirangkum dalam kalimat "Kompilasi Hukum Islam" sekalipun, maka kata-kata kompilasi, hukum dan Islam sudah mempunyai arti yang cukup luas. Namun dalam hal ini untuk mendefinisikan Kompilasi Hukum Islam kata-kata hukum dan Islam tidak dapat diartikan secara terpisah melainkan harus dilihat sebagai satu kesatuan, yaitu "Hukum Islam". Sehingga pemenggalannya menjadi "Kompilasi" dan "Hukum Islam" Kompilasi, Menurut Abdurrahman (1995, hlm.9) merupakan istilah yang baru, dan belum diterima secara meluas dalam bahasa Indonesia, sehingga perkataan kompilasi masih jarang ditemui dalam literatur yang berbahasa Indonesia. Dalam kajian hukum di Indonesia hanya mengenal istilah kodifikasi, yaitu pembukuan suatu jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hukum. Andi Hamzah (1986, hlm. 327) menyebutkan bahwa kata kompilasi berasal dari bahasa latin yaitu compilo, yang berarti penyusunan, hasil pengumpulan kata atau tulisan atau uraian dan lain-lain. Ranuhandoko (1996, hlm.149) menulis compilation adalah penyaringan dan dibukukannya undang-undang menjadi suatu keutuhan. Compilation of the laws adalah suatu kumpulan dari segala undang-undang baik yang masih berlaku maupun yang sudah tidak berlaku lagi. Wojowasito (1997, hlm. 65) mengartikan compilation dengan kumpulan tersusun dari buku-buku lain. Echols dan Shadily (1984, hlm.132) menulis, bahwa compilation adalah himpunan, sedangkan compilation of lows adalah himpunan undang-undang. 25
37

Bab 2repository.radenfatah.ac.id/6581/4/Bab 2 (11).pdf · Title: Bab 2 Author: Graha Created Date: 3/4/2020 3:29:11 AM

Feb 05, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Bab 2

    KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

    Definisi Kompilasi Hukum Islam

    Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah gabungan dari tiga suku kata yaitu kompilasi,

    hukum dan Islam, dari ketiga suku kata tersebut jika diartikan bisa memiliki arti yang

    berdiri sendiri-sendiri, atau dengan kata lain tanpa dirangkum dalam kalimat "Kompilasi

    Hukum Islam" sekalipun, maka kata-kata kompilasi, hukum dan Islam sudah

    mempunyai arti yang cukup luas. Namun dalam hal ini untuk mendefinisikan Kompilasi

    Hukum Islam kata-kata hukum dan Islam tidak dapat diartikan secara terpisah

    melainkan harus dilihat sebagai satu kesatuan, yaitu "Hukum Islam". Sehingga

    pemenggalannya menjadi "Kompilasi" dan "Hukum Islam"

    Kompilasi, Menurut Abdurrahman (1995, hlm.9) merupakan istilah yang baru,

    dan belum diterima secara meluas dalam bahasa Indonesia, sehingga perkataan

    kompilasi masih jarang ditemui dalam literatur yang berbahasa Indonesia. Dalam kajian

    hukum di Indonesia hanya mengenal istilah kodifikasi, yaitu pembukuan suatu jenis

    hukum tertentu secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hukum.

    Andi Hamzah (1986, hlm. 327) menyebutkan bahwa kata kompilasi berasal dari

    bahasa latin yaitu compilo, yang berarti penyusunan, hasil pengumpulan kata atau

    tulisan atau uraian dan lain-lain. Ranuhandoko (1996, hlm.149) menulis compilation

    adalah penyaringan dan dibukukannya undang-undang menjadi suatu keutuhan.

    Compilation of the laws adalah suatu kumpulan dari segala undang-undang baik yang

    masih berlaku maupun yang sudah tidak berlaku lagi. Wojowasito (1997, hlm. 65)

    mengartikan compilation dengan kumpulan tersusun dari buku-buku lain. Echols dan

    Shadily (1984, hlm.132) menulis, bahwa compilation adalah himpunan, sedangkan

    compilation of lows adalah himpunan undang-undang.

    25

  • Berdasarkan berbagai pendapat tentang definisi kompilasi di atas, dapat

    disimpulkan bahwa menurut bahasa kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari

    berbagai bahan tertulis yang diambil dari beberapa sumber buku atau tulisan-tulisan

    biasa mengenai persoalan tertentu. Mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber

    yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu,

    sehingga dengan bahan yang telah terkumpul tersebut akan memudahkan dalam mencari

    atau landasan dalam memutuskan suatu perkara.

    Menurut Abdurrahman (1995, hlm.12) "istilah Kompilasi tidak selalu identik

    dengan suatu produk hukum sebagaimana halnya dengan istilah kodifikasi. Dalam

    pengertian hukum kompilasi hanya merupakan sebuah buku hukum atau buku

    kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau

    juga aturan hukum". Pengertian tersebut memang berbeda dengan kodifikasi

    (codificatian) yang mempunyai arti pengumpulan dan penyusunan hukum dan undang-

    undang untuk suatu negara (Ranuhandoko 1996, hlm. 147).

    Hukum Islam

    Faturrahman Djamil (1997, hlm. 11) dalam bukunya Filsafat Hukum Islam

    menerangkan bahwa, istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam al- Qur'an

    dan literatur hukum dalam Islam. Dalam al-Qur'an sering ditemukan adalah kata

    syari'ah, fiqh, dan kalimat yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan

    terjemahan dari term Islamic Law dari leteratur Barat. Penjelasan tentang hukum Islam

    di dalam literatur Barat ditemukan definisi "keseluruhan khitab Allah yang mengatur

    kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya", menurut Faturrahman dari definisi

    hukum Islam ini lebih dekat dengan pengertian syari'ah.

    Pendapat yang dikemukakan oleh Faturrahman Djamil di atas, Ahmad Rofiq

    (2003, hlm. 3) juga mengatakan bahwa baik di dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah,

    26

  • tidak ada istilah al-hukm al-Islam. Tapi yang digunakan adalah kata syari'at dalam

    penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Sedangkan "hukum Islam" merupakan khas

    Indonesia, sebagai terjemahan dari al-Fiqh al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli

    hukum Barat digunakan Islamic Law. Amir Syarifuddin sebagaimana dikutip oleh

    Ahmad Rafiq (2003, hlm. 7-8) menulis, bahwa dalam khazanah ilmu hukum di

    Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata hukum dan

    Islam. Hukum adalah seperangkat aturan tentang tindak-tanduk atau tingkah laku dan

    diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh

    anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata Islam. Sehingga dapat

    dipahami bahwa hukum Islam adalah peraturan tingkah laku mukallaf yang diakui dan

    diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam.

    Dalam konteks kajian ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam adalah

    khitab (Firman) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi

    yang berbeda, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang diterapkan secara langsung

    dan tegas oleh Allah SWT atau ditetapkan pokok-pokok untuk mengatur hubungan

    manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan

    manusia dengan alam semesta atau lingkungannya Ibrahim Hosen (1996, hlm. 86).

    Hanafie (1996, hlm.12) mendefinisikan bahwa hukum Islam menurut bahasa

    adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah firman

    Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf),

    yang mana firman Allah tersebut mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu, atau

    menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.

    Menurut Bustanul Arifin (1996, hlm. 40,43) dalam agama Islam biasanya ada

    dua istilah yang biasa diterjemahkan menjadi hukum Islam, yaitu syari'ah (syara') dan

    fiqh kedua istilah ini memiliki pengertian dan makna yang sangat berbeda sekali.

    Syari'at Islam bersifat sempurna dan berlaku untuk semua tempat dan segala zaman,

    27

  • sedangkan fiqh dapat berubah dan berbeda sesuai dengan waktu dan zamannya. Fiqh

    merupakan hasil dari pemahaman para ulama yang bersumber dari al-Qur'an dan al-

    Hadis sehingga fiqh sarat dengan interpretasi manusia, sedangkan syari'ah terbebas dari

    unsur pemikiran manusia.

    Dalam buku "Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam" yang diterbitkan oleh

    Departemen Agama Republik Indonesia (1997, hlm. 157) menjelaskan bahwa

    Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah buku yang berisi kumpulan atau himpunan

    kaidah-kaidah atau garis-garis pokok hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum

    perkawinan, kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis

    Abdurrahman (1996, hlm.14) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

    Kompilasi Hukum Islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil

    dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai

    referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke

    dalam suatu himpunan, yang mana himpunan tersebut dinamakan kompilasi.

    Dari pengertian kompilasi dan hukum Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa

    yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan dari beberapa

    ketentuan atau aturan hukum, yang mana ketentuan-ketentuan hukum tersebut digali

    dari berbagai macam kitab yang bersumberkan kepada Firman Allah dan Hadis Nabi

    Muhammad SAW. Oleh karena KHI tersebut merupakan produk dari para

    ulama dan para pakar hukum Indonesia, serta diberlakukan di

    Indonesia, maka lebih lengkap maknanya jika diartikan sebagai

    kumpulan dari beberapa ketentuan peraturan-peraturan yang diambil

    dari wahyu dan diformulasikan dalam keempat produk pemikiran

    hukum (fiqh, fatwa, keputusan pengadilan dan undang-undang) yang

    dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia

    berdasarkan kepada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991

    28

  • yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam memeriksa, mengadili

    dan memutuskan perkara di Pengadilan Agama.

    Latar Belakang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam

    Islam sebagai agama universal bukan saja mengandung aspek-aspek kerohanian yang

    berhubungan dengan iman dan moralitas, melainkan juga mengandung asas-asas

    pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan menyangkut

    berbagai aspek dalam tata hubungan antar bangsa (Yusril Ihza Mahendra 1997: 174).

    Sehingga lahirnya Kompilasi Hukum Islam tidak lebih merupakan suatu pemenuhan

    akan kebutuhan hukum keluarga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

    Menurut penulis, secara umum paling tidak ada dua hal pokok yang melatar

    belakangi perlunya dibentuk Kompilasi Hukum Islam. Pertama latar belakang sejarah

    yang membuktikan kepada kita bahwa sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, maka

    pada saat itu pula hukum-hukum menepak dan membumi disegenap masyarakat

    penganutnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga-lembaga hukum Islam seperti

    Tahkim, Ahlul Halli Wal Aqdhi, Tauliyah Waliyul Amri dan Pengadilan Surambi.

    Sehingga menjadi tanggung jawab moral bagi seluruh umat Islam nusantara untuk

    menyempurnakan lembaga-lembaga hukum Islam yang telah lama ada.

    Kedua, hal pokok yang menjadi latar belakang perlunya dibentuk Kompilasi

    Hukum Islam adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan hukum agama bagi umat

    Islam dewasa ini, seiring dengan berkembangnya persoalan yang bersinggungan dengan

    nilai-nilai agama yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia, maka perlu adanya suatu

    rujukan yang tepat untuk memecahkan persoalan hukum dimaksud, dan Kompilasi

    Hukum Islam merupakan salah satu jawabannya.

    Latar Belakang Sejarah

    29

  • Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia

    lewat jalur perdagangan. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Hamka yang disampaikannya

    pada seminar masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1963,

    bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad VII/VIII M)

    langsung dari Arab dibuktikan dengan adanya jalur pelayaran yang ramai dan bersifat

    internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di China (Asia

    Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat A. Hasyimi

    (1981, hlm. 358) dan Musyrifah Sunanto (2005, hlm. 9).

    Bersamaan dengan para pedagang datang pula para da'i dan para musafir.

    Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang dari

    negeri-negeri di ketiga Benua Asia itu sehingga memungkinkan terjadi intraksi sosial di

    antara mereka, maka terbentuklah perkampungan masyarakat muslim. Pertumbuhan

    perkampungan ini makin meluas sehingga bukan hanya bersifat hubungan ekonomis

    semata, tetapi membentuk struktur pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu,

    kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan Malik as-Shaleh (Uka Candra Sasmita

    1996, hlm. 86).

    Sedangkan hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC awal abad XVII M.

    Sebelum hukum Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia menganut hukum adat

    yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Menurut Ahmad

    Azhar Bashir, dapat diduga bahwa pada saat itu pengaruh agama Hindu dan Budha

    sangat kuat terhadap hukum rakyat (Azhar Basyir 1999, hlm. 7).

    Menurut R. Tresna sebagaimana dijelaskan Cik Hasan Bisri (1998a:107) dengan

    masuknya Islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan.

    Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum

    Pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan

    masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukkan kebaradaannya,

    30

  • namun hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama bidang

    hukum keluarga. Hal itu berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pengembangan

    Peradilan Agama sebagai lembaga penerapan hukum Islam di Indonesia.

    Setelah babak pertama tersebut, perkembangan hukum Islam di Indonesia

    memasuki babak selanjutnya, yaitu masa Kesultanan Islam. Pada masa ini penerapan

    hukum Islam di bumi nusantara dapat dikatakan menempati puncak kejayaannya,

    dimana hukum Islam menjadi rujukan pokok bagi para penguasa (sulthan) dalam

    memutuskan suatu perkara, terutama mengenai hukum kekeluargaan di bidang

    perkawinan dan kewarisan. Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-

    1645 M) Pengadilan Pradata yang bertradisi Hindu berubah menjadi Pengadilan

    Surambi yang sepenuhnya menerapkan hukum Islam, Cik Hasan Bisri (1998a,hlm. 107)

    Faried Ali (1997b, hlm. 190) menulis, ketika Ibnu Batutah (pengembara Arab

    asal Maroko) singgah di Samudra Pasai Aceh pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi

    perkembangan Islam di negeri itu. Ia berdiskusi dengan Sultan al-Malik al-Zahir tentang

    berbagai masalah Islam dan ilmu fiqh, menurut Ibnu Batutah Sultan Pasai itu ternyata

    adalah fāqh (ahli fikih) yang sangat mahir dalam hukum Islam dan dianut di kerajaan

    Pasai pada saat itu adalah hukum Islam mazhab Syafi'i. Dari Pasai-lah disebarkan

    paham Syafi'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Para ahli hukum Islam

    dari kerajaan Islam Malaka (1400-1500 M) sengaja datang ke Samudra Pasai untuk

    meminta kata putus mengenai berbagai persoalan keagamaan.

    Setelah sempat bertengger di puncak kejayaan akhirnya penerapan hukum Islam

    di Indonesia secara kelembagaan berangsur-angsur surut ketika penjajah menapakkan

    kakinya di bumi nusantara. Kedatangan bangsa penjajah tidak hanya merusak tatanan

    masyarakat, tetapi juga mengacaukan sendi-sendi hukum Islam yang telah lama dianut

    mayoritas muslim Indonesia.

    31

  • Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang semula tampak lunak dan toleran

    terhadap hukum Islam, yaitu melalui teori Receptio in Complexu yang dimunculkan

    oleh Van Den Berg, dimana hukum Islam diterima secara menyeluruh oleh umat Islam,

    ternyata hanya berlangsung sesaat. Setelah itu pada tahun 1874 M Cornelis Van

    Vollenhoven mengeluarkan Teori Receptie sehingga teori ini menjadi kebijakan resmi

    pemerintah kolonial Belanda. Teori Receptie telah membunuh keberadaan hukum Islam

    di Indonesia, karena menurut teori ini hukum Islam baru boleh diterima oleh orang

    Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum adat mereka (Rofiq 2003, hlm. 13,16).

    Menurut Ahmad Sukarja (1998, hlm. 32) pada masa penjajahan, umat Islam

    tidak memiliki hukum tertulis tentang perkawinan, lain halnya dengan umat Kristen,

    meskipun minoritas tapi oleh pemerintah Hindia Belanda telah membuatkan hukum

    tertulis untuk mereka, yang setingkat dengan undang-undang, yaitu Huwelijks

    Ordonantie Christen Indonesiers (HOCI). Hukum perkawinan yang berlaku bagi umat

    Islam waktu itu, dilihat dari tata hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial

    digolongkan ke dalam hukum adat.

    Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah dan masyarakat menghadapi

    kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku di kalangan umat Islam Indonesia tidak

    tertulis dan masih tersebar diberbagai kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang

    sama antara satu kitab dengan yang lainnya Zarkowi Soeyoeti (1999, hlm. 55). Di

    samping kenyataan tersebut bangsa Indonesia dihadapkan dengan ketidaksamaan antara

    hukum Islam, hukum Barat dan hukum adat, sehingga sering terjadi konflik antara

    ketiga sistem hukum tersebut.

    Menurut Bustanul Arifin (1996, hlm. 44) hukum Islam merupakan sesuatu yang

    sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang, terutama masalah hukum keluarga.

    Walaupun dalam ilmu fiqh hukum keluarga digolongkan ke dalam bab muāmalah, akan

    tetapi unsur ibadatnya lebih terasa, oleh karena itu hukum keluarga erat kaitannya

    32

  • dengan agama Islam. Sehingga wajar di alam yang merdeka sekarang ini umat Islam

    mengadakan koreksi dan penyempurnaan terhadap tatanan hukum yang dulu di acak-

    acak dan dikacaukan oleh penjajah. Terlebih lagi karena sejarah penjajahan atas negeri

    negeri Islam mencatat, kehendak yang berkuasa untuk memperlakukan hukum sipil

    yang diwarnai dengan politik kekuasan.

    Yusril Ihza Mahendra (1997, hlm.175) menjelaskan bahwa bangsa yang

    merdeka dan berdaulat, idealnya bangsa kita mempunyai sistem hukum nasional

    tersendiri, yang dibangun di atas landasan falsafah bangsa kita sendiri dan sejalan pula

    dengan aspirasi-aspirasi bangsa kita. Oleh karena itu menurut penulis lahirnya

    Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu jawaban yang tepat, hal ini mengingat

    sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, maka sudah barang tentu

    falsafah dan aspirasi hukum yang banyak berkembang adalah falsafah dan aspirasi

    hukum Islam.

    Bukti dan catatan sejarah di atas merupakan landasan pokok yang melatar

    belakangi dibuatnya Kompilasi Hukum Islam. Di zaman kemerdekaan ini umat Islam

    Indonesia sedang dan akan berusaha mencari dan menemukan mutiara yang dulu

    sempat hilang oleh arus penjajahan kolonial Belanda melalui berbagai teori-teori yang

    mereka buat dengan tujuan menjauhkan manusia dari ajaran Tuhannya, salah satu

    mutiara itu telah ditemukan dalam wujud Kompilasi Hukum Islam terlepas dari

    kekurangan dan kelebihannya sekalipun masih perlu penelaahan ulang dari beberapa

    pasal seperti Pasal 53 yang dianggap mengandung nilai kemaslahatan ketika

    penyusunan tahun 1991, tetapi karena pengaruh budaya global dan derasnya arus

    informasi dan komunikasi merubah gaya hidup masyarakat terutama di kalangan

    generasi muda, ditandai dengan banyaknya kasus-kasus pernikahan wanita hamil

    dikarenakan zina, sehingga menurut asumsi penulis pasal 53 KHI tersebut sudah tidak

    relevan lagi dengan tujuan kemaslahatan umat saat ini.

    33

  • Latar Belakang Keinginan Untuk Memiliki Sumber Hukum Yang Seragam

    Menurut Amrullah Ahmad et.al. (1996, hlm. 10) secara faktual Peradilan

    Agama telah lahir sejak tahun 1882, perkara ternyata para hakim

    agama belum mempunyai sumber hukum yang seragam. Hal itu

    disebabkan terutama karena hukum Islam yang berlaku belum

    menjadi hukum positif yang tertulis, hukum Islam masih tersebar di

    dalam berbagai macam kitab fiqh, yang padanya juga terdapat

    berbagai macam pendapat para ulama dalam satu persoalan yang

    sama. Apabila kitab fiqh yang mengandung beragam pendapat itu

    dijadikan pedoman oleh para hakim agama dalam mengambil

    keputusan, maka wajar apabila terhadap permasalahan yang sama

    antara hakim yang satu dengan yang lain terjadi perbedaan dalam

    mengambil keputusan.

    Terjadinya perbedaan dalam mengambil keputusan terhadap

    permasalahan yang sama oleh para hakim di lingkungan Peradilan

    Agama akan membingungkan dan menimbulkan ketidakpuasan bagi

    para pencari keadilan. Sehingga terhadap persoalan ini perlu segera

    diusahakan jalan pemecahannya. Usaha untuk menyeragamkan

    landasan hukum dalam penyelesaian suatu perkara di lingkungan

    Peradilan Agama, sebenarnya sudah dimulai dengan keluarnya

    Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan

    Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura

    serta Kalimantan bagian Selatan dan Timur.

    34

  • Untuk terwujudnya kesatuan dalam hukum memeriksa dan

    menyelesaikan perkara, maka Biro Peradilan Agama Departemen

    Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/I/735

    tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari

    Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, dianjurkan kepada para

    Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk

    mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab berikut:

    1. Al-Bajuri2. Fath al-Mu’in dan Syarah (komentarnya) 3. Syarqawi ‘ala al-Tahrim4. Qalyubi wa’Amirah (hasyiyah)5. Al-Mahalli6. Tuhfah7. Targib al-Musytaq8. Al-Qawanin al-Syar'iah (li Usman ibn Yahya)9. Fath al-Wahab dan Syarah (komentarnya)10. Al-Qawanin al-Syar’iyah (li sadaqah Dakhlan)11. Syasuri li al-Faraid12. Bugyah al-Mustarsyidin13. Kitab al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al-Arba’ah14. Mughni al-Muhtaj, Abdurrahman (1992, hlm.22) dan AhmadRafiq (2003: 44).

    Walaupun kitab-kitab fiqh di atas telah ditetapkan menjadi

    pedoman resmi dalam mengambil keputusan bagi para hakim agama,

    namun ternyata ketidakseragaman dalam mengambil keputusan

    terhadap perkara yang sama tetap saja terjadi (Amrullah Ahmad et al.

    1996, hlm, 11). Menurut penulis hal tersebut kemungkinan

    disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya. Pertama, semua kitab

    fiqh tersebut di atas masih merupakan kitab kuning yang berbahasa

    Arab, kecuali kitab Al-Qawanin al-Syar'iyah (li Usman ibn Yahya)

    35

  • menurut Abdurrahman (1995, hlm. 22) "Kitab ini ditulis dalam bahasa

    melayu Arab" sehingga sulit bagi para hakim agama yang tidak

    mempunyai kemampuan berbahasa arab untuk menggunakannya.

    Kedua, pendapat para ulama di dalam tiga belas kitab tersebut

    terhadap satu kasus tentu tidak sama karena mereka merujuk kepada

    berbagai macam mazhab fiqh dan ijtihad masing-masing, sehingga

    masih terbuka peluang bagi para hakim untuk merujuk kepada salah

    satu pendapat yang ada.

    Menurut Amrullah Ahmad et. al. (1996, hlm. 11) untuk

    mengatasi hal tersebut di atas, muncullah gagasan untuk menyusun

    sebuah buku yang menghimpun hukum terapan yang berlaku di

    lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para

    hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga kesatuan dan

    kepastian hukum bisa dicapai. Dalam rangka inilah Bustanul Arifin

    tampil dengan gagasannya mengenai perlunya dibuat Kompilasi

    Hukum Islam. Menurut Bustanul Arifin hal pokok yang mendasari

    timbulnya gagasan pembuatan Kompilasi Hukum Islam adalah :

    1. Untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada

    antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh

    para aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.

    2. Persepsi yang tidak seragam tentang syar'iyah akan

    menyebabkan :

    - Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa

    yang disebutkan hukum Islam (mā anzalallāhu)

    - Tidak mendapat kejelasan bagaimana

    menjelaskan syari'at itu (tanfīziyah)

    36

  • - Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu

    menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia di

    dalam UUD 1945, dan perundang-undangan lainnya.

    3. Di dalam sejarah Islam pernah diakui di tiga negara hukum

    Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu di

    India pada masa raja An Rijeb dengan nama undang-undangnya

    Fatwa Alamfiri, di kerajaan Turki Usmani yang terkenal dengan

    nama Majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan kodipikasi hukum Islam

    tahun 1983 di Sudan.

    Selain itu menurut Bustanul Arifin pembuatan Kompilasi Hukum

    Islam juga didasarkan kepada landasan yuridis tentang perlunya para

    hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat (Pasal 20 ayat 1

    UU No. 14 Tahun 1970), dan landasan fungsionalnya adalah karena

    Kompilasi Hukum Islam merupakan fiqh Indonesia yang disusun

    berdasarkan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia (Ditbinbapera

    1994: 8-9).

    Apa yang dikemukakan di atas baru merupakan sebagian kecil

    saja dari hal-hal yang melatarbelakangi perlu dibentuknya Kompilasi

    Hukum Islam, untuk lebih jelasnya perlu penulis kutipkan keterangan-

    keterangan yang dikemukakan oleh para tokoh yang mengetahui

    banyak tentang Kompilasi Hukum Islam, dan apa yang dikemukakan

    oleh mereka itu adalah secara langsung berkenaan dengan latar

    belakang perlunya dibuat Kompilasi Hukum Islam. Yahya Harahap

    (1994, hlm.143) dalam tulisannya “Informasi Materi Hukum Islam:

    Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam", mengatakan sebagai berikut:

    37

  • Akibat sikap dan prilaku para hakim yang mengidentikkan fiqhdengan syari'ah atau hukum Islam lahirlah berbagai produkputusan Pengadilan Agama. Sesuai dengan latar belakangmazhab yang dianut dan digandrungi masing-masing hakim.Terbentanglah putusan-putusan Peradilan Agama yang sangatberdisparitas antara putusan yang satu dengan yang lain,dalam kasus perkara yang sama. Jika hakim yang memeriksadan memutus perkara kebetulan cenderung danberlatarbelakang pengikut mazhab Hambali, dalil dan dasarpertimbangan hukum yang diterapkan sangat diwarnai olehpaham ajaran Hambali. Sebaliknya apabila hakim yangmengadili berlatar belakang mazhab Syafi'i, putusan yangdijatuhkan sangat apriori kepada landasan doktrin ImamHambali. Para hakim yang kokoh berlatar belakang pada satumazhab tertentu, menurut pengamatan selalu bersikap otoriterdan doktrinir secara deskriptif. Tidak mau beranjak sedikitpundari mazhab yang dipujanya. Kalau kebetulan hakim yangmengadili perkara berlatar belakang Muhammadiyah atau tidakbermazhab, selalu merujuk kepada nash al-Qur'an dan Sunnah.Sikapnya lebih elastis menelurkan nilai-nilai hukum berdasar"ra'yi" pada satu segi, dan menjadikan ajaran para imammazhab sebagai landasan orientasi.

    Munawir Sadzali (1996, hlm. 2) memandang Peradilan Agama

    sebagai suatu hal yang aneh tapi nyata, menurutnya walaupun

    Peradilan Agama sudah berusia sangat lama, namun hakimnya belum

    memiliki buku standar untuk dapat dijadikan rujukan yang sama

    seperti halnya KUHP. Sehingga apabila menghadapi kasus yang harus

    diadili para hakim agama meski merujuknya kepada kitab-kitab fiqh

    yang tanpa standarisasi dan keseragaman secara hukum. Akibat

    selanjutnya sudah barang tentu kasus yang sama akan diputus

    secara berbeda apabila ditangani oleh hakim yang berbeda. Lebih

    lanjut Munawir mengatakan bahwa dari sudut teori hukum produk-

    produk Peradilan Agama yang tidak seragam tersebut bertentangan

    dengan prinsip kepastian hukum. Itulah sebabnya pada tahun 1985

    pemerintah memandang perlu dibuatnya Kompilasi Hukum Islam.

    38

  • Selama Mahkamah Agung menjadi pembina teknis yustisial

    Peradilan Agama, Mahkamah Agung merasakan adanya beberapa

    kelemahan dalam menyelenggarakan Peradilan Agama, antara lain

    mengenai hukum Islam yang diterapkan cenderung simpang siur.

    Kesimpang siuran itu disebabkan oleh perbedaan pendapat

    dikalangan para fuqaha dalam banyak persoalan. Untuk mengatasi

    hal yang demikian, diperlukan adanya satu buku hukum yang

    menghimpun semua hukum terapan yang berlaku di lingkungan

    Peradilan Agama. Buku hukum itu menjadi pedoman para hakim

    agama dalam menjalankan tugasnya, sehingga akan terjamin adanya

    kesatuan dan kepastian hukum (Soeyoeti 1999, hlm. 59).

    Pendapat yang mewakili pemerintah tentang latar belakang

    perlunya dibuat Kompilasi Hukum Islam bisa dilihat dalam buku

    "Pedoman Penyuluhan Hukum" Departemen Agama Republik

    Indonesia (1996, hlm. 79) dijelaskan:

    Pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan Kompilasi HukumIslam adalah karena hukum Islam yang dipergunakan olehPeradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa yang diajukankepadanya dimasa yang lalu terdapat dalam berbagai kitab fiqhdi dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan fuqaha yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam kitab-kitab fiqh itu wajarmempengaruhi hakim peradilan agama dalam memutuskanperkara. Sehingga sering terjadi keputusan hakim pada suatuPengadilan Agama berbeda dengan putusan hakim padaPengadilan Agama lain, padahal perkaranya adalah sama. Jadimaksud pemerintah mengeluarkan Kompilasi Hukum Islamadalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencarikeadilan di Pengadilan Agama.

    Jika diperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa masing-masing

    para tokoh mempunyai pandangan dan pendapat sendiri-sendiri

    mengenai latar belakang perlu dibuatnya Kompilasi Hukum Islam.

    39

  • Perbedaan pandangan pendapat itu suatu hal yang wajar saja terjadi

    mengingat para tokoh yang ada mempunyai latar belakang profesi

    dan disiplin ilmu yang berlainan. Dan otomatis mereka berangkat dari

    sudut pandang yang berbeda pula. Sehingga perbedaan pandangan

    dan pendapat itu tidak perlu dilihat sebagai suatu pertentangan,

    justru merupakan bahan bagi kita untuk menunjukkan kepada

    masyarakat umum bahwa kehadiran Kompilasi Hukum Islam memang

    sangat dibutuhkan.

    Demikian beberapa pandangan yang dikemukakan sehubungan

    dengan latar belakang pentingnya dibuat Kompilasi Hukum Islam,

    yang permasalahannya di dasari oleh keinginan umat Islam Indonesia

    memiliki keseragaman landasan hukum materil di lingkungan

    Peradilan Agama. Mungkin masih banyak lagi pandangan dari tokoh

    lain yang tidak dapat disebutkan sebagai pandangan yang lebih luas,

    namun dari beberapa pandangan yang disebutkan oleh tokoh di atas,

    sudah bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui latar belakang

    mengapa perlu dibuatnya Kompilasi Hukum Islam.

    Tujuan Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa yang melatarbelakangi

    perlu dibentuknya Kompilasi Hukum Islam adalah berangkat dari

    sebuah pemikiran tentang pentingnya keseragaman sumber hukum

    materil di lingkungan Peradilan Agama. Disamping itu menurut Yahya

    Harahap (1999: 70) "Dibuatnya Kompilasi Hukum Islam adalah dalam

    rangka mempositifkan hukum Islam di Indonesia".

    40

  • Dengan seragamnya sumber pengambilan hukum materil di

    lingkungan Peradilan Agama, dan dengan mempositifkan hukum

    Islam secara terumus dan sistematis dalam sebuah buku hukum,

    sehingga paling tidak terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak

    dicapai dan dituju melalui kehadiran Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

    Pertama untuk melengkapi pilar Peradilan Agama, kedua untuk

    menyamakan persepsi dalam menerapan hukum, ketiga untuk

    mempercepat proses taghribi bainal ummah dan keempat untuk

    menyingkirkan paham private affair (Harahap 1999: 71-78).

    Melengkapi Pilar Peradilan Agama

    Menurut Bustanul Arifin dalam Harahap (1999, hlm. 71) "ada tiga pilar

    sokoguru kekuasaan Kehakiman dalam melaksanakan fungsi

    peradilan yang diamanatkan Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 10 Undang-

    undang Nomor 14 Tahun 1970, salah satu pilar tidak terpenuhi,

    menyebabkan penyelenggaraan fungsi peradilan tidak benar

    jalannya" ketiga pilar dimaksud adalah:

    1. Adanya badan peradilan yang terorganisir

    berdasar kekuatan undang-undang.

    Sehubungan dengan pilar pertama ini Peradilan Agama telah

    memilikinya. Keberadaan Peradilan Agama telah diakui sebagai

    Peradilan Negara melalui Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

    14 Tahun 1970 " Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan

    dalam lingkungan peradilan: Peradilan Umum; Peradilan Agama;

    Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara". Lebih lanjut

    41

  • mengenai susunan organisasi Peradilan Agama secara rinci diatur

    dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

    2. Adanya organ pelaksana

    Pilar kedua yang harus dimiliki oleh suatu badan peradilan ialah adanya organ atau

    pejabat pelaksana yang berfungsi melaksanakan jalannya peradilan. Pilar kedua ini

    sudah lama dimiliki oleh Peradilan Agama. Hanya saja kualitas dan

    profesionalismenya yang harus ditingkatkan, karena selama ini beredar image

    bahwa para pejabat dan hakim di lingkungan Peradilan Agama kalah wibawa

    dengan pejabat dan hakim di lingkungan Peradilan lain. Untuk menghilangkan

    image yang salah itu perlu adanya perbaikan kedalam.

    3. Adanya sarana hukum sebagai rujukan

    Pilar ketiga yang harus dimiliki oleh badan peradilan adalah adanya sarana hukum

    positif yang pasti dan berlaku secara unifikasi. Sepanjang mengenai landasan

    kedudukan, kewenangan dan proses beracara di Peradilan Agama telah diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Hanya saja sebelum lahirnya Kompilasi

    Hukum Islam Peradilan Agama belum memiliki sumber hukum materil yang

    seragam dan terperinci dalam satu kitab hukum. Walaupun hukum materil yang

    menjadi yurisdiksi Peradilan Agama sudah dikodifikasi melalui Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (tentang

    perkawinan) serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 (tentang

    perwakafan), tetapi hal-hal yang diatur dalam UU dan PP tersebut baru merupakan

    pokok-pokoknya saja.

    Apalagi mengenai hukum kewarisan dan wasiat, sampai saat Kompilasi

    Hukum Islam disusun, belum diatur dan dirumuskan hukumnya secara positif dan

    unifikstif. Penyelesaian perkara yang menyangkut bidang kewarisan dan wasiat

    selalu sepenuhnya mengandalkan ajaran fiqh, sehingga putusan yang diambil oleh

    42

  • para hakim di lingkungan Peradilan Agama bukan berdasarkan hukum yang diakui

    oleh negara melainkan berdasarkan doktrin fiqh.

    Karena Peradilan Agama belum memiliki pilar yang ketiga, yaitu belum

    adanya sarana hukum positif yang pasti dan berlaku secara unifikasi dibidang

    hukum materil, maka sudah barang tentu Peradilan Agama tidak akan bisa

    menjalankan fungsinya dengan baik. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar

    Peradilan Agama bisa menjalankan fungsinya dengan baik ialah harus dipenuhi pilar

    ketiga, yaitu melengkapinya dengan prasarana hukum positif yang bersifat

    unifikatif. Untuk itu kehadiran Kompilasi Hukum Islam merupakan jalan pintas

    dalam rangka memenuhi unsur pilar ketiga tersebut (Yahya Harahap 1999: 70-74).

    Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum

    Tujuan kedua dibentuknya Kompilasi Hukum Islam adalah untuk menyamakan persepsi

    dalam penerapan hukum, yaitu hukum Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat

    hibah dan wakaf. Paling tidak ada tiga pihak yang harus mempunyai persepsi yang sama

    dalam penerapan hukum di lingkungan Peradilan Agama, yaitu: Para Hakim di

    lingkungan Peradilan Agama, para pihak pencari keadilan dan para penasehat hukum

    yang berpraktek di lingkungan Peradilan Agama.

    Pertama, para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Dengan dijadikannya

    Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber rujukan resmi di lingkungan Peradilan Agama,

    maka para hakimnya dalam memutuskan suatu perkara haruslah selalu mengacu kepada

    buku pedoman resmi yang telah ditetapkan, yaitu Kompilasi Hukum Islam. Dengan

    adanya ketentuan ini tidak berarti mematikan kebebasan dan kemandirian para hakim

    dalam menyelenggarakan fungsi peradilan, bukan pula dimaksudkan untuk

    memandulkan kreativitas dan penalaran para Hakim Agama, akan tetapi dengan

    43

  • dijadikannya Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman, maka para hakim akan

    terhindar dari penjatuhan putusan yang berdisparitas.

    Kedua, para pihak pencari keadilan. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam

    maka para pihak pencari keadilan di lingkungan Peradilan Agama, dalam membela dan

    mempertahankan hak dan kepentingannya tidak dibenarkan menyimpang dari kaidah

    yang telah ditetapkan oleh kompilasi. Mereka tidak dapat lagi mengajukan dalih dan

    dalil ikhtilaf, tidak bisa lagi mengagungkan dan memaksakan kehendak agar hakim

    mengadilinya menurut doktrin dan mazhab yang mereka ingini. Dalam proses peradilan

    para pihak yang berperkara tidak dibenarkan lagi membawa-bawa pendapat mazhab

    imam tertentu. Dasar hukum yang boleh digunakan dalam membela dan

    mempertahankan hak dan kepentingan bagi para pencari keadilan di lingkungan

    Peradilan Agama hanya satu, yaitu Kompilasi Hukum Islam.

    Ketiga, para penasehat hukum atau pengacara yang berpraktek di lingkungan

    Peradilan Agama. Para penasehat hukum di lingkungkungan Peradilan Agama hanya

    diperkenankan mengajukan pembelaan atau perlawanan dalam yang menyangkut materi

    perkara melalui tafsiran-tafsiran yang bertitik tolak dari rumusan kitab hukum resmi,

    yaitu Kompilasi Hukum Islam (Harahap 1999, hlm. 74-75).

    Bila pembelaan dan perlawanan itu ditujukan terhadap hal-hal yang berkenaan

    dengan proses beracara, maka para penasehat hukum di lingkungan Peradilan Agama

    boleh menggunakan sumber hukum lain selain Kompilasi Hukum Islam selama

    dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana disebutkan dalam

    Pasal 54 undang-undang itu "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan

    Peradilan Agama adalah hukum perdata yang berlaku pada pengadilan dalam

    lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang

    ini".

    44

  • Mempercepat Proses Taghribi Bainal Ummah

    Tujuan ketiga dibentuknya Kompilasi Hukum Islam, yang tidak kalah pentingnya ialah

    mempercepat arus proses Taghribi Bainal Ummah seperti yang tergambar dalam tulisan

    Harahap (1999, hlm.76) sebagai berikut:

    Dengan adanya kompilasi, dapat diharapkan sebagai jembatan penyeberang ke arah memperkecil pertentangan dan pembantahan khilafiyah. Sekurang-kurangnya di bidang hukum yang menyangkut perkawinan, warisan, hibah, wasiat, dan wakaf, dapat dipadu dan disatukan pemahaman yang sama. Bukankah dengan adanya kompilasi sebagai sumber mata air hukum bagi seluruh masyarakat Islam. Pengadilan Agama sebagai alat kekuasaan negara yang mengendalikan fungsi kekuasaan kehakiman, dapat memaksakan nilai dan kaidah yang sama pada setiap muslim tanpa membedakan golongan, aliran dan etnis ? jadi sepanjang yang menyangkut huqūqu al-abad dalam bidang hukum perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan, telah dilenyapkan perbedaan paham oleh kompilasi. Dalam bidang-bidang tersebut, telah terbina taghribi bainal mazhab dan bainal ummah. Dalam hal ini "umara' atau penguasa melalui persetujuan para ulama dan fuqaha Indonesia, telah diajak dan dibawa ke arah perpaduan dan kesatuan kaidah dan nilai.

    Selanjutnya Harahap menambahkan, bahwa dengan hadirnya

    Kompilasi Hukum Islam tidak berarti lenyapnya semua permasalahan

    ikhtilaf, terhadap hal-hal yang menyangkut huququllah peluang untuk

    terjadinya ikhtilaf masih tetap terbuka, masing-masing fihak dan

    golongan dapat dengan bebas menentukan pilihannya, karena

    Kompilasi Hukum Islam tidak bisa mengarahkan transformasi suasana

    taghribi terhadap hal-hal yang menyangkut huququllah. Tapi paling

    tidak missi taghribi bainal ummah yang diemban oleh Kompilasi

    Hukum Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan

    wakaf sedikit banyak dengan secara perlahan-lahan akan

    mempengaruhi arus transformasi taghribi terhadap bidang hukum

    lainnya.

    Menyingkirkan Paham Privat Affair

    45

  • Paham Privat Affair adalah paham yang berpandangan bahwa

    segala sesuatunya adalah urusan pribadi tidak ada hubungannya

    dengan orang lain, kalaupun ada pihak kedua, Dia hanyalah Allah

    semata. Kalau seorang suami ingin menceraikan isterinya atau ingin

    berpoligami, maka itu adalah hak pribadi seseorang, dan ia sendirilah

    yang akan mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT,

    untuk itu orang lain baik pemerintah atau penguasa tidak boleh ikut

    campur, apa lagi bermaksud menghalang-halangi atau melarangnya.

    Mereka yang berpaham private affair itu ternyata bukan hanya

    dari kalangan awam saja, tapi juga meliputi kalangan elit ulama dan

    fuqaha, hal ini terbukti pada waktu pengumpulan materi Kompilasi

    Hukum Islam banyak para ulama dan fuqaha Indonesia yang bersuara

    lantang, bahwa urusan kawin, cerai dan poligami adalah urusan

    pribadi dengan Tuhan, tidak ada hak penguasa (umara') untuk

    mencampurinya, tidak perlu ada penertiban secara administrasi,

    biarkan saja karena itu urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan.

    Tujuan dibentuknya Kompilasi Hukum Islam salah satunya

    adalah untuk menyingkirkan paham private affair di atas, terutama

    pada bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah dan wakaf. Dengan

    dijadikannya Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan resmi di

    lingkungan Peradilan Agama, maka kekuasaan negara ikut memantau

    dalam pelaksanaannya. Hukum Islam yang berkaitan dengan

    perkawinan, warisan, wasiat, hibah dan wakaf bukan lagi merupakan

    semata-mata masalah pribadi manusia dengan Tuhannya saja,

    melainkan ia sudah merupakan masalah aturan hukum yang

    46

  • menyangkut "ketertiban umum", sehingga pemerintah berhak ikut

    campur dalam pengaturannya (Harahap 1999, hlm. 76-78).

    Pelaksanaan Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dilakukan oleh sebuah tim

    pelaksana proyek yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama

    (SKB) ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (Ali Said) dan

    Menteri Agama Republik Indonesia (Munawir Sadzali) Nomor 07/KMA/

    1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di

    Yogyakarta. Ahmad Rofiq (2003 : 43). Di dalam lampiran SKB ini

    ditentukan dengan rinci mengenai siapa saja dari pejabat Mahkamah

    Agung dan Departemen Agama yang diikutsertakan dalam

    pelaksanaan proyek, selain itu SKB ini juga memuat mengenai jangka

    waktu, tata kerja dan biaya yang digunakan dalam penyusunan

    Kompilasi Hukum Islam.

    Pelaksanaan proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    dipimpin oleh pemimpin umum Bustanul Arifin dan dibantu dua orang

    wakil pemimpin umum masing-masing H. R. Djoko Soegianto dan

    Zaini Dahlan. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama

    dua tahun terhitung mulai tanggal penetapan SKB, dengan masa

    kerja proyek dimulai tanggal 25 Maret 1985 (Dibinbapera 1994, hlm.

    10-12).

    Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut mulailah

    nampak perkembangan penyusunan Kompilasi Hukum Islam di

    Indonesia. Pelaksanaan proyek itu didukung oleh Keputusan Presiden

    (Kepres) Nomor 191 Tahun 1985 tanggal 10 November 1985, SKB itu

    47

  • bertujuan merancang tiga buku hukum yaitu Buku I tentang Hukum

    Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang

    Hukum Perwakafan. Pada bulan Februari tahun 1988, ketiga buku

    tersebut dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas dari para

    ulama di seluruh Indonesia. Seperti Muktamar Muhammadiyah ke-42

    di Yogyakarta mengharapkan kepada pemerintah untuk segera

    mengesahkan Kompilasi Hukum Islam sehubungan dengan telah

    diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

    Peradilan Agama Ismail Sunni (1991: 2). Dalam menyusun Kompilasi

    Hukum Islam tersebut panitia pelaksana menempuh empat cara kerja

    yaitu:

    Meneliti dan Mengkaji Kitab-Kitab Fiqh

    Hal ini dilaksanakan dengan mengumpulkan kitab-kitab hukum (fiqh)

    yang diambil dari berbagai permasalahan hukum, kemudian

    dimintakan kepada Perguruan Tinggi Islam (IAIN) di Indonesia untuk

    merespon pendapat mereka tentang kitab-kitab tersebut dengan

    menyertai argumentasi/dalil-dalil hukumnya. Adapun IAIN yang

    ditunjuk melalui kerja sama Menteri Agama dan Rektor IAIN tanggal

    19 Maret 1986 yang berpedoman kepada 38 kitab fiqh dalam jangka

    waktu 3 bulan dari tanggal 17 Maret sampai dengan 21 Juni 1986.

    Adapun ketujuh IAIN tersebut adalah:

    1. IAIN Al-Raniri Banda Aceh mengkaji : 6 (enam)

    kitab yaitu:

    (1) Al-Bajuri, (2) Fath al-Mu’in, (3) Syarqawi Ala al-Tahrir, (4)

    Mughni al-Muhtaj, (5) Nihayah al-Muhtaj, (6) Al-Syarqawi.

    48

  • 2. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengkaji 6

    (enam) kitab yaitu : (1) I’nat al-Thalibin, (2) Tuhfah, (3) Targib al-

    Musytaq, (4) Bulghah al al-Salik, (5) Syamsuri fi al-Faraid, (6) Al-

    Mudawanah.

    3. IAIN Antasari Banjarmasin mengkaji 6 (enam)

    kitab yaitu : (1) Qalyubi/Mahalli, (2) Fath al-Wahab dan Syarahnya,

    (3) Bidayah al-Mujtahid (4) al-Um, (5) Bugyah al-Mustarsyidin, (6)

    Al-Aqidah Wa al-Syari’ah.

    4. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengkaji 5

    (lima) kitab yaitu : (1) Al-Mahalla. (2) al-Wajiz, (3) Fath al-Qadir (4)

    Kitab Al-Fiqh ‘Alaa al-Mazāhib al-Arba’ah, (5) Fiqh al-Sunnah.

    5. IAIN Sunan Ampel Surabaya mengakaji 5

    (lima) kitab yaitu : (1) Kasyfa al-Gina, (2) Majmu’at Fatawa al-

    Kubra li Ibn Taimiyah, (3) Qawanin al-Syari’ah li al-Sayid Usman Ibn

    Yahya, (4) Al-Mughni, dan (5) Al-Hidayah Syarh al-Bidayah.

    6. IAIN Alauddin Ujung Pandang mengkaji 5

    (lima) kitab yaitu : (1) Qawanin al-Syari’ah li al-Sayid Sadaqah

    Dahlan, (2) Nawab al-Jalil, (3) Syarah Ibn ‘Abidin (4) Al- Muwattha',

    (5) Hasyiyah al-Dasuqi.

    7. IAIN Imam Bonjol Padang mengkaji 5 (lima)

    kitab yaitu : (1) Badai al-Sana'i (2) Tabyin al-Haqāiq, (3) Al-Fatawa

    al-Hidayah, (4) Fath al-Qadir dan (5) Nihayah Abdurrahman (1992,

    hlm. 39-41).

    Selain dari pengkajian kitab-kitab tersebut, juga diambil dari

    hasil-hasil fatwa yang berkembang di Indonesia, seperti Majelis Ulama

    49

  • Indonesia (MUI), Nahdhatul Ulama (NU), Majelis Tarjih

    Muhammadiyah, dan lain-lain (Abdurrahman 1995: 41).

    Wawancara Dengan Para Ulama Indonesia

    Cara kedua ini dilaksanakan dengan mengumpulkan para ulama yang

    mempunyai keahlian dibidang fiqh. Agar seluruh ulama Indonesia ikut

    serta dalam proses wawancara ini, maka tempat wawancara diadakan

    di sepuluh daerah lokasi Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia.

    Sepuluh lokasi itu adalah :

    (1)PTA Banjarmasin, ulama yang diwawancarai sebanyak 15orang (2) PTA Padang, ulama yang diwawancarai sebanyak 23orang, (3) PTA Mataram, ulama yang diwawancari sebanyak 20orang, (4) PTA Ujung Pandang, ulama yang diwawancaraisebanyak 19 orang, (5) PTA Surakarta, ulama yang diwawancaraisebanyak 18 orang, (6) PTA Bandung, ulama yang diwawancaraisebanyak 18 orang, (7) PTA Surabaya, ulama yang diwawancaraisebanyak 18 orang, (8) PTA Banda Aceh, ulama yangdiwawancarai sebanyak 20 orang, (9) PTA Medan, ulama yangdiwawancarai sebanyak 20 orang (10) PTA Palembang, ulamayang diwawancarai sebanyak 15 orang (Arifin 1996, hlm.155-161).

    Wawancara dengan para ulama di atas digunakan dua metode,

    yaitu dengan mempertemukan para ulama disuatu tempat dan

    diwawancarai bersama-sama. Jika pertama itu sulit atau tidak

    memungkinkan untuk dilaksanakan, maka digunakan metode kedua,

    yaitu dengan mewawancarai mereka ditempat yang terpisah. Melalui

    wawancara ini panitia juga sekaligus meminta masukan dari masing-

    masing para ulama tentang pemakaian kitab-kitab dan mazhab

    sebagai rujukan (Abdurrahman 1995, hlm. 42).

    Meneliti Yurisprudensi Peradilan Agama

    50

  • Penelitian Yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat Pembinaan

    Badan Peradilan Agama terhadap putusan Pengadilan Agama yang

    telah dihimpun dalam 16 (enam belas) buku, yaitu:

    Himpunan putusan PA/PTA sebanyak 3 buku, terbitan tahun

    1976/1977, 1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981.

    Himpunan fatwa sebanyak 3 (tiga) buku terbitan tahun

    1978/1979,1979/1980, dan 1980/1981.

    Yurisprudensi Pengadilan Agama sebanyak 5 (lima) buku,

    terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983 dan

    1983/1984

    Law report sebanyak empat buku, terbitan tahun 1977/1978,

    1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984 (Ahmad Rafiq 2003 : 49)

    Mengadakan Studi Banding ke Timur Tengah

    Studi banding dilaksanakan ke negara-negara Timur Tengah dengan

    mengunjungi tiga negara, yaitu :

    1. Studi banding ke negara Maroko dilaksanakan pada tanggal 28

    Oktober 1986, para pihak yang dihubungi di Maroko yaitu Direktur

    Institut Kehakiman Nasional, Sekretaris Jenderal Kementerian

    Wakaf dan Urusan Islam, Penasehat Menteri Wakaf dan Urusan

    Islam, Ketua Supremi Court, dan ketua kerjasama Unesco-Alesco.

    2. Studi banding ke negara Turki dilaksanakan pada tanggal 1 dan

    2 November 1986, para pihak yang dihubungi di Turki yaitu Ketua

    Islamic Centre, Supremi Court yang diwakili oleh Attorney General.

    3. Studi banding ke negara Mesir dilaksanakan pada tanggal 3-4

    November 1986, para pihak yang dihubungi di Mesir yaitu Rektor

    51

  • Universitas Al-Azhar, Majelis Tinggi Al-Azhar, Grand Syaikh Al-

    Azhar, Dekan Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar, Ketua

    Supremi Court, Mufli Negara dan Menteri Wakaf (Ditbinbapera

    1994: 16).

    Studi Banding tersebut dilaksanakan oleh Masrani Basran pejabat

    Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Muchtar Zarkasyi pejabat

    Direktur Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI.

    Dari jalur studi banding itu diperoleh informasi dan bahan masukan yang meliputi:

    Sistem Peradilan.

    - Masukan Syari'ah law dalam arus tata hukum nasional

    - Sumber-sumber hukum dan hukum materil yang menjadi pegangan/ terapan hukum di

    bidang Ahwal al-syakhsiyah yang menyangkut kepentingan (Ditbinbapera 1994: 17).

    Kedudukan KHI Dalam Tata Peraturan Perundang-Perundangan Indonesia

    Pengertian Peraturan Perundang-Undangan

    Marshal NG (1998, hlm. 26) menulis bahwa yang dimaksud dengan peraturan

    perundang-undangan adalah menunjukkan semua peraturan dari undang-undang beserta

    peraturan pelaksananya, sedangkan perundang-undangan hanyalah merupakan istilah

    untuk menunjuk atau menyebut kumpulan undang-undang saja. Dalam Kamus Besar

    Bahasa Indonesia (1989) undang-undang adalah ketentuan-ketentuan dan peraturan-

    peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah, disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat

    (DPR) dan disahkan oleh Presiden. Perundang-undangan adalah segala sesuatu yang

    bertalian dengan undang-undang, dan seluk beluk undang-undang. Sedangkan peraturan

    perundang-undangan adalah (tatanan sistem, tata tertib) perundang-undangan. Bachsan

    Mustafa (1982, hlm. 20) menjelaskan undang-undang dalam arti luas adalah mencakup

    undang-undang dasar dan undang-undang.

    52

  • Dari penjelasan di atas menurut penulis bahwa yang dimaksud dengan

    "perundang-undangan" adalah kumpulan dari undang-undang saja. Sedangkan yang

    dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah meliputi undang-undang

    secara umum beserta peraturan hukum lainnya.

    Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

    Istilah hirarki dalam tata peraturan perundang-undangan timbul karena adanya teori

    pembagian berdasarkan tinggi rendahnya tingkat kedudukan suatu produk hukum.

    Dalam teori hukum positif di Indonesia hirarki peraturan perundang-undangan diatur

    dalam ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 yang kemudian terakhir ditetapkan

    kembali dengan Ketetapan MPR-RI Nomor IX Tahun 1978. Dalam ketetapan tersebut

    urutan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 19452. Ketetapan MPR3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang4. Peraturan Pemerintah5. Keputusan Presiden6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya (BP-7 Pusat, 1991, hlm.62)

    Menurut C.S.T Kansil (1985, hlm.105) setelah adanya ketentuan seperti yang

    tersebut dalam ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 di atas, maka setiap aturan

    hukum tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah atau negara tidak boleh keluar dari

    bentuk-bentuk yang telah disebutkan di dalam ketetapan itu. Lebih lanjut Kansil

    mengatakan bahwa tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan di atas disusun

    berdasarkan tinggi rendahnya tingkat kedudukan masing-masing peraturan negara

    tersebut, oleh karena itu tata urutan peraturan perundang-undangan tidak boleh dirubah

    atau dipertukarkan tingkat kedudukannya.

    A. Hamid S. Attamimi (1996, hlm.152) dalam bukunya Kedudukan Kompilasi

    Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Suatu Tinjauan Dari Sudut Teori

    53

  • Perundang-Undangan Indonesia) menjelaskan jenis peraturan perundang-undangan

    negara Republik Indonesia dewasa ini secara hirarki adalah:

    1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang disetingkatkan dengan Undang-Undang

    2. Peraturan Pemerintah3. Keputusan Presiden4. Keputusan Menteri5. Keputusan Kepala Pemerintah Non Departemen6. Keputusan Direktur Jenderal Departemen7. Keputusan Badan Negara8. Peraturan Daerah Tingkat I9. Keputusan Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I10. Peraturan Daerah Tingkat II11. Keputusan Bupati dan Wali kotamadya Kepala Daerah Tk.II (Tamimi1996:

    152).

    Kalau diperhatikan, secara yuridis formal ada empat jenis atau bentuk aturan

    hukum yang menjadi landasan penyusunan sekaligus pemberlakuan Kompilasi Hukum

    Islam di Indonesia, keempat landasan yuridis formal tersebut adalah:

    a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

    Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 24 Tahun 1985 tanggal 21 Maret

    1985, tentang Penunjukan Pelaksana Hukum Islam melalui Yurisprudensi. SKB ini

    merupakan landasan awal dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam.

    b. Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991,

    tanggal 10 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam.

    c. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991

    tentang Penyebarluasan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan

    d. Surat Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor

    3694/EV/HK.00.3/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991 tentang tindak lanjut dari Keputusan

    Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991.

    Dari empat jenis landasan atau bentuk aturan hukum yang disebutkan di atas

    hanya tiga yang mengatur tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam yaitu Inpres

    No.1 Tahun 1991, Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 dan Surat

    54

  • Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor

    3694/EV/HK.00.3/AZ/91, sedangkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua

    Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 24 tahun

    1985 poin 1 di atas hanyalah landasan awal dalam penyusunan Kompilasi Hukum

    Islam.

    Kedudukan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991

    Merujuk kepada definisi peraturan perundang-undangan sebagaimana dijelaskan

    sebelumnya bahwa peraturan perundang-undangan adalah meliputi secara umum

    beserta peraturan hukum lainnya, maka Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

    termasuk di dalamnya, karena Instruksi Presiden juga merupakan peraturan hukum.

    Namun jika dirujuk kepada hirarki peraturan perundang-undangan yang ada di

    Indonesia, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 maupun yang terdapat

    dalam hasil penelitian Attamimi tentang jenis peraturan perundang-undangan negara

    Republik Indonesia dewasa ini, kelihatannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

    tanggal 10 Juni 1991 tidak termasuk di dalam urutan perundang-undangan tersebut yang

    ada hanya Keputusan Presiden. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana

    Kedudukan Instruksi Presiden dalam hirarki peraturan perundang-undangan di

    Indonesia. Serta tergolong dalam jenis peraturan yang manakah Inpres tersebut.

    Hal ini sejalan dengan pemikiran Abdul Gani Abdullah yang penulis kutip

    dalam bukunya Pemasyarakatan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

    Hukum Islam dijelaskan:

    Terpilihnya Instrumen Instruksi Presiden sebagai landasan pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam mempunyai kedudukan dalam tata hukum yang dilematis, disatu segi dalam pengalaman implementasi program legislatif di Indonesia, Instruksi Presiden mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif disamping instrumen aturan-aturan hukum lainnya, dan karenanya Instruksi Presiden mempunyai daya atur dalam sistem hukum positif nasional,

    55

  • namun pada segi lain instrumen Instruksi Presiden tidak terlihat dalam hirarki peraturan perundang-undangan, Abdul Gani Abdullah (1999, hlm.143).

    Begitu juga menurut Attamimi (1996, hlm. 153) di dalam ilmu hukum, norma

    hukum yang dikandung oleh sebuah instruksi selalu bersifat individual kongkrit, artinya

    instruksi itu hanya dapat berlangsung apabila antara pemberi instruksi dan yang

    menerima instruksi itu terdapat hubungan organisasi secara langsung, lain halnya

    dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden selalu bersifat

    umum, mengikat dan berlaku untuk seluruh masyarakat dalam suatu negara.

    Tidak nampaknya Instruksi Presiden sebagai salah satu instrumen dalam tata

    perundang-undangan secara formal Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tidak memiliki otoritas

    untuk diterapkan sebagai hukum materil terhadap perkara-perkara yang diperiksa dalam

    Peradilan Agama. Di hadapan lembaga yudikatif, khususnya Pengadilan Agama, tentu

    tidak diharuskan merujuk Kompilasi Hukum Islam.

    Tindakan Presiden yang berupa Instruksi adalah suatu tindakan yang besipat

    individual bukan secara menyeluruh, sebagaimana yang dikatakan oleh Attamimi di atas

    kecuali jika antara yang memberi instruksi dan yang menerimanya terdapat hubungan

    organisasi. Dari penjelasan ini Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

    Kompilasi Hukum Islam telah melampui batas kewenangan dilihat dari kualitas hukum

    yang tidak dapat mengikat semua golongan. Berbeda dengan pendapat Ismail Sunni

    (1994, hlm. 113) menurutnya " Antara Instruksi Presiden dengan Keputusan Presiden

    mempunyai kedudukan hukum yang sama", karena kedua-duanya dikeluarkan oleh

    Presiden atas dasar Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk

    memegang pemerintahan negara.

    Kalau Instruksi Presiden disamakan dengan Keputusan Presiden, berarti

    Instruksi Presiden sama halnya dengan Keputusan Presiden akan bersifat umum dan

    mempunyai kekuatan yang mengikat serta berlaku untuk seluruh masyarakat dalam satu

    56

  • negara. Hanya saja persoalannya adalah mungkinkah Instruksi Presiden itu disamakan

    dengan Keputusan Presiden. Sedangkan jika merujuk kepada penjelasan Kansil

    berdasarkan Ketetapan MPRS XX Tahun 1966 tersebut, bahwa setiap aturan hukum

    yang tertulis dikeluarkan oleh pemerintah atau negara tidak boleh keluar dari bentuk-

    bentuk yang telah disebutkan dalam ketetapan itu dan tata peraturan perundang-

    undangan yang termuat dalam ketetapan itu telah disusun berdasarkan tinggi rendahnya

    tingkat kedudukan masing-masing peraturan negara tersebut, maka tidak boleh

    merubahnya atau ditukar tempat kedudukannya.

    Kalau memperhatikan jenis peraturan perundang-undangan dalam ketetapan

    MPRS Nomor XX Tahun 1966 tersebut, maka jelas bahwa seorang presiden hanya

    berhak mengeluarkan aturan-aturan hukum dalam bentuk dan fungsinya masing-masing

    sebagai berikut:

    1. Presiden sebagai kepala pemerintahan berhak mengeluarkan aturan hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah:a. Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang

    dikeluarkan oleh seorang Presiden bilamana dalam keadaan kepentingan yang memaksa.

    b. Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang.

    2. Presiden berhak mengeluarkan aturan hukum dalam bentuk Keputusan Presiden dengan fungsinya sebagai yaitu:a. Keputusan Presiden yang berfungsi sebagai pelaksanaan dari UUD 1945b. Keputusan Presiden yang berfungsi sebagai pelaksana dari ketetapan

    MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutifc. Keputusan Presiden yang berfungsi sebagai pelaksana dari Peraturan

    Pemerintah (K. Wantjik Saleh 1981, hlm. 118-119).

    Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hanya ada dua jenis aturan hukum

    yang dikeluarkan oleh seorang Presiden yaitu " Peraturan Pemerintah" dan "Keputusan

    Presiden", walaupun pada kenyatannya seorang Presiden ada mengeluarkan aturan

    hukum dalam bentuk "Instruksi Presiden", Tetapi Instruksi Presiden ini tidak termasuk

    ke dalam jenis Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden seperti yang

    dikemukakan oleh Sunny di atas. Karena sama halnya dengan apa yang dipaparkan oleh

    57

  • Attamimi sebelumnya, bahwa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden

    mempunyai sifat yang sama seperti undang-undang, yaitu bersifat umum, mengikat dan

    berlaku untuk semua masyarakat dalam satu negara. Lain halnya dengan Instruksi

    Presiden yang hanya bersifat individual kongkrit dalam pelaksanaannya antara Presiden

    sebagai pemberi instruksi harus ada hubungan organisasi secara langsung. Selain itu

    apabila Instruksi Presiden disamakan dengan Keputusan Presiden, maka berarti telah

    menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan yang termasuk dalam ketetapan

    MPRS Nomor XX Tahun 1966.

    Satu-satunya tempat untuk Instruksi Presiden adalah disamakan dengan Instruksi

    Menteri. Kalau Instruksi Presiden disamakan dengan Instruksi Menteri, maka menurut

    Ketetapan MPRS Nomor XX Tahun 1966 Instruksi Presiden dapat digolongkan ke

    dalam jenis Peraturan Pelaksanaan. Dedi Soemardi (1986, hlm. 23) memberikan

    pendapat dalam bukunya Sumber-Sumber Hukum Positif "mungkin lebih tepat apabila

    instruksi dimasukkan ke dalam petunjuk pelaksana". Kalau demikian, maka Instruksi

    Presiden kedudukannya sangat jauh di bawah undang-undang. Sehingga apabila

    Instruksi Presiden itu dijadikan landasan yuridis dalam pemberlakuan suatu produk

    hukum, maka materi hukum itu tidak akan mempunyai kekuatan yang mengikat, dan

    tidak pula mempunyai daya paksa.

    Kekuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Sebagai Sumber Hukum Materil Dalam Memutuskan Perkara di Pengadilan Agama

    Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dilihat dari sudut teori hirarki peraturan

    perundang-undangan Indonesia yang termuat dalam ketetapan MPR Nomo XX Tahun

    1966 Kompilasi Hukum Islam yang secara yuridis formal diberlakukan atas dasar

    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik

    Indonesia Nomor 154 Tahun 1991. Kedudukannya sangat jauh di bawah undang-

    undang. Menurut Fajrul Falakh (1999, hlm.35) dalam sistem Peradilan di Indonesia para

    58

  • hakimnya hanya terkait dengan undang-undang, sehingga dari sudut hirarki peraturan

    perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam tidak memiliki otoritas untuk

    diberlakukan sebagai hukum meteril pada Peradilan Agama.

    Menurut Kansil (1985, hlm.105) tata urutan (hirarki) peraturan perundang-

    undangan yang termuat dalam Ketetapan MPR Nomor XX Tahun 1966 itu disusun

    berdasarkan tinggi rendahnya badan penyusun peraturan perundang-undangan dan

    sekaligus juga menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kedudukan masing-masing

    peraturan negara tersebut. Dalam perkara yang sama peraturan yang kedudukannya

    lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dan apabila

    terjadi pertentangan, maka peraturan lebih tinggilah yang dipakai.

    Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Kansil di atas , maka materi Kompilasi

    Hukum Islam yang meliputi hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan hanya

    dapat dipakai sebagai rujukan apabila keberadaannya tidak bertentangan dengan

    peraturan lainnya yang lebih tinggi, dan apabila terjadi pertentangan maka peraturan

    yang lebih tinggilah yang dipakai. Materi Hukum Islam yang menyangkut tentang

    hukum kewarisan berkemungkinan tidak banyak dipersoalkan dalam hal ini, karena

    sampai saat ini belum ada ketentuan hukum kewarisan Islam yang tertulis (hukum

    positif) yang berlaku di Indonesia. Tetapi mengenai masalah perkawinan dan

    perwakafan sudah ada ketentuan hukum positif yang mengaturnya, yaitu Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

    perkawinan. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah ini sudah menjadi sumber

    materil yang resmi di Peradilan Agama.

    Begitu halnya dengan masalah perwakafan sudah ada hukum positif yang

    mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang tata cara

    perwakafan, dan pada tahun 2004 sudah diundangkan yaitu Undang-Undang Nomor 41

    Tahun 2004 tentang wakaf di Indonesia (Duski Ibrahim 2008, hlm. 35). Bila materi

    59

  • Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan hukum perkawinan dan perwakafan

    bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang telah disebutkan

    itu, maka ketentuan hukum yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak

    mempunyai kekuatan hukum untuk diberlakukan, karena kedudukan Insruksi Presiden

    (Inpres) sebagai dasar pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam posisinya berada di

    bawah undang-undang dan peraturan pemerintah.

    Walaupun Kompilasi Hukum Islam ditulis dalam sebuah buku dengan

    sistematika yang mirip dengan undang-undang atau peraturan tertulis lainnya, tetapi

    bukanlah merupakan hukum yang tertulis. Kompilasi Hukum Islam hanyalah gambaran

    nyata dari adanya hukum tidak tertulis yang hidup dan dijadikan pegangan oleh

    sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam dalam menyelesaikan

    permasalahan tentang (perkawinan, warisan dan perwakafan) baik di dalam maupun di

    luar Pengadilan Agama (Attamimi 1996, hlm.152-153).

    Menurut Yusril Ihza Mahendra secara teoritis memang ada perbedaan antara

    hukum tertulis (positif) dan yang tidak tertulis (hukum yang hidup). Hukum tertulis

    harus disahkan keberlakuannya secara formal oleh badan negara yang berwenang

    (DPR), dan proses pemberlakuannya harus pula memenuhi prosedur yang telah

    ditentukan, sedangkan hukum yang tidak tertulis tidak demikian. Dalam kaitannya

    dengan Kompilasi Hukum Islam, berarti KHI sebagai hukum tidak tertulis yang tercatat.

    Sebenarnya dalam pemberlakuannya tidak perlu menggunakan instrumen hukum dalam

    bentuk Instruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama seperti yang ada sekarang,

    karena ada dan tidak adanya kedua instrumen aturan hukum tersebut tidak akan

    mempengaruhi kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum tidak tertulis

    yang tercatat.

    Dari beberapa pandangan serta analisa yang dikemukakan secara yuridis formal

    Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 bukanlah hukum tertulis meskipun di tulis dalam

    60

  • sebuah kompilasi. Ini disebabkan Inpres tidak sama kualitas hukumnya dengan

    peraturan hukum tertulis, yaitu Keputusan Presiden (Kepres). Namun terlepas dari

    persoalan itu bahwa Kompilasi Hukum Islam yang sering disebut fiqh dalam bahasa

    perundang-undangan merupakan karya bersama ulama dan umat Islam Indonesia. Oleh

    karena itu sepatutnya, ia dipahami dan ditempatkan sebagai pedoman hukum yang

    dijadikan sebagai referensi hukum dalam menjawab persoalan hukum yang muncul,

    baik di Pengadilan Agama maupun di masyarakat, sekalipun keberadaannya hanya

    sebatas Instruksi Presiden, sepanjang mendatangkan kemaslahatan bersama kita

    realisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Sekalipun demikian beberapa pasal di dalamnya seperti Pasal 53 ayat 1-3

    tentang "pembolehan kawin hamil karena zina" perlu tetap menjadi renungan bersama

    demi kemaslahatan yang lebih baik yaitu menyelamatkan umat dari keterpurukan moral

    oleh pengaruh global. Sebab Asumsi penulis sekalipun terjadi perzinaan oleh pergaulan

    bebas dan mengakibatkan kehamilan tetap ada jalan keluar untuk menutup rasa malu

    yaitu nikah. Pembolehan pernikahan tersebut jika dilihat dari norma sosial, bahwa

    masyarakat akan beranggapan seolah-olah hukum zina itu diasumsikan sebagai

    kejahatan biasa, sehingga masyarakat tidak akan takut lagi melakukan zina. Padahal

    sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk

    sebagaimana di senyalir oleh Allah dalam Firman-Nya (Q.S. al-Isrā' [17]: 32).

    Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina ituadalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (Q.S.al-Isrā': 32).

    61